Rasanya...
Setelah menikmati makan malam buatan Denan, kini mereka bertiga berada di halaman belakang rumah Denan. Duduk diatas rumput dengan beralaskan kain lebar saja dan di temani tiga kaleng soda.
Udara malam ini terasa sangat sejuk dan bukannya merasa kedinginan, mereka bertiga malah merasa biasa saja. Mata mereka menatap langit malam yang sangat indah, bulan berbentuk sabit, juga beberapa bintang yang bersinar cantik.
Mereka sangat menikmati waktu saat ini.
Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Hingga Denan merasa mereka harus mengobrol sesuatu, karena jika diam saja, ia takut kedua sahabatnya terlalu larut dalam pikiran mereka.
“Ehem”
Deheman Denan membuat Hazlen dan Marcell menoleh kearahnya.
“Kenapa? Mau sesuatu?”
Denan menggeleng, “Gue cuman mau nanya, kalian gapapa kan?”
Hazlen menghela nafasnya dengan pelan, tangannya pun beralih untuk membuka kaleng soda lalu menegak minuman itu.
Sedangkan Marcell memilih untuk menyandarkan kepalanya pada bahu sempit Denan.
“Gue gapapa sih, bang. Mami sama Papi gue juga baik” Jawab Marcell sembari menyamankan kepalanya di bahu Denan.
” Bagus kalo gitu” Ujar Denan dengan pelan.
“Gue juga gapapa, Bunda gapapa terus Ayah gue kebetulan baru balik dinas dan dia gapapa. Oh, Abang gue juga oke, cuman lagi stres aja mikirin tugas kuliah”
Denan terkekeh pelan lalu menganggukkan kepalanya.
“Oke, makasih buat laporan keadaan keluarga kalian”
Lalu hening sejenak dan kini Hazlen membuka suara,
“Gimana kalo lo, Den?”
Denan menoleh kearah Hazlen, “Hm?”
“Keadaan lo, keluarga lo, itu gimana?”
Mendengar hal itu, semuanya sontak terdiam. Marcell yang melihat reaksi Denan pun langsung melirik kearah Hazlen.
Tak lama, Denan pun menjawab pertanyaan Hazlen.
“Gue gamau bohong, jadi jawabannya.... Ngga, gue dan keluarga gue ga baik-baik aja” Kalimat yang Denan lontarkan dengan santai membuat Hazlen juga Marcell sedikit terkejut. Namun mereka mencoba menutup rasa terkejut itu.
“Denan” Panggilan Hazlen membuat Denan menatap langsung mata pemuda tan itu. Kedua matanya beradu dan tak lama sepasang jelaga cantik milik Denan pun menampakkan kaca bening yang sebentar lagi akan berubah menjadi sebuah air mata.
Marcell yang merasakan bahu Denan mulai bergetar langsung mengangkat kepalanya, kemudian ia dekap sahabat kesayangannya itu dengan erat.
Tangis Denan dengan perlahan turun, membasahi bahu Marcell. Tidak ada yang mengeluarkan suara, Hazlen dan Marcell hanya diam, memberikan tepukan lembut di bahu juga elusan penenang pada punggung Denan.
“Sesak, Cell. Sesak” Ucap Denan dengan suara yang serak karena dirinya tengah menahan sesuatu yang menyesakkan.
“Iya, bang Den. Gapapa, keluarin semuanya” Bisikan Marcell semakin membuat Denan meneteskan air matanya.
Mata Marcell dibawah kearah Hazlen, keduanya bertatapan, pada tatapan itu Marcell seakan memberikan pesan pada Hazlen bahwa dirinya juga merasa sakit melihat Denan yang menangis.
Hazlen mengambil nafas pelan, “Den... Jangan di tahan, nanti nambah sesak” Hanya kalimat itu yang dapat ia berikan pada Denan.
“Gue cengeng ya, Len?”
“Ngga, Den. Lo ngga cengeng”
“Tapi cuman masalah kecil aja, gue sampe nangis gini”
“Nangis itu hal wajar yang terjadi pada manusia, Denan”
“Ga, ini gue yang salah, Len!” Seruan tertahan itu membuat Hazlen menarik bahu Denan hingga pelukan Denan dengan Marcell pun terlepas.
Hazlen memegang kedua pundak Denan dengan lembut, “Liat gue, Denan”
Kepala Denan yang tadi tertunduk pun langsung mengangkat perlahan. Hingga Hazlen pun dapat melihat, mata yang sedikit memerah karena penuh dengan air mata, Pipi yang basah juga bibir yang sedikit terbuka untuk membuang nafas berat, itu semua cukup membuat Hazlen merasa sakit.
“Kenapa, hm?” Ujar Hazlen dengan lembut sembari mengusap air mata yang mengalir di pipi Denan.
Marcell yang sedari tadi diam pun langsung beranjak dari sana untuk mengambilkan selimut. Agar Denan merasa hangat.
“Hazlen, gue kaya anak kecil ya?”
Hazlen tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya, “Ngga, Denan.”
“Iya, gue kaya anak kecil. Harusnya gue ga cengeng dan egois gini, harusnya gue ngertiin Papa yang sibuk ngurusin pernikahan dan ngeraih kebahagiaan baru nya” Lagi, air matanya turun.
“Len, gue.... gue harusnya ga gini” Kepala Denan lagi-lagi menunduk dan tak lama Marcell pun datang kemudian menyelimuti tubuh kecil Denan.
“Denan, lo bukan tipe yang bakal bohongin diri sendiri. Jadi, bilang ke gue. Apa yang lo rasain saat ini?”
“Bang Denan, kalo di depan kita jangan takut buat ungkapin apa yang lo rasain. Kita ga bakal hakimin lo atau apapun itu”
Ucapan kedua sahabatnya membuat Denan menoleh dan menatap sejenak wajah Marcell dan Hazlen. Hingga tak lama Denan menangis kembali, air matanya turun dengan deras, tangannya terkepal di dalam selimut dan suara isakan terdengar jelas diantara mereka.
“Gue takut, gue takut, Cell, Len” Suara itu keluar dengan pelan namun rasanya di telinga Marcell dan Hazlen, Denan seperti tengah berteriak.
“Papa sibuk, jarang ketemu gue—jarang ada waktu sama gue lagi. Takut, takut Papa bakal ninggalin gue” Ucapannya di lontarkan dengan susah payah karena menahan sesak yang semakin terasa.
Hazlen dan Marcell pun sampai saat ini hanya memilih diam, membiarkan Denan mengeluarkan semuanya yang ia pendam selama ini.
“Kemaren—Kemaren dan Kemaren, Papa selalu ga nunjukin perhatiannya kaya biasa. Selalu aja yang di dahuluin tante ayunika, carla, tante ayu—Hiks Gue nya kapan?! Gue juga mau... gue juga mau di perhatiin sama Papa kaya biasanya” Kepalan tangan Denan kian mengerat dan melihat hal itu, Marcell langsung mengusap punggung tangan Denan agar pemuda itu tenang.
“Setiap hari Papa pulang telat, atau bahkan ninggalin gue pagi-pagi buta. Tau rasanya gimana?” Mata Denan menatap kearah Hazlen.
“Len, rasanya sepi.... rasanya hampa... rasanya sesak. Perasaan itu sama kaya apa yang gue alamin tiga tahun lalu, waktu mama pergi pulang. RASANYA SAKIT, LEN. SAKIT!” Kepalan tangan kanan Denan mulai memukul dadanya, guna menghilangkan rasa sesak di dadanya.
Melihat hal itu, Hazlen langsung memeluk Denan dengan erat. Juga Marcell yang turut memberikan pelukan hangat untuk mereka bertiga.
“Sstt, tenang den. Tenang, lo ga sendiri. Ada kita. Makasih ya, makasih karena udah berhasil bertahan dengan nahan semua perasaan berat itu. Makasih, Denan. Lo ga cengeng, lo ga egois kok. Jadi jangan merasa kaya gitu lagi, ya?”
Denan hanya mengangguk pelan dalam pelukan itu. Tangisnya masih mengalir deras.
“Bang Denan. Jangan mikir hal jelek kaya gitu, lo wajar ngerasain itu semua. Bang, lo harus inget kalo lo berhak marah, lo berhak nangis dan lo berhak buat bahagia. Jangan larut dalam ketakutan sendirian, di sisi lo ada kita berdua, lo bisa bagi cerita atau apapun ke kita. bang, lo ga sendirian”
Lagi-lagi Denan menganggukkan kepalanya pelan dan tangisnya kian mereda.
“Makasih, makasih banyak” Ujar Denan dengan suara pelan.
“Cup cup cup, cukup ya nangis nya? Nanti mata lo bengkak kalo kebanyakan nangis” Denan menatap Hazlen lalu tertawa kecil.
“Ah, payah lo kacang! Bang Denan lagi enak-enak nangis masa langsung disuruh berhenti?!” Ujar Marcell dengan sewot dan mendapat delikan tak suka dadi Hazlen.
“Lah, hujan matanya Denan udah reda jadi gue bilang gitu. Lo tuh harusnya—Duh, lepasin dong pelukan lo ini! Sesak tau!”
Bukannya melepaskan pelukan itu, Marcell dengan jailnya mengeratkan pelukan mereka.
“Heh, bocah! uhuk! kasian si Denan kejepit ini!”
“Bang Denan ga komplen tuh!”
Denan yang melihat pertengkaran kedua sahabatnya hanya bisa tertawa kecil. Hazlen benar, air matanya kini sudah tidak turun lagi dan dadanya pun sudah tak merasa sakit lagi.
Perdebatan Hazlen dan Marcell masih belum selesai juga, begitu pula dengan pelukan yang mereka berikan pada Denan masih belum di lepas.
Hazlen dan Marcell yang melihat tawa Denan telah kembali langsung saling melirik satu sama lain. Dengan otomatis, senyuman keduanya pun terbit.
Kini semuanya malah terasa hangat.
Malam yang sangat indah.
Tuhan, terimakasih. Terimakasih banyak karena telah mengirimkan mereka berdua pada sisi Denan. Walaupun banyak rasa sakit yang terasa dan mungkin akan datang nantinya, bila mereka masih ada di sisi Denan.... Denan yakin, Denan tidak akan pernah berpikir menyerah untuk hidup di dunia ini. Tolong berikan banyak kebahagiaan kepada dua sahabat Denan ini, Tuhan. Sekali lagi, Terimakasih banyak.
Baguslah, langsung senyum lagi. Den, kedepannya semoga lo ga ngerasain sakit kaya hari ini lagi. Kalaupun di masa depan nanti malah banyak rasa sakit yang muncul ke lo... gue janji, gue janji buat selalu ada di samping lo.
Bang Denan, lo emang pantesnya banyak senyum dan ketawa. Bukannya nangis kaya tadi. Jadi, semoga di masa depan nanti banyak kebahagiaan yang datang ke lo. Please, jangan ada tangisan lagi. Soalnya gue ga sanggup liat lo nangis....