Makasih.
Saat ini Denan tengah berada di sebuah study cafe yang Arvian maksud. Ya, Denan menyetujui ajakan kekasihnya. Lagipula, dia butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran kusutnya.
“Hey” Panggilan dari Arvian membuat Denan yang semula fokus pada Ipad nya langsung teralihkan.
“Hm?” Balas Denan dengan bingung, Arvian yang melihat wajah Denan sontak terkekeh.
“Lucu banget sih” Bisik Arvian dan tentu saja Denan dapat mendengar hal itu. Semburat merah hinggap di pipinya dengan perlahan.
“Jangan bikin ga fokus” Arvian tersenyum tipis, ia mengangguk sembari mengusak lembut surai si manis.
“Iya, maaf~ kamu mau minum ga?” Denan melirik sejenak gelas yang tadinya terdapat segelas greentea namun ternyata kini sudah tandas.
“Boleh, aku ice americano ya” Arvian menatap Denan dengan serius, “Kamu yakin?” dan Denan hanya mengangguk.
“Udah makan nasi?”
Denan tersenyum tipis, “Udah. Gausah khawatir, gih pesen sana” Arvian yang percaya pun langsung menuruti perkataan Denan.
Bohong, Denan bohong pada Arvian. Dia belum makan nasi, makanan berat yang ia makan hanya saat makan siang itu pun hanya sedikit. Kenapa Denan berbohong? Simpel saja, dia saat ini benar-benar ingin meminum es kopi pahit itu.
Denan menghela nafasnya sejenak kemudian melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda.
Sebenarnya, malam ini Denan cukup lelah. Ia merasa ingin langsung bersantai di kamarnya, mendengarkan lagu-lagu yang dapat menenangkan dirinya, atau menonton sesuatu yang membuat dirinya tertawa. Tapi itu semua hanya sekedar keinginan. Pasalnya, Denan makin lama makin merasa tidak nyaman di rumahnya. Harusnya kamarnya itu pengecualian, tapi karena sang papa selalu mengusiknya ia jadi merasa tidak tenang.
Jadi, Denan semakin sering menghabiskan waktu di luar rumahnya. Entah itu ke rumah kedua sahabatnya, melakukan study date seperti sekarang dengan Arvian, berjalan-jalan tanpa tujuan, atau menemani sang mama di makam nya.
Entahlah, Denan merasa kegiatannya di luar rumah lebih membuat dirinya nyaman di bandingkan saat ia pulang ke rumahnya.
“Denan!” Kesadaran Denan sontak kembali setelah terlalu lama menyelam dengan catatan materi sekolahnya.
Mata rubahnya menatap Arvian dengan bingung, “Kenapa, Arvi?” raut khawatir langsung muncul di wajah Arvian. Ia menaruh dua minuman yang baru saja ia pesan di meja, kemudian ia bawa tangan kanannya untuk memegang dahi Denan.
Denan semakin bingung.
“Kenapa?”
“Kamu ga sakit” Gumam Arvian setelah memastikan suhu tubuh Denan.
Si manis yang sadar akan apa yang Arvian lakukan langsung menerbitkan senyum tipisnya, tangan yang memegang dahinya ia bawa untuk menangkup pipinya sembari ia genggam tangan itu. Arvian terdiam sejenak, namun saat melihat wajah Denan yang menjadi damai, senyum nya pun tak bisa ia tutupi.
“Kamu ga capek berdiri kan?” Ujar Denan masih dengan mata yang tertutup.
“Engga. Kalo kamu nyaman begini, satu jam pun aku ga bakal protes” Denan terkekeh pelan, tangannya yang menggenggam tangan Arvian semakin di eratkan.
“Makasih buat kehangatannya” Ujar Denan dengan pelan.
Arvian hanya diam, menatap wajah Denan yang sangat rileks dengan mata tertutupnya. Jarang sekali ia melihat Denan yang begini. Dalam otaknya berbagai pertanyaan pun muncul, apa yang terjadi dengan kekasih manisnya? Mengapa selama dua bulan ini, ia perhatikan kekasihnya selalu terlihat lelah? Apakah Denan memiliki masalah yang berat?
Jujur saja, Arvian merasa gatal ingin bertanya akan itu semua pada Denan. Tapi melihat sang kekasih yang selalu diam dan tidak berniat bercerita, ia menjadi mengurungkan keinginannya. Tak apa, ia akan diam. Ia akan menunggu sampai Denan sendiri bercerita padanya. Semoga saat itu akan ada masanya.
Hingga tanpa ia sadari, genggaman tangan Denan sudah terlepas. Mata Arvian sontak menatap Denan dengan bingung, “Gapapa?” Denan tersenyum tipis lalu mengangguk.
“Iya, gapapa. Kamu duduk di kursi gih” Arvian diam sejenak lalu duduk di kursinya.
Kini Denan langsung memfokuskan dirinya pada pelajaran kembali. Sedangkan Arvian hanya diam, memperhatikan pemuda manis itu. Sembari memikirkan banyak hal. Tiba-tiba terbesitlah pikiran tentang bagaimana jika suatu hari nanti ada seseorang yang membuat sosok gelapnya muncul kembali. Apakah dirinya lagi-lagi akan membohongi si manis? Atau bahkan ia akan membuat Denan merasakan sakit yang sulit di jelaskan?
Entahlah, Arvian juga tidak tahu. Namun yang pasti, dia akan berusaha untuk menjadi sosok yang baik pada Denan dan memastikan hari buruk itu tidak akan terjadi.
Semoga.
Drrt
Getaran dari ponsel Denan membuat fokus keduanya terpecah, Sang pemilik handphone pun tanpa banyak bicara langsung mengangkat telponnya.
Arvian pun memilih diam, memperhatikan Denan yang tengah berbicara entah dengan siapa.
“Kenapa?” Tanya Denan pada orang yang ada di seberang telpon tersebut.
“Hm” Arvian sedikit mengernyit tat kala mendengar nada bicara Denan yang berubah.
Seperti bukan Denan yang biasa, pikirnya.
“Iya” Dapat dilihat bahwa Denan tengah menahan emosinya dan Arvian semakin di buat penasaran.
Kacamata yang bertengger sedari tadi pun akhirnya Denan lepaskan, pemuda manis itu bahkan menaruh kacamatanya dengan gerakan menyentak. Bahkan membuat Arvian sedikit terkejut.
“Stop it, gue pulang sekarang. Puas?” Walaupun suara Denan sangat pelan tapi Arvian dapat merasakan ada penekanan amarah di suara itu.
“Ya” Ujar Denan lalu menutup panggilan tersebut, ia menaruh ponselnya di meja kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Arvian meneguk ludahnya, kini ia di landa rasa takut untuk bertanya pada Denan. Hingga ketika ia ingin membuka mulutnya, Denan malah mengusak wajah dan surainya dengan kasar.
Raut lelah pun langsung terlihat ketika Denan menyingkirkan kedua telapak tangannya dari wajahnya itu.
“Arvi, aku harus pulang sekarang” Arvian sontak mengangguk dengan canggung.
“I—iya, ayo. Aku anter kamu pulang”
Kemudian mereka pun membereskan barang-barang mereka lalu pergi meninggalkan cafe tersebut.
“Makasih ya” Ujar Denan dengan lembut sembari mengembalikan helm pada Arvian.
Sang dominan hanya tersenyum tipis, ia menerima helm yang baru saja Denan berikan lalu mengusak lembut surai si manis dengan tangannya yang lain.
“Abis cuci muka langsung istirahat, oke?” Denan mengangguk pelan.
Keduanya bertatapan sejenak hingga Arvian dengan tiba-tiba melebarkan kedua tangannya. Seperti meminta Denan untuk memeluk dirinya. Sang submisif yang paham pun langsung masuk kedalam pelukan hangat Arvian.
Pelukan erat, elusan lembut di punggung, juga suara detak jantung yang menenangkan, membuat Denan merasa sedikit lebih baik. Ia memejamkan matanya sejenak, namun ketika ia tengah menikmati hal itu ponsel yang ada di kantong celananya bergetar.
Mau tak mau, dirinya harus melepaskan pelukan Arvian. “Maaf karena gabisa lama dan makasih banyak buat hari ini, Arvian”
Arvian tersenyum saat mendengar hal itu lalu mengangguk, “Sama-sama, sayang. Jadi... sampai ketemu besok?” ujarnya dan langsung membuat Denan terkekeh.
“Iya. Sampai ketemu besok, pacarnya Denan”
Begitulah salam perpisahan mereka, setelah memastikan Arvian sudah hilang dari pandangannya, kaki Denan dengan berat pun melangkah masuk kedalam rumahnya.
Walau perasaan kacau kembali mendominasi, setidaknya pelukan yang Arvian berikan tadi membuat dirinya memiliki alasan untuk tersenyum sebelum terlelap tidur.
Makasih, Arvian. Makasih karena selalu menyelamatkan hari-hari seorang Denan dari kesengsaraan.