Denan dengan cemas, secara terus menerus melirik ponselnya kemudian jalanan sekitar. Tanpa sadar, kebiasaan buruknya saat cemas pun muncul, yaitu menggigit ujung kukunya. Hingga ia pun sadar saat setetes darah muncul dari ibu jari kanannya.
“Sstt” Desis nya sembari mengusap darah tersebut, ia terlalu fokus membersihkan luka nya, sampai tidak sadar sang kekasih sudah sampai dan jongkok di depannya.
“Kenapa bisa gini, den?” Suara seseorang yang ia tunggu sedari tadi pun terdengar, juga sebuah tangan lain muncul untuk mengusap bekas lukanya.
Kepala Denan terangkat, wajah Arvian yang tengah serius mengusap luka jari nya pun langsung terpampang jelas.
“Kamu apain, hm?” Tanya Arvian dengan lembut sambil menatap Denan, yang dimana tatapan itu entah mengapa membuat Denan merasa ingin menangis.
“Sakit ga?” Dan Denan memilih untuk mengangguk pelan. Hembusan nafas langsung keluar dari Arvian.
“Nanti kita obatin di uks, sekarang kita berangkat ke sekolah ya?”
Arvian mulai berdiri dari jongkoknya lalu membantu Denan untuk berdiri dari duduknya, ia pun memakaikan helm milik Jordan pada kepala Denan dengan lembut.
Denan hanya diam, ia menerima semua perlakuan yang Arvian lakukan padanya. Setelah selesai memakai helm, keduanya pun naik keatas motor dan Arvian mulai menyalakan mesin motornya.
Namun sebelum ia melajukan motornya, perlakuan Denan yang terkesan tiba-tiba membuat dirinya mematung sejenak.
Apa yang Denan lakukan?
Denan memeluk pinggang Arvian dengan erat kemudian menaruh kepalanya pada bahu tegap Arvian.
Menerima perlakuan itu, tentu saja Arvian merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Tapi ia cukup paham, bahwa kekasihnya ini sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, ia harus segera melajukan motornya.
Denan, kenapa?
Ketika tau lokasi sang kekasih, Arvian langsung saja berlari menuju taman yang Denan sebut. Di tangan kanannya terdapat sebuah susu kotak untuk kekasihnya itu.
Matanya berpendar mencari pemuda manis kala dirinya sudah berada di taman belakang. Kemudian beberapa saat setelah mencari, matanya pun melihat punggung sempit yang tak asing berada di dekat pohon besar disana.
Kaki Arvian pun dengan santai mulai mendekati Denan, tangannya terulur untuk memberikan susu kotak di sebelah wajah Denan.
“Nih, kamu belum ngisi perut kamu kan dari tadi?” Denan menatap Arvian sejenak lalu mengambil susu kotak itu.
“Makasih, Arvi” Arvian pun hanya mengangguk sambil mengambil duduk di sebelah Denan.
Hening melanda keduanya. Tidak ada yang berniat bersuara. Mereka memilih menikmati keheningan yang ada di antara keduanya. Hingga setelah susu kotak Denan tandas, Arvian baru berani untuk menatap kekasihnya.
“Kamu kenapa, Den?”
Akhirnya, Arvian berani bertanya.
“Cuman lagi capek aja, Arvi” Ujar Denan dengan pelan, matanya ia pejamkan sejenak dan Arvian memperhatikan dengan seksama apa yang Denan lakukan.
Sampai ketika raut Denan mulai berubah, dengan reflek nya ia berujar, “Kamu bisa bersandar di bahu aku kalo capek banget”
Denan menoleh kearah Arvian, lalu senyuman teduh terbit di bibir Denan. “Boleh?” Arvian hanya bisa mengangguk patah-patah.
Puk!
Denan kini sedang menyamankan kepalanya yang tengah bersandar di bahu lebar Arvian. Sedangkan sang pemilik bahu tengah di landa kebingungan dengan dirinya sendiri.
“Makasih, Arvi” Suara lembut dari Denan membuat degup jantung Arvian langsung berdegup kencang.
“I—iya, sama-sama...” jawab Arvian dan Denan hanya bisa tersenyum sembari memejamkan matanya.
Di tengah keheningan antara mereka, Arvian dengan perlahan memberanikan diri untuk merangkul Denan.
Setelah nyaman dengan rangkulannya, Arvian pun kini menyandarkan kepalanya diatas kepala Denan.
“Arvi”
“Hm?”
“Rasanya damai dan tenang ya kalo cuman ada kita berdua?”
Arvian diam-diam tersenyum saat mendengar hal itu, entah mengapa rasanya ia senang saat Denan berucap seperti itu.
“Seandainya kalo udah lulus sma, kamu mau pergi ga dari sini?”
“Aku mau”
“Buat selamanya, mau?”
Arvian sontak mengernyit bingung, “Maksud kamu?”
Denan diam sejenak lalu berujar, “Aku mau kita berdua, pergi dari kota ini terus buat rumah yang tenang dan nyaman di kota lain”
Arvian semakin mengeratkan rangkulannya, “Kamu mau, kita buat rumah di kota lain yang isinya cuman aku sama kamu?”
“Iya”
“Kenapa? Kamu ga suka sama rumah kamu di kota ini?”
“Bukan ga suka”
“Terus?”
“Aku cuman ngerasa... asing. Rumah ku sekarang rasanya beda sama yang dulu” Kalimat terakhir Denan di ucapkan dengan pelan.
“Ada yang salah dari rumah itu?”
Denan menggeleng pelan, “Bukan salah, tapi berubah aja. Aku ngerasa setiap pulang ke rumah itu, aku cuman orang asing yang numpang tinggal”
“Kenapa tiba-tiba ngerasa gitu?”
Denan tersenyum kecil, “Akhir-akhir ini ucapan dari keluarga ku selalu mereka ingkarin,” Denan diam sejenak untuk mengambil nafas.
“Dan aku ga suka sama orang yang selalu ingkar dengan ucapannya. Ngga, bukan ga suka— aku benci orang yang kaya gitu”
Deg!
Denan mengangkat wajahnya untuk menatap Arvian yang tanpa ia sadari, pemuda itu tengah menahan rasa gugup.
“Cuman kamu dan sahabat aku yang aku percaya, kalo kalian ga akan ingkar sama ucapan kalian. Aku bisa buat selalu percaya sama kamu kan, Arvi?”
Deg Deg Deg!
Melihat binar polos dari mata Denan membuat dada Arvian terasa sakit. Dalam hatinya, ia terus merutuki dirinya sendiri. Hingga, yang hanya bisa ia lakukan adalah tersenyum dan memberikan anggukan pelan.
Pemuda manis itu pun turut tersenyum, “Aku percaya sama kamu, Arvi”
Arvian menghilangkan senyumannya saat Denan memeluk dirinya dengar erat. Tangannya membalas pelukan itu dengan erat juga memberikan usapan lembut pada punggung Denan.
Aku seharusnya ga kamu percaya, Den. Tapi aku gabisa bohong kalo aku ngerasa bahagia waktu kamu bilang percaya sama aku. Maaf, aku bakal mencoba berubah buat kamu. Maaf, sayang.