Aksararen

Denan mengambil nafasnya dengan dalam sembari mengeratkan pegangan sebuah buket bunga yang ia pegang di tangan kanannya. Matanya ia bawa menatap sebuah gapura yang tertulis Pemakaman umum di depannya.

Hingga setelah dirasa ia sudah tenang, kaki nya pun dirinya bawa untuk melangkah menuju tempat peristirahatan terakhir wanita pertama yang ia cintai dan hormati.

Tak lama kemudian, ia pun sampai. Sampai di depan sebuah batu nisan yang tertulis nama sang mama dan tanggal kematiannya. Denan mengambil nafas kembali, kemudian senyum terbaik ia tampilkan untuk sang mama.

“Hai, Mama. Denan datang, seperti biasanya” Sapanya sembari meletakkan buket bunga yang ia bawa di depan batu nisan tersebut.

Matanya meneliti tempat peristirahatan Mama nya tersebut lalu ia pun berjongkok di samping batu nisan itu.

Tangan kurus nan lentik miliknya, ia bawa untuk mengusap nama yang terukir di batu nisan itu dengan lembut. Ia hanya diam, tanpa berujar sepatah kata. Namun jika orang-orang melihat dirinya yang seperti ini, pasti mereka akan berpikir bahwa Denan sedang mengungkapkan pesannya pada sang Ibu di dalam hati.

Aura kesedihan mulai terasa dan mungkin karena aura yang Denan keluarkan sangat besar, Langit pun mulai mendung. Seakan turut sedih menemani Denan.

“Mama... Udah tenang kan?” Akhirnya Denan mulai mengucapkan sepatah kata, walaupun suaranya sangat serak karena menahan tangis.

“Mama harusnya udah tenang, karena sebentar lagi Denan bakal punya sosok ibu baru...” Sesak di dada nya semakin terasa.

“Tapi Mama tenang aja, Mama tetap menjadi Mama nomor satu yang Denan sayang”

Satu tetes air matanya keluar.

“Mama, Denan minta maaf karena Denan gabisa bawa Papa buat jenguk Mama hari ini. Mama... jangan sedih ya? Papa katanya ga bermaksud buat sengaja ga dateng hari ini”

Ah, kenapa rasanya sakit banget.

Denan mengambil nafasnya dengan dalam, ia mengusap air matanya sambil tersenyum menatap batu nisan sang Mama.

“Mama, hari ini Denan gagal buat ga nangis. Padahal tadi Denan janji ke diri Denan sendiri buat ga nangis, tapi ternyata Denan ga sekuat itu buat nahan” Ujar Denan yang diakhir kekehan pelan.

“Ma, hidup Denan mulai membaik. Denan sebentar lagi punya anggota keluarga baru, terus Denan juga punya seseorang yang sayang sama Denan, juga Marcell dan Hazlen masih setia sahabatan sama Denan”

“jadi... mama gausah khawatir disana, ya? Denan anak kesayangan Mama ini gapapa dan baik-baik aja”

Denan menutup matanya sejenak, tangan kanannya yang terkepal pun kini tengah memukul pelan dada kirinya untuk menghilangkan rasa sesak.

Mama, Denan kangen sama Mama. Kangen banget, sampe Denan gatau caranya ngungkapin rasa kangen ini. Denan udah bilang kalo Denan baik-baik aja sekarang, tapi rasanya masih kurang. Mama, maaf maaf dan maaf, karena Denan masih ngerasa belum ikhlas dengan keadaan sekarang. Tapi, Denan bakal coba dengan perlahan buat nerima keadaan ini biar Mama benar-benar tenang. Denan janji, Denan bakal baik-baik aja dan bakal bahagia biar Mama juga bahagia disana.

Angin mulai berhembus dengan kencang dan tak lama rintik hujan pun turun. Denan mengadahkan kepalanya untuk melihat langit yang mendung sebentar, lalu kepalanya mengangguk pelan.

“Mama, kayanya udah waktunya buat Denan pulang. Maaf ya, Denan gabisa lama-lama disini. Tapi nanti, Denan bakal lama kalo kesini. Janji!” setelah berujar seperti itu, Denan pun berdiri dari jongkok nya dan menatap batu nisan sang Mama untuk terakhir.

“Denan pamit pulang ya, Ma. Denan sayang mama”

Ucapan pamit sudah di katakan dan Denan pun mulai melangkah pergi, meninggalkan tempat peristirahatan sang Mama.

I love you, Mama.

Denan kini tengah berada di mobil dan menuju perjalanan pulang.

Yah, waktu yang dirinya dan Carla habiskan tadi tidak terlalu membosankan. Nyatanya, Denan malah merasa sedikit senang karena pergi keluar dengan Carla.

Tidak seburuk yang ia pikirkan.

Oh, ya. Omong-omong soal prediksi nya tadi siang, hal itu benar-benar terjadi. Ia mengeluarkan sedikit uang jajannya untuk membelikan barang yang Carla ingin beli. Tapi bukan barang branded seperti dugaannya tadi, Carla malah membeli beberapa buku yang katanya Limited Edition dan hanya di jual di mall pusat.

Ah, ia jadi merasa bersalah pada Carla saat mengetahui barang apa yang ingin perempuan itu beli. Jadi, tanpa ragu pun dia membelikan buku-buku itu.

Pokoknya, hari ini berjalan dengan lancar.

Kini matahari pun sudah mulai terbenam dan mobil yang Carla kemudikan sebentar lagi akan tiba di rumahnya.

“Kak”

“Hm?”

“Makasih buat waktunya hari ini” Denan menatap perempuan itu sebentar kemudian tersenyum tipis.

“Terimakasih kembali”

“Kak Denan gapapa kan kalo gue ajak kaya gini lagi?”

Denan mengangguk pelan, “Iya, Gapapa. Tapi gue ga janji bakal setuju terus ya”

Carla terkekeh pelan, “Iya, deh. Tau yang punya pacar mah, pasti sibuk jalan ama pacar ya?”

Denan sontak tertawa pelan sembari menggelengkan kepalanya, “Ga juga, jarang jalan bareng kita mah. Dia nya sibuk”

Carla menoleh kearah Denan sebentar, “Oh ya? Sibuk apa tuh?”

“Futsal, kebetulan dia kapten futsal di sekolah gue”

Tepat setelah Denan berujar seperti itu, Carla secara reflek mengerem mobilnya dengan mendadak. Tentu saja hal itu membuat Denan terkejut, ia langsung melihat sekitar. Hingga ia pun bernafas lega saat mengetahui jalanan yang sepi.

“Carla, kenapa?” Tanya Denan sembari melihat Carla yang terdiam menatap kearah depan.

Carla tersontak pelan kemudian menatap Denan sebentar dan memberikan senyum tipisnya.

“Maaf, Kak. Tadi ada kucing yang lari ke jalan, gue reflek ngerem jadinya”

Denan mengangguk mengerti, “Untung kita gapapa. Lain kali kayanya kita harus pergi pake kendaraan umum aja”

Carla mulai menjalankan mobilnya kembali, “Ah, Kak. Masa gitu aja langsung trauma gue supirin sih?”

“Bukannya trauma, biar aman aja”

Carla tertawa saat mendengar ucapan Denan, “Maaf ya, Kak. Beneran tadi ada kucing kok. Nanti kedepannya, gue bakal lebih hati-hati lagi. Janji”

Denan menghela nafasnya, “Iya, deh. Ngikut aja gue mah”

“Btw, Kak”

“Apa?”

“Pacar lo keren juga karena kapten futsal”

Denan tersenyum tipis, “Iya, dia emang keren”

Carla melirik sebentar kearah Denan yang kini tengah melihat kearah jalanan dengan tenang.

“Lo beruntung karena macarin dia ya, kak?”

“Iya, mungkin”

“Jangan sampe lepas tuh, kak. Kalo keren gitu, biasanya banyak yang mau ngambil”

Ucapan Carla kala itu membuat Denan hanya tertawa sembari mengangguk dan itulah percakapan terakhir mereka pada hari itu.

Kenapa jadi inget dia, ya?

Sepasang mata indah berwarna ungu gelap namun memancarkan binar yang indah itu tengah menatap seseorang yang sedang tertidur dengan lelap. Senyum di bibirnya pun terus tercetak, menandakan bahwa ia sangat menikmati pemandangan yang sedang ia lihat.

“Kenapa bisa cantik banget, ya? Padahal lagi tidur”

Gumamnya sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik kekasih hatinya. Kemudian ia tatap kembali dengan intens paras indah wanita tersebut.

Ia yang sedari tadi diam menatap wanitanya pun mulai menunduk, senyum nya terganti dengan sebuah tawa kecil, juga tangan kanannya tergerak untuk menutup wajahnya.

Ah, Helio. Kamu beneran udah jatuh banget sama kak medeia. batinnya.

Kemudian tangannya pun bergerak turun untuk menutupi setengah wajahnya, tundukan kepalanya ia angkat dan matanya ia bawa untuk menatap paras cantik kekasih hatinya.

Semburat merah perlahan muncul di kedua pipi dan telinganya di kala matanya tak sengaja melihat bibir semanis ceri milik Medeia itu.

“Kak, aku bener-bener gila karena kamu” Ucapnya sambil mengusap lembut pipi Medeia.

Hingga tak lama tangan Medeia bergerak untuk mengambil tangan Helio yang mengusap pipinya itu, ia bawa tangan pria-nya ke depan bibirnya, lalu di bubuhkanlah kecupan kupu-kupu pada punggung tangannya.

“Halley, i love you” Medeia mengucapkan kalimat itu dengan mata yang tertutup, tapi senyum tipisnya menghiasi bibir merah muda miliknya itu.

Helio yang sempat terkejut langsung tersenyum lebar. Efek kalimat yang Medeia ungkapkan itu sangat besar bagi Helio, pasalnya kini semburat merah di pipinya makin terasa panas dan jangan lupa bahwa detak jantungnya tengah bertalu dengan kencang.

Sebelum dirinya bergerak untuk memeluk dan menemani Medeia tidur, Helio memberikan kecupan lembut pada dahi kekasihnya sembari membisikkan kalimat sesuatu,

“i can't help falling in love with you, Kak

Dan mereka pun tertidur di ranjang yang sama, saling memeluk satu sama lain dan berbagi mimpi indah mereka melalui tempelan kedua dahi.

good night, sweet couple.

Halo

halo

halo


halo halo halo

halo

Di malam yang indah dengan semilir angin malam yang terasa sejuk, terlihat seorang pemuda yang memiliki senyuman khas yang dimana ketika lengkungan di bibirnya terbit, kedua matanya pun akan membuat lengkungan pula seperti bulan sabit.—tengah duduk di salah satu bangku taman, memandang hamparan langit yang terhias dengan beberapa bintang bersinar.

Walaupun dirinya terlihat seperti seseorang yang sedang menikmati waktu sendirinya, nyatanya dia tengah menunggu seseorang. Seseorang yang mampu membuat hati nya terasa hangat ketika melihat senyumannya, seseorang yang mampu membuat dirinya senang hanya dengan melihat tawanya dan seseorang yang mampu membuat dunianya yang awalnya abu menjadi lebih berwarna.

Sepuluh menit berlalu, hingga yang ditunggu-tunggu pun datang. Matanya mulai bergerak mengikuti objek yang selalu ia perhatikan. Hingga senyumannya terbit pula kala melihat objek yang ia tatap menampilkan senyuman yang terlihat manis.

Objek tersebut mulai mendekat kearahnya....

Semakin dekat...

Dan sampailah dia di hadapannya.

“Seperti biasa, bintang nya cantik!”

Ya, selalu cantik.

“Kenapa malam ini keliatan indah banget ya?”

Karena ada kamu disini.

Jelaga kelam yang sedang sibuk menatap hamparan langit nampak sangat cantik. Tak lama, tubuh mungil itu pun ia rehatkan di bangku taman tersebut. Matanya pun sudah beralih untuk melihat sisi sebelahnya.

Hai, Renjun.

“Hai, Jeno.”

Jeno memberikan senyum terbaiknya, meneliti pahatan indah yang Tuhan ciptakan di depannya itu. Hingga matanya pun menjadi sendu.

Renjun, apa kabar?

Renjun, pemuda manis dan penyuka langit malam itu hanya diam. Masih menatap sisi kursinya dalam keheningan dan perasaan yang sangat sulit di deskripsikan.

Renjun, hari ini kamu bahagia kan?

Ren, kamu gamau cerita tentang hari kamu?

Renjun, kamu keliatan cantik ya. Kaya biasanya.

Ren, aku kangen kamu.

Renjun menghela nafasnya, ia menutup kedua matanya sejenak. Tubuhnya ia sandarkan ke kursi lalu menatap langit malam dengan tangan yang terangkat, seperti sedang meraih sesuatu.

“Aku kangen kamu, Jeno.”

Denan tersenyum tipis saat netra nya menemukan sang Papa yang melambaikan tangan kearahnya. Meski perasaan gugup melanda, kaki nya ia paksa untuk melangkah mendekat menuju meja pertemuannya dengan calon adik tirinya itu.

“Halo, Papa dan tante” Sapa Denan sembari duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan sosok perempuan yang belum ia kenal.

“Halo juga, Denan. Pakaian kamu malam ini keren banget” Pujian dari wanita yang ada di hadapan Papanya itu membuat senyum Denan kembali muncul.

“Tante juga keliatan cantik” Puji balik Denan dan membuat tawa terdengar dari mereka semua.

“Sembari nunggu makanan kita dateng, kayanya ada yang perlu kenalan ya?” Denan seketika mengepalkan tangannya yang ada di atas pahanya itu.

“Ah, iya. Denan, perkenalkan ini anak tante satu-satunya—”

“Salam kenal, kak Denan. Namaku Carla Kalistin Zahrain” Perempuan yang ada di hadapannya itu pun mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Denan.

Denan terdiam sejenak, kemudian senyumnya pun muncul dan membalas jabatan Carla.

“Salam kenal juga, Carla. Aku Denan Askala”

Carla tersenyum kecil lalu mengangguk dan jabatan tangan mereka pun terlepas.

Melihat perkenalan mereka yang berjalan dengan baik, membuat senyuman dari para orangtua di meja itu pun terbit.

“Nah, pas sekali makanan sudah datang. Yuk, kita mulai makan” Ucapan dari Papa Denan pun di setujui oleh mereka yang ada di meja itu.

Acara makan malam mereka berjalan dengan baik, obrolan mengalir dengan santai, sesekali Papa Denan atau Carla melemparkan candaan yang membuat mereka tertawa.

Jujur saja Denan merasa hangat di dalam dirinya. Sudah lama ia tidak merasakan makan malam seperti ini.

Dua puluh menit berlalu, makanan mereka pun tandas. Kini mereka tengah menunggu hidangan penutup disajikan.

“Om, beneran bakal nikah sama mamah dua minggu lagi?” ucapan Carla membuat Denan duduk mematung.

Pria dengan balutan jas khas kantoran itu sontak terbatuk, kemudian ia berdehem singkat sembari melirik kondisi anaknya.

Wanita yang lebih tua di meja itu pun langsung paham dengan kondisi, ia langsung menepuk bahu anaknya dengan lembut.

“Bukan dua minggu lagi, sayang. Tapi.... bulan depan” Ucapan Tante Ayunika itu membuat Denan lagi-lagi terkejut.

Oalah, beneran di percepat. batin Denan.

“Son”

Denan menatap sang Papa sebentar lalu mengangguk, “Pake konsep apa nanti, Pa?”

Pertanyaan dari Denan membuat bibir Papanya terkatup rapat.

“Kak Denan belum tau? Kata mamah nanti mereka mau pake konsep classic”

“Oh, begitu? Papa gaada cerita tentang apa-apa sih soal acara nanti”

Entah ini jahat atau tidak, tapi Denan ingin sesekali bersikap seperti ini di hadapan sang Papa.

“Mungkin buat surprise, Kak” Denan mengangguk saja saat mendengar hal itu.

Hingga tak lama handphone nya yang ada di atas meja pun bergetar, menandakan ada seseorang yang menelponnya.

“Kak, pacarnya nelpon tuh. Kok ga di angkat?” Ucapan Carla membuat Denan melihat siapa penelpon tersebut lalu tersenyum kecil.

“Iya nih, kayanya lagi bingung kenapa chat nya ga dibales”

“Kamu punya pacar, son?”

Denan mengangguk, “Papa pernah ketemu dia juga”

Papa nya mengernyit, “Papa cuman inget pernah ketemu Hazlen sama Marcello aja”

“Yang suka jemput Denan tiap pagi, Pa”

“Wah, pacar kak Denan romantis banget. Sampe jemput tiap pagi gitu, pasti pulangnya juga suka dianterin ya?” Denan terkekeh pelan sembari mengangguk.

“Mirip banget sama mantanku, kak. Dia tuh seneng banget anter jemput aku ke sekolah, padahal rumah dia sama rumahku jauh” Denan mengangkat satu alisnya saat mendengar ucapan Carla.

“Mantan? Udah putus dong?”

Carla mengangguk sembari meminum jusnya, “Aku yang mutusin dia”

“Kenapa?”

Carla mengangkat bahu nya, “Aku juga bingung, kenapa waktu itu aku mutusin dia. Tapi kalo aku ketemu dia lagi, aku bakal bikin kita balikan hehe”

“Wow, asik banget bahas pacarnya. Kalian gamau makan eskrim yang ada di depan kalian?” Ucapan Tante Ayunika membuat kedua anak muda itu berhenti mengobrol lalu mulai menyuapkan es krim ke dalam mulut mereka.

“Udah berapa lama, kak?”

Tanya Carla di sela makannya.

“Hm?”

“Kakak pacaran udah berapa lama?”

“Udah mau sebulan sih”

“Lucunya, masih baru. Nanti kapan-kapan ajak aku ketemu sama pacar kakak dong!”

“Hahaha, iya nanti aku ajak kalian ketemu”

“Bener ya, Kak?”

“Iya, tapi awas ya. Jangan sampe naksir sama pacarku”

“Siap, laksanakan!”

“Lo punya pacar ya?”

Mendengar pertanyaan dari Marcell membuat Hazlen menoleh kearahnya.

“Lo kira tiap gue senyum-senyum liat hp itu pacaran?”

Marcell mengangkat kedua bahunya sambil mengunyah kue kering yang Denan berikan padanya.

“Mom selalu bilang kaya gitu ke gue”

“Tapi bunda ga pernah bilang kaya gitu ke gue”

Denan menghela nafasnya setelah menyimak percakapan keduanya, “Bocah-bocah, gue ngajak kalian main buat hilangin stres bukannya nambah stres”

“Emang pak pres stres mikirin apa sih? Udah punya pacar kok masih stres” Denan terkekeh saat mendengar ucapan Marcell.

“Kaya yang gatau aja lo”

Marcell memberikan cengirannya pada Denan.

“Capek ga, Den?”

Pertanyaan dari Hazlen membuat Denan menatap temannya itu dengan bingung.

“Maksudnya?”

“Lo, capek ga pacaran sama Arvian?”

Denan mengangkat kedua bahunya, “Kaya gitu aja, capek ya pasti tapi banyak senengnya juga”

Hazlen mengangguk, “Ya, keliatan seneng banget dah. Ampe post poto di twitter mulu”

Marcell pun tertawa di sela acara makannya dan Denan langsung memandang sinis Hazlen.

“Tapi ya, bang”

“Hm”

“Kok gue liat-liat, bang Arvian ini pasif banget. Maksud gue, masa pacarnya di gituin sama anak-anak sekolah, dia diem aja. At least kasih teguran kek atau gimana kek” Denan tersenyum kecil saat melihat raut wajah Marcell menampakkan rasa kesal.

Ia pun mengusap rambut Marcell dengan gemas, “Aduh, lucu banget ada bocil lagi kesel”

Marcell sontak mengerang, “Serius nih gue, bang! Patut di pertanyakan cowo lo itu”

Hazlen mengangguk setuju, “Bener kata si bocil, Den. Lo ga curiga atau gimana gitu?”

Denan tersenyum kecil menatap dua temannya, “Gapapa kok, tenang aja. Dia ga pasif tau, Cell. Tiap ada yang ngirim menfess jelek, dia pasti langsung chat gue. Nanya keadaan gue gimana. Terus juga, tiap di kelas kan dia selalu jagain gue. Jangan ngomongin yang jelek-jelek dong, cowo gue aman”

Hazlen menghela nafasnya, “Bagus deh kalo dia cukup aktif jagain lo. Tapi tetep aja, menurut gue dia kurang tegas sama orang-orang itu”

Marcell mengangguk, “Bener, bang. Malah gue pikir, dia harusnya perjelas gimana perasaan dia ke lo. Perjelas ke orang-orang, kalo dia udah gaada apa-apa sama mantan nya itu. Masa tetep di biarin gitu aja? Kan mereka jadi mikirnya, lo itu—Maaf cuman sebagai mainannya doang loh, bang”

Denan sontak terdiam saat mendengar ucapan Marcell. Otak juga hatinya kini pun beradu argumen yang berbeda. Perasaan ragu juga sakit pun terasa. Jujur saja, semua itu sangat menganggu Denan. Pasalnya, bukan kali ini saja ia merasakan ini semua.

Beberapa pikiran buruk tentang Arvian pun muncul di otaknya, namun hati nya terus menerus menepis pikiran buruk itu.

Hazlen yang melihat Denan mulai menunjukkan raut wajah berbeda, langsung menepuk pundak pemuda manis itu.

Kesadaran Denan pun kembali.

Are you, oke?

Denan terdiam sejenak kemudian tersenyum kecil.

“Iya, gue gapapa”

Marcell menghela nafasnya ketika melihat sikap sahabatnya itu.

“Bang, kata gue, jangan terlalu jatuh ke si Arvian dah. Mendadak, feeling gue ke tu orang ga enak banget”

Denan menatap Marcell sebentar, kemudian memilih mengangguk kecil.

“Iya, gue nurut nih sama lo” Marcell mengacungkan jempolnya.

“Den, kalo Arvian jahatin lo, bilang ke gue oke?”

Denan tersenyum tipis lalu mengangguk pada Hazlen, “Iya, Hazl. Nanti gue bilang”

“Jangan ke bang kacang doang, bilang ke gue juga, pak pres! Gue bisa berantem kok!”

“Halah, bocil bisa apa selain makan kue”

“Gue bukan bocil, kacang!”

Denan hanya tertawa, menyimak perdebatan kedua sahabat baiknya.

Ceklek!

Semua kebisingan yang mereka bertiga buat sontak menjadi sunyi, mata mereka teralih ke arah sosok yang membuka pintu utama rumah Denan.

“Eh, maaf. Tante gatau kalo ada tamu disini”

Hazlen dan Marcell melirik sebentar Denan yang kini terdiam.

“Denan, Maafin tante ya?”

Denan hanya mengangguk, “Kenapa, Tan?”

Wanita yang masih berpakaian khas orang kantoran itu pun berjalan mendekat kearah Denan, lalu memberikan sebuah kotak makan yang berukuran sedang.

“Tante tadi lupa naro ini di meja makan buat kamu, jadi mumpung lagi jam istirahat, Tante kesini”

Denan mengangguk lagi sambil menerima kotak makan itu, “Makasih, Tante. Padahal gausah, aku juga bisa bikin makan siang sendiri kok”

Wanita itu pun memberikan senyum teduhnya yang terlihat cantik, bahkan menurut Hazlen dan Marcell yang sedari tadi diam, senyum dan paras wanita itu sedikit mirip dengan Denan.

“Gapapa, santai aja, Den. Udah ya? Tante pamit, jangan lupa di habisin, oke?”

“Iya, Makasih, Tante. Hati-hati di jalan”

Setelah berpamitan wanita itu pun beranjak keluar dari rumah itu, menyisakan kesunyian di rumah itu sejenak.

“Calon ibu tiri lo?”

“Hm”

“Maaf, Bang. Tapi dia cantik banget”

“Gih, gebet”

“Ga minat gue mah! Si kacang noh yang minat”

“Gue lagi gue lagi, bocil anjrit”

“Berisik ah. Nih, makan”

“WOAH, BENTO! KACANG JANGAN MINTA YA”

“BERISIK, MARCELLO!”

“Mampus HAHAHAHA”

Mama, hari ini Denan ngerasa capek banget.

Setelah membaca pesan dari Arvian, Denan tentu saja merasa terkejut. Namun, untungnya kesadarannya tidak hilang begitu saja. Ia langsung bergegas merapihkan pakaian juga tatanan rambutnya, beralih menuju cermin untuk melihat wajahnya, setelah dirasa rapih pun ia langsung melesat membukakan pintu rumahnya.

Sosok Arvian yang tengah tersenyum sambil melambaikan sebuket bunga di tangannya kearahnya, terlihat dengan jelas. Senyuman di bibir si manis pun tidak bisa di tahan, setelah itu kaki nya melangkah dengan tenang menuju Arvian.

“Hai”

Sapaan ramah dengan suara khas Arvian, lagi lagi membuat senyum Denan terbit.

“Halo, Arvi” Balasnya, sambil sedikit terkekeh pelan.

Arvian tersenyum tipis kemudian tangannya bergerak untuk menyerahkan buket bunga itu kearah Denan, yang tentu saja akan diterima oleh si manis.

“Mawar orange? Lucu juga” Ya, Arvian memberikan sebuket mawar berwarna oranye pada Denan.

“Suka?” Dan Denan hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

“Kalo gitu.... kita bisa pergi date hari ini?”

Pertanyaan itu membuat Denan terdiam sejenak, memikirkan akan pertemuannya dengan kedua sahabat hari ini. Ia pun kembali menatap Arvian dan rasanya mata pemuda itu seakan menghipnotis dia untuk berkata,

“Iya, ayo”

Maaf, hazl cello.

Arvian tersenyum lebar lalu tangannya terangkat untuk mengusakkan surai lembut Denan.

“Mau langsung atau siap-siap dulu?”

“Boleh siap-siap dulu?”

Arvian tersenyum kembali lalu ia menganggukan kepalanya.

“Silahkan, tapi gue nunggu disini aja”

Denan mengangguk dan tanpa basa-basi, ia langsung melesat menuju dalam rumahnya untuk bersiap sekaligus memberitahu para sahabatnya bahwa ia tidak jadi ikut berkumpul.

Sekitar 10 menit Denan habiskan untuk bersiap. Untuk kali terakhir, ia kembali menatap dirinya di cermin. Sempurna. Sudah selesai ia bersiap, ia juga tidak lupa untuk menaruh bunga yang Arvian beri di vas yang sudah terisi air agar bunga nya tidak layu.

Selesai. Kaki nya pun kembali melesat menuju keluar untuk menemui Arvian yang mungkin saja sudah merasa bosan.

“Arvian!”

Mata Arvian yang tadinya fokus pada handphone langsung teralihkan pada Denan.

Manis dan lucu.

Itulah dua kata menurut Arvian cocok sekali untuk mendeskripsikan bagaimana penampilan Denan.

“Mau kemana sih, manis?” Godaan dari Arvian membuat Denan sedikit malu namun yang ia lakukan hanya tertawa.

“Mau date sama cowo ganteng nih”

Tepat sasaran. Jantung Arvian kini langsung berdetak dengan sangat kencang. Bahkan tanpa ia sadari, telinga nya sedikit memerah.

“Bisa aja. Dah, yuk?”

Let's go!


“Woaah!!”

Mulut Denan kini membentuk huruf O sempurna, matanya juga terlihat memancarkan antusias yang sangat menyilaukan. Arvian yang duduk di depan Denan pun memilih untuk memandangi pemuda itu dalam diam.

“Cantik”

Ucapan Arvian membuat Denan mengangguk setuju tanpa mengalihkan matanya dari pemandangan indah di sampingnya.

“Iya, pantai nya keliatan cantik dan berkilauan”

Arvian terkekeh pelan, “Pemandangan depan gue lebih indah, Den” Kalimat itu membuat Denan menoleh kearah Arvian.

Ia bingung sebentar, namun ia seketika paham akan ucapan Arvian. Secara otomatis pipinya bersemu dan matanya langsung beralih kearah lain.

“Apasih, Arvi” Gumaman Denan tentu saja terdengar jelas oleh Arvian. Jadi, pemuda itu langsung tertawa.

Oh, omong-omong. Mereka sedang berada di lantai dua sebuah cafè yang di depannya tersaji pemandangan hamparan laut dan pasir putih yang nampak berkilau karena pancaran sinar matahari.

“Suka tempat ini?”

“Hm, suka. Makasih udah ajak gue kesini”

“Dengan senang hati” Ucapan Arvian yang terdengar lembut, berhasil membuat Denan terjatuh dalam pesona Arvian. Entah untuk yang ke-berapa kali.

“Dalam rangka apa ajak gue kesini?”

Arvian mengangkat sebelah alisnya, “Menurut lo apa?” Denan terdiam sebentar kemudian mengangkat kedua bahunya, tanda ia tidak tahu.

Arvian pun menopangkan dagunya dengan kedua tangannya, menatap Denan sejenak kemudian berujar, “Dalam rangka... gue mau lo nyobain dessert di cafè ini. Enak banget, lo pasti suka”

Denan terkekeh pelan, setelah itu mengangguk sambil berujar terimakasih pada pelayan yang membawakan pesanan mereka, tepat ketika Arvian selesai berbicara.

Looks delicious, ini rekomendasi dari lo?” Ujar Denan sembari mengagumi tampilan cantik dari makanan manis yang tersedia.

“Iya. Jadi nikmatin, oke?” Denan tersenyum lalu mengangguk.

“Selamat makan, Arvi”

“Selamat menikmati, Manis”

Denan dan Arvian pun sibuk memakan makanan mereka dengan hening. Pasalnya, mereka terlalu menikmati rasa yang luar biasa dari makanan manis itu.

Beberapa saat kemudian, makanan mereka pun tandas.

“Enak!” Seruan Denan entah mengapa terdengar sangat lucu bagi Arvian.

Tanpa ia sadari kembali, hatinya merasa senang dan hangat saat mendengar kata itu dari Denan. Juga jangan lupakan detak jantung yang sudah berpacu dengan cepat.

“Enak banget?”

“Banget! Makasih udah ajak gue kesini, Arvi” Melihat senyuman dari Denan yang nampak tulus, entah mengapa membuat Arvian merasa sedikit resah. Namun, ia mencoba untuk mengabaikan hal itu.

“Mau coba bales rasa terimakasih nya ga? Biar gue juga bisa ngerasa bahagia kaya lo sekarang” Ucapan Arvian mendapat kernyitan pada dahi Denan muncul.

“Mau apa?”

“Jawab dulu. Mau ga?”

Dengan ragu, Denan pun mengangguk pelan. “Mau”

Arvian tersenyum. Ia menarik nafasnya sejenak lalu menggenggam tangan kanan Denan yang ada di atas meja. Ibu jari nya mengusap telapak tangan mungil dan halus itu dengan lembut, matanya pun menatap Denan dengan tatapan yang tak kalah lembut.

Berhasil sekali untuk membuat detak jantung Denan berpacu dengan cepat.

“Denan, mau ga menerima gue sebagai pacar lo?”

Pertanyaan itu, singkat, padat, jelas dan sangat ke intinya.

Membuat Denan terdiam, mematung. Dirinya juga menatap Arvian dengan pandangan tidak percaya. Otaknya seketika berhenti bekerja, ia sangat kebingungan.

“Arvi... bercanda ya?”

Hanya itu kalimat yang dapat keluar dari mulut Denan.

“Engga. Ini gue ga lagi bercanda, Den” Untuk meyakinkan Denan, Arvian memberikan tatapan serius nya.

Denan terdiam kembali.

Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya saat ini. Hingga ia kebingungan, jawaban apa yang harus diberikan pada Arvian.

“Denan, i really like you. Sebulan ini, waktu yang cukup buat bikin gue suka sama lo. I swear. So... Denan, please accept me as your boyfriend

Denan menatap mata Arvian, mencari sesuatu yang mungkin akan menjawab dari rasa resahnya. Tapi ternyata, ia tidak menemukan jawaban itu.

Hati dan otak nya pun mencoba berdiskusi, haruskah ia terima? Tapi, bukankah ini yang ia tungu-tunggu? Kenapa ia harus ragu? Kenapa ia harus merasa tidak yakin untuk menjawab ya?

Denan menghembuskan nafasnya, memejamkan matanya sejenak, kemudian jelaga indah itu dibawa untuk menatap jelaga lain yang ada di hadapannya. Tangan kanannya yang ada di genggaman Arvian pun, ia balas genggam dengan erat.

Arvian sedikit tersentak dengan perlakuan Denan yang tiba-tiba itu, namun ia mencoba bersikap biasa saja. Matanya pun kini melihat dengan jelas raut muka Denan yang memancarkan sinar rasa senang juga bahagia.

“Ya. Aku mau, Arvian” Kalimat singkat namun mengandung kejujuran, juga bibirnya yang memberikan senyuman indah nan tulus, dan jangan lupakan genggaman tangannya yang mengerat tanda bahwa ia hari ini sangat bahagia.

Semuanya terekam dan terlihat jelas dari kelam milik Arvian. Senang? Tentu saja, ia merasa senang karena Denan menerimanya. Sesuai apa yang ia pikirkan tadi malam di kamarnya. Namun, ia tidak bisa menampik bahwa dirinya merasa sesak dan bersalah. Pemuda manis di depannya ini terlihat sangat polos, ia jadi merasa tidak tega.

“Sekali lagi, makasih ya, Arvi. Makasih, karena aku ngerasa bahagia yang teramat untuk hari ini”

Denan, maaf.

Denan kini duduk berhadapan dengan sang papa. Jarak keduanya tidak terlalu jauh, hanya di halangi oleh meja. Namun, entah mengapa rasanya Denan berada di jarak yang jauh dengan Papa nya.

Keheningan melanda mereka, setelah pria paruh baya itu mengucapkan beberapa kalimat yang sudah terdengar jelas oleh Denan tapi masih sulit untuk di terima.

Pria paruh baya itu menatap remaja yang mulai beranjak dewasa di depannya dengan mata yang sedikit memercikan sebuah harapan.

“Den, maafin papa. Papa tau kalo kamu bakal susah nerima itu, tapi papa per—”

“Papa udah ga sayang sama mama ya?”

Pertanyaan singkat dari sang anak membuat sosok ayah itu tercekat. Nada yang menyiratkan rasa kecewa langsung menoreh luka pada hatinya. Rasanya sakit.

“Nak....”

Kepala Denan yang sedari tadi menunduk langsung memberanikan diri mengangkat kepalanya, menatap pria yang sangat ia sayangi dan hormati.

“Papa... kenapa perlu pengganti 'tempat' mama?”

Lagi, pertanyaan Denan berhasil membuat Papa nya terdiam.

“Mama baru ninggalin kita tiga tahun, Pa... Dia mungkin aja masih di sekitar kita, liat semua apa yang kita lakuin. Pa, gimana kalo mama sedih karena denger keinginan Papa?” Mata denan mulai berkaca-kaca, nafasnya mulai tidak beraturan dan membuat dadanya terasa amat sesak.

“Denan, maafin papa. Tapi papa perlu pendamping, buat kamu juga. Biar kamu ada yang—”

“Tapi denan sanggup buat ngurus semuanya sendiri, Pa. Denan bukan anak kecil lagi” Air mata Denan mulai membasahi pipinya, membuat sang kepala keluarga di landa panik.

Pria paruh baya itu sontak berdiri dari duduknya, menempati tempat di sebelah sang anak dan mengusap pipi Denan yang basah dengan tisu. Sebab di rasa Denan tidak akan berhenti menangis, langsung saja Denan di berikan pelukan penenang oleh sang Papa.

“Papa, Denan bingung. Denan takut.” Ucap Denan di sela tangis nya, dan yang ia dapatkan hanya usapan lembut di punggungnya.

“Mama ga bakal marah sama Denan kan, Pa?”

“Papa... Denan harus jawab apa?”

“Ssstt, sudah nak. Sudah. Gapapa, Denan gabakal di marahin sama Mama. Denan bisa jawab apapun. Maafin Papa ya, nak” Bisikan itu membuat Denan semakin terisak.

“Maaf karena Papa egois, Den. Papa masih mencintai mama, Papa masih ingat semua kenangan papa sama dia. Tapi, Denan, Papa gabisa bohongin diri Papa kalo Papa ini merasa kesepian. Papa perlu seseorang, bukan untuk mengganti posisi Mama kamu. Mama kamu dan pacar papa itu punya tempat yang berbeda, Nak. Ga ada yang akan papa lupakan, jadi jangan takut ya?”

Denan terdiam sejenak kemudian menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ia pun mulai membalas pelukan sang papa.

“Pa, tante itu baik kan? Dia gaakan nyuruh papa buat ninggalin aku kan?”

“Dia baik, Denan. Dia juga gaakan nyuruh papa hal itu, karena kami udah pernah ngobrolin masalah ini. Juga, kamu tau? Dia punya anak, yang lebih muda satu tahun dari kamu. Jadi, kamu bisa punya sosok ibu baru dan adik baru”

Deg!

Pelukan itu langsung Denan lepaskan dan menatap sang Papa dengan mata yang menyiratkan kebingungan lagi.

“Yang bener aja, Pa...”

Pria paruh baya itu tersenyum tipis, kemudian mengelus surai Denan dengan lembut.

“Bener, Denan. Jadi, kamu mau kan? Pekan-pelan mencoba menerima kehadiran keduanya?”

Denan terdiam, mengalihkan pandangannya kearah lain, kemudian kembali menatap sang Papa. Disana, di mata Papa nya terlihat jelas bahwa ia ingin dirinya setuju. Jadi, dengan ragu dirinya pun mengangguk.

“Iya, Pa”

“Makasih, Nak. Makasih”

I doubt it, I really doubt all of this.

“Hazl”

Yes, sir?

Denan melirik salah satu sahabatnya yang paling menyebalkan itu dengan tatapan sinis, sedangkan yang di tatap hanya terkekeh.

“Maaf, gue laper. Lo juga pasti laper kan?” Denan yang mendengar hal itu pun langsung mendengus.

“Yaudah, kita makan. Gue yang bayar” Ucapan Denan membuat Hazlen tersenyum lebar lalu mengusak surai Denan dengan cepat, sebelum sang empu menggigit tangannya.

Selagi menunggu sarapan yang mereka pesan, Denan memilih untuk melihat-lihat sekitar. Jalanan masih sangat lenggang, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat juga ibu-ibu yang baru saja pulang berbelanja. Memang wajar saja begitu, karena kota yang Denan tinggali ini akan aktif dengan padat di jam tujuh pagi nanti. Jadi, yah. Setidaknya, Denan bisa sarapan dengan damai hari ini.

“Nih, bubur spesial ga pake kacang dan bawang daun nya sedikit untuk presiden mungilnya marcello” Denan terkekeh pelan sambil menerima mangkuk itu.

“Terimakasih, babu setia ku” Mendengar hal itu, Hazlen bukannya marah tapi malah tertawa kecil sembari duduk di sebelah Denan.

“Batagor spesial nya nanti ya, pas istirahat kedua aja” Denan pun hanya mengangguk sembari meniup buburnya.

Obrolan mereka pun berhenti setelah itu, keduanya sibuk menikmati hangatnya bubur di pagi hari dan hembusan angin yang masih terasa sejuk. Kenikmatan dunia yang sederhana namun dapat membuat hati tenang dan bahagia.

Sekitar sepuluh menit kemudian bubur mereka sudah tandas, kini keduanya akan menikmati sisa segelas teh hangat milik keduanya.

Hazlen menyandarkan tubuhnya kemudian menatap Denan yang sibuk membaca sesuatu di Handphone nya. “Arvian belum ngabarin lo ya” Denan sontak menoleh kemudian memutar bola matanya malas.

“Emang Arvian pacar gue yang harus ngabarin tiap saat?” Hazlen langsung menarik bibir sebelahnya dengan alis yang terangkat.

“Oh, masih jadi gebetan ya?”

Bugh!!

“Aww! Sakit, Nan!”

“Rasain!” Hazlen meringis pelan sembari mengusap bagian belakang kepalanya dan Denan kembali sibuk dengan benda berbentuk persegi panjang itu.

Kelakuan Denan pagi ini cukup membuat Hazlen penasaran, apa yang sedang pemuda mungil ini tutupi? hingga setelah menimbang apa ia harus bertanya atau tidak, Hazlen pun memutuskan untuk bertanya.

“Ada sesuatu yang mau lo bagi, Den?” Sang pemilik nama menoleh, di tatapnya kelam Hazlen sebentar kemudian hembusan nafas pun keluar begitu saja. Ponsel di pegangannya pun di lepas dan mulai memposisikan duduknya menghadap Hazlen.

“Lo tau? Pagi ini gue ngeliat sesuatu yang gila” Sebelah alis Hazlen terangkat dan Denan kembali melanjutkan ceritanya.

“Pagi ini, gue liat di dapur gue ada tante-tante lagi masak!”

“Lo di culik tadi?!” Denan menggelengkan kepalanya.

“Gue juga sempet mikir gitu, tapi bukan. Tante itu di kenal sama papa gue”

Kini alis Hazlen mengernyit, “Kok papa biarin orang lain masuk ke dalam rumah lo?” Pertanyaan itu di balas dengan hembusan nafas frustasi dari Denan.

“Yaiyalah dia nerima tante itu buat masuk, lah kan pacarnya” Ucapan Denan membuat Hazlen terdiam. Hingga beberapa detik kemudian, dia langsung menggebrak meja.

Membuat Denan juga pembeli yang lain terkejut, “Hazl—”

“Anjir! Masa iya papa lo dapet pacar?! Setelah tiga tahun—” Sebelum Hazlen berteriak membeberkan cerita hidupnya ke dunia, Denan langsung membekap mulut itu.

“Sssttt, jangan bikin malu. Bisa?!” Hazlen mengangguk dan bekapan itu pun terlepas. Denan langsung memandang jijik telapak tangannya dan langsung mengelap tangannya itu pada seragam Hazlen.

Sang pemilik seragam pun tidak peduli, “So? Gimana bisa? Padahal mama baru pergi tiga tahun lalu, tapi kenapa papa udah dapet yang baru?” Denan mengangkat kedua bahunya.

“Gue bingung, Hazl. Apa yang harus gue lakuin? Nerima? Atau nolak? Gue takut, takut kalo jawaban gue nantinya bikin masalah di masa depan” Raut wajah yang menyiratkan kebingungan itu membuat Hazlen merasa iba, hingga ia pun memberikan usapan bahu pada Denan.

It's gonna be alright, okey? Denan menatap Hazlen kemudian mengangguk pelan.

“Mungkin emang udah saatnya papa buat bahagia dengan lembaran baru” Setelah berucap seperti itu, Denan pun menghembuskan nafasnya.

Hazlen tersenyum tipis, “Senin pagi yang rumit ya, Den?”

“Sangat rumit, Ugh Denan pun langsung menegak sisa teh nya yang sudah tidak hangat lagi itu. Tak terasa, kini jalanan mulai ramai oleh kendaraan. Itu tandanya, jam tujuh pagi mulai dekat dan ia harus segera datang ke sekolah.

“Yuk, kita lanjut jalanin hari senin yang gatau bakal isinya rumit semua atau engga” Ujar Denan setelah membayar makanannya dengan Hazlen.

Pemuda bersurai coklat itu pun terkekeh pelan lalu mengangguk dan beranjak dari duduknya.

“Semoga ga se-rumit itu” Gumam Hazlen sebelum memakai helm nya.

Gue juga berharap gitu, Hazl.


Terik dari matahari mulai terasa, membuat beberapa murid mulai sedikit berisik karena merasa panas plus bosan di acara upacara hari ini.

Namun tidak dengan Denan, pemuda ini masih tetap di posisinya. Tanpa banyak gerak dan bicara. Yah.... Tapi hal itu tidak bertahan lama sebab seseorang memanggil namanya.

“Pssst! Den!” Kepala itu menoleh menuju asal suara, hingga saat menemukan sang pemanggil, senyum tipis langsung terbit bibirnya.

Matanya melihat dengan jelas sosok yang sudah sebulan ini membuat dirinya merasakan ribuan kupu-kupu di perutnya, dia adalah Arvian. Teman sekelas, sebangku dan.... Ehem Gebetannya.

Pemuda bersurai hitam itu melambaikan kecil pada Denan dan dibalas senyuman oleh Denan.

Duh, ganteng banget hari ini.

Setelah menyapa, Arvian pun memberikan ucapan tanpa suara dan Denan langsung mengeja kalimat itu dalam hatinya.

Kamu—Hari—Ini—Manis—Banget.

Kamu hari ini manis banget?! Damn! Arvian, maksud lo apa?!

Melihat pipi Denan yang mulai memerah dan mengalihkan matanya dari dia, membuat Arvian langsung terkekeh pelan.

Lucu banget, astaga.

Kegiatan kecil mereka ternyata di lihat oleh Hazlen yang berdiri tak jauh dari keduanya. Bola matanya langsung memutar dengan malas, sambil berdecih pelan.

Lovey dovey kok pas upacara. Dikira gabakal ada yang liat apa?” Gumam Hazlen sambil menatap hal lain.

Namun beberapa detik kemudian dirinya menyunggingkan sebuah senyuman saat melihat raut wajah Denan sudah lebih membaik daripada beberapa saat lalu.

Berkat Arvian, setidaknya pagi lo hari ini ga se-rumit dan se-menyebalkan itu, Nan. Semoga senyum nya bertahan sampai hari ini habis.