Siapa yang berubah?
tw // violence
Denan menatap dirinya yang tengah basah kuyup sejenak, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, memastikan bahwa tidak ada Carla disini. Setelah berdecak pelan, ia langsung berlari menuju rumahnya.
Dalam hatinya Denan terus berdoa untuk sang adik, agar dia baik-baik saja.
Raka berlari menerobos hujan, dengan pikiran yang kalut karena tidak menemukan Carla, hingga beberapa kali ia hampir tertabrak oleh motor, untung saja ia sempat menghindar.
Hingga tak lama, dia berada di depan pintu rumahnya. Dirinya menarik nafas sejenak kemudian mengetuk pintu rumahnya itu.
Ceklek
Pintu terbuka dan pemandangan yang Denan lihat langsung membuat dirinya terdiam mematung. Disana, di ruang tamu terdapat Carla yang tengah di peluk Mama nya.
Kenapa? Kenapa Carla ada di rumah? Sejak kapan perempuan itu sampai?
Kini Denan beralih menatap sang Papa, meminta sebuah penjelasan. Namun, yang ia dapati hanya tatapan tajam dan raut murka dari pria paruh baya itu.
“Papa—”
“Habis darimana kamu?!”
Bentakan itu membuat Denan secara reflek menutup pintu utama lalu berdiri di hadapan sang Papa dengan tegap. Walau tubuhnya sudah menggigil akibat baju nya yang basah.
“Aku habis nyari Carla” Ujar Denan dengan suara yang menahan gemetar.
Ini pertama kalinya, ia mendapat perlakuan seperti ini dari sang Papa. Terkejut? Sangat.
“Carla daritadi di rumah sendiri, kamu nyari dia gimana hah?! Alasan kamu saja, pasti kamu habis main kan?” Denan menatap Papa nya dengan pandangan tidak percaya.
“Alasan? Kenapa Papa bisa langsung nuduh aku gitu?! Kalaupun aku main, aku ga akan milih buat hujan-hujanan kaya orang bodoh gini!” Suara Denan tanpa sadar meninggi dan langsung membuat sang kepala keluarga menjadi emosi.
Plak!
Suara tamparan yang keras langsung bergema dalam rumah tersebut. Kedua perempuan yang sedari tadi menyimak pun langsung berdiri dan menatap dengan tidak percaya.
Denan memegang pipi nya yang baru saja di tampar itu. Panas, satu kata yang dapat mendeskripsikan tamparan itu.
Apa ini? Kenapa dirinya di tampar? Apa salahnya? Pikiran Denan yang dari awal kalut menjadi bertambah kacau.
“Papa ga pernah ngajarin kamu buat jadi anak pembohong seperti ini, Denan” Ucapan itu di suarakan dengan tegas dan menggelegar, sama seperti bunyi petir di luar rumahnya.
“Kenapa Papa jadi lebih sering nuduh aku?” Ujar Denan masih dengan kepala yang menunduk dan tangan yang memegang pipi kanannya.
“Papa ga nuduh kamu, faktanya memang begitu kan? Harusnya papa yang tanya, kenapa kamu berubah jadi seperti ini, Denan?!”
“AKU BERUBAH DALAM HAL APA, PA?!” Wajah Denan kini terangkat, ia memberikan tatapan tajamnya pada sang papa.
Suara kencang Denan, kondisi wajah Denan, membuat semua anggota keluarganya terdiam.
“Papa yang harusnya nanya hal itu ke diri papa sendiri, kenapa papa berubah? Karena Denan ngerasa, Papa yang sekarang bukan papa yang dulu sayang sama Denan, Papa yang ga pernah nuduh Denan, dan Papa yang ga pelupa” Air mata Denan dengan perlahan jatuh, membasahi pipi yang merah bekas tamparan itu.
Hening sejenak. Hanya terdapat suara petir dan hujan deras yang meramaikan rumah itu.
“Mas, tenang. Jangan asal marah gini, kita belum denger penjelasan dari Denan” Istri dari sang kepala keluarga mulai mendekat untuk menenangkan.
Denan menatap wanita itu sejenak kemudian menatap sang adik, disana ia melihat adiknya masih diam membisu, lalu Denan pun tertawa.
“Kakak kira kamu gatau jalan pulang, Carla. Jadi kakak nyariin kamu sampe ujan-ujanan gini” Semua orang disana langsung menatap Denan dengan terkejut.
“Maafin kakak yang gabisa jemput kamu tepat waktu ya?” Senyuman kecil Denan berikan pada Carla.
Mata Denan kini beralih kearah Papa nya, lalu memberikan senyuman juga.
“Makasih buat tamparannya, Pa. Denan bakal selalu ingat sama hari ini” Ujarnya dengan enteng.
Kini matanya beralih untuk menatap sang mama, “Maaf ya, Ma. Denan malah bikin ricuh gini, lain kali Denan bakal lebih dewasa buat menyikapi masalah kaya gini. Sekarang mama sama papa istirahat, aku juga mau istirahat soalnya capek” Senyum tipis ia berikan pada kedua orangtuanya.
Kemudian kakinya pun ia bawa melangkah ke kamarnya, namun sebelum ia masuk ke dalam kamarnya, ia berujar sesuatu yang membuat sang kepala keluarga di landa rasa bersalah.
“Besok kalian gausah ke makam mama aku ya, biar aku aja. Takut kalian masih capek. Tenang aja, aku bakal sampein salam kalian ke mama aku kok. Good night, semua”*
BRAK!
Pintu kamarnya ia banting dengan kencang, membuat semua orang di rumah itu terkejut dan membisu.
Denan bersandar di pintu kamarnya, lalu dengan perlahan ia luruh terduduk. Tangannya dengan bergetar menyentuh bekas tamparan sang Papa lalu air matanya pun turun dengan deras, seperti hujan yang ada di luar.
“Mama, sakit. Sakit” Ucapnya di tengah isakan tangisnya.
Mama, Denan salah apa sama mereka?
Kenapa Papa berubah, Ma?
Mama, Denan capek. Capek banget.
Maaf, maaf, maaf. Maaf kalo Denan salah, Ma.
Malam itu di tengah derasnya hujan dan sunyinya kamarnya, terdapat Denan yang tengah menumpahkan tangis yang selalu ia tahan. Denan mengeluarkan segala rasa lelah, marah, kesal, sedih dan kecewa nya malam itu.
Tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang mendengar tangisnya dan tanpa seseorang yang dapat memberikan pelukan dan kata penenang.
Hanya satu orang yang selalu ia sebut di sela tangisnya untuk membuatnya tetap sadar akan sekitar, yaitu Mama. Mama kandungnya, Mama yang selalu ia sayangi dan Mama yang selalu membuat dirinya rindu.
Mama, Denan kangen.