Tes.
Hai?
Wkwkwkwk, jangan kaget. Jangan takut dan jangan ngerasa bersalah setelah baca ini. Oke?
Ini pure cuman surat, bukan surat cinta. Tapi surat tentang gimana pov aku yang memilih buat kenal kamu.
Sekali lagi, halo bocaaahhh. Asik juga ternyata manggil kamu bocah, der. Tapi kayanya ga bakal bertahan lama, besok-besok aku panggil kamu dery lagi.
BTW, I'M GONNA TELL YOU. CERITA NYA BAKAL PANJANG BANGET, maaaf.
Back to topic.
Pertama, kamu heran ga sih? Ini kakel mpk kenapa tiba-tiba chat kamu, pengen kenalan sama kamu, kenapa tingkahnya nyeremin banget, kenapa freak abis???
Ya, maaf. Manusia badut satu ini memang seperti itu. Aleyka, manusia badut paling freak sedunia. Jadi gini, der. Awalnya tuh aku gatau siapa nama kamu, kamu kelas berapa, umur mu berapa, kamu orang nya gimana. AKU TUH GATAU. Cuman tau muka doang, aku beberapa kali liat kamu disekolah. Di gerbang sekolah, lapangan, paling sering nya di kantin.
Pas liat kamu, aku kaya “wah, ni bocah lucu abiezzzz” “kok di sekolah begini ada cowo modelan lucu gini?” “Calon banyak yang gebet mah gini sih” Terus udah, aku bakal balik ke kelas terus aku kasih tau temen kelasku. “Woy, gue nemu cowo lucu banget anjay” tapi mereka nya ga percaya kamu lucu masa?? Aneh kata aku mah.
Nah, udah tuh. Udah. Aku ga ngarepin apa-apa. Tapi makin di lihat, makin sering nemu, jadilah aku tertarik. Tertarik doang ya.
Selanjutnya, ga lama aku liat postingan salah satu anak ec, keisha, yang disana ada kamu. Sebagai pecinta yang lucu-lucu, of course aku akan reflek teriak. Keisha yang paham langsung nanya ini itu, hingga pada akhirnya aku chat kamu.
Gila, aku gila pas hari itu. Soalnya aku pertama kali ngechat cowo yang aku suka, FOR THE FIRST TIME. PLEASE. Tremor tingkat dewa. Mana kamu nya langsung ngasih ulti dengan bilang nama aku cantik????!!!!
Ehem, oke. Dah, begitu ya. Begitulah latar belakang aku yang minta kamu save nomor aku.
Kita chattan.
Anjay, keren banget lah mental yupi ku ini bisa ngadepin kamu. Kalo di tanya baper ga? Salting ga? Aku bakal jawab, Kamu nanyaaa???? wkwkwkwkwk. Orang bodoh yang nanya begitu.
Tapi susah, der. Deketin kamu susah. Mental ku yang udah yupi, makin jadi jelly. Abisnya aku bukan tipe orang yang kuat kalo di ghosting, aku bukan orang yang teguh walau badai menerjang, aku bukan orang yang mau se-berjuang itu.
Susah sedunia buat deketin bocah paling nyebelin sedunia ini.
Apalagi kamu pernah bilang, suka sama orang yang ga pasti itu nyakitin, ka
Ya. Nyakitin banget. Bener. Fakta.
Tadinya juga aku mau terus ngejar kamu, tapi kamu nya selalu make me confused. I don't know what are you thinking about me. I don't know how's yours feeling.
That's thing really make me overthinking dan itu ga enak. Aku nya juga lama-lama capek, tenggelam sama semua pikiran jelek itu. Apalagi, akhir-akhir ini kamu selalu ngasih kode. Entah kamu ngasih itu semua ke siapa, but I think is not for me.
So... kesimpulannya, gebetan yang aku galau in, gebetan yang aku ceritain ke kamu, dan alasan aku berada di puncak komedi itu ya kamu.
It's you, Der.
Calm down. kamu gausah bingung harus respon gimana, kalo gamau ya gapapa. Gausah di respon, oke?
Ini cuman cerita. Aku lagi cerita ke kamu. Belum pernah kan, baca cerita ku yang panjang gini? Dan mungkin kalo di baca bisa 1 menit sendiri. Wkwkwkwk.
Bener-bener dah ya, sekarang aku gabisa banget buat ngancurin tembok kamu. I want to take it slowly, tapi balik lagi. Buat apa aku deketin kamu, yang kamu sendiri gamau aku deketin, kan?
I'll stop. I'll try to make this feeling gone. I'll try to see you as my junior, not my crush.
Thankyou and sorry.
Maaf aku bilangnya sekarang, maaf. Jangan terlalu di pikirin, oke?
Bilang mau kamu gimana sekarang. Kamu mau, aku block kamu atau aku jauhin kamu or anything lah.
Aku bakal turutin.
Makasih ya, anak lucu.
Semangat buat ngejar orang yang kamu suka, orang yang mungkin bikin kamu ngerasa denial sekarang:P
OH, SAMA INI. I hope your test results bakal bagus yang paling bagus sedunia semesta raya indonesia raya.
(AAAAAAAA, LEGA BANGET ANJRIT. MAKASIH DAH BACA CERITA KU, CAKEP!!)
—From manusia badut yang selalu kamu panggil, ka alley.
Denan yang tengah fokus mencatat rangkuman langsung tersentak kala mendengar suara dering telpon. Kacamata yang ia pakai pun di lepas, lalu saat mengetahui siapa yang menelponnya, sontak senyum cerahnya terbit.
Video Call tersambung.
“Kak den!!!”
Seruan dan raut bahagia dari Carla menyapanya, senyum yang sudah ada daritadi pun semakin melebar.
“Halo, Carla. Gimana ujian akhirnya?”
Raut suram langsung Carla tunjukan, “Lebih susah yang gue bayangin! Ugh, masih merinding kalo nginget hal itu”
Tawa Denan mengalun saat mendengar hal itu, “Namanya ujian, pasti susah. Yah, setidaknya gue tau lo udah berusaha. Good job, Carla”
Carla tersenyum kala mendengar pujian Denan, lalu tak lama suara dari sang Papa terdengar.
“Son?”
“Hai, Papa”
Denan tersenyum lembut kala melihat wajah Papa nya dan terlihat setengah wajah Carla yang nampak sekali masih ingin mengobrol dengan kakaknya.
“Papa langsung ngambil hp nya padahal Carla masih mau cerita sama aku”
Denan dapat melihat Carla yang tengah merengek kearah Papa nya. Saat ada adegan itu biasanya sang Papa sudah menuruti keinginan Carla, tapi kenapa sekarang terlihat tidak mau kalah?
Denan terkekeh pelan, hingga tak lama hp Carla seperti di ambil alih oleh seseorang.
“Hai, anak mama”
“Mama ayu? Ya ampun, mama potong rambut”
Wanit paruh baya itu mengangguk, “Bagus?”
Denan mengangguk, “Keliatan nambah cantik, ma”
“Iya kan, den? Masa mama mu ga percaya, katanya baru percaya kalo kamu yang bilang”
Suara papa nya membuat Denan tertawa, dapat di lihat juga bahwa Mama Ayu kini malah tengah memarahi Papa nya.
“Kak kak kak!”
Oh, sekarang Carla yang mengambil alih.
“Masalah yang gue omongin kemarin lusa udah selesai tau”
Denan mengernyit pelan, mencoba mengingat apa yang Carla maksud, dan tak lama kemudian dia langsung paham. Senyum lembut langsung Denan berikan.
“Bagus, Carla. Kamu keren”
Dan percakapan antara Denan dan keluarganya terus berlanjut.
Jika di tanya, bagaimana perasaannya dan dimana dia saat ini. Denan selama satu tahun ini benar-benar berusaha untuk berubah dan perubahan itu membuat dirinya bahagia. Lalu dimana dia sekarang? Dia ada di kota sebelah.
Ingat akan permintaannya dulu tentang pindah sekolah? Ya, orangtua Denan menepati ucapannya. Mereka merelakan Denan pergi ke kota ini.
1 tahun dia di kota asing ini. Menempuh pendidikan seorang diri, tanpa keluarga dan para sahabatnya. Tidak mudah memang, tapi kota ini menjadi saksi perubahan positif dari Denan.
Walau jarak menghalangi, Denan terus memberi kabar ke keluarga dan sahabatnya kok. Jadi jangan khawatir masalah hubungannya menjadi renggang atau apapun.
Keluarga baru nya sudah berubah. Mereka berempat sudah menerima satu sama lain dengan hati yang lapang. Juga hubungan Carla dan Denan pun sedikit membaik. Carla benar-benar menepati janjinya untuk berubah, Saat Denan pulang liburan, perempuan itu langsung memberikan pelukan dan menceritakan tentang usahanya untuk berubah.
Tidak mudah memang. Apalagi dia malah masuk kedalam sekolah yang membicarakan hal buruk tentang dia dan Arvian. Katanya, setiap hari ada saja yang membicarakannya, bahkan ada yang secara terang terangan menatap dirinya dengan benci, lalu semua temannya pergi meninggalkannya.
Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan. Hingga saat bulan ke empat, kehidupan sekolahnya sedikit membaik. Cerita Carla pada Denan pun mulai mengarah ke hal positif. Denan tentu turut bahagia.
Kemudian soal Arvian, Selama lima bulan Denan tidak pernah mendengar kabar akan pemuda itu. Namun, yang ia tahu jika Jordan sudah tidak berteman dengan pemuda itu. Di sekolah pun, Carla tidak pernah melihat Arvian dimana-mana. Padahal, Carla berniat mengobrol masalah hubungan mereka. Yah, akhirnya karena lelah mencari. Carla pun menganggap hubungan dia dengan Arvian selesai.
Sampailah di bulan ke-tujuh, Denan bertemu dengan Arvian. Tanpa sengaja, di sebuah toko buku pinggir kota. Terkejut? Gausah di tanya. Keduanya terkejut, sampai-sampai kaki mereka tidak mampu untuk bergerak pergi.
Pertemuan yang tanpa di rencanakan itu pun berujung baik. Denan dengan inisiatifnya mengajak Arvian mengobrol. Tapi yah, pasti kalian tau apa yang terjadi. Arvian terus-terusan menangis dan meminta maaf pada Denan. Kala itu Denan sudah berubah menjadi lebih dewasa, jadi akhirnya mereka memutuskan untuk berdamai dan melanjutkan hidup masing-masing.
Sudah, hanya itu sepertinya.
So... kalo sekali lagi ditanya,
“Son, are you happy?”
Denan tersenyum lebar, “Iya, Papa. Aku lebih bahagia sekarang”
“Nak, acara wisuda kamu sebentar lagi kan?”
“Iya, ma. Tapi katanya cuman untuk siswa. Jadi, besoknya aku bakal langsung pulang”
“Ke rumah ini kan, kak?”
“Iya, aku bakal pulang ke rumah yang selalu aku rindukan. Tunggu aku ya”
“Kita bakal selalu nunggu kamu, Denan”
Benar, Denan sudah benar-benar menemukan kebahagiaan juga rumahnya. Rumah yang selalu menjadi tujuannya untuk pulang dan beristirahat.
Don't worry, he's happy now.
Denan melirik sang adik yang tengah duduk di salah satu bangku coffee shop yang ada di bandara ini. Dia terus menatap adiknya itu hingga tak sadar sudah bagiannya untuk mengambil pesanannya.
“Atas nama Denan, betul?”
“Ah, iya. Betul”
“Baik, ini pesenannya. Silahkan menikmati” Denan membalas senyuman dari sang kasir. Kedua tangannya kini penuh oleh dua minuman hangat yang ia pesan. Lalu kakinya dengan santai berjalan menuju Carla.
“Nih” Ujar Denan sembari memberikan segelas susu coklat hangat pada Carla.
Carla yang bingung hanya bisa menerima gelas itu lalu meneguknya dengan canggung.
Denan pun hanya diam, matanya menatap orang-orang yang berlalu lalang sembari meneguk kopi panasnya.
“Lo mau bilang sesuatu ke gue?” Pertanyaan Denan membuat Carla semakin terdiam.
“Bilang sekarang, gue liburan nya lama”
Carla menghela nafasnya lalu menatap Denan dengan pandangan yang sulit di artikan, “Kenapa lo buat keputusan ini semua?”
Denan melirik Carla lalu mengalihkan pandangan nya kembali sembari tersenyum tipis, “Bukannya lo malah ngerasa seneng? Gaada yang ganggu kebahagiaan lo lagi”
Denan dengan santainya berujar seperti itu.
“Ini yang lo tunggu-tunggu dari awal kan? Kebahagiaan dengan keluarga lengkap, tanpa penganggu kaya gue, kasih sayang orangtua semuanya dikasih ke lo”
“Lo bener, kak. Ini yang gue tunggu-tunggu”
Denan menatap Carla lalu tertawa kecil, “Bagus, anak jujur di sayang mama” ledekan itu tidak membuat Carla marah, malah perempuan itu menundukkan kepalanya.
“Maaf”
Secara tiba-tiba, Carla berujar kata yang Denan tidak sangka akan mendengar dari mulut perempuan itu.
“Maaf, kak. Gue salah, gue salah besar sama lo. Gue sadar, bukan lo yang menganggu kehidupan lo tapi gue yang menganggu kehidupan lo” suaranya gemetar, hingga tak lama isakan tangis terdengar.
Denan memilih untuk diam.
“Kayanya maaf aja ga cukup karena semua sikap gue kemaren, tapi setidaknya gue harus bilang ini ke lo kan, kak? Maaf karena gue menjadi pendatang yang mengacaukan hidup bahagia lo”
Mata keduanya saling menatap, Denan dapat melihat semua dari mata yang mengeluarkan tangisan itu, dan Carla dapat melihat tatapan kosong milik Denan.
Kini semuanya terlihat jelas.
“Maaf, Kak. Gue cuman ngerasa takut, gue takut sama semuanya, gue takut kehidupan lama gue terulang, dan seharusnya rasa takut itu gue hadapin sendiri bukannya malah lampiasin itu semua ke lo”
Denan yang tadi terdiam pun langsung tersenyum tipis, tanpa ia sadari setetes air matanya turun.
“Bagus. Lo udah mulai membaik karena bisa minta maaf ke gue” Suara lembut Denan membuat Carla menatap sang kakak.
“Gue ga akan munafik dengan maafin lo saat ini juga, gue butuh waktu buat menerima yang kemarin. Tapi dengan lo minta maaf gini, setidaknya gue bisa liburan dengan tenang”
Senyuman yang Denan berikan pada Carla itu terasa abu, tapi Carla tau bahwa kakak tirinya itu benar-benar jujur dengan ucapannya. Juga Carla tau jika Denan tidak pernah berniat untuk menganggu hidupnya. Sejak awal, dirinya lah yang merasa ketakutan hingga menjadi seperti ini.
Denan itu sosok anak tunggal yang berusaha menjadi kakak yang baik karena dirinya hadir dalam keluarga kecil Denan. Sedangkan dirinya? Carla hanya sosok anak tunggal yang menjadi anak kecil dan tidak pernah mau berusaha menjadi adik yang baik untuk Denan.
Benar apa kata orang-orang, dirinya memang tidak pantas untuk menyakiti pemuda itu. Siapa dirinya yang lancang untuk melakukan hal itu?
Hidupnya bukan hancur karena Denan tapi karena ulah dirinya sendiri.
Kenapa ia baru sadar sekarang? Kenapa?
“Nangis nya di lanjut di rumah, gue bentar lagi harus flight“ Selembar tisu Denan berikan pada Carla dan perempuan itu semakin di landa rasa bersalah.
Sontak Carla langsung berdiri dari duduknya, masih sambil menangis, ia menatap kakaknya dengan sebal sembari berujar, “Lo jangan baik sama gue, kak”
Denan yang melihat dan mendengar hal itu langsung turut beranjak dari duduknya lalu mendekat kearah Carla.
Grep!
Pelukan hangat menyapa tubuhnya. Denan memeluk dirinya, menyembunyikan wajahnya di bahu tegap pemuda itu, juga mengelus kepalanya dengan lembut.
“Gue harap dengan semua ini, lo bisa menjadi Carla yang lebih baik. Good luck buat kehidupan baru ini, gue tau lo pasti bisa ngadepin semuanya” Bisikan itu terdengar lembut di telinganya.
Jika sekarang dia ada di posisi Carla yang kemarin mungkin saat ini ia akan langsung mencaci maki Denan, tapi Carla hari ini telah berubah. Ucapan Denan itu malah semakin membuatnya menangis.
“Mulai saat ini, tolong rubah sikap jelek lo kemaren. Jangan buat Carla kemaren yang selalu takut akan semuanya, kembali. Oke? Lo bisa buat berubah. Mama Ayu, Papa dan Gue selalu ada buat lo karena kita keluarga. Perbaiki semua kesalahan lo dan jangan pernah ngulangin itu semua. Paham, kan?”
Carla yang masih menangis pun mengangguk dengan patuh. Hal itu semakin membuat Denan menerbitkan senyumnya.
“Setelah gue pulang liburan nanti, ayo kita ngobrol dengan versi diri kita yang lebih baik. Versi yang dimana Denan dan Carla sudah menerima semuanya dengan lapang, tanpa banyak ketakutan kaya sekarang. Oke?”
“Iya, kak”
Pelukan mereka terlepas, Denan mengusap air mata Carla dengan lembut, lalu ia berikan senyuman tulusnya pada Carla.
“Sekarang ayo kita keluar dari sini, orang-orang mulai mikir hal aneh tentang kita” Carla tertawa kecil sembari mengusap air matanya lalu mengangguk.
Denan menggenggam tangan Carla dengan erat sebelum mereka berjalan bersama meninggalkan coffee shop tersebut.
“Hati-hati ya, kak. Semoga bisa sampai tujuan dengan selamat”
“Iya, ma—”
“DENAN!!”
Dengan refleknya kepala Denan langsung menoleh ke asal suara dan saat ia belum sempat mengetahui orang yang berlari kearahnya, orang itu sudah memeluk dirinya dengan erat saja.
“Hazlen?”
Ya, orang yang sedang memeluknya dengan erat adalah Hazlen. Dengan begitu, Denan langsung membalas pelukan sahabatnya.
“Udah gue bilang gausah datang”
“Gue cuman mau kasih lo pelukan”
Denan terkekeh pelan, “Lo udah kaya pacar gue yang gamau di tinggal pergi tau”
Hazlen terdiam dan sontak hal itu membuat Denan tertawa canggung.
“Aduh, maaf. Ga lucu ya?”
Deheman Denan membuat Hazlen terkekeh pelan, ia melepaskan pelukan itu lalu menatap Denan dengan lembut.
“Lucu kok”
Denan mengerjapkan kedua matanya saat melihat tatapan Hazlen yang sedikit berbeda dan lama kelamaan rasa panas menjalar di pipinya.
“Lo— Gausah ikut liburan gue sama marcell!”
Hazlen langsung tertawa saat melihat wajah Denan yang memerah entah karena kesal atau karena gombalan nya tadi.
Tapi yang pasti, Denan terlihat lucu saat ini.
“Kenapa gitu, sayang~ Masa pacarnya mau ikut liburan malah ga di bolehin?”
Denan langsung melotot tak percaya, “Gue steples juga mulut lo itu!”
Carla yang melihat keduanya hanya dapat diam dan menikmati pemandangan itu.
Walau Denan terlihat kesal dan marah pada Hazlen, tapi Carla dapat melihat binar kebahagiaan di mata Denan.
Setidaknya itu awalan bagus untuk datangnya kebahagiaan pada Denan, kan? Yah, semoga Denan mulai saat ini bisa benar-benar bahagia.
Kak Den, maaf karena sikap kurang ajar gue ke lo selama ini. Gue bener-bener berharap, setelah ini ada banyak kebahagiaan yang lo dapat. Gue juga janji, setelah lo pulang liburan, Carla sudah berubah jadi versi yang lebih baik. Selamat menikmati liburannya, kak Denan.
Hari itu, benar-benar menjadi awalan untuk perubahan atas segalanya. Semoga dengan kejadian kemarin, mereka semua dapat berubah menjadi manusia yang lebih baik.
cw // violence, harsh words
Arvian kini baru saja sampai di lapangan yang jordan maksud lewat chat tadi.
Oh, sebagai informasi sedikit. Setelah denan mengirimi pesan tentang ajakan putus, Arvian langsung meninggalkan acara kencannya dengan Carla. Ia bahkan seakan tuli saat perempuan itu terus memanggilnya. Dia membawa mobilnya ke rumah Denan, namun saat sampai dia tidak berani untuk menghampiri. Alhasil, dia memilih pulang.
Oke, kembali ke saat sekarang. Arvian sudah mempersiapkan dirinya, dengan langkah pasrah dia pun mendekat kearah tiga orang yang sudah menatap dirinya dengan bengis dan dingin.
Ketika satu langkah lagi ia mendekat ke mereka, tiba-tiba saja satu tinjuan keras menyapa wajahnya.
Dia tidak akan mengelak atau melawan. Dia akan menerima. Dia memang pantas mendapatkan ini semua.
“Gue udah bilang, jangan sekali-sekali lo nyakitin bang denan. Tapi apa-apaan ini, brengsek?!”
Arvian yang tidak pernah mendengar suara lugas dan tegas milik marcell pun ia dengar malam ini.
Arvian hanya terdiam di posisi jatuhnya. Melihat hal itu, Hazlen langsung mendekat lalu berjongkok tepat di depan Arvian.
“Oy, bego” Kepala Arvian terangkat kemudian di sambutlah dirinya dengan tatapan dingin Hazlen.
“Lo itu siapa sih yang dengan sok nya bikin denan sakit?”
Benar, dia itu sebenernya siapa yang berani berbuat seperti itu?
Telunjuk Hazlen pun terangkat untuk mengetuk-ngetuk jidat Arvian dengan kasar.
“Diem lo sekarang? Sosok lo yang kemaren berani banget buat nyakitin denan kemana?”
Merasa muak akan keterdiaman Arvian, Hazlen pun berteriak “MANA SOSOK BAJINGAN LO KEMAREN HAH?!”
Bugh!
Tendangan pada perutnya yang baru saja dia terima itu langsung terasa nyeri.
“Heh, Arvian. Gue mau ngasih tau lo sesuatu dan mungkin aja bakal bikin lo nyesel seumur hidup” Ucapan santai Hazlen membuat semua orang disana menatap kearahnya.
Tatapan amarah, Hazlen layangkan pada Arvian yang menatap dirinya dengan bingung.
“Apa yang lo lakuin selama ini ke Denan, yang mungkin aja menurut lo remeh dan kecil, tapi bagi denan itu hal yang besar. Lo tau? Karena lo, dia hampir ga punya tujuan untuk hidup lagi! Lo itu termasuk kedalam alasan untuk denan hidup. Kalo bukan karena gue sama marcell yang bujuk dan kasih dia semangat, mungkin dia udah gaada sekarang” Semuanya terdengar jelas di telinga Arvian.
Setiap kata terus terngiang di otaknya. Apa... apa yang baru saja dia dengar? Kenapa dia begitu brengsek? Kenapa Denan menjadikan dia alasan utama untuk hidupnya? banyak pertanyaan muncul di kepalanya hingga tak lama sebuah tinjuan keras menghampiri pipi nya kembali.
“BRENGSEK, GUE GA SUDI TEMENAN SAMA LO LAGI ANJING!” Teriakan dari Jordan membuat tubuhnya bergetar.
“Terserah lo mau apain dia, Hazl. Gue ga peduli, gue juga ga bakal temenan sama orang rendah kaya dia. Gue pamit duluan” Ucapan pamit Jordan kala itu membuat Arvian berpikir itu adalah ucapan selamat tinggal dari pertemanan yang sudah di bangun selama 3 tahun.
Pupus sudah.
“Arvian, lo liat. Ini hasil perbuatan yang lo lakuin dengan sadar kemarin. Semuanya pergi”
Benar. Semuanya pergi. Cintanya dan teman baiknya pergi.
“Gue sebenernya masih mau nonjok lo, tapi kayanya udah cukup. Dah, gue cabut” Hazlen pun berjalan menjauhinya dan kini tersisa Marcell yang masih menatap marah Arvian.
“Gue bakal pastiin bang Denan ga akan ketemu sama lo lagi. Oh! dan selamat datang di kehidupan baru lo. Semoga lo bisa bertahan”
Marcell pun turut melangkah pergi meninggalkan dirinya.
Kini hanya dirinya, rasa penyesalan, dan rasa bersalah yang tersisa.
Pantas, Arvian pantas mendapatkan ini semua.
“Son”
Denan yang tengah menatap halaman belakang rumahnya, langsung menoleh kearah sang Papa yang baru tiba.
“Pagi, Pa”
“Juga”
Papa Denan pun duduk di kursi sebelah Denan yang hanya di batasi sebuah meja kecil dan disana terdapat secangkir teh hangat yang sudah Denan siapkan.
Hening sejanak.
Hingga karena merasa penasaran, pria yang paling tua itu mulai membuka suaranya.
“Apa—”
“Pa, Denan kangen ngobrol sama papa kaya yang dulu suka kita lakuin”
Denan memotong ucapan Papa nya, tanpa menatap sang lawan bicara. Pria paruh baya itu langsung terdiam.
“Semuanya berubah ya, Pa. Denan jadi bingung, harus ngerasa bahagia atau sebaliknya karena perubahan itu” Denan tersenyum tipis saat selesai mengucapkan kalimat itu.
“Papa” Kini kepalanya menoleh kearah Papa nya, menatap pria itu sejenak lalu kembali berbicara.
“Sekarang Denan mau ngobrol sama papa sejujur-jujurnya, yang mungkin nantinya bakal bikin papa tersinggung. Kalo papa tersinggung, aku minta maaf. Tapi, buat hari ini aja. Denan mau jujur sama papa, boleh ya?”
Melihat raut wajah yang nampak berbeda dari sang anak, mau tak mau dirinya pun memberikan anggukan setuju.
Denan menghela nafasnya sebentar.
“Papa, jujur... selama denan tinggal sama keluarga baru ini, denan ga ngerasa bahagia”
Kejujuran pertama, membawa sebuah satu rasa berat di pundaknya langsung terangkat.
“Denan?”
“Maaf, Papa. Tapi denan bener-bener ngerasa begitu. Denan awalnya bahagia karena Papa akhirnya nemuin kebahagiaan baru papa, tapi lama-lama rasa bahagia itu ga denan rasain” Denan sedikit menunduk dan memainkan jemarinya.
“Denan sebenernya ga masalah buat nerima kenyataan itu, tapi lama-lama.... Denan capek. Denan udah ga kuat lagi. Bahkan puncaknya, kemarin. Denan kemarin lepas kendali, bahkan hampir bertingkah kaya orang ga waras, dan itu karena Denan udah ga sanggup nahan semuanya”
Lagi, beban lain di pundaknya terasa hilang.
Pria paruh baya itu tidak dapat menahan rasa terkejutnya. Lagipula, siapa yang tidak akan terkejut kala mendengar bahwa anaknya benar-benar tidak bahagia dengan sesuatu yang ia kira akan membawa kebahagiaan baru.
“Denan...”
“Maaf, Papa. Tapi Denan udah ngerasa muak. Denan gabisa buat bertingkah dewasa seperti yang papa mau, karena semuanya kerasa tiba-tiba. Papa nyuruh aku buat bertingkah dewasa karena ada Carla, papa suka bentak aku karena tuduhan Carla, papa selalu nyuruh aku buat jaga Carla, papa selalu memprioritaskan Carla, pokoknya semua tentang Carla. Padahal, dulu papa ga kaya gitu... Makanya aku suka nanya ke papa—”
Denan membawa matanya untuk menatap sang Papa.
“Sebenernya yang anak kandung itu Carla atau Denan?”
Air matanya jatuh tanpa ia sadari, namun dengan cepat ia mengusap air mata itu.
“Itu bukan pertanyaan karena rasa kesel atau marah. Tapi itu pertanyaan dari kebingungan Denan. Bayangin aja, Pa. Denan yang ga pernah di bentak, di marahin, di nomor dua kan sama Papa, tiba-tiba aja di gituin. Siapa yang ga bakal kaget dan bingung?”
“Bahkan Papa jadi sering lupa sama semua hal yang berkaitan kenangan lalu. Kata papa dulu, Papa ga bakal lupain kenangan keluarga awal kita, tapi kenapa? Kenapa papa lupa? Kenapa papa selalu aja minta maaf dengan gampang karena lupain itu semua?”
Seperti tamparan, sang kepala keluarga itu pun langsung tersadar karena ucapan sang anak.
Kenapa dia tanpa sadar melakukan hal besar seperti itu?
“Maaf, Denan. Papa bener-bener ga sadar”
Denan hanya mengalihkan pandangan nya kearah lain saat melihat sang Papa yang mulai menangis.
“Papa benar-benar di buat buta sama semua kesenangan baru ini. Papa pikir papa udah ngelakuin yang terbaik, tapi ternyata papa salah. Maaf, nak. Maaf”
“Aku udah maafin, Papa. Tapi aku gabisa lupain semua itu. Juga, mungkin Papa bisa minta maaf ke mama. Walau papa punya mama ayu, bukan berarti papa lupain mama yang dulu bawa kebahagiaan buat papa kan?”
“Mama juga perlu buat ketemu suami kesayangannya. Mama Ayu juga Carla pun perlu ketemu mama, karena mau bagaimana pun mereka harus izin untuk masuk dan mengganti posisi mama”
Prang!
Suara pecahan di belakang pintu membuat keduanya menoleh, disana terlihat istri dan ibu tiri Denan yang sudah menangis sembari menutup mulut dengan kedua tangannya.
Denan hanya menatap mama tirinya dengan pandangan tanpa ekspresi.
“Mama Ayu harusnya kalo mau ikut dengerin langsung duduk disini aja” Ujar Denan dengan pelan.
Dengan langkah kaku, wanita itu berjalan menuju kearah Denan lalu memeluk anak tirinya itu dengan erat.
“Maafin mama, Den. Maaf—tolong maafkan saya. Harusnya saya memperhatikan dan memberikan kasih sayang yang sama dengan Carla, karena kamu juga anak saya. Maaf. Saya memang patut tidak di terima oleh kamu, tapi kenapa... kenapa kamu tetap memanggil saya mama?”
“Karena Denan ngehargain peran Mama Ayu”
Lagi, tangis wanita itu pecah.
Rasa bersalah langsung menghampiri mereka.
Tapi kenapa sekarang? Kenapa harus ketika dirinya sudah jujur dan mengatakan semuanya?
Ah, Denan sadar. Bukankah manusia memang seperti itu? Harus di sadarkan lebih dulu baru merasakan rasa bersalah.
Yah, setidaknya kali ini Denan sudah mengatakan sejujurnya apa saja yang ia rasakan. Rasanya bahu Denan terasa lebih ringan, tinggal satu masalah lagi yang harus ia selesaikan.
Dan semoga masalah itu terselesaikan dengan baik.
Gue bener-bener pengen lepas dari ini semua.
Denan masih setia duduk di sebelah batu nisan mama kasayangannya. Tangan lembutnya mengelus batu itu dengan pelan dan matanya menatap lurus bunga yang sengaja ia tanam.
“Mama, kira-kira denan harus gimana ya?” Ujarnya dengan pelan. Tak lama, angin pun berhembus dengan perlahan, seperti memberikan sebuah jawaban.
Denan menutup kedua matanya, menikmati angin yang menerpa wajahnya.
“Mama... Denan bingung, denan gatau jalan mana yang harus denan pilih” Adu nya lagi.
“Denan takut salah pilih lagi, Ma. Semuanya— Denan takut semuanya berubah kalo denan salah pilih” Mata rubahnya kini mulai berkaca-kaca.
“Denan... udah capek, ma”
Suara pelan dari Denan sangat menyiratkan rasa lelah, sedih, marah, yang selama ini ia coba pendam. Seakan mengerti, angin pun berhenti berhembus.
“Denan ngerasa kalo denan adalah manusia paling bodoh” Kedua kakinya ia tekuk lalu ia peluk dengan erat.
“Denan emang ga pantes ya buat bahagia di dunia ini?” Eratan tangannya semakin menguat.
“Harus seberapa kuat lagi? Harus berapa lama lagi biar Denan bisa dapet kebahagiaan Denan?” Setetes air matanya turun, begitu pula dengan langit yang mulai terlihat mendung.
“Denan capek, ma. Semuanya udah bikin denan kecewa. Papa, Arvian, bahkan dunia... Denan rasanya pengen banget buat nyamperin mama” Suara gemuruh dari langit mulai terdengar.
“Mereka bilang, mereka bakal bikin Denan bahagia. Mereka bilang, mereka ga bakal ninggalin Denan. Ma, apa semua manusia punya hobi buat ingkar sama ucapannya?”
Tetes demi tetes hujan mulai turun membasahi kota itu. Namun, Denan masih belum beranjak dari tempat itu.
“Denan udah nyoba buat tetep percaya sama mereka, denan udah nyoba buat ga peduli sama semua perkataan buruk orang-orang tentang mereka, tapi kenapa... KENAPA DENAN TERUS NGERASA SAKIT KARENA MEREKA, MA?!”
Kilat petir mulai menampakkan diri, hujan yang tadinya rintik pun menjadi deras. Tubuh Denan sudah basah kuyup, tapi hal itu masih tidak membuat dirinya ingin beranjak dari duduknya.
“Denan—”
Ucapannya tercekat, karena sudah tidak kuat menahan tangisnya, langsung saja ia menumpukan kepalanya pada kedua lutut kakinya, dia terus menangis. Menangis dengan kencang, sendirian.
Sakit, ma... Denan ngerasa sakit.
Sesak.
Capek.
Denan mau semua ini selesai.
Mama kapan mau jemput Denan?
Beberapa menit ia menangis sendirian, hingga ia tak lama pun sadar bahwa hujan tidak lagi membasahi tubuhnya. Merasa heran, di angkatlah dengan perlahan kepalanya, lalu saat melihat siapa sosok yang memayungi nya, air matanya kembali turun dengan kencang.
“Hazl”
“I'm here“
Denan langsung saja berdiri lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Menyembunyikan wajahnya di dada Hazlen, mengeluarkan semua tangis dan suara isakannya.
Sedangkan Hazlen memeluk Denan dengan satu tangannya yang bebas. Dia tidak memikirkan masalah bajunya yang ikut basah, yang terpenting ia berhasil memberikan tumpuan kuat pada Denan yang ingin bersandar.
“Gue capek, Hazl. Capek”
“Kangen sama mama, hazl”
“Hazl, capek”
Hazlen hanya diam saat Denan mulai meracau, namun dirinya dengan setia memberikan elusan lembut pada punggung sempit Denan.
“Gue disini, gue disini, Den. Gue ga bakal ninggalin lo”
“Gue benci pembohong, hazl”
“Lo tau kan, Den. Gue bukan pembohong atau manusia yang suka ingkar sama ucapannya”
Denan terdiam lalu mengangkat wajahnya untuk menatap sahabatnya itu, Hazlen pun langsung memberikan senyum tipisnya, “Jangan jadi manusia itu ya, Hazl?”
Hazlen mengangguk pelan, “Iya, gue ga akan jadi manusia itu”
“Udah tenang kan? Sekarang pamit sama mama dulu yuk? Lo perlu ganti baju biar ga kena demam”
Denan diam sejanak, kemudian di lepasnya pelukan itu, lalu berbalik dan menatap batu nisan mama nya.
Ma, maafin denan yang lagi-lagi lepas kendali. Mama jangan khawatir, Denan udah sama Hazlen sekarang. Denan pamit ya. Juga... tolong doakan, setelah ini Denan—anak mama ini bisa berubah jadi versi yang lebih baik. Sampai jumpa nanti, ma.
“Udah pamit, ayo!”
Hazlen tersenyum tipis, bukannya mulai beranjak, dia malah menggenggam tangan dingin Denan, memberikan sedikit kehangatan pada pemuda itu, matanya pun di bawa untuk menatap lurus batu nisan mama Denan.
Denan terkejut? Tentu saja. Dia juga di landa kebingungan.
“Halo, Mama. Maaf karena Hazlen baru sempet kesini. Hazlen kesini karena ngerasa mama manggil Hazlen buat nemenin anak mama ini. Bener, kan? Tenang aja, Ma. Mulai sekarang Hazlen bakal nemenin terus Denan, sampe Denan lupa sama semua rasa sakitnya. Jadi, tolong bantu Hazlen ya, ma? Bantu Hazlen buat bikin Denan ga sedih lagi”
Kalimat yang Hazlen ucapkan terdengar sangat lembut, genggaman tangannya pun terasa hangat, entah mengapa hal itu membuat rasa sesak di dada Denan juga pikiran buruknya, mendadak sirna.
Hazlen lagi-lagi berhasil membuat dirinya merasa tenang.
Denan menatap Hazlen dari samping, senyum lembutnya pun terbit, lalu ia pun mengeratkan genggaman mereka.
“Kalo gitu, Hazlen pamit ya. Takut Denan keburu masuk angin, kalo terus di diemin” Ujar Hazlen dengan jenaka lalu melirik Denan yang kini mengernyitkan dahinya.
“Sampai jumpa nanti, Mama. Hazlen bakal bawa Denan kesini dengan versi yang lebih baik”
Walau tak mengerti apa maksudnya, tapi Denan memilih untuk mengikuti apapun saran dari Hazlen dan Marcell.
Itu pilihan terbaiknya dan Denan rasa, Mama nya akan sangat setuju.
Keduanya pun berjalan meninggalkan tempat peristirahatan Mama kesayangan Denan, dengan tangan yang masih saling menggenggam.
“Denan”
“Hm?”
“Berubah buat jadi lebih baik, ya? Tinggalin semua hal yang bikin lo ngerasain sakit mulai hari ini”
“Gitu ya?”
“Kenapa? Lo gamau?”
Denan tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Udah capek di sakitin mulu. Pengen bahagia. Jadi, tolong bantu gue ya?”
Hazlen menatap Denan sejenak lalu tersenyum lebar.
“Nah, gitu dong! Oke, gue bantu. Liat aja, gue bakal bikin senyum cerah Denan kembali”
“Iya. Makasih ya, Hazlen”
everything started to change little by little.
“Pagi, ma” Sapa Denan kala membuat kontak mata dengan sang mama tiri yang sudah duduk di sebalah papa nya.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum lembut, “Pagi juga, Denan”
Denan pun berjalan menuju sofa yang ada di sebelah sofa Carla. Adik tirinya itu sudah duduk tenang dan Papa nya tengah meneliti nilai rapot milik perempuan itu.
Lirikan yang entah apa artinya Carla berikan pada Denan yang baru saja duduk di sebelahnya sembari menaruh buku rapotnya. Denan yang melihat hal itu pun langsung melirik balik.
“Oke, Papa udah liat semua nilai kamu, Carla” Suara tegas Papa nya membuat fokus mereka kearah sang kepala keluarga.
“Cukup bagus, papa lumayan kaget liatnya. Tapi tetep aja, ada mata pelajaran yang harus kamu perbaiki nilainya. Kamu tau itu kan?” Carla mengangguk.
“Aku tau, Pa. Di semester baru ini, Carla bakal berusaha buat memperbaiki nilainya” Pria paruh baya itu pun mengangguk-angguk, seakan bangga dengan respon yang Carla berikan.
Lalu rapot milik Denan ia ambil, dengan tenang pria itu pun membaca dengan perlahan isi dari rapot Denan. Anak tertua dalam keluarga itu pun kini di landa rasa gugup.
Hingga tak lama, Papa Denan selesai. Tatapan serius dia berikan pada Denan dan hal itu membuat detak jantungnya berdegup kencang.
“Denan, kenapa matematika wajib kamu menurun gini?”
Denan mengepalkan tangannya yang ada di atas paha itu.
“Maaf, Pa. Tapi Denan udah berusaha dengan maksimal, tapi karena guru dari mata pelajaran tersebut berbeda dari tahu—”
“Kamu lagi menyalahkan guru kamu sendiri, Denan?”
Deg!
Sanggahan dengan nada datar itu membuat rumah tersebut sunyi, hawa dingin pun dengan perlahan menyebar.
“Ngga, Pa. Denan cuman lagi ngejelasin kenapa nilai Denan bisa turun” Jawab Denan dengan tegas.
“Terus apa hubungannya guru kamu sama nilai turun ini?”
Denan meneguk ludahnya dengan cepat, kepalan tangannya semakin mengeras, “Pa, denan tadi mau ngejelasin tapi papa malah motong ucapan denan”
Raut wajah kepala keluarga itu mengeras, sedangkan dua perempuan di rumah itu hanya diam, memperhatikan perdebatan mereka.
“Papa motong kamu karena kamu malah bawa-bawa guru kamu”
“Oke, Pa. Denan paham, tapi memang permasalahannya dari guru itu. Guru matematika wajib denan tahun ini beberapa kali suka ga masuk saat jam nya, penjelasan yang dia kasih juga selalu lompat dengan cepat. Denan tau, apa yang harus denan lakuin kalo di ajar sama guru kaya gitu. Tapi, Pa... Denan juga cuman pelajar, Denan masih harus di bimbing biar benar-benar paham sama materi yang di pelajarin. Walaupun denan udah berusaha dengan maksimal, Denan juga butuh bimbingan dari yang lebih ahli” Jelas Denan dengan tenang.
Helaan nafas kasar pun keluar dari Papa nya. “Kenapa ga bilang ke papa? Kamu udah tau harus apa, jadi bukannya kamu harus lapor ke papa buat masalah itu? Papa kan bisa masukin kamu ke tempat les”
“Aku mau bilang, tapi waktu buat bilang itu selalu gaada”
“Maksud kamu?”
Denan menatap Papa dengan sendu, “Papa selalu sibuk” Ujarnya dengan suara pelan.
“Tapi, Kak, Papa kalo libur kan selalu ada waktu buat kita” Carla ikut bersuara setelah menyimak.
Denan menatap Carla sejanak, “Iya, Papa emang selalu ada waktu buat keluarganya tiap hari libur. Tapi kamu suka rebut perhatian papa setiap aku mau ngobrol sama papa”
“Aku ga pernah gitu kok!”
Denan menatap Carla dengan pandangan tak percaya, “Wah, Wah! Sekarang kamu mau nyiptain suasana yang makin panas ya?!”
“Denan!”
Seruan tertahan itu membuat Denan menatap Papa nya dengan pandangan tak percaya, “Liat, Carla. Gara-gara lo, Papa selalu bentak dan marahin gue. Puas ya lo?”
“Maksudnya apa sih, kak?!”
“Denan, tenang dulu ya nak. Anak mama ga mungkin kaya gitu”
Kini mata Denan menatap mama tirinya, “Mama ga bakal percaya karena mama ga pernah liat gimana kelakuan asli Carla”
Pandangan tak percaya sekarang di tujukan pada dirinya.
“Denan, ga sopan kamu!”
Denan terkekeh pelan saat mendengar suara berat itu, “Papa, kenapa jadi ga adil gini? Papa ngasih pujian di awal buat Carla, tapi kenapa pas giliran denan, papa malah langsung nyebutin kekurangan nilai Denan?”
Denan dengan sekuat tenaga untuk tetap tenang dan menahan air matanya yang ingin keluar.
Sang kepala keluarga terdiam. Semua orang disana terdiam.
“Dari situ aja udah keliatan kan, Pa? Atensi dan kasih sayang yang papa selalu beri ke Denan, udah sepenuhnya Papa beri ke dia” Ujar Denan sembari menunjuk Carla.
“Pa, Denan bukan anak kecil. Iya, betul. Denan bukan anak kecil. Denan udah gede, denan harus lebih dewasa. Papa selalu bilang itu akhir-akhir ini. Denan tau dan paham apa maksudnya. Tapi, Pa... apa Denan yang lagi mencoba jadi dewasa ini gaboleh buat dapet apresiasi dan kasih sayang dari keluarga nya?”
Bibir Denan mulai bergetar karena sudah tidak sanggup menahan rasa sesak.
“Denan, maaf—”
“ARGH!!!” Erangan kesal langsung keluar dari bibir Denan, sembari menutup telinga nya.
“Benci, benci, benci”
Melihat Denan yang mulai tak terkendali, semua orang disana langsung di landa kebingungan. Papa Denan sontak berdiri lalu berjalan kearah anaknya.
“Son—”
Belum sempat ia menepuk pundak anaknya, Denan sudah mengangkat kepalanya lalu menatap sang Papa dengan raut amarah yang di campur dengan kesedihan.
Kaget? Tentu saja kepala keluarga itu terkejut dengan tatapan mata dan raut yang tidak pernah di lihat olehnya.
“Stop bilang maaf, Pa! DENAN MUAK! DENAN MUAK DENGAN KATA ITU YANG SELALU KELUAR DARI MULUT PAPA!”
“Denan juga anak papa... denan anak kandung papa... carla cuman anak tiri papa... kenapa papa ga sayang sama denan...”
Gumaman dengan suara yang gemetar itu seakan menggema pada rumah tersebut.
“Den, kita ke kamar dulu ya?” Pria yang paling tua itu pun mencoba menuntun Denan ke kamarnya, namun tepisan kasar pun ia terima.
Tak!
“Denan bisa sendiri, Denan bukan anak kecil yang harus di tuntun” ucapnya lalu berjalan sendiri kearah kamarnya.
Meninggalkan tiga orang yang menatap punggungnya dengan rasa bersalah di hati mereka.
Ma, tolongin denan.
—
Suasana riuh di malam hari dapat Denan rasakan kala dirinya dan Hazlen sampai di sebuah tempat makan kecil di pinggir jalan utama kotanya.
“Mau makan apa?” Tanya Hazlen sembari menaruh jaketnya di meja yang mereka tempati.
“Pengen nasi goreng... tapi gamau” Hazlen mendengus saat mendengar ucapan tidak jelas dari sahabatnya.
“Oke, nasi goreng seafood pedes dua sama es teh manis” Denan terkekeh pelan kala mendengar Hazlen memutuskan sendiri pesanan mereka.
“Ya, terserah kacang deh”
Hazlen pun mengangguk lalu berjalan menuju tempat pemesanan dan Denan pun menunggu sembari menikmati suasana nyaman dari tempat itu.
Kerasa lebih hidup di bandingkan rumah gue. Batinnya.
“Oy”
“Hm?”
Hazlen langsung duduk di sebrang Denan kemudian menatap sahabatnya dengan seksama. “Muka lo makin keliatan gelap, kemana Denan yang selalu keliatan cerah?”
Denan terdiam sejenak lalu mengangkat kedua bahunya dengan cuek. “Hilang kali”
Hazlen lagi-lagi mendengus, “Den, kalo adopsi anak adalah hal mudah, gue bakal ajak bunda buat adopsi lo” Denan tertawa kala mendengar ucapan tak jelas Hazlen.
“Yang ada, bunda bakal tuker lo sama gue nantinya”
“Gapapa deh, asal lo bahagia”
Senyum tipis pun muncul setelah ia meredakan tawanya. “Gitu ya? Lo lebih suka liat gue bahagia?” Hazlen mengangguk pelan.
“Terus kalo kita di tuker, lo nya bakal bahagia ga sama keluarga gue?”
“Gatau. Kan yang penting lo bahagia dulu”
Entah dirinya harus terharu atau merasa kasihan dengan dirinya sendiri saat mendengar ucapan tak jelas Hazlen.
“Lo berlebihan, hazl”
Hazlen menaikkan satu alisnya, “menurut gue ngga kok??”
Kini giliran Denan yang mendengus pelan, “Hazl, jangan kasianin gue. Gue ga perlu itu”
Hazlen makin bingung saat mendengar ucapan Denan, “Siapa yang kasian sama lo sih, Den? Gue cuman mau liat lo bahagia”
Setelah itu mereka hening sejenak. Apalagi tak lama kemudian pesanan mereka datang.
“Makan dulu ah, lo makin ga jelas” Denan pun mencoba mengalihkan pandangannya kearah makanannya, sedangkan Hazlen masih menatap Denan.
“Apa yang lo pikirin, Den?”
“Gaada”
“Gue ga bakal makan sebelum lo bilang apa yang lagi lo pikirin sekarang”
Denan pun mengangguk sembari menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya sendiri. Mengabaikan Hazlen yang masih diam.
Satu suap... dua suap... tiga suap... oke. Denan kini merasa risih karena sikap tak jelas Hazlen. Matanya ia bawa untuk menatap Hazlen dengan raut kesal.
“Makan”
“Gamau”
“Duh, Hazl!”
“Bilang makanya”
Denan mendengus pelan lalu menyuapkan makanannya lagi. Setelah selesai mengunyah, dirinya pun mulai berujar sesuatu dengan pelan tanpa menatap Hazlen.
“Kenapa ucapan lo itu, selalu sama?”
Hazlen mengernyit, “Sama gimana?”
“Kenapa lo selalu bilang kalo kebahagiaan gue yang utama?”
Hazlen mengerjapkan matanya, memproses pertanyaan Denan lalu saat paham, seulas senyum tipis terbit di bibirnya.
“Karena senyum bahagia lo adalah salah satu alasan gue buat hidup di dunia kacau ini”
Pergerakan Denan seketika terhenti. Matanya pun di bawa untuk menatap sahabatnya.
“Apa...?”
Hazlen terkekeh pelan, “Lo ga inget gimana pertemuan pertama kita dulu?”
Dahi Denan mengernyit, “Pas kita masuk sd kan?” Hazlen mengangguk.
“Lo dulu teman pertama gue dan lo juga adalah pahlawan gue, den”
“Pahlawan?”
“Yah, intinya lo itu pahlawan gue. Jadi, wajar aja kan kalo gue mau pahlawan gue ini ngerasain banyak kebahagiaan?” Denan menatap Hazlen lalu mengangguk mengerti.
“Yaudah, kalo gitu sekarang lo makan. Lo kalo lagi laper emang gajelas” Hazlen terkekeh lalu mengikuti perintah dari Denan.
“Padahal gue serius”
“Yayaya, imajinasi lo makin liar jadi cepetan abisin makanan lo”
Hazlen kembali menatap Denan yang tengah sibuk memakan makanannya, kemudian kembali tersenyum kecil.
Den, walaupun lo lupa sama kejadian itu, gue bakal selalu inget. Lo beneran pahlawan gue. Pahlawan yang bikin gue ga ngalamin trauma di masa kecil gue. Seandainya dulu lo ga manggil gue, ngajak gue main, ngajak temenan, mungkin Hazlen yang sekarang ga bakal ada. Jadi, Tuhan.... Tolong berikan banyak kebahagiaan buat sahabat Hazlen ini, karena dia pantes buat dapetin kebahagian itu.
Siang semakin terik dan anak-anak di sekolah dasar tersebut memilih untuk bermain di sebuah taman yang rimbun akan pepohonan. Mereka nampak bersenang-senang, tawa riang terdengar di seluruh taman tersebut. Namun, tanpa di sadari ada seorang anak laki-laki yang tengah berjongkok seorang diri tepat di bawah pohon apel.
“Eh, Kamu!!!”
Suara yang memekikan telinga membuat anak yang menyendiri itu, mengangkat kepalanya dan tak lama sang pemanggil sampai di hadapannya.
“Kamu sendiri?”
Anak laki-laki yang tadi menyendiri itu pun mengangguk dengan bingung.
“Kenapa? Kamu ga punya temen?”
Anak laki-laki yang memiliki pipi chubby itu pun langsung mengulurkan tangannya sembari tersenyum lebar.
“Ayo kita main bareng! Mama aku bilang, kita harus banyak main biar banyak ketawa!”
Anak penyendiri itu pun dengan ragu menerima uluran tangan tersebut.
“Aku Denan, sekarang kita sahabat ya!”
Perkenalan singkat, ajakan bermain, deklari persahabatan, semua itu terjadi pada siang terik itu. Oh! Dan jangan lupakan, dengan senyuman cerah yang terus terbit dari bibir anak itu. Semua hal itu sangat membekas di memori anak yang menyendiri tadi. Hingga saat ini.
“Iya... aku sahabat kamu, nama aku Hazlen”
“Yey! Aku panggil kamu Hazl ya?”
“Eh, Arvi. Tunggu dulu deh”
Arvian yang tadinya berjalan lebih dulu langsung kembali menghampiri Denan. Tak lama, ia pun melihat kekasihnya tengah mengangkat telpon yang entah dari siapa.
“Halo?”
“Kak!!”
Denan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara keras perempuan itu.
“Kenapa?”
“Udah jam balik kan?”
“Udah”
“Nah! Bisa tolong suruh siapa gitu buat jemput gue ga?”
Melihat dahi Denan yang mengernyit langsung membuat Arvian menjadi sedikit penasaran dengan sang penelpon.
“Emang mama ga jemput?”
Saat mendengar ucapan Denan, seketika ia pun menjadi tahu siapa penelpon itu.
Carla. Mantannya dan adik dari kekasihnya.
“Gatau, ini mama ga jawab telpon gue” Mendengar suara Carla yang seperti ingin menangis, sedikit membuat diri Denan khawatir pada adik tirinya itu.
“Kak, tolongin. Gue takut, sekolah gue udah mulai sepi” Denan menghembuskan nafasnya lalu melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian pandangannya terpaku pada Arvian yang menatapnya dengan bingung.
“Halo? Kak den! Please, gue mau pulang”
Perang antara batin dan pikiran di mulai pada diri Denan.
Apakah ia harus menyuruh Arvian untuk menjemput Carla? Tapi dirinya juga butuh tumpangan dari dia, kakinya sedang tidak bisa di ajak kerjasama. Menyuruh Hazlen? Sahabatnya sudah pulang sedari tadi.
Tidak ada pilihan selain menyuruh Arvian untuk menjemput adiknya. Baiklah, Denan akan mengalah. Tidak mungkin kan, dia harus membiarkan sang adik menunggu sendirian disana?
“Oke, nanti gue suruh Arvi buat jemput lo. Tunggu disana”
“Siap! Makasih, Kak Den!”
Sambungan terputus.
“Kenapa, Den?”
Denan menatap Arvian sejenak kemudian berujar, “Arvi... aku boleh minta tolong?”
Saat itu juga rasanya Arvian di landa rasa gelisah yang entah apa artinya.
“Minta... tolong apa?”
“Tolong jemput adik aku di sekolah nya ya?”
Deg!
Arvian diam sejenak dan hal itu membuat Denan khawatir. Namun, beberapa detik kemudian sang kekasih memberikan anggukan.
“Oke, di SMA Riskala satu kan?”
“Iya, tapi gimana kamu bisa tau?”
Arvian tersenyum tipis, “Nebak aja sih”
Denan pun merespon dengan anggukan.
“Kalo gitu, aku otw sekarang aja ya?”
“Eh? Iya... makasih, Arvi. Hati-hati”
Setelah berpamitan, Arvian pun pergi membawa motornya menuju sekolah sang adik. Yang entah mengapa, semakin jauh Arvian dari pandangannya, dada Denan terasa sedikit nyeri.
Sebenernya gue kenapa sih?
Hembusan nafas lelah ia keluarkan, ia tatap langit sore sejenak lalu mulailah ia melangkah keluar dari sekolah itu. Berjalan menuju rumahnya dengan kedua kaki yang di paksa untuk bergerak.
Capek... Tapi gue gaboleh ngeluh gini. Kan gue yang buat keputusan...