Lapangan belakang.
Arvian menghela nafasnya saat sampai di area lapangan belakang sekolah. Keadaan lapangan tersebut memang sepi karena jarang ada orang yang kesini. Namun, walau keadaan nya sepi tapi rasanya di lapangan tersebut sangat penuh dengan tekanan yang membuat dada Arvian sesak.
Matanya pun ia bawa untuk menatap sosok sahabat dari kekasihnya yang berdiri di tengah lapangan. Berdiri dengan tegap, tangan yang menyilang di depan dada, juga jangan lupakan tatapannya yang tajam. Hingga ia pun beralih untuk menatap area tempat duduk dari semen di samping lapangan, disana pun ada sahabatnya juga sahabat yang lain dari kekasihnya.
“Oh~ berani juga temen lo itu, bang” Yang paling muda disana memulai percakapan diantara mereka.
Jordan yang duduk di sebelah Marcell hanya menghela nafas dan menatap Arvian dengan datar.
“Sorry, Vi. Gue gabisa bantu lo kali ini” Ujarnya dengan dingin dan mendapat balasan senyuman miring dari Arvian.
“Tch, gue juga ga butuh bantuan lo” Ucap Arvian dengan sombongnya.
Hazlen mengangkat satu alisnya saat mendengar ucapan Arvian, senyum tipisnya pun terbit dan kaki nya pun ia bawa untuk melangkah, mendekati Arvian.
“Jadi...”
Kini Hazlen tepat berada di hadapan Arvian, keduanya kini hanya berjarak satu langkah.
Mata Hazlen kini terlihat sangat menyeramkan namun tak membuat Arvian merasa gentar atau pun takut.
“Kesibukan apa yang lo lakuin kemaren sampe gabisa ngabarin sahabat gue?”
Arvian hanya tersenyum miring dan menatap remeh Hazlen, “Lo ga perlu tau, lagian lo—”
Bugh
Satu pukulan di perut yang tidak terlalu keras namun mampu membuat Arvian meringis pun Hazlen berikan.
“Gue cuman minta jawaban, bukan hal lain” Ucap Hazlen dengan tegas.
Arvian sedikit menundukkan tubuhnya, sembari memegang perut nya yang baru saja terkena pukulan, kemudian ia mencoba berdiri tegak kembali sambil membuang ludah kearah samping Hazlen.
“Lo gaada hak buat tau, Hazlen!”
Bugh!
Kali ini Hazlen memberikan tendangan pada tulang kering Arvian.
“Aww! Bang Jor, temen lo ampe jatoh itu! Tolongin!” Seruan mengejek Marcell lontarkan sembari menepuk pundak Jordan yang duduk di sebelahnya.
“Lemah” Gumam Jordan sembari menatap temannya itu.
Hazlen pun berjongkok di depan Arvian yang tengah meringis kesakitan lalu mencengkram kerah seragam pemuda itu dengan erat.
“Dengerin gue, Arvian”
Mata yang biasanya memberikan tatapan lembut pada Denan kini memberikan tatapan tajam pada kekasih Denan.
“Gue emang gamau tau apa kesibukan lo kemaren, tapi gue mau tau apa yang buat lo ngacangin sahabat gue seharian. Sampe pas sahabat gue minta tolong, lo ga ngubris sama sekali” Deru nafas yang Hazlen keluarkan cukup membuat Arvian tahu bahwa pemuda di depannya ini tengah menahan amarahnya.
“Gue kasih lo peringatan pertama, kalo sampe ada kejadian kaya gini lagi atau bahkan lebih parah.—”
Arvian sontak meneguk ludahnya saat melihat senyuman miring yang Hazlen berikan padanya.
“Yang gue kasih hari ini gaada apa-apa nya”
Setelah berujar seperti itu, Hazlen pun menghempaskan cengkeraman tangan pada kerah Arvian dengan kasar lalu berdiri dengan angkuh.
“Inget itu!” Hazlen pun berjalan meninggalkan mereka semua.
Marcell yang melihat itu pun sontak berdiri dari duduknya dan berjalan untuk meninggalkan tempat itu. Namun ketika dirinya berada di dekat Arvian, ia memberikan sebuah pesan yang langsung membuat Arvian terdiam.
“Lo ga pantes dan ga berhak buat nyakitin bang Denan” Kalimat yang di ucapkan dengan dingin, cukup membuat diri Arvian merinding.
Jordan yang sedari tadi menonton pun langsung membantu sahabatnya itu untuk berdiri.
“Lo harus berubah, Arvian. Sahabat Denan ga bakal lepasin lo kalo mereka tau apa yang lo perbuat selama ini” Pesan Jordan pun tidak di respon apa-apa oleh Arvian, hingga pemuda itu pun memilih untuk meninggalkan sahabatnya.
Kalo Denan tau kelakuan sahabatnya gimana, ya?
Arvian tersenyum kecil lalu beranjak pergi dari tempat itu.
Harusnya ia langsung pulang dan mengobati lukanya, tapi kenapa dirinya pergi ke rumah orang yang menjadi alasannya babak belur hari ini? Ya, Arvian dengan tidak sadar pergi kerumah Denan.
Ia mengusak kepalanya dengan kasar lalu mendengus kesal.
Gue bukan pengadu kaya anak kecil. Batinnya.
Matanya menatap rumah yang ada di depannya sebentar kemudian ia kembali menaiki motornya dan berniat untuk langsung pergi dari rumah itu.
Namun, seakan sebuah takdir. Ketika dirinya ingin menyalakan motor, sosok Denan pun keluar dari rumah. Ketika matanya melihat sang kekasih, Denan langsung berlari mendekat.
“Arvi, kamu kenapa kesini?”
Arvian tersenyum kecil lalu mengusap lembut pucuk surai Denan.
“Gapapa, tiba-tiba aku kangen sama kamu” Denan mengernyitkan dahinya dan menatap Arvian dengan seksama.
“Kamu beneran aneh hari ini. Kenapa sih?”
Arvian lagi-lagi hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Aku bilang kan gapapa. Mumpung aku disini, boleh minta peluk?”
Denan yang bingung pun memilih untuk menuruti keinginan kekasihnya. Badan nya yang mungil langsung memeluk Arvian dengan hangat dan Arvian memilih menikmati pelukan itu.
“Arvi... seharian ini aku khawatir tau sama kamu” Ujar Denan dengan suara pelan dan hal itu membuat Arvian bingung.
“Kenapa khawatir?”
Denan mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Arvian dengan raut yang sedikit sedih. “Gerak gerik kamu kaya gelisah mulu di sekolah, terus juga Jordan kaya lagi marah sama kamu”
Arvian jujur saja sedikit terkejut dengan ucapan Denan, kenapa pemuda ini begitu memperhatikan dirinya? Pikirnya.
“Terus aku tanya Jordan, katanya kalian cuman berantem kecil karena kamu belum bayar utang kamu” Arvian sontak terkekeh pelan, tangannya pun mengelus punggung Denan dengan lembut.
“Iya, aku sama dia cuman berantem karena itu. Gausah khawatir, oke? Aku udah bayar utang aku tadi, jadi kita udah baikan” Denan langsung tersenyum saat mendengar hal itu lalu mengangguk di dalam dekapan Arvian.
“Bagus kalo gitu, besok kamu harus jadi semangat lagi ya? Jangan kaya tadi” Arvian hanya mengangguk kemudian mengeratkan pelukannya.
“Oh iya, kamu tau ga”
“Hm?”
“Masa Jordan bilang aku jangan jadi bulol ke kamu”
Arvian sontak membeku namun Denan masih belum sadar akan hal itu.
“Padahal aku juga bukannya mau jadi bulol, ini kan karena aku sayang sama kamu. Jadi wajar kan kalo aku kaya gini?”
Walau masih sedikit terkejut dengan ucapan Denan, Arvian pun mencoba bersikap biasa saja. Tangannya dengan perlahan melepaskan pelukan mereka, lalu ia menangkup wajah Denan dengan lembut.
“Kamu sayang banget sama aku, ya?”
Denan tertawa kecil lalu mengangguk, “Kalo ga sayang, buat apa aku kasih kamu perhatian selama ini?”
Deg!
Salah, Arvian merasa pertanyaanya salah. Harusnya ia tidak bertanya. Tapi, biasanya dia tidak akan merasa perasaan seperti sekarang jika berhadapan dengan pacar mainan nya di masa lalu. Apa ini? Kenapa jika Denan yang mengucapkan hal itu, rasanya sangat membahagiakan dan hangat?
“Aku sayang sama kamu, Arvian. Kamu juga kan?”
Detak jantung Arvian mulai tidak beraturan, rasa gugup menjalar ke dirinya dan yang bisa ia lakukan hanya mengangguk pelan.
“Iya, sayang”
Denan langsung tersenyum lebar, “Makasih karena udah sayang sama aku” Ujarnya dengan suara pelan.
Astaga, Arvian benar-benar merasa aneh hari ini. Kenapa? Kenapa dia bisa merasakan ini semua? Apa yang telah Denan lakukan padanya? Banyak pertanyaan muncul di benak Arvian.
“Kalo gitu, kangen nya udah terobati kan? Mending kamu pulang, biar cepet-cepet istirahat terus besok bisa semangat buat sekolah lagi” Tangkupan tangannya kini sudah di lepas oleh Denan.
Arvian yang tidak ingin merasakan perasaan aneh ini lama-lama pun memilih menuruti ucapan Denan.
“Udah terobati banget. Makasih ya, manis. Kalo gitu aku pulang dulu, see you“
Setelah berpamitan, dirinya pun melesatkan motornya untuk pulang ke rumahnya. Ia mengikuti perkataan Denan.
Hari ini terasa sangat panjang dan banyak sekali cerita yang membuat ia merasa bingung.
Bingung dengan dirinya sendiri.
Arvian, lo kenapa sih?