Aksararen

06.56 PM

Denan kini tengah berjalan menuju ke rumahnya dengan perasaan yang semakin tak dapat di jelaskan. Sedari tadi, pikirannya terus melayang memikirkan banyak hal. Namun, hatinya mencoba menepis semua pikiran tersebut.

Hingga saat beberapa langkah lagi ia sampai di rumahnya, kedua mata rubahnya pun dapat melihat sosok yang ia nantikan kehadirannya. Seulas senyum tipis terbit dan kakinya mulai melangkah dengan cepat.

“Arvi!!” Seru nya pada seseorang yang tengah sibuk dengan ponselnya. Sang pemilik nama menoleh, lalu ia pun membalas senyuman yang Denan berikan.

Kedua tangannya ia rentangkan dan beberapa saat kemudian Denan pun masuk dalam dekapan itu. Pelukan erat yang menimbulkan rasa hangat di tengah udara malam yang dingin langsung Denan rasakan.

Keresahan yang tak menentu tadi seketika sirna dengan ajaibnya.

“Kamu baru sampe?” Ujar Denan sembari melepaskan pelukannya.

Arvian mengangguk kecil, “Iya, baru juga aku mau ngabarin kamu. Kamu ga capek jalan dari minimarket nya?”

Denan terkekeh saat melihat raut wajah khawatir Arvian, “Aku gapapa” Jawabnya dengan pelan.

Hingga untuk beberapa saat, mata rubah Denan dibuat terpaku karena penampilan luar biasa sang kekasih. Wajahnya yang tegas, tubuhnya yang nampak sempurna dengan balutan pakaian yang sangat cocok dengan dirinya, juga surai hitam yang di tata dengan rapih.

Arvian malam ini nampak sangat bersinar.

“Udah kagum nya?” Denan langsung sadar saat mendengar pertanyaan itu. Dirinya sontak tertawa pelan sambil mengangguk.

“Iya, udah. Kamu keliatan keren” Senyum bahagia pun tak dapat Arvian tahan tat kala mendengar pujian jujur dari sang kekasih.

Tidak sia-sia dirinya meminta sang mamah untuk mendandani dirinya. Pikir Arvian.

“Kalo gitu, ayo masuk?” Ajakan Denan seketika membuat dirinya kembali gugup.

“Kamu... beneran cuman berdua sama adik kamu sekarang?” Denan mengangguk.

“Kamu takut ketemu mama papa aku?”

“Ngga, bukan gitu. Aku cuman memastikan”

Denan terkekeh pelan saat melihat Arvian yang mencoba mengelak. Sedetik kemudian, tangannya yang bebas pun langsung mencoba menggenggam tangan Arvian.

Sang dominan di buat terkejut akan hal itu, tapi tak menampik bahwa rasa gugup nya pun sedikit hilang. Ia bawa genggaman mereka ke depan bibirnya, lalu ia kecup sekilas.

“Makasih”

Wah, jangan ditanya bagaimana kondisi Denan saat ini. Salting brutal.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka pun melangkah masuk ke rumah Denan. Melewati pekarangan rumah itu lalu sampailah di depan pintu utama.

Deg deg deg

Degup jantung sepasang kekasih itu tiba-tiba berdegup kencang. Seakan merasa tidak siap jika pintu itu terbuka.

Ceklek

Pintu utama Denan buka dan langsung terdengar seruan sang adik yang kini berlari kearah mereka.

“Kak denan—”

Seruannya terputus ketika Carla sampai di depan keduanya, mata mereka saling bertemu dan seketika raut wajahnya berubah. Genggaman tangan Arvian pun dapat Denan rasakan semakin melemah.

“Carl, kenapa?” Tanya Denan saat melihat sang adik nampak sangat terkejut.

Mata Denan pun langsung melirik Arvian yang juga menatap adiknya dengan terkejut.

Ada apa? Kenapa mereka syok gitu?

“Carla”

Panggilan dari Denan membuat Arvian juga Carla tersadar, mereka langsung mengubah pandangan mereka secara bersamaan.

“Eh? Iya, kak? Aduh, maaf abisnya gue kaget banget liat lo yang udah dateng sama...”

Denan tersenyum tipis, “Arvian, dia pacar gue” jelas Denan dan Carla langsung tertawa canggung sembari mengangguk.

Okay, i see. Gue boleh kenalan?” Denan seketika bingung saat mendengar suara Carla yang berubah.

Tidak seperti biasanya. Namun, Denan mencoba untuk tidak memikirkan hal itu. Ia pun mengangguk pada Carla.

Perempuan itu langsung tersenyum manis pada Arvian, tangan kanannya ia arahkan pada pemuda itu untuk mencoba berjabat tangan.

“Hai, Kak. Kenalin, Gue Carla, adiknya kak Denan”

Deg!

Dengan perlahan, Arvian mengangkat tangannya untuk merespon jabatan tangan Carla.

“Arvian”

Mendengar suara Arvian yang berubah pun makin membuat Denan di landa kebingungan.

“Yaudah kalo gitu, langsung masuk aja yuk? Arvi, kamu gapapa kalo langsung makan?” Arvian mengangguk pelan untuk merespon pertanyaan Denan.

Namun saat si manis mau pergi ke arah dapur, Arvian menahan tangan Denan dan langsung membuat langkah kakak beradik itu terhenti.

“Kenapa?”

“Ini...—”

“Wah! Itu buat kita ya, kak? Makasih banyak, Kak Arvi!!”

Bingkisan yang sedari tadi Arvian bawa langsung di ambil dengan santai oleh Carla.

Arvian pun hanya bisa tersenyum sambil mengangguk kaku, “Iya, sama-sama”

Denan melihat semua kelakuan keduanya. Mereka cukup aneh.

Kenapa Carla bertingkah sangat akrab dengan Arvian padahal saat ada sahabatnya, perempuan itu bersikap biasa saja dan apa-apaan dengan panggilan Kak Arvi itu? Bagaimana bisa dengan seenaknya dia memanggil kekasihnya dengan sebutan itu?!

Juga, kenapa Arvian yang tadinya keliatan gugup dan syok langsung mulai membaur dengan Carla? Biasanya dia tidak suka dengan orang yang memanggil namanya dengan tidak lengkap, selain pada dirinya.

Matanya kembali menatap Carla yang mencoba membangun percakapan dengan Arvian dan di respon baik oleh kekasihnya.

Apa...— situasi macam apa ini?!

why do they look so close? like... they've known each other for a long time?

Saat ini Denan tengah berada di sebuah study cafe yang Arvian maksud. Ya, Denan menyetujui ajakan kekasihnya. Lagipula, dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran kusutnya.

“Hey” Panggilan dari Arvian membuat Denan yang semula fokus pada Ipad nya langsung teralihkan.

“Hm?” Balas Denan dengan bingung, Arvian yang melihat wajah Denan sontak terkekeh.

“Lucu banget sih” Bisik Arvian dan tentu saja Denan dapat mendengar hal itu. Semburat merah hinggap di pipinya dengan perlahan.

“Jangan bikin ga fokus” Arvian tersenyum tipis, ia mengangguk sembari mengusak lembut surai si manis.

“Iya, maaf~ kamu mau minum ga?” Denan melirik sejenak gelas yang tadinya terdapat segelas greentea namun ternyata kini sudah tandas.

“Boleh, aku ice americano ya” Arvian menatap Denan dengan serius, “Kamu yakin?” dan Denan hanya mengangguk.

“Udah makan nasi?”

Denan tersenyum tipis, “Udah. Gausah khawatir, gih pesen sana” Arvian yang percaya pun langsung menuruti perkataan Denan.

Bohong, Denan bohong pada Arvian. Dia belum makan nasi, makanan berat yang ia makan hanya saat makan siang itu pun hanya sedikit. Kenapa Denan berbohong? Simpel saja, dia saat ini benar-benar ingin meminum es kopi pahit itu.

Denan menghela nafasnya sejenak kemudian melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda.

Sebenarnya, malam ini Denan cukup lelah. Ia merasa ingin langsung bersantai di kamarnya, mendengarkan lagu-lagu yang dapat menenangkan dirinya, atau menonton sesuatu yang membuat dirinya tertawa. Tapi itu semua hanya sekedar keinginan. Pasalnya, Denan makin lama makin merasa tidak nyaman di rumahnya. Harusnya kamarnya itu pengecualian, tapi karena sang papa selalu mengusiknya ia jadi merasa tidak tenang.

Jadi, Denan semakin sering menghabiskan waktu di luar rumahnya. Entah itu ke rumah kedua sahabatnya, melakukan study date seperti sekarang dengan Arvian, berjalan-jalan tanpa tujuan, atau menemani sang mama di makam nya.

Entahlah, Denan merasa kegiatannya di luar rumah lebih membuat dirinya nyaman di bandingkan saat ia pulang ke rumahnya.

“Denan!” Kesadaran Denan sontak kembali setelah terlalu lama menyelam dengan catatan materi sekolahnya.

Mata rubahnya menatap Arvian dengan bingung, “Kenapa, Arvi?” raut khawatir langsung muncul di wajah Arvian. Ia menaruh dua minuman yang baru saja ia pesan di meja, kemudian ia bawa tangan kanannya untuk memegang dahi Denan.

Denan semakin bingung.

“Kenapa?”

“Kamu ga sakit” Gumam Arvian setelah memastikan suhu tubuh Denan.

Si manis yang sadar akan apa yang Arvian lakukan langsung menerbitkan senyum tipisnya, tangan yang memegang dahinya ia bawa untuk menangkup pipinya sembari ia genggam tangan itu. Arvian terdiam sejenak, namun saat melihat wajah Denan yang menjadi damai, senyum nya pun tak bisa ia tutupi.

“Kamu ga capek berdiri kan?” Ujar Denan masih dengan mata yang tertutup.

“Engga. Kalo kamu nyaman begini, satu jam pun aku ga bakal protes” Denan terkekeh pelan, tangannya yang menggenggam tangan Arvian semakin di eratkan.

“Makasih buat kehangatannya” Ujar Denan dengan pelan.

Arvian hanya diam, menatap wajah Denan yang sangat rileks dengan mata tertutupnya. Jarang sekali ia melihat Denan yang begini. Dalam otaknya berbagai pertanyaan pun muncul, apa yang terjadi dengan kekasih manisnya? Mengapa selama dua bulan ini, ia perhatikan kekasihnya selalu terlihat lelah? Apakah Denan memiliki masalah yang berat?

Jujur saja, Arvian merasa gatal ingin bertanya akan itu semua pada Denan. Tapi melihat sang kekasih yang selalu diam dan tidak berniat bercerita, ia menjadi mengurungkan keinginannya. Tak apa, ia akan diam. Ia akan menunggu sampai Denan sendiri bercerita padanya. Semoga saat itu akan ada masanya.

Hingga tanpa ia sadari, genggaman tangan Denan sudah terlepas. Mata Arvian sontak menatap Denan dengan bingung, “Gapapa?” Denan tersenyum tipis lalu mengangguk.

“Iya, gapapa. Kamu duduk di kursi gih” Arvian diam sejenak lalu duduk di kursinya.

Kini Denan langsung memfokuskan dirinya pada pelajaran kembali. Sedangkan Arvian hanya diam, memperhatikan pemuda manis itu. Sembari memikirkan banyak hal. Tiba-tiba terbesitlah pikiran tentang bagaimana jika suatu hari nanti ada seseorang yang membuat sosok gelapnya muncul kembali. Apakah dirinya lagi-lagi akan membohongi si manis? Atau bahkan ia akan membuat Denan merasakan sakit yang sulit di jelaskan?

Entahlah, Arvian juga tidak tahu. Namun yang pasti, dia akan berusaha untuk menjadi sosok yang baik pada Denan dan memastikan hari buruk itu tidak akan terjadi.

Semoga.

Drrt

Getaran dari ponsel Denan membuat fokus keduanya terpecah, Sang pemilik handphone pun tanpa banyak bicara langsung mengangkat telponnya.

Arvian pun memilih diam, memperhatikan Denan yang tengah berbicara entah dengan siapa.

“Kenapa?” Tanya Denan pada orang yang ada di seberang telpon tersebut.

“Hm” Arvian sedikit mengernyit tat kala mendengar nada bicara Denan yang berubah.

Seperti bukan Denan yang biasa, pikirnya.

“Iya” Dapat dilihat bahwa Denan tengah menahan emosinya dan Arvian semakin di buat penasaran.

Kacamata yang bertengger sedari tadi pun akhirnya Denan lepaskan, pemuda manis itu bahkan menaruh kacamatanya dengan gerakan menyentak. Bahkan membuat Arvian sedikit terkejut.

Stop it, gue pulang sekarang. Puas?” Walaupun suara Denan sangat pelan tapi Arvian dapat merasakan ada penekanan amarah di suara itu.

“Ya” Ujar Denan lalu menutup panggilan tersebut, ia menaruh ponselnya di meja kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Arvian meneguk ludahnya, kini ia di landa rasa takut untuk bertanya pada Denan. Hingga ketika ia ingin membuka mulutnya, Denan malah mengusak wajah dan surainya dengan kasar.

Raut lelah pun langsung terlihat ketika Denan menyingkirkan kedua telapak tangannya dari wajahnya itu.

“Arvi, aku harus pulang sekarang” Arvian sontak mengangguk dengan canggung.

“I—iya, ayo. Aku anter kamu pulang”

Kemudian mereka pun membereskan barang-barang mereka lalu pergi meninggalkan cafe tersebut.


“Makasih ya” Ujar Denan dengan lembut sembari mengembalikan helm pada Arvian.

Sang dominan hanya tersenyum tipis, ia menerima helm yang baru saja Denan berikan lalu mengusak lembut surai si manis dengan tangannya yang lain.

“Abis cuci muka langsung istirahat, oke?” Denan mengangguk pelan.

Keduanya bertatapan sejenak hingga Arvian dengan tiba-tiba melebarkan kedua tangannya. Seperti meminta Denan untuk memeluk dirinya. Sang submisif yang paham pun langsung masuk kedalam pelukan hangat Arvian.

Pelukan erat, elusan lembut di punggung, juga suara detak jantung yang menenangkan, membuat Denan merasa sedikit lebih baik. Ia memejamkan matanya sejenak, namun ketika ia tengah menikmati hal itu ponsel yang ada di kantong celananya bergetar.

Mau tak mau, dirinya harus melepaskan pelukan Arvian. “Maaf karena gabisa lama dan makasih banyak buat hari ini, Arvian”

Arvian tersenyum saat mendengar hal itu lalu mengangguk, “Sama-sama, sayang. Jadi... sampai ketemu besok?” ujarnya dan langsung membuat Denan terkekeh.

“Iya. Sampai ketemu besok, pacarnya Denan”

Begitulah salam perpisahan mereka, setelah memastikan Arvian sudah hilang dari pandangannya, kaki Denan dengan berat pun melangkah masuk kedalam rumahnya.

Walau perasaan kacau kembali mendominasi, setidaknya pelukan yang Arvian berikan tadi membuat dirinya memiliki alasan untuk tersenyum sebelum terlelap tidur.

Makasih, Arvian. Makasih karena selalu menyelamatkan hari-hari seorang Denan dari kesengsaraan.

“BANG DENAN!!”

Denan yang tengah melamun pun langsung tersentak, ia langsung menolehkan kepalanya ke asal suara. Kemudian saat netra nya mendapati sosok sahabatnya yang sedari berlari kearahnya, seutas senyum tipis pun terbit.

Grep!!

Pelukan erat langsung Denan dapat tat kala sahabatnya berada di hadapannya, dirinya bahkan hampir jatuh dari kursi yang ia duduki karena menerima pelukan itu. Untung saja, Marcello menahan tubuh Denan agar tidak jatuh.

Denan yang merasakan pelukan semakin mengerat, langsung saja ia balas pelukan itu. Wajahnya ia sembunyikan di bahu tegap Marcello, lalu menghirup dengan perlahan aroma parfum sahabatnya, yang entah mengapa membuat dirinya merasa tenang.

“Kalo mau nangis, nangis aja. Jangan di tahan, bang Denan” Suara kekehan pun terdengar dengan jelas di telinga Marcello.

“Gue udah capek nangis, Cell. Gue cuman butuh di peluk aja” intonasi pelan yang jarang Marcello dengar itu langsung membuat dadanya sesak.

10 menit berlalu. Kini keduanya sudah duduk bersebelahan, dengan Denan yang menyandarkan kepalanya di bahu yang lebih muda. Mata mereka menatap hamparan rumput yang tengah bergerak karena terkena angin.

“Perih ga, bang?”

“Apanya?”

“Bekas tamparannya”

Denan terdiam sejenak, kemudian menghela nafas sebelum menjawab, “Jujur, di banding perih... gue lebih ngerasa sesek di dada, Cell”

“Aneh ya?” Sambung Denan.

Marcello hanya diam, kemudian tangannya bergerak untuk menegakkan kepala Denan, wajah si manis di hadapkan pada dirinya, lalu meneliti ruam merah yang ada di pipi kanan Denan.

“Gue obatin dulu, lo diem ya, bang” Denan hanya mengangguk pelan.

Sembari menunggu dirinya yang tengah di obati oleh Marcello, Denan hanya diam memperhatikan raut wajah serius sahabatnya itu. Melihat bagaimana se-perhatian nya Marcello pada dirinya, membuat Denan merasa sedikit bahagia.

Bahagia karena di dunia ini ia masih memiliki orang-orang yang sayang padanya dengan tulus.

“Makasih, Cell”

“Gue belum selesai ngobatin lo tau”

Denan terkekeh pelan, “Bukan itu maksud gue”

Marcello menatapnya dengan bingung, “Terus buat apa?”

Denan diam sejenak, menatap mata sahabatnya dengan serius lalu ia berikan senyum manis pada pemuda itu.

“Makasih karena lo dan Hazlen selalu ada dan sayang sama gue”

Marcello terhenyak sebentar, kemudian saat sadar akan maksudnya, ia menampilkan senyum tipisnya.

My pleasure, lo harus tau, bang. Kalo lo itu pantes dapet semua itu dari gue sama bang kacang”

Iya, karena itu gue bersyukur kalian hadir di dalam hidup gue.

tw // violence

Denan menatap dirinya yang tengah basah kuyup sejenak, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, memastikan bahwa tidak ada Carla disini. Setelah berdecak pelan, ia langsung berlari menuju rumahnya.

Dalam hatinya Denan terus berdoa untuk sang adik, agar dia baik-baik saja.

Raka berlari menerobos hujan, dengan pikiran yang kalut karena tidak menemukan Carla, hingga beberapa kali ia hampir tertabrak oleh motor, untung saja ia sempat menghindar.

Hingga tak lama, dia berada di depan pintu rumahnya. Dirinya menarik nafas sejenak kemudian mengetuk pintu rumahnya itu.

Ceklek

Pintu terbuka dan pemandangan yang Denan lihat langsung membuat dirinya terdiam mematung. Disana, di ruang tamu terdapat Carla yang tengah di peluk Mama nya.

Kenapa? Kenapa Carla ada di rumah? Sejak kapan perempuan itu sampai?

Kini Denan beralih menatap sang Papa, meminta sebuah penjelasan. Namun, yang ia dapati hanya tatapan tajam dan raut murka dari pria paruh baya itu.

“Papa—”

“Habis darimana kamu?!”

Bentakan itu membuat Denan secara reflek menutup pintu utama lalu berdiri di hadapan sang Papa dengan tegap. Walau tubuhnya sudah menggigil akibat baju nya yang basah.

“Aku habis nyari Carla” Ujar Denan dengan suara yang menahan gemetar.

Ini pertama kalinya, ia mendapat perlakuan seperti ini dari sang Papa. Terkejut? Sangat.

“Carla daritadi di rumah sendiri, kamu nyari dia gimana hah?! Alasan kamu saja, pasti kamu habis main kan?” Denan menatap Papa nya dengan pandangan tidak percaya.

“Alasan? Kenapa Papa bisa langsung nuduh aku gitu?! Kalaupun aku main, aku ga akan milih buat hujan-hujanan kaya orang bodoh gini!” Suara Denan tanpa sadar meninggi dan langsung membuat sang kepala keluarga menjadi emosi.

Plak!

Suara tamparan yang keras langsung bergema dalam rumah tersebut. Kedua perempuan yang sedari tadi menyimak pun langsung berdiri dan menatap dengan tidak percaya.

Denan memegang pipi nya yang baru saja di tampar itu. Panas, satu kata yang dapat mendeskripsikan tamparan itu.

Apa ini? Kenapa dirinya di tampar? Apa salahnya? Pikiran Denan yang dari awal kalut menjadi bertambah kacau.

“Papa ga pernah ngajarin kamu buat jadi anak pembohong seperti ini, Denan” Ucapan itu di suarakan dengan tegas dan menggelegar, sama seperti bunyi petir di luar rumahnya.

“Kenapa Papa jadi lebih sering nuduh aku?” Ujar Denan masih dengan kepala yang menunduk dan tangan yang memegang pipi kanannya.

“Papa ga nuduh kamu, faktanya memang begitu kan? Harusnya papa yang tanya, kenapa kamu berubah jadi seperti ini, Denan?!”

“AKU BERUBAH DALAM HAL APA, PA?!” Wajah Denan kini terangkat, ia memberikan tatapan tajamnya pada sang papa.

Suara kencang Denan, kondisi wajah Denan, membuat semua anggota keluarganya terdiam.

“Papa yang harusnya nanya hal itu ke diri papa sendiri, kenapa papa berubah? Karena Denan ngerasa, Papa yang sekarang bukan papa yang dulu sayang sama Denan, Papa yang ga pernah nuduh Denan, dan Papa yang ga pelupa” Air mata Denan dengan perlahan jatuh, membasahi pipi yang merah bekas tamparan itu.

Hening sejenak. Hanya terdapat suara petir dan hujan deras yang meramaikan rumah itu.

“Mas, tenang. Jangan asal marah gini, kita belum denger penjelasan dari Denan” Istri dari sang kepala keluarga mulai mendekat untuk menenangkan.

Denan menatap wanita itu sejenak kemudian menatap sang adik, disana ia melihat adiknya masih diam membisu, lalu Denan pun tertawa.

“Kakak kira kamu gatau jalan pulang, Carla. Jadi kakak nyariin kamu sampe ujan-ujanan gini” Semua orang disana langsung menatap Denan dengan terkejut.

“Maafin kakak yang gabisa jemput kamu tepat waktu ya?” Senyuman kecil Denan berikan pada Carla.

Mata Denan kini beralih kearah Papa nya, lalu memberikan senyuman juga.

“Makasih buat tamparannya, Pa. Denan bakal selalu ingat sama hari ini” Ujarnya dengan enteng.

Kini matanya beralih untuk menatap sang mama, “Maaf ya, Ma. Denan malah bikin ricuh gini, lain kali Denan bakal lebih dewasa buat menyikapi masalah kaya gini. Sekarang mama sama papa istirahat, aku juga mau istirahat soalnya capek” Senyum tipis ia berikan pada kedua orangtuanya.

Kemudian kakinya pun ia bawa melangkah ke kamarnya, namun sebelum ia masuk ke dalam kamarnya, ia berujar sesuatu yang membuat sang kepala keluarga di landa rasa bersalah.

“Besok kalian gausah ke makam mama aku ya, biar aku aja. Takut kalian masih capek. Tenang aja, aku bakal sampein salam kalian ke mama aku kok. Good night, semua”*

BRAK!

Pintu kamarnya ia banting dengan kencang, membuat semua orang di rumah itu terkejut dan membisu.

Denan bersandar di pintu kamarnya, lalu dengan perlahan ia luruh terduduk. Tangannya dengan bergetar menyentuh bekas tamparan sang Papa lalu air matanya pun turun dengan deras, seperti hujan yang ada di luar.

“Mama, sakit. Sakit” Ucapnya di tengah isakan tangisnya.

Mama, Denan salah apa sama mereka?

Kenapa Papa berubah, Ma?

Mama, Denan capek. Capek banget.

Maaf, maaf, maaf. Maaf kalo Denan salah, Ma.

Malam itu di tengah derasnya hujan dan sunyinya kamarnya, terdapat Denan yang tengah menumpahkan tangis yang selalu ia tahan. Denan mengeluarkan segala rasa lelah, marah, kesal, sedih dan kecewa nya malam itu.

Tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang mendengar tangisnya dan tanpa seseorang yang dapat memberikan pelukan dan kata penenang.

Hanya satu orang yang selalu ia sebut di sela tangisnya untuk membuatnya tetap sadar akan sekitar, yaitu Mama. Mama kandungnya, Mama yang selalu ia sayangi dan Mama yang selalu membuat dirinya rindu.

Mama, Denan kangen.

Denan dengan cemas, secara terus menerus melirik ponselnya kemudian jalanan sekitar. Tanpa sadar, kebiasaan buruknya saat cemas pun muncul, yaitu menggigit ujung kukunya. Hingga ia pun sadar saat setetes darah muncul dari ibu jari kanannya.

“Sstt” Desis nya sembari mengusap darah tersebut, ia terlalu fokus membersihkan luka nya, sampai tidak sadar sang kekasih sudah sampai dan jongkok di depannya.

“Kenapa bisa gini, den?” Suara seseorang yang ia tunggu sedari tadi pun terdengar, juga sebuah tangan lain muncul untuk mengusap bekas lukanya.

Kepala Denan terangkat, wajah Arvian yang tengah serius mengusap luka jari nya pun langsung terpampang jelas.

“Kamu apain, hm?” Tanya Arvian dengan lembut sambil menatap Denan, yang dimana tatapan itu entah mengapa membuat Denan merasa ingin menangis.

“Sakit ga?” Dan Denan memilih untuk mengangguk pelan. Hembusan nafas langsung keluar dari Arvian.

“Nanti kita obatin di uks, sekarang kita berangkat ke sekolah ya?”

Arvian mulai berdiri dari jongkoknya lalu membantu Denan untuk berdiri dari duduknya, ia pun memakaikan helm milik Jordan pada kepala Denan dengan lembut.

Denan hanya diam, ia menerima semua perlakuan yang Arvian lakukan padanya. Setelah selesai memakai helm, keduanya pun naik keatas motor dan Arvian mulai menyalakan mesin motornya.

Namun sebelum ia melajukan motornya, perlakuan Denan yang terkesan tiba-tiba membuat dirinya mematung sejenak.

Apa yang Denan lakukan?

Denan memeluk pinggang Arvian dengan erat kemudian menaruh kepalanya pada bahu tegap Arvian.

Menerima perlakuan itu, tentu saja Arvian merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Tapi ia cukup paham, bahwa kekasihnya ini sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, ia harus segera melajukan motornya.

Denan, kenapa?


Ketika tau lokasi sang kekasih, Arvian langsung saja berlari menuju taman yang Denan sebut. Di tangan kanannya terdapat sebuah susu kotak untuk kekasihnya itu.

Matanya berpendar mencari pemuda manis kala dirinya sudah berada di taman belakang. Kemudian beberapa saat setelah mencari, matanya pun melihat punggung sempit yang tak asing berada di dekat pohon besar disana.

Kaki Arvian pun dengan santai mulai mendekati Denan, tangannya terulur untuk memberikan susu kotak di sebelah wajah Denan.

“Nih, kamu belum ngisi perut kamu kan dari tadi?” Denan menatap Arvian sejenak lalu mengambil susu kotak itu.

“Makasih, Arvi” Arvian pun hanya mengangguk sambil mengambil duduk di sebelah Denan.

Hening melanda keduanya. Tidak ada yang berniat bersuara. Mereka memilih menikmati keheningan yang ada di antara keduanya. Hingga setelah susu kotak Denan tandas, Arvian baru berani untuk menatap kekasihnya.

“Kamu kenapa, Den?”

Akhirnya, Arvian berani bertanya.

“Cuman lagi capek aja, Arvi” Ujar Denan dengan pelan, matanya ia pejamkan sejenak dan Arvian memperhatikan dengan seksama apa yang Denan lakukan.

Sampai ketika raut Denan mulai berubah, dengan reflek nya ia berujar, “Kamu bisa bersandar di bahu aku kalo capek banget”

Denan menoleh kearah Arvian, lalu senyuman teduh terbit di bibir Denan. “Boleh?” Arvian hanya bisa mengangguk patah-patah.

Puk!

Denan kini sedang menyamankan kepalanya yang tengah bersandar di bahu lebar Arvian. Sedangkan sang pemilik bahu tengah di landa kebingungan dengan dirinya sendiri.

“Makasih, Arvi” Suara lembut dari Denan membuat degup jantung Arvian langsung berdegup kencang.

“I—iya, sama-sama...” jawab Arvian dan Denan hanya bisa tersenyum sembari memejamkan matanya.

Di tengah keheningan antara mereka, Arvian dengan perlahan memberanikan diri untuk merangkul Denan.

Setelah nyaman dengan rangkulannya, Arvian pun kini menyandarkan kepalanya diatas kepala Denan.

“Arvi”

“Hm?”

“Rasanya damai dan tenang ya kalo cuman ada kita berdua?”

Arvian diam-diam tersenyum saat mendengar hal itu, entah mengapa rasanya ia senang saat Denan berucap seperti itu.

“Seandainya kalo udah lulus sma, kamu mau pergi ga dari sini?”

“Aku mau”

“Buat selamanya, mau?”

Arvian sontak mengernyit bingung, “Maksud kamu?”

Denan diam sejenak lalu berujar, “Aku mau kita berdua, pergi dari kota ini terus buat rumah yang tenang dan nyaman di kota lain”

Arvian semakin mengeratkan rangkulannya, “Kamu mau, kita buat rumah di kota lain yang isinya cuman aku sama kamu?”

“Iya”

“Kenapa? Kamu ga suka sama rumah kamu di kota ini?”

“Bukan ga suka”

“Terus?”

“Aku cuman ngerasa... asing. Rumah ku sekarang rasanya beda sama yang dulu” Kalimat terakhir Denan di ucapkan dengan pelan.

“Ada yang salah dari rumah itu?”

Denan menggeleng pelan, “Bukan salah, tapi berubah aja. Aku ngerasa setiap pulang ke rumah itu, aku cuman orang asing yang numpang tinggal”

“Kenapa tiba-tiba ngerasa gitu?”

Denan tersenyum kecil, “Akhir-akhir ini ucapan dari keluarga ku selalu mereka ingkarin,” Denan diam sejenak untuk mengambil nafas.

“Dan aku ga suka sama orang yang selalu ingkar dengan ucapannya. Ngga, bukan ga suka— aku benci orang yang kaya gitu”

Deg!

Denan mengangkat wajahnya untuk menatap Arvian yang tanpa ia sadari, pemuda itu tengah menahan rasa gugup.

“Cuman kamu dan sahabat aku yang aku percaya, kalo kalian ga akan ingkar sama ucapan kalian. Aku bisa buat selalu percaya sama kamu kan, Arvi?”

Deg Deg Deg!

Melihat binar polos dari mata Denan membuat dada Arvian terasa sakit. Dalam hatinya, ia terus merutuki dirinya sendiri. Hingga, yang hanya bisa ia lakukan adalah tersenyum dan memberikan anggukan pelan.

Pemuda manis itu pun turut tersenyum, “Aku percaya sama kamu, Arvi”

Arvian menghilangkan senyumannya saat Denan memeluk dirinya dengar erat. Tangannya membalas pelukan itu dengan erat juga memberikan usapan lembut pada punggung Denan.

Aku seharusnya ga kamu percaya, Den. Tapi aku gabisa bohong kalo aku ngerasa bahagia waktu kamu bilang percaya sama aku. Maaf, aku bakal mencoba berubah buat kamu. Maaf, sayang.

Kini Denan tengah berjalan menuju meja para sahabatnya, setelah menyapa beberapa tamu mewakilkan sang Papa yang tengah bersiap dengan acara selanjutnya.

“Halo” Sapa Denan pada dua meja yang berisi dua keluarga sahabatnya.

“Ya ampun, sayang! Mami udah lama ga liat kamu, sekarang rambutnya jadi warna silver! Makin manis aja, aduh!” Senyum Denan sontak muncul kala mendengar suara yang sudah lama tak ia dengar. Suara itu berasal dari wanita yang sudah berkepala tiga namun masih terlihat cantik dan modis.

“Mami sibuk mulu sih, jadi kita jarang ketemu. Iya, hehehe. Bagus ya? Tapi ini warnanya bakal langsung luntur kalo aku keramas” Respon yang Denan berikan terkesan sangat ramah dan lembut.

“Tapi ya, sis. Denan itu bagusnya kalo rambut alami, makin keliatan aura ganteng nya” Kini Bunda dari Hazlen ikut bersuara.

“Ngga-ngga, sis. Denan itu mukanya manis, jadi cocok banget kalo rambutnya di warna gini. Coba, sayang. Besok di ganti warna blonde gitu”

“Jangan, Denan. Dengerin kata bunda, kamu itu ganteng kalo rambutnya ga di aneh-aneh in”

Denan yang berada di tengah-tengah mereka hanya memilih tertawa, begitupun anggota keluarga lain yang ada di meja tersebut.

“Bunda, udah udah. Denan nya jadi bingung itu” Ayah dari Hazlen pun bersuara sembari menepuk bahu istrinya.

“Nah, Honey. Tenang, oke?” Papi Marcell pun ikut menenangkan istrinya.

“Makasih buat masukannya ya, mami dan bunda. Nanti coba Denan pikirin setelah Denan lulus, rambutnya mau di apain” Ucap Denan masih dengan senyumannya.

“Botak aja, Den. Kayanya bakal tetep cocok di kamu”

“Bang, Glen! Gila saran lo! Mana ada, Denan jangan botak!”

Baiklah, kini sepertinya yang akan berdebat adalah Hazlen dan kakaknya. Denan hanya bisa tertawa melihat kelakuan dua keluarganya yang lain. Jujur saja, kedatangan mereka sangat membuat diri Denan merasa bahagia dan tenang.

Hingga tak lama ada seseorang yang menggandeng lengan kanannya dengan erat. Kepalanya ia tolehkan dan saat melihat sosok adiknya, Denan pun sontak tersenyum tipis.

“Kak, ini keluarga dari sahabat kakak?” Bisik Carla dan Denan hanya mengangguk pelan.

“Semuanya, perkenalkan. Dia adik baru Denan, Carla namanya” Ujar Denan pada dua keluarga sahabatnya.

“Halo, anak cantik. Saya Mami dari Marcello, salam kenal ya?”

Carla langsung tersenyum manis lalu mengangguk, “Halo juga, tante cantik. Salam kenal juga!” Responnya yang nampak menggemaskan membuat berbagai macam respon pada kedua meja tersebut.

“Salam kenal, Carla. Saya bunda dari Hazlen, semoga kamu dengan Denan bisa jadi saudara yang baik ya?” Suara Bunda Hazlen yang lembut membuat kedua saudara tiri itu tersenyum.

“Iya, tante. Salam kenal dan tentu aja, aku sama kak denan bakal jadi saudara yang baik!” Semua orang disana saat mendengar pekikan Carla yang lucu langsung tertawa.

Hingga setelah mengobrol beberapa saat, Carla dan Denan pun pamit karena sudah saatnya mereka bersiap untuk berganti pakaian. Saat jalan menuju ruang ganti, Carla pun memulai obrolan antara keduanya.

“Jadi, diantara cowo di meja tadi ada pacar kak denan?” Denan menggeleng pelan.

“Mereka cuman keluarga dari sahabat gue. Pacar gue ya? Hmm—” Denan melirik jam yang ada di pergelangan tangannya sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.

“Lima menit lagi paling sampe. Lo ganti baju aja dulu, nanti kalo udah selesai ganti kan jadi bisa gantiin gue buat ngobrol sama dia” Carla pun memilih mengikuti ucapan sang kakak.

“Tapi gue kayanya agak lama deh, kak” Denan hanya terkekeh.

“Ya makanya mulai dari sekarang, biar ga lama” Ucap Denan sembari mendorong masuk Carla ke ruang ganti.

“Jangan disuruh pulang dulu loh, kak! Gue pengen liat pacar lo soalnya”

“Iya, Carla”


“Hai, sayang!”

Denan langsung tersenyum lebar kala melihat sang kekasih yang berlari kecil kearahnya.

“Hai”

Sebuah pelukan erat pun Arvian berikan saat sudah berada di dekat Denan. Si manis pun memilih menikmati pelukan itu sejenak kemudian melepaskan pelukan tersebut.

“Maaf, aku ga telat kan?” Denan menggelengkan kepalanya.

“Ga telat kok” Ujarnya dengan senyum yang melekat di bibirnya, juga tangan lembutnya yang bergerak merapihkan tatanan rambut Arvian yang sempat berantakan.

“Kamu mau makan sesuatu dulu?” Arvian menggenggam tangan Denan dengan lembut, mengecup punggung tangannya sekilas, kemudian mengangguk.

“Terserah kamu, sayang”

Jangan di tanya bagaimana keadaan Denan saat ini, tentu saja sangat tidak karuan.

“Uh, uhm—Kamu sendiri?” Denan mencoba menutupi rasa salah tingkahnya dengan mengobrol hal lain.

“Aku sama Papah ku, kebetulan dia kenal sama Papa kamu” Denan pun mengangguk.

Sekarang mereka tengah berjalan sembari menggenggam tangan menuju meja Arvian.

“Aku ambilin makan nya dulu ya?” Arvian pun hanya mengangguk dan Denan bergerak mengambil makanan untuk sang kekasih. Setelah itu ia kembali ke meja Arvian dan menemani pemuda itu memakan makanan yang ia ambil tadi.

Lima belas menit tak terasa berlalu dengan cepat, mereka benar-benar menghabiskan waktu mengobrol berdua saja di meja itu, di tengah ramainya suara para tamu.

“Tapi, Den. Kamu beneran cocok banget sama warna yang terang gini”

Denan terkekeh pelan, ia hanya memilih mengangguk saja. “Yayaya, terserah kamu aja. Dasar tukang gombal—Eh! Astaga, itu hazlen kenapa muncul di depan tiba-tiba” Mata mereka pun beralih untuk menatap Hazlen yang sudah siap untuk menyanyikan sesuatu.

“Papa kamu keliatan ga sabar tuh sama apa yang Hazlen lakuin” Denan hanya tertawa sambil terus memperhatikan kelakuan sahabatnya.

Arvian menatap raut wajah Denan yang nampak berseri dan bahagia itu sejenak, senyum nya kembali muncul, kemudian dia memilih ikut menikmati suara Hazlen sembari menyandarkan kepalanya di bahu Denan.

“Ya! Sekian dari saya, semoga suara dan lagu yang saya bawakan tadi membuat kalian semua terhibur. Terimakasih dan saya sekali lagi ucapkan pada Tuan dan Nyonya Askala, selamat atas pernikahan kalian!”

Suara tepuk tangan juga sorakan meriah menjadi pengantar Hazlen yang turun dari panggung. Mungkin karena terlalu bangga dengan diri sendiri, ia sampai tidak sadar bahwa dirinya melewatkan anak tangga terakhir yang hampir saja membuat dirinya jatuh di hadapan banyak orang.

Sontak Denan yang melihat itu langsung tertawa sambil menepuk tangannya, sedangkan Arvian memilih tersenyum kecil.

“Nak”

Kepala Arvian yang tadinya bersandar di bahu Denan pun langsung terangkat, kemudian menoleh kearah Papah nya yang sudah berdiri di sebelahnya.

“Pulang sekarang, yuk? Mamah udah minta kita jemput dia” Arvian pun sontak berdiri dan Denan mengalihkan pandangan nya kearah dua orang itu.

“Oke, Pah. Duluan aja ke mobil nanti aku nyusul” Pria paruh baya itu pun mengangguk kemudian memberikan senyum tipis nya pada Denan dan tentu saja di balas dengan baik oleh si manis.

“Aku pulang dulu ya, sayang?”

Denan hanya mengangguk, “Makasih udah nyempetin dateng”

“Terimakasih kembali. Setelah acara, langsung istirahat oke?” Denan tersenyum kecil lalu menjawab, “Oke”.

Cup!

Puncak kepala Denan, Arvian kecup sekilas.

“Hati-hati, Arvi”

“Bye, sayang!”

Aduh, Arvian. Makasih buat kupu-kupu yang ada di perut gue ini beterbangan seharian ini.

Setelah menikmati makan malam buatan Denan, kini mereka bertiga berada di halaman belakang rumah Denan. Duduk diatas rumput dengan beralaskan kain lebar saja dan di temani tiga kaleng soda.

Udara malam ini terasa sangat sejuk dan bukannya merasa kedinginan, mereka bertiga malah merasa biasa saja. Mata mereka menatap langit malam yang sangat indah, bulan berbentuk sabit, juga beberapa bintang yang bersinar cantik.

Mereka sangat menikmati waktu saat ini.

Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Hingga Denan merasa mereka harus mengobrol sesuatu, karena jika diam saja, ia takut kedua sahabatnya terlalu larut dalam pikiran mereka.

“Ehem”

Deheman Denan membuat Hazlen dan Marcell menoleh kearahnya.

“Kenapa? Mau sesuatu?”

Denan menggeleng, “Gue cuman mau nanya, kalian gapapa kan?”

Hazlen menghela nafasnya dengan pelan, tangannya pun beralih untuk membuka kaleng soda lalu menegak minuman itu.

Sedangkan Marcell memilih untuk menyandarkan kepalanya pada bahu sempit Denan.

“Gue gapapa sih, bang. Mami sama Papi gue juga baik” Jawab Marcell sembari menyamankan kepalanya di bahu Denan.

” Bagus kalo gitu” Ujar Denan dengan pelan.

“Gue juga gapapa, Bunda gapapa terus Ayah gue kebetulan baru balik dinas dan dia gapapa. Oh, Abang gue juga oke, cuman lagi stres aja mikirin tugas kuliah”

Denan terkekeh pelan lalu menganggukkan kepalanya.

“Oke, makasih buat laporan keadaan keluarga kalian”

Lalu hening sejenak dan kini Hazlen membuka suara,

“Gimana kalo lo, Den?”

Denan menoleh kearah Hazlen, “Hm?”

“Keadaan lo, keluarga lo, itu gimana?”

Mendengar hal itu, semuanya sontak terdiam. Marcell yang melihat reaksi Denan pun langsung melirik kearah Hazlen.

Tak lama, Denan pun menjawab pertanyaan Hazlen.

“Gue gamau bohong, jadi jawabannya.... Ngga, gue dan keluarga gue ga baik-baik aja” Kalimat yang Denan lontarkan dengan santai membuat Hazlen juga Marcell sedikit terkejut. Namun mereka mencoba menutup rasa terkejut itu.

“Denan” Panggilan Hazlen membuat Denan menatap langsung mata pemuda tan itu. Kedua matanya beradu dan tak lama sepasang jelaga cantik milik Denan pun menampakkan kaca bening yang sebentar lagi akan berubah menjadi sebuah air mata.

Marcell yang merasakan bahu Denan mulai bergetar langsung mengangkat kepalanya, kemudian ia dekap sahabat kesayangannya itu dengan erat.

Tangis Denan dengan perlahan turun, membasahi bahu Marcell. Tidak ada yang mengeluarkan suara, Hazlen dan Marcell hanya diam, memberikan tepukan lembut di bahu juga elusan penenang pada punggung Denan.

“Sesak, Cell. Sesak” Ucap Denan dengan suara yang serak karena dirinya tengah menahan sesuatu yang menyesakkan.

“Iya, bang Den. Gapapa, keluarin semuanya” Bisikan Marcell semakin membuat Denan meneteskan air matanya.

Mata Marcell dibawah kearah Hazlen, keduanya bertatapan, pada tatapan itu Marcell seakan memberikan pesan pada Hazlen bahwa dirinya juga merasa sakit melihat Denan yang menangis.

Hazlen mengambil nafas pelan, “Den... Jangan di tahan, nanti nambah sesak” Hanya kalimat itu yang dapat ia berikan pada Denan.

“Gue cengeng ya, Len?”

“Ngga, Den. Lo ngga cengeng”

“Tapi cuman masalah kecil aja, gue sampe nangis gini”

“Nangis itu hal wajar yang terjadi pada manusia, Denan”

“Ga, ini gue yang salah, Len!” Seruan tertahan itu membuat Hazlen menarik bahu Denan hingga pelukan Denan dengan Marcell pun terlepas.

Hazlen memegang kedua pundak Denan dengan lembut, “Liat gue, Denan”

Kepala Denan yang tadi tertunduk pun langsung mengangkat perlahan. Hingga Hazlen pun dapat melihat, mata yang sedikit memerah karena penuh dengan air mata, Pipi yang basah juga bibir yang sedikit terbuka untuk membuang nafas berat, itu semua cukup membuat Hazlen merasa sakit.

“Kenapa, hm?” Ujar Hazlen dengan lembut sembari mengusap air mata yang mengalir di pipi Denan.

Marcell yang sedari tadi diam pun langsung beranjak dari sana untuk mengambilkan selimut. Agar Denan merasa hangat.

“Hazlen, gue kaya anak kecil ya?”

Hazlen tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya, “Ngga, Denan.”

“Iya, gue kaya anak kecil. Harusnya gue ga cengeng dan egois gini, harusnya gue ngertiin Papa yang sibuk ngurusin pernikahan dan ngeraih kebahagiaan baru nya” Lagi, air matanya turun.

“Len, gue.... gue harusnya ga gini” Kepala Denan lagi-lagi menunduk dan tak lama Marcell pun datang kemudian menyelimuti tubuh kecil Denan.

“Denan, lo bukan tipe yang bakal bohongin diri sendiri. Jadi, bilang ke gue. Apa yang lo rasain saat ini?”

“Bang Denan, kalo di depan kita jangan takut buat ungkapin apa yang lo rasain. Kita ga bakal hakimin lo atau apapun itu”

Ucapan kedua sahabatnya membuat Denan menoleh dan menatap sejenak wajah Marcell dan Hazlen. Hingga tak lama Denan menangis kembali, air matanya turun dengan deras, tangannya terkepal di dalam selimut dan suara isakan terdengar jelas diantara mereka.

“Gue takut, gue takut, Cell, Len” Suara itu keluar dengan pelan namun rasanya di telinga Marcell dan Hazlen, Denan seperti tengah berteriak.

“Papa sibuk, jarang ketemu gue—jarang ada waktu sama gue lagi. Takut, takut Papa bakal ninggalin gue” Ucapannya di lontarkan dengan susah payah karena menahan sesak yang semakin terasa.

Hazlen dan Marcell pun sampai saat ini hanya memilih diam, membiarkan Denan mengeluarkan semuanya yang ia pendam selama ini.

“Kemaren—Kemaren dan Kemaren, Papa selalu ga nunjukin perhatiannya kaya biasa. Selalu aja yang di dahuluin tante ayunika, carla, tante ayu—Hiks Gue nya kapan?! Gue juga mau... gue juga mau di perhatiin sama Papa kaya biasanya” Kepalan tangan Denan kian mengerat dan melihat hal itu, Marcell langsung mengusap punggung tangan Denan agar pemuda itu tenang.

“Setiap hari Papa pulang telat, atau bahkan ninggalin gue pagi-pagi buta. Tau rasanya gimana?” Mata Denan menatap kearah Hazlen.

“Len, rasanya sepi.... rasanya hampa... rasanya sesak. Perasaan itu sama kaya apa yang gue alamin tiga tahun lalu, waktu mama pergi pulang. RASANYA SAKIT, LEN. SAKIT!” Kepalan tangan kanan Denan mulai memukul dadanya, guna menghilangkan rasa sesak di dadanya.

Melihat hal itu, Hazlen langsung memeluk Denan dengan erat. Juga Marcell yang turut memberikan pelukan hangat untuk mereka bertiga.

“Sstt, tenang den. Tenang, lo ga sendiri. Ada kita. Makasih ya, makasih karena udah berhasil bertahan dengan nahan semua perasaan berat itu. Makasih, Denan. Lo ga cengeng, lo ga egois kok. Jadi jangan merasa kaya gitu lagi, ya?”

Denan hanya mengangguk pelan dalam pelukan itu. Tangisnya masih mengalir deras.

“Bang Denan. Jangan mikir hal jelek kaya gitu, lo wajar ngerasain itu semua. Bang, lo harus inget kalo lo berhak marah, lo berhak nangis dan lo berhak buat bahagia. Jangan larut dalam ketakutan sendirian, di sisi lo ada kita berdua, lo bisa bagi cerita atau apapun ke kita. bang, lo ga sendirian”

Lagi-lagi Denan menganggukkan kepalanya pelan dan tangisnya kian mereda.

“Makasih, makasih banyak” Ujar Denan dengan suara pelan.

“Cup cup cup, cukup ya nangis nya? Nanti mata lo bengkak kalo kebanyakan nangis” Denan menatap Hazlen lalu tertawa kecil.

“Ah, payah lo kacang! Bang Denan lagi enak-enak nangis masa langsung disuruh berhenti?!” Ujar Marcell dengan sewot dan mendapat delikan tak suka dadi Hazlen.

“Lah, hujan matanya Denan udah reda jadi gue bilang gitu. Lo tuh harusnya—Duh, lepasin dong pelukan lo ini! Sesak tau!”

Bukannya melepaskan pelukan itu, Marcell dengan jailnya mengeratkan pelukan mereka.

“Heh, bocah! uhuk! kasian si Denan kejepit ini!”

“Bang Denan ga komplen tuh!”

Denan yang melihat pertengkaran kedua sahabatnya hanya bisa tertawa kecil. Hazlen benar, air matanya kini sudah tidak turun lagi dan dadanya pun sudah tak merasa sakit lagi.

Perdebatan Hazlen dan Marcell masih belum selesai juga, begitu pula dengan pelukan yang mereka berikan pada Denan masih belum di lepas.

Hazlen dan Marcell yang melihat tawa Denan telah kembali langsung saling melirik satu sama lain. Dengan otomatis, senyuman keduanya pun terbit.

Kini semuanya malah terasa hangat.

Malam yang sangat indah.

Tuhan, terimakasih. Terimakasih banyak karena telah mengirimkan mereka berdua pada sisi Denan. Walaupun banyak rasa sakit yang terasa dan mungkin akan datang nantinya, bila mereka masih ada di sisi Denan.... Denan yakin, Denan tidak akan pernah berpikir menyerah untuk hidup di dunia ini. Tolong berikan banyak kebahagiaan kepada dua sahabat Denan ini, Tuhan. Sekali lagi, Terimakasih banyak.

Baguslah, langsung senyum lagi. Den, kedepannya semoga lo ga ngerasain sakit kaya hari ini lagi. Kalaupun di masa depan nanti malah banyak rasa sakit yang muncul ke lo... gue janji, gue janji buat selalu ada di samping lo.

Bang Denan, lo emang pantesnya banyak senyum dan ketawa. Bukannya nangis kaya tadi. Jadi, semoga di masa depan nanti banyak kebahagiaan yang datang ke lo. Please, jangan ada tangisan lagi. Soalnya gue ga sanggup liat lo nangis....

Arvian yang tengah fokus ke handphone nya saat mendengar suara kursi di sebelahnya, sontak menoleh. Senyum nya dengan reflek ia tunjukan pada sang pemilik bangku sebelahnya.

Yang diberi senyuman olehnya pun langsung membalas dengan senyum yang tak kalah manis.

“Pagi, sayang”

Sapaan manis Arvian berikan dan mendapat respon sebuah kekehan kecil dari yang di sapa.

“Pagi juga, pacarku”

“Deeenn”

Denan langsung tertawa lalu mengusap kepala Arvian dengan lembut, “Kamu duluan yang gombal, jadi gapapa dong kalo aku serang balik?” Ujarnya.

Arvian kini tengah terdiam, tanpa ia sadari degup jantungnya sudah berpacu dengan cepat, semua perlakuan yang Denan berikan padanya terlalu tiba-tiba. Jadi, dirinya seakan kaku untuk merespon itu semua.

“Arvi?”

“Eh? Ya?”

“Kenapa kaya orang linglung gitu?”

“O—oh, aku cu—cuman kaget. Iya, kaget”

Tawa Denan pun keluar, hal itu pula tak luput dari pandangan Arvian. Raut wajah yang nampak bahagia, manis dan lucu di waktu bersamaan juga jangan lupa, sinar matahari pagi yang menerpa wajah kekasihnya itu menambah kesan hangat.

“Kamu kenapa sih?”

Masih dengan tawanya, mata lucu itu menatap dirinya dengan binar kebahagiaan. Astaga, Arvian. Apa pukulan Hazlen kala itu membuat dirimu jatuh hati pada Denan?

Tapi jujur saja, melihat Denan yang tertawa karena dirinya.... itu membuat Arvian merasa bangga dan bahagia.

“Makasih, Arvi”

Ucapan Denan setelah tawanya mereda membuat kesadaran Arvian kembali. Matanya menatap bingung si manis.

“Kenapa bilang makasih?”

Denan hanya tersenyum kecil kemudian menggelengkan kepalanya. Kernyitan di dahi Arvian pun muncul.

“Bilang, Den. Makasih buat apa?”

Denan diam sejenak, lalu secara tiba-tiba ia mendekatkan bibirnya pada telinga Arvian kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Arvian merasakan perasaan yang sangat mendebarkan dan bahagia.

“Makasih karena buat pagi ku jadi lebih baik”

Astaga, Jika terus begini dia jadi merasa bersalah karena perbuatannya yang salah pada Denan.

Arvian menghela nafasnya saat sampai di area lapangan belakang sekolah. Keadaan lapangan tersebut memang sepi karena jarang ada orang yang kesini. Namun, walau keadaan nya sepi tapi rasanya di lapangan tersebut sangat penuh dengan tekanan yang membuat dada Arvian sesak.

Matanya pun ia bawa untuk menatap sosok sahabat dari kekasihnya yang berdiri di tengah lapangan. Berdiri dengan tegap, tangan yang menyilang di depan dada, juga jangan lupakan tatapannya yang tajam. Hingga ia pun beralih untuk menatap area tempat duduk dari semen di samping lapangan, disana pun ada sahabatnya juga sahabat yang lain dari kekasihnya.

“Oh~ berani juga temen lo itu, bang” Yang paling muda disana memulai percakapan diantara mereka.

Jordan yang duduk di sebelah Marcell hanya menghela nafas dan menatap Arvian dengan datar.

“Sorry, Vi. Gue gabisa bantu lo kali ini” Ujarnya dengan dingin dan mendapat balasan senyuman miring dari Arvian.

“Tch, gue juga ga butuh bantuan lo” Ucap Arvian dengan sombongnya.

Hazlen mengangkat satu alisnya saat mendengar ucapan Arvian, senyum tipisnya pun terbit dan kaki nya pun ia bawa untuk melangkah, mendekati Arvian.

“Jadi...”

Kini Hazlen tepat berada di hadapan Arvian, keduanya kini hanya berjarak satu langkah.

Mata Hazlen kini terlihat sangat menyeramkan namun tak membuat Arvian merasa gentar atau pun takut.

“Kesibukan apa yang lo lakuin kemaren sampe gabisa ngabarin sahabat gue?”

Arvian hanya tersenyum miring dan menatap remeh Hazlen, “Lo ga perlu tau, lagian lo—”

Bugh

Satu pukulan di perut yang tidak terlalu keras namun mampu membuat Arvian meringis pun Hazlen berikan.

“Gue cuman minta jawaban, bukan hal lain” Ucap Hazlen dengan tegas.

Arvian sedikit menundukkan tubuhnya, sembari memegang perut nya yang baru saja terkena pukulan, kemudian ia mencoba berdiri tegak kembali sambil membuang ludah kearah samping Hazlen.

“Lo gaada hak buat tau, Hazlen!”

Bugh!

Kali ini Hazlen memberikan tendangan pada tulang kering Arvian.

“Aww! Bang Jor, temen lo ampe jatoh itu! Tolongin!” Seruan mengejek Marcell lontarkan sembari menepuk pundak Jordan yang duduk di sebelahnya.

“Lemah” Gumam Jordan sembari menatap temannya itu.

Hazlen pun berjongkok di depan Arvian yang tengah meringis kesakitan lalu mencengkram kerah seragam pemuda itu dengan erat.

“Dengerin gue, Arvian”

Mata yang biasanya memberikan tatapan lembut pada Denan kini memberikan tatapan tajam pada kekasih Denan.

“Gue emang gamau tau apa kesibukan lo kemaren, tapi gue mau tau apa yang buat lo ngacangin sahabat gue seharian. Sampe pas sahabat gue minta tolong, lo ga ngubris sama sekali” Deru nafas yang Hazlen keluarkan cukup membuat Arvian tahu bahwa pemuda di depannya ini tengah menahan amarahnya.

“Gue kasih lo peringatan pertama, kalo sampe ada kejadian kaya gini lagi atau bahkan lebih parah.—”

Arvian sontak meneguk ludahnya saat melihat senyuman miring yang Hazlen berikan padanya.

“Yang gue kasih hari ini gaada apa-apa nya”

Setelah berujar seperti itu, Hazlen pun menghempaskan cengkeraman tangan pada kerah Arvian dengan kasar lalu berdiri dengan angkuh.

“Inget itu!” Hazlen pun berjalan meninggalkan mereka semua.

Marcell yang melihat itu pun sontak berdiri dari duduknya dan berjalan untuk meninggalkan tempat itu. Namun ketika dirinya berada di dekat Arvian, ia memberikan sebuah pesan yang langsung membuat Arvian terdiam.

“Lo ga pantes dan ga berhak buat nyakitin bang Denan” Kalimat yang di ucapkan dengan dingin, cukup membuat diri Arvian merinding.

Jordan yang sedari tadi menonton pun langsung membantu sahabatnya itu untuk berdiri.

“Lo harus berubah, Arvian. Sahabat Denan ga bakal lepasin lo kalo mereka tau apa yang lo perbuat selama ini” Pesan Jordan pun tidak di respon apa-apa oleh Arvian, hingga pemuda itu pun memilih untuk meninggalkan sahabatnya.

Kalo Denan tau kelakuan sahabatnya gimana, ya?

Arvian tersenyum kecil lalu beranjak pergi dari tempat itu.


Harusnya ia langsung pulang dan mengobati lukanya, tapi kenapa dirinya pergi ke rumah orang yang menjadi alasannya babak belur hari ini? Ya, Arvian dengan tidak sadar pergi kerumah Denan.

Ia mengusak kepalanya dengan kasar lalu mendengus kesal.

Gue bukan pengadu kaya anak kecil. Batinnya.

Matanya menatap rumah yang ada di depannya sebentar kemudian ia kembali menaiki motornya dan berniat untuk langsung pergi dari rumah itu.

Namun, seakan sebuah takdir. Ketika dirinya ingin menyalakan motor, sosok Denan pun keluar dari rumah. Ketika matanya melihat sang kekasih, Denan langsung berlari mendekat.

“Arvi, kamu kenapa kesini?”

Arvian tersenyum kecil lalu mengusap lembut pucuk surai Denan.

“Gapapa, tiba-tiba aku kangen sama kamu” Denan mengernyitkan dahinya dan menatap Arvian dengan seksama.

“Kamu beneran aneh hari ini. Kenapa sih?”

Arvian lagi-lagi hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Aku bilang kan gapapa. Mumpung aku disini, boleh minta peluk?”

Denan yang bingung pun memilih untuk menuruti keinginan kekasihnya. Badan nya yang mungil langsung memeluk Arvian dengan hangat dan Arvian memilih menikmati pelukan itu.

“Arvi... seharian ini aku khawatir tau sama kamu” Ujar Denan dengan suara pelan dan hal itu membuat Arvian bingung.

“Kenapa khawatir?”

Denan mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Arvian dengan raut yang sedikit sedih. “Gerak gerik kamu kaya gelisah mulu di sekolah, terus juga Jordan kaya lagi marah sama kamu”

Arvian jujur saja sedikit terkejut dengan ucapan Denan, kenapa pemuda ini begitu memperhatikan dirinya? Pikirnya.

“Terus aku tanya Jordan, katanya kalian cuman berantem kecil karena kamu belum bayar utang kamu” Arvian sontak terkekeh pelan, tangannya pun mengelus punggung Denan dengan lembut.

“Iya, aku sama dia cuman berantem karena itu. Gausah khawatir, oke? Aku udah bayar utang aku tadi, jadi kita udah baikan” Denan langsung tersenyum saat mendengar hal itu lalu mengangguk di dalam dekapan Arvian.

“Bagus kalo gitu, besok kamu harus jadi semangat lagi ya? Jangan kaya tadi” Arvian hanya mengangguk kemudian mengeratkan pelukannya.

“Oh iya, kamu tau ga”

“Hm?”

“Masa Jordan bilang aku jangan jadi bulol ke kamu”

Arvian sontak membeku namun Denan masih belum sadar akan hal itu.

“Padahal aku juga bukannya mau jadi bulol, ini kan karena aku sayang sama kamu. Jadi wajar kan kalo aku kaya gini?”

Walau masih sedikit terkejut dengan ucapan Denan, Arvian pun mencoba bersikap biasa saja. Tangannya dengan perlahan melepaskan pelukan mereka, lalu ia menangkup wajah Denan dengan lembut.

“Kamu sayang banget sama aku, ya?”

Denan tertawa kecil lalu mengangguk, “Kalo ga sayang, buat apa aku kasih kamu perhatian selama ini?”

Deg!

Salah, Arvian merasa pertanyaanya salah. Harusnya ia tidak bertanya. Tapi, biasanya dia tidak akan merasa perasaan seperti sekarang jika berhadapan dengan pacar mainan nya di masa lalu. Apa ini? Kenapa jika Denan yang mengucapkan hal itu, rasanya sangat membahagiakan dan hangat?

“Aku sayang sama kamu, Arvian. Kamu juga kan?”

Detak jantung Arvian mulai tidak beraturan, rasa gugup menjalar ke dirinya dan yang bisa ia lakukan hanya mengangguk pelan.

“Iya, sayang”

Denan langsung tersenyum lebar, “Makasih karena udah sayang sama aku” Ujarnya dengan suara pelan.

Astaga, Arvian benar-benar merasa aneh hari ini. Kenapa? Kenapa dia bisa merasakan ini semua? Apa yang telah Denan lakukan padanya? Banyak pertanyaan muncul di benak Arvian.

“Kalo gitu, kangen nya udah terobati kan? Mending kamu pulang, biar cepet-cepet istirahat terus besok bisa semangat buat sekolah lagi” Tangkupan tangannya kini sudah di lepas oleh Denan.

Arvian yang tidak ingin merasakan perasaan aneh ini lama-lama pun memilih menuruti ucapan Denan.

“Udah terobati banget. Makasih ya, manis. Kalo gitu aku pulang dulu, see you

Setelah berpamitan, dirinya pun melesatkan motornya untuk pulang ke rumahnya. Ia mengikuti perkataan Denan.

Hari ini terasa sangat panjang dan banyak sekali cerita yang membuat ia merasa bingung.

Bingung dengan dirinya sendiri.

Arvian, lo kenapa sih?

Mata Denan yang melihat sosok sahabatnya yang baru saja datang dengan motor kesayangannya itu pun langsung keluar dari cafè dan berlari menuju sahabatnya.

“Gapapa, kan?” Ujar Hazlen saat Denan sudah berdiri di sampingnya. Denan mengangguk kecil sembari tersenyum pada Hazlen.

Pemuda berkulit tan itu langsung menyerahkan jaket miliknya kepada Denan, lalu saat Denan tengah memakai jaket tersebut ia bawa punggung tangannya ke dahi pemuda manis itu.

“Udah mulai anget” Gumam Hazlen dan Denan yang mendengar hal itu langsung terkekeh pelan.

“Gue gapapa, Hazl. Tinggal minum air anget sama obat bakal langsung sembuh kok” Hazlen menatap wajah sahabat mungilnya sejenak kemudian mengangguk pelan.

“Pake abis itu langsung naik” Ucapnya sembari memberikan helm pada Denan.

Si manis pun menuruti perkataan Hazlen dan motor berwarna hitam mengkilap itu mulai bergerak, menyusuri jalanan aspal yang basah karena hujan.

“Dingin ga, Den?” Ujar Hazlen dengan suara yang sedikit teriak.

“Iya, dingin banget” Jawab Denan lalu tangannya pun mulai melingkar di pinggang Hazlen.

“Sekarang sedikit anget, hazl” Hazlen melirik sebentar tangan Denan yang memeluk dirinya, kemudian tersenyum kecil.

“Sebentar lagi sampe, tahan ya”

Denan hanya diam, menikmati perasaan hangat dan juga udara dingin yang menerpa dirinya saat ini.


“Butuh yang lain?”

Denan yang baru saja menghabiskan bubur hangat buatan bunda Hazlen sontak melirik tajam sahabatnya itu.

“Udah berapa kali lo nanya gitu, Hazl. Ngga, gue ga butuh apa-apa lagi. Makasih ya, kacang hazelnut” Pipi Hazlen pun Denan cubit dengan lembut karena saking merasa gemas juga sebal.

“Aww!! Oke-oke, maaf. Gue kan cuman mau jadi tuan rumah yang baik” Hazlen berucap sembari mengusap pipi nya yang baru saja di cubit itu.

“Iya, makasih”

“Hehehe, sekalian nginep aja ya? Besok gue anter deh pagi buta ke rumah lo buat ngambil seragam” Denan memutar bola matanya malas.

“Hazlen, Denan nya itu mau pulang. Kenapa di tahan-tahan sih?” Kini sosok wanita paruh baya pun ikut masuk dalam percakapan mereka.

“Nah, dengerin kata bunda”

Hazlen mengerucutkan bibirnya, “Bunda kenapa ga belain aku sih?”

Pertanyaan dengan nada merajuk itu pun mengundang tawa untuk Denan dan Bunda nya Hazlen.

“Oh, iya. Acara nikahan papa kamu kapan, Den?”

“Dua minggu lagi, Bunda. Nanti aku kasih undangannya”

Wanita itu pun mengangguk, Terus gimana kesan kamu sama calon mama baru?”

Denan tersenyum kecil sembari menatap gelas yang berisi air hangat di antara tautan dua tangannya.

“Baik dan lembut”

“Mirip sama Denan tau, Bun” Hazlen menyambar memberikan pendapat dan langsung mendapat delikan sebal dari Denan.

“Oh, begitu. Baguslah kalo kamu ngerasa gitu. Semoga kalian menjadi keluarga yang saling melengkapi ya?”

Denan mengangguk pelan, “Makasih buat doa nya, bunda. Kalo gitu sekarang Denan pulang ya?” Ujarnya sembari bersiap untuk pulang dan juga Hazlen yang ikut menyiapkan motornya.

“Iya. Hati-hati, anak manis. Hazlen nyupir motornya yang bener loh!”

“Tenang aja, Bunda ku sayang!”

Teriakan itu pun menjadi salam pamit karena Hazlen dan Denan sudah pergi untuk mengantarkan si manis pulang.


“Makasih ya, Hazl”

Hazlen mengangguk lalu mengusap rambut Denan sebentar.

“Langsung istirahat, besok lo sekolah”

Denan mendengus pelan, “Lo juga sekolah”

Hazlen hanya menampilkan cengirannya.

“Den, hari ini pasti panjang banget buat lo. Jadi, lo harus langsung istirahat. Jangan sampe sakit, nanti banyak yang khawatir sama lo”

“Iya, buset. Gue langsung tidur nih, nanti baju nya gue cuci dulu ya”

“Santai buat baju mah. Titip salam sama Papa ya”

“Iya, nanti gue sampein. Dah, sana lo pulang”

Hazlen tertawa pelan lalu mengangguk dan memakai helm nya kembali.

“Gue balik. Anw, Besok jangan lupa lo tanya cowo lo itu kenapa hari ini ngilang kek di telan bumi”

Denan memutar bola matanya dengan malas, “Iya, bawel! Tiati!”

Dan akhirnya motor Hazlen melaju pergi, meninggalkan dirinya yang mulai memikirkan banyak hal. Ia mengambil nafas sejenak kemudian berjalan masuk kedalam rumahnya.

Hari yang melelahkan.