Aksararen

Juna berjalan menuju kearah klinik yang sering ia kunjungi itu, kaki nya melangkah dengan ringan seakan tidak ada beban apapun di pundaknya.

Memang tidak seperti biasanya.

Di hari-hari sebelumya, ia akan berjalan dengan sangat berat kearah klinik tersebut. Tapi kali ini rasanya sangat berbeda.

Panas terik pun tidak membuat diri Juna merasa buruk.

Aneh, namun Juna rasa hal ini justru hal yang baik.

Tok tok tok

“Dokter brian”

Juna menunggu adanya jawaban di depan pintu tersebut.

“Silahkan masuk” mendengar suara sang pemilik ruangan, Juna langsung membuka pintu itu dan nampaklah sebuah ruangan yang sering ia kunjungi.

“Selamat siang, dokter Brian” sapa Juna dengan senyuman nya, sang dokter pun membalas sapaan itu sambil tersenyum juga.

“Siang, duduk dulu ya”

Juna menuruti ucapan dokter tersebut, ia duduk di sofa yang nyaman itu sambil menatap ruangan bernuansa minimalis juga penuh dengan aroma khas obat. Dokter Brian turut duduk di sofa dekat Juna sembari memberikan segelas air putih pada pemuda manis itu.

“Minum dulu, Jun” Juna mengangguk kemudian meminum air itu hingga setengahnya tandas.

“Apa kabar?” Ujar sang dokter dengan lembut sembari menyiapkan beberapa alat khusus-nya.

“Sangat baik! Dokter Brian sendiri gimana?” Tanya Juna dengan antusias.

“Baik juga. Nah, kita cek detak jantung dulu ya?” Juna mengangguk.

Dokter Brian langsung melakukan tugasnya, “Tarik nafas pelan-pelan, Juna” sang empu langsung mengambil nafasnya.

“Hembuskan” Juna menghembuskan nafasnya dengan pelan, dokter Brian tersenyum tipis lalu mengangguk.

Sang dokter pun kembali membereskan alat-alatnya dan hal itu membuat Juna mengernyit bingung, “Udah, dok?” Tanya nya dan dokter Brian langsung menggeleng.

“Belum. Kita belum masuk kedalam sesi cerita kita” ujarnya dan Juna langsung mengangguk paham.

“Jadi, apa yang membuat kamu senang akhir-akhir ini?” Tanya dokter Brian sembari memegang sebuah buku kecil juga pulpen.

“Em, banyak! Dari mulai langit yang akhir-akhir ini indah banget, dok!” Dokter Brian mengangguk setuju.

“Iya, apalagi langit malam selalu menampakkan bulan dengan jelas. Kemudian?”

“Sahabat-sahabat Juna!” Dokter Brian menatap Juna dengan alis sebelah yang sedikit diangkat.

“Mereka selalu ada buat aku, dok. Aku juga beberapa kali, cerita tentang diri atau masalah aku ke mereka”

“Bagus, Juna. Kamu hebat” senyum Juna kian mengembang.

“Jadi, kamu sudah bisa sedikit-sedikit membuka jati diri kamu sendiri di depan mereka?” Juna mengangguk.

“Lalu?”

“Masalah aku sama sepupu aku udah mulai teratasi dengan baik, dok” Dokter Brian tersentak dan menatap mata Juna. Sang dokter tidak menemukan sirat kebohongan, ucapan pasien muda nya ini benar-benar jujur.

“Astaga, Juna. Saya turut bahagia atas itu, kamu benar-benar hebat” Juna lagi-lagi tersenyum.

“Bagaimana perasaan kamu? Apakah masih sering merasakan sesak atau panik?” Juna menggeleng dan dokter Brian langsung tersenyum lebar.

“Aku udah mulai biasa dengan semuanya, dok. Aku bener-bener ngikutin saran dokter brian juga. Kalo mau nangis ya aku bakal nangis, aku mau marah ya bakal marah” Dokter Brian menatap haru Juna.

“Bagaimana dengan obat itu?” Juna terdiam sejenak dan hal itu membuat dokter Brian sedikit merasa khawatir.

Namun senyum cerah Juna yang tiba-tiba muncul membuat dokter Brian sedikit merasa lega, “Aku bahkan lupa sama obat itu, dok”

Tanpa sadar, dokter itu menjatuhkan air matanya. Matanya menatap Juna yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumya.

“Eh, dokter kok nangis?!” Ujarnya dengan panik dan dokter Brian langsung tertawa kecil sambil mengusap air matanya.

Dokter itu baru menyadari jika pemuda manis yang ada didepan-nya ini dari awal datang dengan sebuah senyuman ringan, dari cara berjalan yang nampak sangat mudah tidak seperti sedang diseret paksa, binar matanya yang terlihat lebih bersinar, juga wajahnya yang kian berseri.

Ini perubahan yang pesat dan sungguh membuat Dokter Brian bahagia.

“Dok, kok nambah nangis” Juna berucap sembari menyerahkan beberapa lembar tisu pada sang dokter kesayangannya.

“Saya bahagia, Juna. Sangat bahagia” ujarnya dengan suara yang lembut. Hati Juna saat mendengar kalimat itu langsung merasa hangat.

“Kali ini kabar baik ya, dok?” Tanya nya dengan pelan, sang dokter langsung mengangguk semangat.

“Iya, Juna. Perubahan kamu yang drastis ini sangat membuat saya terharu juga bahagia” Juna tersenyum lebar.

“Kamu hebat, Juna. Kamu hebat karena sudah berjuang sampai saat ini”

Juna menundukkan kepalanya, air matanya dengan perlahan juga turut keluar.

Juna bukan bahagia karena sakit nya yang mulai membaik, dirinya bahagia hingga menangis karena melihat dokter kesayangannya itu.

Melihat sang dokter sampai menangis haru hanya karena ini, Juna merasa dirinya sudah memberikan sebuah kebahagiaan kepada orang yang ia sayangi.

“Juna” sang empu pemilik nama langsung mengangkat kepalanya, ditatapnya sang dokter sembari menghapus bekas air matanya.

“Terimakasih sudah berjuang sampai di titik ini” Juna tersenyum.

“Dokter, aku boleh peluk—”

“Boleh, Juna” mendengar hal itu Juna langsung mendekat kearah dokter itu lalu memeluknya dengan erat.

Juna merasakan punggung nya yang di usap dengan lembut, air matanya kembali turun. Juna menyembunyikan wajahnya di bahu dokter itu sembari bergumam,

“Terimakasih juga, dokter Brian. Terimakasih sudah merawat Juna selama ini, dokter Brian juga sudah berjuang dengan baik”

Sang dokter tersenyum bangga, ia menepuk punggung Juna beberapa kali. “Kamu pasien kesayangan saya, Juna” ucap dokter Brian dengan lembut.

“Dokter Brian juga dokter favorit juga kesayangan, Juna. Terimakasih atas semua jasa dokter Brian selama ini”

“Sama-sama, anak baik. Saya harap kamu bisa sembuh total di masa depan nanti”

“Semoga, dok. Semoga”

List nya yang belum terwujud kini tersisa satu lagi.

cw // harsh words

06.05 AM

Terlihat di sebuah dapur terdapat seorang pemuda yang sedang menata sebuah roti isi yang baru saja di buat kedalam wadah.

Senyum nya terbit dikala ia selesai menata roti isi itu, ditutupnya wadah itu lalu ia masukkan kedalam tas punggung yang akan ia bawa.

Setelah membereskan piring-piring kotor, pemuda itu pun beralih untuk berjalan menuju ruang tamu kemudian duduk di sofa. Bermain dengan ponselnya.

Hingga sebuah notifikasi Haidar yang menelpon dirinya, ia bergegas beranjak dari duduknya, memakai tas punggung nya kemudian berjalan keluar. Namun sebelum ia benar-benar keluar dari pintu utama, ia menyempatkan untuk berucap sesuatu,

“Ma, Juna pergi dulu” ujarnya dengan suara yang agak keras. Keheningan yang Juna dapat namun ia memilih untuk tersenyum kecil kemudian menutup pintu rumahnya.

“Barang bawaannya kek banyak banget, jun” ujar Haidar saat Juna masuk kedalam mobil milik Nandra.

“Engga juga, sedikit ini tuh” ucapnya dengan santai sembari memakai sabuk pengaman nya.

“Udah, siap?” Tanya Nandra dibalik kemudi dan para penumpang langsung berseru, “Siap!”

Okay, let's go~” ujar sang pengemudi kemudian kendaraan beroda empat itu pun mulai berjalan.


09.21 AM

Suara musik yang sekarang terputar di radio adalah There's nothin' holding me back-shawn mendes dan lagu itu termasuk kedalam lagu favorit Haidar.

“Gedein volume nya, jen!” Ujarnya dengan semangat dan Rajen langsung mengikuti perintah Haidar.

I wanna follow where she goes, I think about her and she knows it~

Suara sang penyanyi yang mulai terdengar sedikit lebih keras membuat suasana mobil itu kini mulai berbeda.

Juna yang tadi sedang sibuk memandang jalan mulai tertarik dikala lagu itu sudah memasuki bagian reff. Haidar menepuk pahanya dikala beat lagu sudah mulai semangat.

Rajen tertawa kecil saat melihat tingkah Haidar yang semangat dan Nandra turut terkekeh sembari melihat Haidar dari kaca spion nya.

Juna mengangguk mengikuti irama dan tertawa kala melihat Haidar yang sudah menggoyangkan kepalanya dengan kuat.

“Ayo, dar!” Ujar Juna dengan semangat.

Haidar mengangkat satu tangan nya tangannya, “Bersama woy! Satu, dua, tiga!”

“Oh, I've been shaking I love it when you go crazy You take all my inhibitions Baby, there's nothing holdin' me back”

Mereka secara bersamaan langsung bernyanyi dengan semangat.

Tawa Juna mengalun dikala Haidar terus melanjutkan bernyanyi dengan semangat, ia sesekali bertepuk tangan untuk membuat suasana ramai, Rajen yang turut tertawa sesekali juga Nandra yang hanya diam-diam menikmati suasana menyenangkan itu.

“Mic lo ketinggalan, nih” ucap Rajen sembari memberikan sebuah botol minum kosong yang ia temukan dari bagian samping pintu. Haidar langsung menerima itu kemudian dengan semangat ia memegang botol itu seakan-akan yang dipegangnya ada sebuah mic.

“Sudahi galau kalian, lebih baik bernyanyi bersama ku!” Serunya.

“Ayo, juna!” Haidar menyerahkan bagian atas botol itu kearah bibir Juna.

“Astaga, haidar!” Pekik Juna karena ia sudah sangat lelah tertawa juga berteriak.

Baby, there's nothing holdin' me back!

“YEAH!”


10.31 AM

Mobil Nandra sekarang sudah berhenti bergerak dan Haidar juga sudah selesai bernyayi, pemuda itu kini tengah meminum sebotol air putih yang Juna bawa.

Tenggorokan Haidar benar-benar sakit karena selama di perjalanan, ia terus bernyanyi.

“Awas keselek” ujar Juna sambil menatap Haidar.

“Huaah, seger banget dah!” Seru nya saat sudah selesai minum, botol itu ia berikan kembali pada sang pemilik.

“Makasih, jun” Juna mengangguk sambil menaruh botol minum itu ke dalam tas nya.

“Yuk” ujar Rajen dan mereka berempat pun langsung berjalan memasuki sebuah hutan kota.

“Woah!” Seruan Juna membuat ketiga nya menoleh, tanpa sadar senyum tipis mereka langsung terbit dikala melihat mata Juna yang berbinar.

“Bagus, Jun?” Tanya Haidar dan Juna langsung mengangguk antusias.

“Ayo cari tempat duduk dulu” ujar Nandra.

Mereka berjalan menyusuri jalan yang sengaja dibuat agar memudahkan para pengunjung berjalan, suasana diantara mereka pun hening, sibuk menikmati suasana tenang yang hutan itu berikan.

“Eh, tuh kosong” ujar Haidar sembari menunjuk tempat duduk berbahan semen saling berhadapan yang pisah dengan sebuah meja yang juga dibuat menggunakan semen.

“Gue ada sandwich, pada mau?” Ketiga sahabatnya dengan serentak menoleh kearah Juna, mata mereka seakan menatapnya dengan pandangan terkejut juga bahagia.

“Gue udah laper daritadi, jun” ujar Nandra dan Haidar juga Rajen langsung mengangguk, menyetujui ucapan Nandra.

“Kenapa ga bilang daritadi” ujar Juna sembari mengambil sebuah kotak makan yang tadi pagi ia siapkan.

“Buat ganjel laper nih” dengan cepat mereka mengambil roti isi itu masing-masing satu, kemudian memakannya dengan lahap. Juna diam-diam tersenyum karena para sahabatnya menikmati makanan yang ia buat.

“Juna best boy. Jun, ai lop yu” ujar Haidar ketika roti isi nya telah habis, ia mengacungkan dua jempol nya kearah Juna dan hanya dibalas dengan cibiran kecil oleh Juna.

“Sandwich nya enak, jun” Ucap Nandra sembari mengacungkan satu jempolnya kearah Juna.

“Iya, Jun. Kalo dijual bakal laku keras sih” Rajen berucap sambil tersenyum juga mengacungkan satu jempolnya.

Juna menatap ketiga sahabatnya, “Halah, pas dikasih makan gini aja langsung muji” cibiran itu hanya membuat ketiganya tertawa.

Hey, tahukah mereka? Jika pujian mereka itu membuat Juna sedikit salah tingkah.

“Gue mau ke toilet dulu deh” Haidar beranjak dari duduknya.

“Eh sebelah toilet ada warung kecil kan? Bareng, dar”

Akhirnya, Rajen dan Haidar berjalan meninggalkan Juna dengan Nandra.

Juna membereskan bekas mereka makan tadi dan Nandra tengah sibuk dengan kamera yang ia bawa.

“Niat banget bawa kamera” ujar Juna yang kini juga turut memperhatikan kamera Nandra.

“Buat kenang-kenangan ini” ucapnya tanpa melihat kearah Juna.

Beberapa detik kemudian, kamera itu ia angkat untuk diposisikan di depan matanya. “Jun, coba berdiri di situ” Juna pun memilih untuk menurut.

Ia beranjak dari duduknya kemudian berjalan sedikit menjauh dari kursi itu, begitupula dengan Nandra.

“Gue poto ya, Jun” Juna mengangguk lalu menatap lensa kamera milik Nandra dengan memiringkan sedikit posisi berdirinya dan sebuah senyum kecil turut menghiasi wajahnya.

Cekrek

Foto percobaan pertama berhasil Nandra ambil, kamera itu sedikit dijauhkan dari wajahnya untuk melihat hasil foto tersebut.

Juna yang penasaran pun berjalan mendekat kearah Nandra, “Bagus” ujar Nandra dan Juna menyetujui hal itu.

“Mau lagi?” Ujarnya dan Juna hanya mengangguk. Mata Nandra langsung menatap sekitar untuk mencari spot foto yang bagus. Sedangkan Juna kini tengah berjalan kearah tas nya untuk mengambil kacamata nya.

“Jun, coba kesitu yuk” ujar Nandra dan Juna langsung berjalan mengikuti Nandra.

“Coba pose candid ala-ala gitu, Jun”

Juna langsung menatap bingung batang pohon yang telah di potong dan sengaja di letakkan disitu, ia dengan pelan memposisikan kepalanya di lipatan tangannya yang menumpu pada batang pohon tersebut. Matanya menatap kearah lain dan Nandra langsung memposisikan kameranya dalam jarak agak dekat.

Cekrek

Foto lainnya berhasil ia ambil, di lihatnya foto tersebut kemudian senyum Nandra langsung muncul dengan lebar. “Jadi model gue aja deh lo, Jun” Juna menatap Nandra dengan bingung.

“Emang kenapa?” Tanya Juna.

“Bagus semua hasil foto lo!” Juna tersenyum dikala mendengar itu.

“Kalo di gaji ampe jutaan, sabi sih” Juna tertawa dikala melihat wajah Nandra yang nampak kecewa.

“Gue mau ke ayunan itu” Juna menunjuk kearah ayunan yang berada tak jauh dari posisi mereka. “Boleh, sekalian gue fotoin sini”

“Kerjaan lo jadi sopir ama tukang foto ya, na?”

“Kerjaan sampingan itu mah”

“Pekerjaan utama lo apaan emang?”

“Jadi anak tunggal kaya raya”

“Sombong amat lo”

“Bukan sombong cuman lagi want to pamer doang”

“Sama aja ya anjrit”


16.50 PM

“PANTAI~” Teriakan Haidar membuat Juna yang ada disebelahnya langsung memukul bagian belakang kepala Haidar.

“Anjir!” Seru Haidar sembari mengusap bagian belakang kepalanya.

“Jahat banget lo ama gue, Jun”

“Bodo” Haidar mencibir Juna diam-diam kemudian berlari kearah pantai.

Keempat sahabat itu tengah sibuk masing-masing, Juna yang sedang memotret suasana pantai, Nandra yang tengah mencari spot foto, Rajen yang asik memegang pasir dan Haidar yang berlari-lari seperti anak kecil.

“Jen, udah kaya bocah aja gali-gali pasir gitu” ucap Juna saat ia berdiri di dekat Rajen.

Sang empu pun langsung menoleh kearah Juna yang sedang sibuk menatap hamparan laut, senyum kecil nya terbit lalu berdiri di samping Juna.

“Udah lama ga ke pantai gini” gumam Juna dan tentu saja di dengar oleh Rajen.

Juna menarik nafasnya dalam-dalam, memejamkan matanya untuk menikmati semuanya dengan tenang. Tanpa Juna sadari, dirinya sedari tadi di tatap oleh Rajen. Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari Juna itu menatap Juna seolah pemuda manis itu adalah pemandangan yang lebih indah dibandingkan pantai yang ada di depannya.

Selalu cantik, ya.

“Puas, Jun?” Ujar Rajen tanpa sadar dan Juna yang mendengar hal itu langsung membuka matanya kembali kemudian menatap Rajen.

“Puas gimana, Jen?” Rajen mengerjapkan matanya, ia baru sadar Juna tengah menatapnya dan hal itu seketika membuat dirinya menjadi salah tingkah.

“Ah, itu— puas jalan-jalan hari ini?” Juna tau Rajen sedang gugup namun ia tidak tau apa yang membuat Rajen gugup.

“Puas banget!” Juna memilih untuk mengabaikan hal itu, ia berseru dengan riang dan jantung Rajen seketika memompa dengan cepat.

“Lo lucu banget sih?” Ujar Rajen dengan suara pelan dan seketika pipi Juna memerah. Jantung kedua pemuda itu kini tengah berpacu dengan cepat, mata keduanya saling menatap dengan dalam.

Entah apa yang merasuki diri Rajen, dirinya dengan perlahan sedikit mendekatkan wajahnya kearah wajah Juna. Pelan-pelan tapi pasti. Iya, pasti membuat Juna tidak berkutik.

Hembusan angin membuat rambut Juna dan Rajen sedikit bergerak, mata Juna yang tertutup oleh rambut membuat tangan Rajen bergerak menyingkirkan rambut halus itu. Mata nya terus menatap jelaga indah milik Juna dan sesekali mata itu menatap kearah bibir juna yang terlihat sangat manis.

“Jun” ujar Rajen dengan suara rendahnya, kini posisi wajah mereka yang sangat dekat membuat Juna dapat merasakan hembusan nafas Rajen.

Astaga, apa yang akan laki-laki ini lakukan.

“Gue—”

“Juna! Rajen!”

Ucapan Rajen terputus karena suara teriakan Haidar, dengan cepat Juna mendorong dada Rajen agar mereka sedikit menjauh.

“Apa, dar?!” Seru Juna sambil mencoba menetralkan nafas juga detak jantungnya.

“Sini, kita foto!” Juna mengangguk kemudian pandangannya beralih kearah Rajen, dengan gugup ia mencoba berucap sesuatu.

“Ayo kesana, jen. Udah ditungguin” Rajen mengangguk pelan kemudian berjalan mengikuti Juna.

Apa yang akan ia lakukan tadi? batin Rajen kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

Rajen gila.


18.19 PM

“Makasih banyak buat hari ini, guys” ujar Juna saat mereka semua sudah di dalam mobil dan menuju arah pulang.

“Gausah makasih gitu dong, kan kita seneng-seneng bareng hari ini” ucap Haidar sembari memakan keripik kentang yang ia beli sebelum pulang.

“Ya, tetep aja” ucap Juna dengan pelan.

Kemudian hening, mobil itu hanya dihiasi dengan suara musik dari radio mobil Nandra dan suara Haidar yang tengah mengunyah keripik kentang.

“Lo bahagia, Jun?” Tanya Nandra tiba-tiba dan Juna yang mendengar itu langsung mengangguk semangat.

“Bahagia banget!”

Diam-diam senyum tipis Nandra dan Rajen muncul.

“Pas lulus nanti, kita harus ada acara gini lagi ga sih? Lumayan bikin stres ilang soalnya” ujar Haidar setelah acara ngemilnya selesai.

“Boleh, tapi lo bikin sim dulu. Gue gamau jadi sopir pulang pergi lagi ya” jawab Nandra.

“Gampang itu mah, si Rajen bentar lagi bikin sim. Iya kan, Jen?” Rajen yang disebut namanya langsung menoleh kearah belakang.

“Kenapa bawa-bawa gue?” Ujar nya dan dibalas Haidar dengan sebuah senyuman lebar.

“Hehehe, males ah”

“Yeu, mau enaknya aja lo” ujar Nandra dan Haidar langsung terkekeh.

“Jun, bengong aja lo” Juna yang tengah menatap jendela langsung tersentak.

“Kenapa sih, Jun?” Juna menoleh kearah Haidar kemudian menggeleng pelan.

“Cielah, mending lo motoin gue deh”

“Aneh lo, poto kok di mobil sempit gini” walaupun ucapannya sekaan menolak tetapi Juna tetap melakukan apa yang Haidar mau.

“Nih, udah” ucap Juna sembari mengembalikan handphone milik Haidar.

“Kok blur, jun?” Ujar Haikal.

“Banyak mau ah lo”

Haidar tertawa kecil saat mendengar Juna yang sedang mendengus kesal, kedua pemuda itu pun memilih untuk sibuk dengan ponselnya.

“Eh, jun. Lo ta— lah? Bocahnya tidur?” Haidar melihat Juna yang kini tertidur dengan ponsel yang masih menyala. Senyum nya muncul seketika, kemudian dengan pelan ia memindahkan kepala Juna kearah bahu nya setelah itu mengambil ponsel Juna untuk dimatikan.

Namun sebelum mematikan ponsel itu ada sesuatu yang menarik di matanya.

“Juna tidur, dar?” Tanya Nandra dan Haidar langsung mengalihkan pandangannya kearah Nandra.

“Iya, kecapek-an kayanya. Tadi di pantai sibuk jalan kesana-sini buat nyari kerang” ujar Haidar kemudian mematikan ponsel Juna dan menaruhnya di dalam tas milik sahabatnya itu.

“Emang anak tk dia, ya”

“Bayi sih yang cocok”

Hari ini berjalan dengan baik dan Juna sangat bersyukur karena itu.

Isn't God very good for always giving a reason to smile even on a hard day?

Tok tok tok

“Ella, jadi ga?”

Ceklek

“Ayo!”

Juna tersenyum tipis dikala melihat Ella yang nampak sangat antusias.

“Mau kemana sih?” Ujar Juna dan Ella memilih untuk melihat jam tangannya kemudian menarik tangan Juna menuju pintu utama.

Namun saat melewati dapur, Ella berhenti sejenak “Ma, aku sama Juna main dulu ya!” Seruan itu di respon dengan sebuah anggukan juga senyuman.

“Iya. Juna, jagain Ella nya” Juna mengangguk kemudian Ella kembali menariknya menuju keluar rumah.

“Masih jam setengah tujuh, enaknya ngapain dulu ya?” Ucap Ella dikala menunggu Juna yang sedang menutup pagar rumahnya.

“Laper ga?” Tanya Juna dan Ella merespon dengan sebuah gelengan kepala.

“Mau nyoba ke alun-alun?” Ella menatap Juna dengan antusias kemudian mengangguk.

“Tapi naik bus umum, gapapa?”

“Gapapa! Ayo, kita ke halte!”

Juna tersenyum kecil lalu berjalan di samping Ella. Mereka berdua berjalan menuju halte dengan suasana yang menyenangkan dan Juna harap suasana ini akan bertahan lama.

“Jun, tadi soal terakhir menurut lo susah ga?”

“Inggris ya? Gampang lah, kenapa emangnya? Lo gabisa ngerjain soal nya ya?”

“Enak aja! Gue bisa ya!”


Juna dan Ella kini tengah duduk di kursi bus umum yang berada di dekat pintu. Untung saja penumpang bus di jam ini tidak terlalu banyak, jadi Juna merasa lega karena Ella tidak akan kepanasan.

Oh, ya. Ella duduk di samping kaca, jadi anak itu kini tengah sibuk menatap jalanan juga sesekali memotret dengan handphone nya.

“Seneng banget?” Tanya Juna dan Ella langsung mengalihkan pandangannya kearah Juna.

“Iya, udah lama ga naik angkutan umum gini” Juna tersenyum tipis lalu menepuk kepala Ella dengan pelan.

“Kaya anak paud”

“Coba bilang sekali lagi”

Juna tertawa kecil dikala Ella sudah ancang-ancang untuk memberikan sebuah pukulan pada lengannya.

Keduanya sibuk mengobrol hingga bus itu akhirnya sampai ke tujuan mereka.

“Yuk, turun. Dah sampe”

Juna dan Ella pun turun kemudian kembali berjalan menuju alun-alun kota tersebut. Mata Ella langsung berbinar dikala melihat suasana alun-alun yang ramai juga penuh dengan cahaya, Juna pun memberikan reaksi yang sama seperti Ella.

Sudah lama mereka tidak mengunjungi pusat kota ini.

“Mau beli minum dulu?”

“Ayo!”

Ella dan Juna beriringan berjalan menuju sebuah kios kecil yang menjual beberapa minuman. Mata mereka terfokus membaca menu minuman yang terdapat di spanduk dekat kios tersebut. Sang penjual yang melihat kelakuan Juna dan Ella yang layaknya seperti anak kembar sontak langsung tersenyum.

“Bu, pesen es leci nya ya” ujar Ella saat telah memutuskan untuk membeli apa dan di lanjut Juna yang ikut menatap sang penjual.

“Es leci nya dua ya, bu” ucap Juna dan sang penjual langsung terkekeh sambil mengangguk.

Astaga, Mereka berdua sangat lucu seperti anak kembar.

“Siap” ujar sang ibu penjual sembari membuat minuman yang mereka berdua pesan.

Sambil menunggu Ella dan Juna memilih untuk melihat sekitar, seperti sedang mencari kios mana yang akan mereka kunjungi setelah ini. Hingga keduanya tak sadar bahwa minuman sudah selesai dibuat.

“Misi, cantik dan ganteng. Ini minumannya udah jadi” Ella dan Juna secara bersamaan menatap si ibu penjual dan menerima uluran gelas berisi minuman yang mereka pesan.

“Jadi berapa, bu?” Tanya Juna sambil mengambil dompetnya yang ada di saku celana dan Ella juga kini sedang mengambil dompetnya yang ada di tas selempangnya.

“Delapan belas ribu” ujar sang penjual dengan ramah.

Kemudian dengan cepat Ella mengulurkan selembar uang dua puluh ribu dan hal itu membuat Juna menatap Ella dengan bingung.

“Biar gue yang bayar, la” ucap nya dan Ella langsung menggelengkan kepalanya.

“Gue duluan yang ngeluarin uangnya, wlee” Ella memeletkan lidahnya pada Juna dan hal itu membuat Juna memutar bola matanya.

“Ini, ibu” ucap Ella sembari memberi uang selembaran itu dan sang penjual menerima uang itu sembari tertawa kecil.

“Kalian ini kembar tak seiras ya?” Tanya si ibu penjual sambil memberikan uang kembalian pada Ella.

“Keliatan kaya anak kembar ya, bu?” Si ibu penjual mengangguk dan Ella langsung tertawa.

“Hush, ketawa-nya jangan gede-gede! Uhm, kita bukan anak kembar, bu. Sepupu-an doang hehe” jawab Juna sembari menepuk pelan bahu Ella.

“Oh, gitu. Saya kira kembar”

“Kami duluan, bu. Makasih ya bu, es yang ibu jual enak!” Seru Juna sambil berjalan dengan cepat karena Ella sudah berjalan lebih dulu.

Sang penjual menggeleng pelan sambil terkekeh.

“Aduh, Ella! Pelan-pelan!” Seru Juna karena Ella yang tengah berjalan dengan cepat.

“Ayo cepetan, jun! Keburu kios takoyaki nya rame!” Juna menghela nafas pelan lalu ia memilih untuk sedikit berlari, menghampiri Ella yang kini sedang memesan se-porsi takoyaki.

“Hehehe, halo juna~” ujar Ella dikala Juna sudah berhasil mengejarnya. Juna menarik nafasnya lalu menghembuskan nafasnya dengan pelan.

“Berisik. Mang, beli yang isi telur se-porsi ya” Juna beralih untuk memesan.

“Siap, kang” ujar sang penjual.

“Abis ini jangan jalan duluan lagi, kalo ilang bisa ribet” ucap Juna dan Ella hanya mengangguk tanpa melihat kearah Juna, ia lebih memilih menatap takoyaki nya yang sedang dimasak.

“Engga ribet, kan ada hp” Juna memejamkan matanya sejenak dikala mendengar jawaban dari Ella.

“Gue tinggal beneran, nangis nanti” cibir Juna dan Ella masih enggan untuk menatap sepupunya.

“Kaya berani ninggalin gue aja”

“Gausah nongkrong, habis ini kita pulang”

Ella tertawa dikala mendengar suara Juna yang sudah menggunakan nada bicara kesal, ia menatap sepupunya sambil tertawa.

“Bercanda, jangan ngambek dong” Ella mencubit pipi sebelah kanan Juna dan langsung di tepis oleh sang pemilik pipi.

“Diem”

“AHAHAHA, BAYI”

“Gue bukan bayi!”

“Iya, anak kecil kan?”

“Ella!”

“Bercanda jun, bercanda~”


Ella dan Juna kini tengah duduk di sebuah kursi yang disediakan di sekitar alun-alun tersebut. Minuman dan makanan mereka sudah tandas dan kini saatnya mereka menikmati langit malam dengan tenang.

“Jun, gue selalu bertanya-tanya. Kenapa lo seneng banget ngeliatin langit?” Tanya Ella tanpa menatap Juna, ia sedang sibuk melihat bulan yang sedikit tertutup awan.

“Karena langit bikin hati gue ngerasa tenang” jawab Juna dengan mata yang turut menatap sang bulan.

“Itu doang?” Ujar Ella dan Juna langsung bibirnya menyunggingkan sebuah senyum tipis.

“Lo liat, langit rasanya tuh luas banget kan ya? Apalagi sekarang cuman ada bulan, tanpa bintang” Ella mengangguk pelan.

“Mungkin dalam pikiran lo sekarang, apa emangnya yang spesial dari luas nya langit dan sebuah bulan?” Ella hanya diam, ia memilih untuk mendengarkan Juna dengan baik.

“La, luasnya langit dan sebuah bulan itu bagaikan ruang hati juga pikiran. Buat contoh, kalo ruang hati juga pikiran lo lagi sempit banget fokus lo cuman akan tertuju kearah bulan. Oh, bulan nya bagus banget ya. udah, pasti gitu doang” Juna tersenyum dikala matanya menangkap sedikit cahaya dari sebuah bintang.

“Tapi la, coba deh setelah lo mikir kaya gitu, mata lo jangan dilepas dari bulan. Terus aja lo natap bulan itu tanpa sadar mata lo akan ngeliat sekitarnya. Dengan ajaib nafas lo yang ga teratur secara perlahan akan kembali normal, isi pikiran lo juga hati lo dengan pelan membuat sebuah ruangan yang lebih luas”

Benar, ucapan Juna itu ternyata terjadi pada Ella. Nafasnya kini benar-benar tenang, pikirannya yang negatif sedikit demi sedikit mulai meluap.

“Setelah liat sekitar bulan yang ternyata terdapat setitik bintang juga sebuah bentang langit yang luas, lo akan ngerasa waktu berjalan dengan lambat. Sama seperti saat menikmati sebuah hujan atau mendengar sebuah deburan ombak, Langit juga bisa bikin sang penikmat merasa tenang” Angin khas malam hari mulai berhembus dan membuat suasana keduanya menjadi sangat damai.

“Lo tau, dengan liat langit aja lo bisa ketemu jawaban dari beberapa pertanyaan yang ada di hati lo” ujar Juna dengan pelan.

“Maksudnya?” Tanya Ella.

“Lo bakal tau maksud gue, suatu saat nanti” Jawaban Juna membuat Ella bungkam.

Keduanya sama-sama diam. Hingga juna dengan tiba-tiba berucap,

“Langit itu udah kaya healing buat gue” Ella menatap sepupunya yang kini masih asik menatap langit, senyum tipis Ella tanpa sadar muncul.

Sudah lama ia tidak melihat sosok Juna yang seperti ini dan Ella bersyukur ia dapat melihat sisi Juna ini kembali juga mendapat waktu bersama sepupu kesayangannya.

“Lo pernah berandai-andai akan sesuatu, Jun?” Tanya Ella tiba-tiba, masih sambil menatap Juna.

“Pernah” Jawab Juna.

“Kira-kira akan terwujud?”

“Mungkin”

Ella diam sejenak, “Emangnya apa yang paling lo andai-andai kan selama ini?”

Juna terdiam, seulas senyum tipis muncul. Sepasang mata indah itu menatap bulan dengan pandangan yang sendu hingga ia menghela nafas pelan kemudian mendongakkan kepala nya dengan tumpuan sandaran kursi tersebut. Kini fokusnya terarah kearah langit malam yang bersih tanpa awan, tangannya bergerak seperti menerawang sesuatu.

“Terbang ke langit dengan bebas” gumam Juna dengan suara yang amat pelan.

Ella menatap Juna dengan bingung, ia tidak mengerti maksud ucapan Juna yang sedikit tidak jelas. Ia memilih untuk mengabaikan itu semua dengan melakukan hal yang sama seperti yang Juna lakukan saat ini. Tangannya bergerak untuk menautkan jari kelingking-nya dengan Juna.

“Jun, janji ya? Kalo lo sedih, lo bisa cerita ke gue. Jangan di pendem sendiri” Juna tersentak kemudian menatap tautan kelingking mereka berdua. Senyum nya muncul kembali dengan ringan.

“Lo juga, ya?”

“Um!”

“Udah puas kan? Yuk pulang”

Let's go~

Keduanya pulang dengan langkah yang ringan karena hati mereka yang terisi dengan banyak perasaan bahagia.

Salah satu list-nya kini sudah terpenuhi dengan baik.

“In the sky there are always answers and explanations for everything: every pain, every suffering, joy and confusion.” — Ishmael Beah

You can play just like a Dream-BEN while reading

Juna tersenyum tipis sembari menggeleng pelan saat membaca beberapa percakapan para sahabatnya di grup chat itu, hingga saat dirasa percakapan telah usai ia taruh ponsel itu di sebelahnya.

Juna duduk bersandar di tembok dekat pintu masuk rooftop sekolah, matanya menatap langit biru yang mulai sedikit berubah karena jam petang akan datang. Setelah puas menatap langit itu ia memilih untuk memejamkan matanya sambil mengambil nafas dalam dan dihembuskan dengan perlahan.

Cukup lama Juna ada di posisi itu hingga bunyi pintu yang dibuka terdengar di indra pendengarannya. Matanya tetap terpejam, ia memilih untuk acuh.

Telinga Juna mendengar langkah kaki yang menuju kearahnya kemudian ia merasakan sang pemilik langkah kaki itu duduk di sampingnya. Aroma parfum yang familiar membuat Juna menjadi penasaran akan orang itu.

Di bukalah kedua matanya dengan perlahan, beberapa detik ia menyesuaikan cahaya kemudian menoleh kearah orang yang ada di sebelahnya.

“Hai” sapa orang itu dan Juna hanya menanggapi dengan sebuah senyuman tipis.

Tidak ingin berlama-lama menatap sepasang mata itu, Juna memilih untuk melihat langit kembali. “Tumben kesini” ucap Juna setelah diam beberapa detik.

“Gue pengen ketemu lo” jawaban itu membuat dada Juna tiba-tiba berdebar kencang. Namun, sebisa mungkin Juna mencoba bersikap normal.

“Tadi kita ketemu” Juna menjawab dengan pelan.

“Ralat deh, gue pengen ngobrol sama lo” Juna diam, ia masih belum ingin menatap lawan bicaranya.

“Udah lama ya kita ga berduaan gini” ucapan orang itu membuat Juna diam-dia menggigit pipi dalamnya.

“Kan gaada alasan buat kita ada waktu untuk berduaan” ucapan Juna yang terdengar sangat santai itu tanpa sadar membuat sang lawan bicara merasakan ada panah yang menancap di dadanya.

“Kenapa, jen? Ella bikin lo kesel lagi?” Rajen, orang yang menjadi lawan bicara Juna itu menggeleng pelan.

Juna melirik sedikit kearah Rajen, “Terus? Mau curhat tentang hubungan kalian?” Panah kedua datang menancap dada Rajen.

“Oh, atau lo mau minta sesuatu lagi ke gue?”

Oke, panah ketiga cukup membuat dada Rajen sangat terasa sakit. Rajen menghela nafasnya pelan,

“Maaf, Jun. Aku kangen kamu”

Juna mematung, matanya menatap kosong langit, nafasnya seakan berhenti sejenak. Apa-apaan? Pernyataan apa yang baru saja ia dengar? Apa ini termasuk dalam imajinasi? Atau mimpinya?

Tidak, ini mustahil.

“Jun, aku kangen kita yang kemarin

Astaga, kenapa mimpi buruk ini terus berlanjut? Siapapun, tolong bangunkan Juna dari mimpi buruk ini.

“Juna... ak— aku baru sadar tentang perasaan aku ke kamu selama ini”

Berhenti, tolong! Bangunkan Juna, cepat! Tolong berteriak-lah di depan wajah nya jika ini hanya mimpi!

“Jun, aku sadar. I'm falling in love with you

Apa...?

Apa katanya barusan?

Diam nya Juna membuat Rajen merasa gugup sendiri, di dalam otaknya ada berbagai pertanyaan juga contoh respon apa yang akan Juna berikan padanya.

Sedangkan Juna kini tengah merasa pikirannya sangat kosong, dirinya sangat merasa bingung akan sesuatu. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar realita?

“Gue pasti lagi mimpi” gumaman Juna didengar oleh telinga Rajen.

Rajen yang tadi tengah merasa gugup kini berganti dengan perasaan khawatir. Pilihan nya untuk jujur tidak salah kan?

Dengan pelan Rajen menepuk bahu Juna dan kesadaran Juna langsung kembali, mata cantik itu mengerjap beberapa kali lalu menatap Rajen.

Di tatapnya sepasang manik kelam milik Rajen dengan dalam, seperti mencari sesuatu di dalam manik tersebut.

“Lo serius?”

Rajen tersentak pelan namun dengan cepat ia membalas Juna dengan anggukan kuat, “Iya, gue serius” jawabnya dengan lugas.

Juna masih menatap sepasang mata Rajen kemudian senyum kecil terbit begitu saja. Jujur, senyuman itu membuat Rajen berpikir jika Juna merasa senang akan pernyataan tadi.

Namun, senyuman juna yang semakin lebar juga disusul dengan suara tawa membuat Rajen menghapus pikiran tersebut.

Juna tertawa dengan keras sambil menundukkan kepalanya, ia memegang perutnya seperti tengah merasa sakit perut karena tertawa.

“AHAHAHA, BERCANDA BANGET DAH HIDUP GUE” Teriak Juna disela tawanya.

Rajen menatap bingung Juna, kernyitan di dahi nya terlihat jelas. Juna masih tertawa lalu saat melihat wajah bingung Rajen, tawa nya semakin mengeras. Tangan nya yang bebas mulai naik turun memukul lantai semen.

“Aduh, hahahaha lucu” Juna mulai meredakan tawanya pelan-pelan.

“Ada yang lucu dari ucapan gue?” Tanya Rajen sambil menatap Juna dengan pandangan bingung juga sedikit tersirat rasa tidak suka. Pasalnya, ia mengira Juna menganggap ucapan serius nya hanya bercanda.

Setelah tawa nya reda, Juna tersenyum sinis sambil menatap Rajen. “Iya, ada yang lucu. Lucu karena lo bisa dengan mudahnya ngerubah hidup gue”

Rajen menaikkan satu alisnya, “Maksud lo?”

Juna terkekeh lalu mengangguk, “Apa respon yang lo harapkan dari gue setelah bilang itu, Jen?”

Rajen bungkam dan melihat hal itu membuat Juna tersenyum kecil.

“Ga nyangka ya, bayangan respon yang ada di otak lo ternyata ga terjadi? Kok malah gue di ketawain? isi pikiran lo gitu kan?”

Benar, ucapan Juna benar adanya.

“Jen, gue sepenuhnya bukan ngetawain lo kok” Rajen menatap Juna.

“Gue lagi ngetawain diri sendiri, yang bisa bodoh banget sampe kaya gini”

Senyum Juna hilang dan Rajen memilih untuk tetap diam.

“Maaf ya, Jen? Lo jadi ngerasain hal yang salah ini, harusnya lo tetep di tempat yang seharusnya”

“Jun, lo gausah min—”

“Tapi nyatanya emang gue yang harus minta maaf duluan kan?” Juna menatap Rajen dengan pandangan yang tidak dapat di deskripsikan. Terlalu misterius dan membuat Rajen sedikit takut.

“Maaf, Jen. Ayo kita sama-sama berjuang buat lupain perasaan ini, sesuatu yang salah ga baik buat di teruskan”

Rajen mengepalkan tangannya, “Jun, lo tau? Beberapa hari ini gue terus yakinin diri gue buat milih jalan ini, karena gue bener-bener udah jatuh ke lo, Juna”

Juna menggigit bibir dalamnya, mencoba menahan tangisannya.

“Jen, apa lo juga tau? Apa aja yang udah gue lakuin selama ini buat gue lupain perasaan ini, lupain kenangan kita, juga gue yang lagi cari cara untuk tetap tersenyum di hari besok?” Ucap Juna dengan lugas.

Rajen terdiam.

“Kita sama-sama gatau, Jen” Juna diam, membiarkan hening sejenak hingga ia pun menghembuskan nafas pelan.

“Lo mau berjuang?” Tanya Juna tiba-tiba.

“Iya, ayo berjuang bersama” ucap Rajen dengan penuh keyakinan.

Mata keduanya saling beradu, menghantarkan sebuah pesan yang sulit di ucapkan dengan sebuah kata-kata. Saking merasa fokus atas satu sama lain, mereka menghiraukan suara musik yang meriah dari lapangan bawah.

“Mustahil, Jen” Rajen tersentak saat mendengar ucapan itu juga melihat Juna yang kini tersenyum tipis.

“Semua itu mustahil untuk terjadi, Jen”

“Juna, di dunia ini gaada yang namanya mustahil sebelum di coba dulu”

“Setelah di coba apa hasilnya akan benar-benar sebuah kabar yang baik?”

Rajen terdiam dan Juna hanya menatap Rajen dengan sendu.

“Lo siap dengan semua kemungkinan yang buruk?” Rajen tetap diam, entah kemana hilangnya keyakinan yang ada tadi. Semua itu seakan sirna ketika Juna menanyakan tentang sebuah konsekuensi yang akan terjadi.

“Gue—”

“Siap kalau perjuangan kita itu akan melibatkan banyak kehilangan orang-orang yang kita sayang?” Juna menatap Rajen dengan pandangan yang menuntut jawaban tegas. Namun, yang ia dapat hanya sebuah mata yang menyiratkan rasa ragu juga sedikit ketakutan.

“Lo belum siap, Jen” ucap Juna dengan lirih.

“Juna...”

“Rajen, kalaupun lo besok bakal menjawab pertanyaan gue tadi dengan yakin, gue ga akan nerima ajakan lo buat berjuang. Maaf, Jen. Larangan yang Tuhan berikan jika terus di tentang akan berujung sia-sia dan meninggalkan banyak rasa sakit”

Dada Rajen seakan terasa sakit dikala mendengar itu semua dan tak jauh berbeda dari Rajen, Juna juga merasakan sakit itu.

Sakit yang sulit di deskripsikan.

“Lo... jahat” gumam Rajen.

“Iya, gue jahat. Maaf, Jen. Maaf. Maaf karena lo harus ngerasain sakit yang seperti ini, maaf karena gue hampir bikin lo ngerasain yang namanya neraka dunia. Maaf” Juna menundukkan kepalanya, air matanya perlahan turun begitupula dengan Rajen.

Mereka menangis tanpa suara.

“Kenapa harus begini, kenapa?!” Rajen bertanya dengan nada yang frustasi dan hal itu membuat Juna merasa sakit yang lebih lagi.

iya, ya? Kenapa harus seperti ini alur takdir kita?

“Jen, sekali lagi gue minta maaf. Maaf yang benar-benar langsung dari hati gue, Maaf”

Rajen kian terisak dan hati Juna semakin teriris, ia tidak sanggup lagi untuk melihat sang cinta pertama-nya. Sungguh.

Kenapa harus ia yang merasakan ini semua?

Dengan gerakan lembut, Juna merengkuh Rajen dengan erat. Menepuk punggung tegap itu, membiarkan seragamnya basah karena air mata Rajen.

“Pelan-pelan lo bakal ngelupain ini semua, Jen. Lo punya Ella yang akan bantu lo ngelupain ini semua, gue yakin lo bisa kembali ke kehidupan lo yang normal” bisik Juna dan Rajen langsung menggeleng pelan.

“Semoga di hari berikutnya, kebahagiaan akan datang terus kedalam hidup lo” Rajen menggeleng frustasi dikala mendengar itu semua.

Sedangkan Juna semakin mengeratkan pelukan itu dan terus menepuk punggung Rajen, air mata Juna sudah berhenti mengalir namun rasa sakit-nya kian terasa.

Juna benar-benar tidak bisa berbuat apapun selain ini semua.

Jujur, Juna ingin berjuang bersama dengan Rajen. Membiarkan cinta mereka terus tumbuh bersama hingga membuat kisah yang bahagia

Tapi, kembali ke realita. Dunia ini tidak seindah dongeng penghantar tidur, yang dimana semua hal mustahil bisa terjadi.

Cukup dirinya saja yang merasakan karma karena telah memilih sebuah jalan yang salah, cukup dirinya saja. Ia tidak ingin orang-orang yang ia sayangi merasakan ini semua.

Jika sebuah kebahagiaan tidak selalu datang padanya, bisakah Tuhan memberikan orang-orang yang Juna sayangi mendapatkan banyak kebahagiaan? Bahagia yang sebenarnya.


Satu menit berlalu.

Tangis Rajen mulai mereda dan Juna pun mulai melepaskan pelukannya itu, Juna tersenyum kecil dikala Rajen menghapus air matanya.

“Jen, gue titip Ella ya”

Rajen menatap Juna dengan pandangan yang amat dalam,

“Lo sayang banget ya sama Ella?” Juna mengangguk kecil.

“Iya, gue sayang banget sama dia. Sampai sulit buat menjabarkan seberapa sayang gue sama dia” Juna tertawa kecil.

Rajen menatap Juna yang tampak baik-baik saja, sebenarnya ia ingin marah kepada Juna yang dengan cepat langsung nampak bahagia ketika membahas Ella. Namun sebelum ia melontarkan amarahnya, hatinya berkata jika Juna sedang mencoba mengalihkan rasa sakitnya.

Rajen sadar, ini batasnya untuk menuntut Juna. Kemarin ia sudah terlalu banyak menyakiti pemuda manis itu, semua ucapannya sangat berpengaruh untuk mengubah alur hidup Juna.

Dirinya itu bagaikan sosok yang sangat brengsek dan Juna adalah sosok malaikat tanpa sayap.

Kenapa semesta mempertemukan mereka berdua dalam keadaan yang seperti ini?

“Gue titip Ella ya, Jen. Tolong jadiin dia pusat dunia lo untuk selamanya” Rajen hanya diam, ia bingung akan jawaban apa yang harus ia katakan.

“Gue ga nyuruh lo janji kok. Kalo emang gabisa gapapa, semoga lo bisa bertemu sosok pendamping yang baik di masa depan” Juna tersenyum pada Rajen.

Astaga, jantungnya mulai berdebar sangat kencang hanya karena senyuman Juna.

“Gue bakal coba menuhin itu”

Juna menatap Rajen dengan terkejut, “Serius?”

Rajen mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, “Tapi, gue boleh minta satu hal?”

“Apa?”

“Peluk gue”

Juna langsung saja merengkuh kembali tubuh tegap Rajen hingga ia merasakan pelukan balasan dari Rajen.

Terasa hangat namun juga menyakitkan di waktu bersamaan.

“Aku yakin suatu saat nanti kamu akan memiliki sumber kebahagian yang lebih baik dalam hidup kamu” ucap Juna dengan lembut.

Rajen memilih diam, menyembunyikan wajahnya di bahu Juna.

“Lo juga, Jun. Semoga ada kebahagiaan yang datang ke lo. Maafin gue yang brengsek ini, Jun”

“Gapapa, Rajen. Gapapa, gue udah maafin lo”

Apakah setelah ini kisah mereka akan usai?

very painful reality.

Tw: character death, angst, mentioning cancer. p.s: sorry if some medical information and others is wrong🙏

Sebelum memulai cerita, bolehkah saya memperkenalkan diri saya sendiri?

Baik, perkenalkan nama saya Marka Adijaya kalian bisa memanggil saya mark.

Dan ini, kisah saya dengan kekasih hati saya. Renjana Putra Awan.


Senyum bahagia muncul dengan sangat indah dari bibir sang kekasih hati, ah... Mark rasanya tidak sanggup berlama-lama menatap pemuda manis itu.

“Kak, jangan diem aja! Sini!” Seruan itu membuat Mark tersenyum kecil lalu berlari menuju kesayangan nya lalu memeluknya dengan erat.

“Geli! Kak, jangan dusel-dusel mulu dong” Mark semakin menggerakkan kepalanya di leher sang kekasih dan tawa yang terdengar manis pun mengalun dengan indah di telinga nya.

“Wangi kamu manis” ucap Mark dan sang empu hanya tertawa geli.

“Jangan gombal! Aku belum mandi tau” ucapan itu membuat Mark melepaskan pelukannya dengan lembut.

“Kenapa belum mandi, hm?” Tanya Mark dengan suara sangat lembut sambil membantu sang kekasih hati duduk di karpet lembut sebagai alas duduk.

“Nanti aku mandi habis main, kak” Mark mengangkat satu alisnya sambil tersenyum kecil, “Yang bener?” Pemuda manis itu mengangguk semangat.

Tawa Mark pun keluar membuat pemuda manis yang ada di depannya bingung, “kenapa ketawa?”

Mark menggeleng pelan, alih-alih langsung menjawab ia lebih memilih untuk meletakkan kepalanya diatas paha pemuda manis itu.

“Biarin aku istirahat sebentar ya, ren?” Renjana, pemuda manis yang selalu menjadi alasan senyum juga tawa Mark keluar.

“Iya, iya. Tapi jangan lama-lama, kepala kak Mark berat tau” Mark pun tersenyum lalu menutup kedua matanya, sang empu pemilik paha yang dijadikan bantal oleh Mark itu hanya diam.

Tangan lentiknya bergerak halus mengusap surai hitam Mark, lalu bibirnya menggumamkan nada indah yang membuat Mark nyaman.

“Kakak dokter yang hebat” ucap Renjana tiba-tiba dengan suara yang lembut bagai kapas.

Mendengar hal itu Mark dengan perlahan membuka matanya dan bagian rahang bawah dari sosok cantik yang telah menemani harinya selama 2 tahun terlihat. Tangan nya bergerak untuk mengusap pipi Renjana dengan lembut, matanya terus berfokus pada sosok cantik itu.

“Dan kamu sosok hebat yang telah menemani hari-hari dokter ini” ujar Mark dan senyum Renjana terbit.

“Kak”

“Hm”

“Aku bangga jadi pacar kak Mark”

Mark terkekeh, “Aku bahagia punya kamu”

“Terus jadi dokter yang hebat ya, kak? Aku sayang banget sama kak Mark”

“Aku usahain ya, sayang? Aku sayang kamu juga” Mark mengecup jari lentik Renjana dengan sayang.


“Ren, sayang? Bangun ya?”

“Kak, sakit”

“Iya, sebentar lagi sakitnya ilang kok”

Mark berujar dengan lembut sembari menyiapkan beberapa perlengkapan khususnya, Renjana hanya diam sembari sesekali meringis dikala merasa sakit di dadanya. Mata cantik itu mencoba untuk menatap kekasihnya yang kini tengah mencoba jarum suntik itu.

“Aku takut, kak”

“Sebentar aja ya, sayang? Sakit nya cuman sebentar kok” Mark mengusap punggung tangan pemuda manis itu dengan sebuah kapas yang sudah di campur dengan cairan alkohol. Lalu dengan cepat ia menancapkan jarum suntik itu, saat Renjana meringis ia mencoba untuk tetap berkonsentrasi.

“Sudah selesai, masih sakit?” Renjana mengangguk pelan dan Mark langsung tersenyum sendu. Di usapnya dengan lembut pergelangan tangan ringkih itu.

“Tahan sebentar lagi ya, ren? Aku janji setelah semua persiapannya selesai, kamu ga akan sakit lagi” Renjana menatap Mark dengan sayu lalu mengangguk pelan. Hingga kedua kelopak mata itu menutup dengan perlahan.

Namun sebelum matanya menutup sempurna Renjana membisikkan sesuatu, “Aku sayang kak Mark”

Sang empu yang disebut langsung tersenyum getir, “Aku juga, Renjana”


“Kak, aku ganteng?”

Mark yang baru saja datang langsung menatap Renjana yang tengah duduk di ranjang, kekasihnya mengenakan kemeja berwarna kuning pastel serta celana pendek berwarna putih dan rambut yang disisir keatas hingga menampilkan dahinya juga kacamata tanpa lensa sebagai penghias bagian wajah.

Astaga, kenapa kekasihnya terlihat lebih manis?

“Kamu—sempurna, Ren”

Renjana mengernyit bingung, “Manusia gaada yang sempurna, Kak Mark” ujarnya.

“Tapi dimata aku kamu sempurna, ren” Mark berjalan mendekati Renjana, ia duduk disebelah sang kekasih lalu merengkuh nya dengan erat.

“Semuanya sudah siap, Ren” bisiknya.

“Beneran?” Tanya Renjana dengan nada yang antusias lalu membalas pelukan Mark tak kalah erat.

“Iya. Besok, besok kamu ga akan ngerasain sakit lagi” Renjana diam-diam mengulum sebuah senyum tipis, entah apa arti senyum itu.

“Makasih, kak. Kakak udah berusaha dengan baik, kak Mark hebat” Mark menyembunyikan wajahnya di bahu sang kekasih. Dapat dirasakan jika Mark tengah menangis bahagia, Pemuda manis itu memilih untuk diam sembari menepuk bahu Mark.

“Kak”

“Hm?”

“Dada aku sakit”

“Sayang? Sebentar ya, tu— RENJANA!”


“Maaf, dokter Mark. Dia memilih untuk beristirahat dengan tenang”

Mark menatap rekan kerja juga sahabatnya dengan pandangan tak percaya, tangan nya terkepal dengan erat seperti siap untuk memukul siapa saja yang mengganggunya.

“Jangan bohong kamu, na” Naren menatap sahabatnya dengan pandangan bersalah.

“Pasien penderita kanker paru-paru stadium satu, bernama Renjana Putra Awan telah meninggal pada pukul dua siang lewat tiga menit.”

Detak jantung Mark terasa berhenti, deru nafasnya kian tidak beraturan, kakinya seakan lemas tak mampu menahan beban tubuhnya. Mark jatuh terduduk di depan Naren sembari menatap kosong pintu ruang operasi.

“Mark”

“Dia pergi, na” lirih Mark dan Naren langsung bergerak untuk menuntun Mark duduk di kursi yang tersedia.

“Dia bilang dia mau sembuh, na” Naren menepuk bahu sahabatnya dengan pelan.

“Dia beneran sembuh, Mark. Dia sembuh, dia ga akan ngerasain sakit lagi” Mark menggeleng kuat-kuat.

“Bukan, bukan ini maksud sembuh itu” Air mata Mark turun dengan perlahan dan tepat saat itu para perawat keluar dari ruang operasi sembari menarik ranjang yang terdapat pasien.

Mark dengan cepat mendekat kearah ranjang itu, di pegangnya dengan erat besi yang terdapat di sisi ranjang itu. “Dokter Mark, tolong biarkan kami membersihkan nya terlebih dahulu” ucap salah satu perawat.

Mark tetap diam, ia menatap wajah cantik kekasihnya yang kini tertutup oleh kain. Naren pun berinisiatif menjauhkan Mark dari ranjang tersebut.

“Na, kenapa dia memilih sembuh yang seperti ini?”


Mark tersenyum kecil sembari menatap foto pemuda manis yang tengah tersenyum lebar di balik kaca yang ada di depannya.

“Senyum kamu selalu bikin hati aku tenang ya, ren?” Ucapnya kemudian tangannya bergerak untuk menaruh sebuket bunga mawar putih yang cantik di sebelah foto itu.

“Apa kabar, sayang?” Tanya Mark sembari mengusap foto itu. Seakan ada yang menjawab, senyum Mark kembali muncul.

“Kabar aku baik, hari ini aku berhasil nyelamatin semua pasien aku. Aku berhasil jadi dokter yang hebat kan?” Air mata Mark satu persatu mulai jatuh.

“Ren, aku sayang sama kamu” ujarnya lagi.

“A—aku kangen kamu, ren” Mark menundukkan kepalanya, ia lagi-lagi menangis di hadapan sang kekasih.

“Maaf, maafin aku yang gabisa jadi dokter yang baik buat kamu, ren. Maaf” isak tangis nya mulai terdengar.

Mark yang tadinya berdiri dengan tegak langsung jatuh terduduk, di sela tangis nya ia merutuki dirinya sendiri karena kembali menangis. Padahal sebelum datang untuk menemui kekasihnya ia sudah bertekad untuk tidak menangis.

Tapi kenapa? Kenapa air matanya selalu ingin keluar saat berada di hadapan kekasihnya?

“Ren, aku butuh kamu” lirih Mark sembari menepuk dadanya dengan keras.

“Maaf, maaf aku belum ikhlas atas kepergian kamu. Ren, aku minta maaf” Mark terus menangis.

Hingga tiba-tiba ia merasakan ketenangan dalam hatinya, rasa hangat mulai melingkupi dirinya yang sedari tadi resah, Mark merasa seperti ada yang merengkuhnya.

Di dalam otaknya kini terputar memori saat kekasihnya mengucapkan kalimat favoritnya,

“Aku sayang kak Mark”

Renjana, jika di kehidupan kali ini kita tidak bisa bersama. Bisakah kita berusaha untuk bersama di kehidupan selanjutnya? Ayo bertemu lagi di saat itu, Ren.

Ayo habiskan waktu dengan senyuman juga tawa bersama.

Renjana, ini pertama kalinya aku mengucapkan kalimat ini setelah dua bulan lamanya kamu pergi meninggalkan aku. Semoga dengan terucapnya kalimat ini dari bibir aku, kamu bisa merasakan ketenangan.

“Selamat jalan, Renjana. Aku tidak akan melupakan mu, kamu bisa tenang sekarang”

“Terimakasih, kak. Aku harap doa mu tadi terkabul, semoga kita bisa bertemu lagi”

End

—Al.

Juna dan Ella kini sedang berada di sebuah study cafè yang berada di dekat alun-alun kota, situasi antara keduanya adalah sama-sama sibuk dengan buku-buku yang mereka bawa.

Sudah dua puluh menit berlalu dan mereka hanya sibuk belajar, sesekali Ella akan bertanya materi yang belum ia pahami pada Juna dan tentu saja di respon dengan baik oleh sang empu.

Hubungan mereka berdua kian membaik semenjak kejadian itu dan Juna sangat bersyukur sepupu kesayangan nya, Lala telah kembali.

Jarum jam terus bergerak hingga tepat pada pukul lima sore, Ella mulai bergerak menutup bukunya. “Junjun” panggilnya dan dibahas sebuah deheman oleh sang empu.

“Udahan belajarnya, lanjut nanti” Juna menatap sang sepupu sebentar lalu mulai bergerak menutup buku nya juga. Di minum nya ice coffe latte sembari menatap Ella dengan pandangan bingung.

“Kenapa?” Pasalnya sedari tadi Ella menatapnya dengan pandangan yang tajam dan jujur itu membuat Juna sedikit gugup.

“Jelasin, kenapa lo milih pake uang tabungan lo buat les dibanding persiapan kuliah?” Juna meletakkan gelas yang sudah setengah hampir habis isi nya lalu menatap Ella.

“Karena gue pengen les” jawaban itu masih belum membuat Ella puas.

“Gitu doang?” Juna tersenyum tipis sambil mengangguk pelan dan Ella pun langsung menatap sepupunya dengan pandangan tidak percaya.

“Pasti ada alasan lain” Juna terkekeh sebentar, “iya iya, sabar dong. Lagi merangkai kata-kata nya nih” ujarnya sambil tertawa kecil lalu menyandarkan punggung nya ke sandaran kursi yang ia duduki.

“La, lo tau kondisi gue kaya gimana kan?” Ella mengangguk ragu sebagai balasan.

“Mama sama papa ga mungkin izinin gue buat pergi kuliah, jadi buat apa berharap sama hal yang mustahil terjadi?” Ella mengernyit lalu menggeleng pelan.

“Gaada yang mus—”

“Ada Ella, ada. Kuliah? Bagi Juna itu adalah hal mustahil. La, dari dulu mereka cuman biaya in gue uang buat sekolah dan ngasih gue duit bulanan doang. Ga lebih dan ga kurang, keperluan lain? Gue pake uang bulanan itu” Ella hanya diam dan Juna menghela nafas.

“Cita-cita? Mimpi? Semua itu udah hilang, la. Dari dulu, yang mereka mau tuh gue bisa berguna bagi mereka bukan sebaliknya. Berguna kaya gimana? Bantu biaya finansial keluarga secepatnya”

“Jun, tapi keluarga lo masih terbilang cukup”

“Cukup untuk mereka, bukan cukup untuk gue la. Gue les sekarang juga diem-diem, mereka gatau gue les. La... alasan gue les itu, gue mau terus nambah ilmu dan paham semua materi sebelum gue cuman sibuk untuk cari uang di masa depan” Juna tersenyum tipis saat melihat Ella yang terduduk kaku.

“Gapapa, la. Gue ikhlas kok, toh pilihan itu juga bukan pilihan yang buruk kan?” Ella menundukkan kepalanya lalu mengangguk pelan.

“Gausah sedih gitu dong, lo tau? Dengan lo yang selalu ada di samping gue bahkan khawatir sama gue, udah cukup bikin gue bahagia” Ella menatap Juna dan sang empu yang ditatap hanya tersenyum lebar.

“Jun, gue bakal ada di samping lo”

“Gue tau, makasih ya lala~” Ella tersenyum sambil mengangguk.

“Semangat ya, Junjun~”

Iya, cukup seperti ini. Juna sudah merasa bahagia kok

19.20

Di sisi sebuah lapangan yang luas terdapat tiga orang pemuda yang sedang duduk di bawah pohon yang rindang. Di terangi dengan sinar bulan juga beberapa bintang serta angin khas malam hari turut menemani mereka bertiga.

Suasana hening hanya ada suara jangkrik yang menjadi latar mereka. Entah apa yang sedang mereka pikirkan hingga menjadi hening seperti itu.

“Jun, jangan diem aja dong. Udah sepuluh menit kita diem-diem an gini” Haidar mulai memecahkan keheningan diantara mereka.

“Iya, Jun. Ayo ceritain” Nandra menimpali.

Juna menghela nafasnya pelan, matanya menatap bulan dan hal itu membuat kedua sahabatnya sedikit khawatir.

Juna tidak mungkin kerasukan hantu pohon besar ini kan?

“Bulan nya bagus” ujar Juna tiba-tiba membuat Nandra juga Haidar sontak ikut menatap bulan itu.

“Iya, cantik” Nandra berucap tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Bulan.

“Tapi menurut gue lebih cantik bintang sih” Haidar menatap salah satu bintang yang ada di dekat bulan itu.

“Hm, tanpa bintang langit malam juga ga akan sempurna” Juna menanggapi ucapan Haidar.

Hening kembali.

Hingga suara batuk Juna mengalihkan atensi mereka, “Lo gapapa, Jun?” Ujar Nandra sembari menatap Juna yang kini tengah menarik nafas dalam sehabis batuk tadi.

“Gu— hahhhh Gue gapapa” Suara Juna sedikit tersendat karena menarik nafasnya dengan berat.

“Beneran?” Pertanyaan Haidar dibalas senyuman kecil juga anggukan oleh Juna.

“Gue... boleh mulai bahas dia?” Kedua sahabatnya mengangguk dan Juna langsung tersenyum tipis.

“Tau ga sih, dar? Na? Kalo gue ada niatan buat berubah”

Nandra dan Haidar diam.

“Berubah kaya gimana? Berubah buat jadi lebih baik daripada Juna yang dulu”

“Apa alasan lo buat berubah?” Tanya Haidar dan Juna langsung menatap mata yang bertanya kemudian beralih untuk menatap hamparan rumput luas di depannya.

“Apa ya..? Hmm, Karena gue mau mulai semuanya dari awal? Gue pengen lupain perasaan gue ke dia dan jalanin hari gue dengan lebih baik” Ucapan Juna membuat sebuah tanda tanya besar di otak Nandra juga Haidar.

“Lo bener-bener mau move on?” Partanyaan Nandra dibalas anggukan oleh Juna.

“Iya, setelah gue lupain perasaan gue ke dia, gue bakal merubah semuanya”

“Tunggu, maksud lo merubah semuanya?” Juna tersenyum tanpa menatap Haidar yang bertanya padanya.

“Gue bakal rubah sikap lemah gue, gaya bicara juga hidup gue dan... orientasi seksual gue yang sekarang. Gue mau hidup normal kaya orang-orang” jawaban Juna membuat Nandra dan Haidar mematung.

Pemuda bertubuh mungil itu tampak santai atas apa yang baru saja ia katakan, matanya menatap bulan dengan binarnya juga bibir berwarna merah jambu itu sedang menyunggingkan sebuah senyuman manis.

“Jadi, tolong ajarin gue caranya move on ya?” Jun beralih menatap kedua sahabatnya yang kini tengah menatap dirinya dengan pandangan yang... seperti tidak menyangka? Entahlah, apa arti tatapan itu.

“Juna... gue sama haidar bakal ngasih tau caranya buat lupain perasaan itu dan lo ga perlu buat berubah total kaya gitu” Juna menatap bingung Nandra.

“Iya, Jun. Lo bisa kok ngilangin rasa lo ke Rajen tanpa merubah diri lo yang asli” ujar Haidar.

“Lo berdua gamau gue jadi normal?” Tanya Juna dengan kernyitan di dahi.

“Engga, Juna. Maksud kita ga gitu” Juna bertambah bingung dengan ucapan Nandra.

“Terus? Kok ucapan kalian seakan nyu—”

“Juna! Lo yang sekarang pun normal!” Haidar berujar dengan nada yang sedikit di tinggikan.

Juna diam, kepalanya langsung menunduk saat mendengar suara Haidar. Helaan nafas kasar ia dengar hingga beberapa detik kemudian usapan lembut terasa di kepalanya.

“Jun, dokter brian bilang kalo lo cuman harus lebih terbuka sama perasaan lo. Mendem semuanya tuh ga baik, Jun. Itu maksud dokter Brian, dia ga nyuruh lo langsung merubah total diri lo yang sekarang” nada bicara Nandra yang lembut membuat Juna diam-diam meremat tangannya yang ada diatas pahanya.

“Gue tau...” ucap Juna dengan nada pelan kemudian dengan perlahan tubuhnya bergetar.

“Gue tau apa yang di maksud dokter brian” ucapnya lagi, suara nya yang pelan juga tubuh yang sedikit bergetar membuat Nandra dan Haidar sontak khawatir.

“Gue juga gamau, gue gamau ini semua terjadi” tangan Juna kini terangkat untuk meremat rambutnya. Haidar dengan cepat pun mencoba melepaskan rematan tangan itu.

“Juna, lepas. Nanti rambut lo rontok” ucap Haidar dengan nada yang sedikit panik, pasalnya Juna semakin meremat rambutnya.

“Gue cuma mau hidup gue normal, gue mau itu” ujar Juna lagi.

“Juna jang—”

“JUNA CUMAN MAU ORANG-ORANG SEKITAR JUNA NERIMA JUNA APA ADANYA” Teriakkan itu membuat Haidar berhenti.

hiks JUNA CUMAN PENGEN HIDUP JUNA TENANG, TANPA ADA TUNTUTAN LAIN TANPA ADA KATA “JUNA LO HARUS NORMAL DAN BERUBAH” “JUNA JANGAN GINI, JUNA JANGAN GITU” JUNA JUGA MANUSIA” Juna mengangkat kepalanya tepat kearah bulan, matanya terpejam dengan air mata yang selalu mengalir.

Nandra dan Haidar diam-diam merasakan sakit saat melihat sahabat kesayangan nya yang kini dengan kondisi mengenaskan. Hati mereka teriris.

“JUNA MANUSIA SAMA KAYA KALIAN SEMUA, JUNA BISA NGERASAIN SAKIT. JUNA MAU NURUTIN SEMUA KEINGINAN MAMA, PAPA, RAJEN, ELLA, NANDRA, HAIDAR, DOKTER BRIAN, JUNA MAU NGELAKUIN SEMUA APA YANG KALIAN BILANG KE JUNA. JUNA MAU!”

“JUNA—hiks Juna juga manusia... juna juga berhak buat bahagia... juna mau orang di sekitar juna bahagia... juna mau berubah kaya yang ella mau... juna mau ikutin apa mau rajen... jun—”

“Juna, kita berdua bahagia karena lo muncul di hidup kita” Juna menatap Haidar dengan mata yang terus mengeluarkan air matanya.

Haidar pun turut menatap Juna dengan tatapan dalam, “Gue beruntung bisa ketemu lo dan jadi sahabat lo sampai saat ini, Jun” Haidar tersenyum kecil.

“Jun, lo tau? Entah lo sadar atau engga, lo itu membawa kebahagiaan dalam hidup gue” Juna beralih menatap Nandra dan sang empu yang ditatap kini tersenyum sembari mengusap air mata Juna.

“Iya, Juna cuman manusia biasa. Kaya gue dan Haidar, lo juga berhak mendapat kebahagiaan”

“Jun, lo berhak kok buat memilih apa yang hati lo mau. Lo berhak untuk ga ngelakuin semua tuntutan orang-orang sekitar lo itu” Haidar berucap sambil mengusap bahu Juna.

“Maafin kita yang tanpa sadar suka nuntut sesuatu ke lo ya, Jun?”

Tangis Juna semakin pecah, ia tidak menyangka. Benar-benar tidak menyangka bahwa dirinya berhasil memberikan sedikit rasa bahagia pada kedua sahabatnya dan untuk pertama kalinya ia mendengar kalimat maaf yang seperti itu.

Dalam hidupnya selama 17 tahun ini, baru pertama kali ada yang mengatakan itu semua. Ini, ini yang mau Juna dengar sedari dulu.

Nandra mengusap punggung sedangkan Haidar merangkul bahu Juna, mereka berdua hanya diam. Membiarkan Juna menangis sepuasnya.

“Makasih—makasih banyak” ujar Juna disela tangisnya.

“Engga, Juna. Harusnya kita yang makasih ke lo, makasih udah percaya sama kita”

“Jun, tenang aja ya? Kita bakal bantu lo buat ngelupain perasaan lo ke Rajen tapi kita ga janji kalo itu semua bakal terjadi secara cepat. Selama proses itu lo bisa nikmatin semuanya Juna, gausah buru-buru ya?”

hiks gue sayang banget sama kalian, sekali lagi makasih”

“Sama-sama, Juna. Semangat ya? Gue selalu bilang kan? Lo ga sendiri, ada gue sama Haidar di sisi lo”

“Iya, Juna. Lo tau? Akhir-akhir ini lo udah berubah jadi sosok yang lebih kuat dan hebat dan gue yakin kedepannya lo bakal lebih dari yang sekarang. Tenang ya, Juna? Selain ada kita yang ada di sisi lo ada Tuhan juga yang selalu membantu”

Tuhan, maaf... maafkan Juna yang tanpa sadar tidak bersyukur karena di beri kehidupan juga terimakasih telah menyadarkan Juna lewat dua sahabat kesayangan Juna. Juna akan benar-benar berusaha untuk lebih baik kedepannya, terimakasih telah memberikan titik terang atas pertanyaan Juna.

Tenang aja ya? Gausah buru-buru, nikmati prosesnya. Tuhan akan selalu memberikan jalan hidup yang terbaik.

*You can play My everything-NCT U while reading*

CW // Harsh words , mentioning hatred

Juna berjalan kearah seorang perempuan yang tengah duduk di ayunan sambil menundukkan kepalanya, disana hanya ada perempuan itu sendiri.

Dengan pelan Juna menghampiri perempuan itu lalu saat sudah berada di dekat nya, ia memilih untuk duduk di ayunan sebelah yang kosong.

Merasakan kehadiran orang lain, perempuan yang menunduk itu pun menoleh. Ia terkejut dengan kehadiran Juna, ia pikir Juna tidak akan datang padanya.

“Kaget?” Ujar Juna tanpa menoleh kearah perempuan itu, “engga” jawaban dengan nada datar Juna dapatkan.

Juna tersenyum tipis lalu menggerakkan ayunan nya dengan pelan. Suara decitan besi berkarat, angin sepoi-sepoi yang membuat rambut sedikit bergerak, juga bulan sabit yang memberikan sedikit cahaya menjadi latar suasana antara Juna dan sepupunya, Ella.

“Buat apa kesini?” Tanya Ella sembari menggerakan ayunan nya juga dengan pelan.

“Nemenin lo” jawab Juna dengan santai. “Cih, ga percaya gue” ujar Ella.

“Ya... terserah”

Kemudian hening kembali.

“La, gue dari dulu mau nanya pertanyaan ini deh ke lo” Juna tiba-tiba berceletuk, matanya senantiasa menatap bulan sabit yang ada di langit.

“Lo benci sama gue karena apa?”

Ella berhenti menggerakan ayunan nya dan Juna pun turut melakukan apa yang Ella lakukan.

“Lo mikir kalo gue benci sama lo ya...” gumam an Ella membuat Juna tersentak.

Apa maksudnya?

Ella menatap Juna, “Iya, jun. Gue benci lo dan itu karena sikap lo yang terlalu lembek”

Juna mengernyitkan dahinya, “dasar bodoh, lo ga pernah berubah ya?” Ella menatap Juna dengan remeh dan Juna semakin mengernyit bingung.

“Lo ga capek, jun? Lo ga capek hidup di dunia yang kejam ini?”

“Ella gue ga paham”

“Ck, apa yang lo paham?”

Juna menggigit bibir dalamnya dan Ella melihat hal itu, langsung saja ia terkekeh pelan.

“Kapan lo berubah, jun?” Ujarnya kemudian menghela nafas pelan sambil menatap bulan.

“Lo bener-bener ga pantes buat hidup di dunia ini”

Juna mengeratkan pegangan di sisi ayunan nya, apa ini waktu nya untuk ia menangis lagi?

Juna menggeleng pelan lalu berdehem, “apa yang bikin lo kabur gini?” Juna mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Gue ga kabur, gue izin kok ke mama lo tadi”

“Izin nya kurang jelas”

“Kepo lo”

“Dari dulu”

Ella mendengus kemudian menatap kesal Juna dan yang ditatap memilih tidak peduli.

“Lo mulai berani ya?”

Ujar Ella yang diakhiri tawa remeh, “Kata lo, gue harus berubah biar ga lembek lagi” jawaban itu keluar dengan bebas dari bibirnya.

Entah apa yang membuat Juna berani menghadapi sepupunya itu.

“Juna, gue ga suka ya”

“Gue gaada niatan buat ngikutin kesukaan lo”

“Anjing” umpat Ella dan Juna yang mendengar itu langsung tersenyum kecil.

“La”

“Jangan ngomong ama gue”

“Tapi gue pengen ngobrol sama lo”

Tangan kiri Ella langsung saja bergerak untuk menyenggol ayunan milik Juna namun sebelum hal itu terjadi, Juna dengan cepat menahan gerakan Ella.

Mata keduanya saling menatap, keduanya memberikan tatapan yang misterius.

Ella mencoba menggerakkan tangan nya dengan kuat namun Juna membalas dengan mengeratkan cekalannya pada tangan Ella. Mata Juna kini memberikan perempuan itu pandangan datar, “Jangan gini, Ella” ujar nya dengan suara yang tegas.

Ella menghentikan gerakannya, ia diam sejenak sambil menatap mata Juna. Tiba-tiba air matanya jatuh dengan perlahan, suara kekehan pun terdengar.

Air mata Ella kian deras dan tawa nya kian mengeras, Juna dengan cepat melepaskan cekalannya. Ia menatap bingung Ella yang tengah menangis, kenapa tiba-tiba?

“Dari dulu—harusnya lo kaya gini, Juna” ujar Ella disela tangisnya.

“Ella—”

“Harusnya lo dari dulu ngasih tatapan itu ke orang-orang brengsek itu! Hiks” Ella semakin menangis dan Juna kini semakin tidak paham dengan sikap Ella.

“Juna— lo emang ga pantes ada dunia ini—hiks” ucapan Ella kian tersendat karena tangisnya.

“Dunia ini terlalu kejam buat lo, JUNA! LO GA HARUSNYA LAHIR KE DUNIA INI!” Teriakan itu membuat Juna tersentak, tubuhnya seakan kaku.

“Ella...”

Juna menatap Ella yang tengah menangis, hatinya berdenyut sakit saat Ella mengatakan kalimat itu dengan lantang. Juna paham, apa yang di maksud dengan sepupunya itu.

Ella hanya ingin merubah dirinya agar tidak di rendahkan oleh orang lain, walaupun dengan cara yang salah dan keterlaluan. Sekilas Juna pun kembali mengingat apa saja yang telah Ella lakukan padanya semenjak masa sekolah menengah pertama kelas tiga.

Ella memang memperlakukan dirinya dengan buruk, jadi ia berpikir jika sepupunya ini membenci dirinya. Sama seperti apa yang orang tua nya lakukan. Namun hari ini, ia tidak menyangka dengan pernyataan yang terkesan tiba-tiba ini.

Jika ditanya, Apa dia kecewa? Maka Juna akan menjawab bahwa dirinya sangat kecewa dengan semua perlakuan Ella. Apa dirinya akan memaafkannya? Setelah apa yang terjadi selama ini? Dengan tanpa ragu Juna akan menjawab, Iya, dia memaafkan sepupunya.

Mau bagaimana pun, Ella itu sepupu Juna bukan? Lagipula, Jika Tuhan mampu memaafkan makhluk nya dengan mudah, mengapa Juna tidak? Dia memaafkan Ella.

Lalu bagaimana dengan semua sakit fisik juga mental yang ia perbuat pada diri Juna? Juna akan memaafkan hal itu juga.

Kenapa dirinya sebaik ini? Jawabannya adalah, Juna ingin menjadi manusia yang baik setidaknya untuk penyeimbang dosanya karena telah melanggar hukum yang Tuhan berikan.

“Gue ga benci sama lo, Juna. Gue engga benci sama lo, gue cuman—”

Grep!

Juna dengan cepat beranjak dari ayunan nya lalu memeluk Ella yang masih menangis. Dengan pelan air mata nya pun ikut turun, ia memeluk Ella dengan erat. Membiarkan sepupu kesayangan nya itu menangis di dadanya, punggung Ella ia elus dengan lembut.

“Maaf— maafin cara gue yang keterlaluan Juna, ma—”

“Ssstt, gapapa Ella. Gapapa kok” ujar Juna dengan lembut.

Tangan nya mengusap air mata miliknya lalu menenangkan Ella kembali.

“Juna, gue benci” ujar Ella sembari memukul-mukul dada Juna.

“Iya, Ella. Makasih ya? Makasih udah ngelakuin itu semua demi gue, makasih udah jujur, makasih buat semuanya Ella”

Tangis Ella semakin mengeras begitupula dengan air mata Juna yang kian menderas.

“Maaf juna, maaf”

it's okay, la... gue paham sekarang. Gue janji, mulai besok gue bakal berusaha buat jadi lebih kuat. Usaha lo buat bikin gue sadar berhasil, la. Lo berhasil” Juna melepas pelukannya, ia mensejajarkan wajahnya dengan wajah Ella.

Tangan nya menangkup wajah Ella, mengusap pipi perempuan itu kemudian menatap nya sembari tersenyum.

“Lo berhasil, la. Maaf ya, gue terlalu lama buat sadar. Pasti berat banget ya selama ini?” Ella menatap Juna sembari mengangguk pelan dan senyum Juna kian melebar.

“Sekarang lo ga perlu pura-pura lagi kaya gitu, la. Gue bakal berusaha sendiri buat berubah, jadi—”

Juna kembali mengusap air mata Ella kemudian menatapnya dengan lembut.

“Jadi lo bisa kembali ke diri lo yang dulu, la. Kembali menjadi Ella yang sering bilang “Juna, ella sayang banget sama Juna! Juna sepupu terbaik Ella!”. Oke?”

Ella mengusap air matanya lalu mengangguk, kemudian dengan gerakan tiba-tiba ia memeluk Juna dengan erat.

“Maaf karena selalu bikin lo sakit hati dan nangis karena sikap gue selama ini, maaf Juna”

Juna mengangguk lalu membalas pelukan Ella, “Makasih atas semua usaha juga kepedulian lo selama ini, makasih banyak sepupu kesayangan Juna”

Ga nyangka? Iya, aku ga nyangka. Perlakuan nya memang keterlaluan tapi... ya mau bagaimanapun dia ngelakuin itu semua demi aku, sepupu kesayangan nya.

Keterlaluan? Iya, gue sadar kok. Sadar banget sampe setiap abis ngelakuin hal jelek itu ke Juna gue selalu nangis, karena... gue gatau harus pakai cara apa buat bikin dia sadar dan berubah selain dengan lakuin itu. Maaf ya.

the path of destiny is unpredictable, right?

Juna menghembuskan nafasnya pelan, ia menatap sekeliling nya yang kini ramai dengan para orang tua juga anak-anak yang tengah menikmati sore.

16.30

Itu angka yang tertera di layar kunci ponsel nya, Astaga, gue harus nunggu sampe kapan? batin Juna sembari menghela nafas.

“Juna!” Teriakan itu membuat Juna menoleh ke sumber suara, di lihatnya pemuda yang sedang berlari ke arahnya.

“Maaf— hosh lo udah nunggu lama ya?” Pemuda itu berucap sambil mengatur nafasnya. Juna menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan, anggukan pelan pun ia berikan sebagai jawaban.

“Duduk dulu” ujar Juna dan orang itu pun langsung mengikuti perkataannya.

Keadaan yang hening serta atmosfir canggung kini berada di tengah keduanya. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Hingga Juna yang tidak tahan dengan suasana itu langsung berdehem singkat, “Mau jelasin apa?” Tanya nya untuk mengawali topik yang akan dibahas.

“Emmm—” sang empu yang ditanya nampak ragu untuk berbicara.

“Rajen, matahari mulai terbenam. Bentar lagi gelap dan gue gerah banget karena masih pakai seragam” Rajen, pemuda itu sedikit tersentak dengan ucapan Juna tiba-tiba.

“Apa yang mau lo jelasin?” Juna terus berujar dengan tidak sabaran.

Kalian harus tau, alasan Juna terus mencecar Rajen dengan pertanyaan sama karena dua alasan. Pertama, dirinya kini tengah merasa tidak nyaman karena masih memakai seragam sekolah. Kedua, rasanya Juna tidak sanggup berlama-lama dengan Rajen seperti ini.

Juna takut, usaha nya untuk menghapus perasaan kepada Rajen akan gagal.

Jujur, Juna sangat tidak paham dengan tingkah Rajen yang semakin aneh semenjak dirinya menyatakan perasaan padanya.

Tidak mungkin Rajen menyukai dirinya juga, kan?

“Gue lagi bingung sama perasaan gue, Jun”

Rajen akhirnya bersuara.

“Emang kenapa perasaan lo?” Juna menatap bingung Rajen.

“Kaya... aneh” ujar Rajen dengan nada pelan, Juna menghela nafas dalam. “Aneh gimana?”

Rajen menatap Juna sebentar, “Lo denger sendiri deh, jun. Kenapa bisa gue nganggep itu aneh” Juna mengangguk lalu menyiapkan telinga nya baik-baik.

Rajen menghela nafas sebentar, “Semenjak lo bilang... tentang perasaan lo ke gue, rasanya bikin dada gue sesek jun. Sesek yang belum pernah gue alami”

Juna menatap Rajen dengan pandangan yang sedikit terkejut namun dengan cepat ia merubah mimik wajahnya seperti biasa kembali.

“Gue kira sesek nya karena kaget sama pernyataan lo itu, jun jadi gue pikir rasa sesek nya bakal ilang. Tapi ternyata engga, rasa sesek nya terus bertahan sampai hari ini. Lo tau? Gue ampe frustasi banget, jun. Bingung, gimana cara ngilangin nya” Rajen menatap Juna dengan dalam namun yang ia dapat hanya pandangan datar.

“Lo bilang lo bakal ngilangin perasaan lo ke gue kan? Jun, harusnya gue malah seneng ga sih? Tapi kenapa yang gue rasain malah perasaan ga rela, kaya... gue gamau lo ngilangin perasaan itu. Gue gamau lo ngejauhin gue, gue... ga suka sama sikap lo yang balik kaya dulu lagi, jun” kalimat terakhir Rajen ucapkan dengan lirih namun masih bisa Juna dengar.

Juna mengepalkan tangan nya diam-diam. “Terus apa?” Suara Juna yang datar membuat Rajen menatap Juna dengan pandangan tidak percaya.

“Apa yang lo harapkan setelah lo bilang itu semua ke gue, jen?”

Rajen bungkam, pertanyaan Juna dengan tepat sasaran menghunus dadanya.

Ia tidak menyangka Juna akan membalas dengan kalimat itu.

“Jen... jangan bikin gue bingung. Lo kira, lo doang yang frustasi? Gue juga, jen. GUE JUGA FRUSTASI, SAMPE RASANYA GUE PENGEN NEMBAK KEPALA GUE BIAR KEPALA GUE GA SAKIT MIKIRIN ITU SEMUA!”

Amarah juna... akhirnya keluar.

“Mau lo apa, jen? Apa yang lo mau? hilangin perasaan ini atau tetap di simpan?”

Rajen menatap Juna dengan pandangan bersalah. Bukan, bukan ini respon Juna yang ia mau.

“Jun—”

“Iya, jen. Gue paham, lo mau gue tetep bertingkah sama sebelum gue bilang kalo gue suka sama lo, kan? Itu yang lo mau kan, jen? Tapi secara bersamaan, lo gamau kalo gue punya rasa itu. Itu kan yang lo mau?”

Setetes air mata Juna jatuh yang kemudian di ikuti dengan tetesan lain, pandangan matanya kian memburam karena tertutup air mata. Walaupun ia menangis, tapi mimik wajah marah nya masih ada.

Jujur, hati Rajen turut teriris melihat Juna yang seperti ini.

“Juna... gue—”

“Brengsek, banyak juga ya mau lo? Lo mau gue ga hilang dari pandangan lo, lo mau gue hilangin perasaan ini, dan sekarang— lo mau gue bertingkah kaya waktu itu? Asal lo tau, jen. Gue bukan mesin yang bisa mewujudkan semua keinginan lo, gue juga manusia. Sama kaya lo” Juna mengusap air matanya dengan kasar lalu menatap Rajen dengan kecewa.

“Gue muak sama tingkah childish lo ini, jen”

Rajen menundukkan kepalanya, rasanya ia sangat malu untuk menatap Juna.

Juna berdecih sebelum berdiri dari duduknya, “Gue pulang dulu” ujarnya sambil berjalan.

Namun baru selangkah berjalan, Juna berhenti. Tanpa membalik badannya ia berujar pada Rajen,

“Maaf kalo nanti semua keinginan lo itu yang terwujud malah sebaliknya”

Kemudian Juna pun berjalan meninggalkan Rajen yang tengah menunduk dan penuh dengan perasaan menyesal.

Jadi sebenernya siapa yang salah disini? Aku atau kamu, jen?

Maaf.

any other words besides sorry?

Suasana kelas Juna kini sangat hening, hanya terdengar guratan pulpen pada kertas dan gesekan lembaran buku.

Disaat mereka tengah fokus mencatat materi yang ada di buku juga papan tulis, ada satu orang yang tengah termenung. Menatap kosong papan tulis dan jari yang menggerakkan pulpen dengan pelan.

Tak!!

“Siapa yang menjatuhkan pulpen?” Suara berat khas membuat fokus anak-anak kelas sedikit teralihkan.

Juna melirik teman sebangku nya yang tengah menatap kearah depan, matanya pun beralih untuk menatap kearah bawah meja. Ada sebuah pulpen disana, itu tandanya pulpen tersebut milik teman sebangkunya.

“Jen” bisik Juna sembari menyenggol bahu Rajen pelan, sang empu pun menoleh.

“Pulpen lo jatoh” Rajen menatap Juna sebentar, tentu saja hal itu membuat Juna sedikit merasa risih. Beberapa detik kemudian Rajen tersadar, ia mengangguk sekilas lalu mengambil pulpen nya yang jatuh.

“Pulpen saya, pak” ujar Rajen sembari menunjukkan pulpen yang baru saja jatuh.

“Hm, lanjutkan mencatat”

Kemudian semuanya kembali mencatat, begitupula dengan Juna. Rajen melirik Juna sekilas lalu menghela nafas pelan.


“Oy, Rajen!”

Suara yang amat familiar terdengar di telinga nya, lantas pemuda itu pun menoleh kearah pintu kelasnya. Disana ada Juna juga Haidar dan Nandra yang berdiri sembari menatap dirinya.

“Huh?” Tatapan bingung itu membuat Haidar berdecak.

“Bengong mulu lo hari ini. Mau istirahat ga?” Rajen dengan cepat mengangguk lalu berjalan kearah para sahabatnya.

Sampailah mereka di kantin.

“Lo kenapa sih, jen?” Tanya Nandra kemudian meminum es teh nya sambil menatap Rajen yang ada di samping kanannya.

Rajen yang tengah mengaduk acak nasi goreng nya langsung menatap Nandra, “Gue kenapa?” Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.

“Lo kaya orang patah hati, Jen. Bengong mulu lah, kalo di tanya linglung, disuruh makan ogah-ogah an. Ngapa lo? Diputusin—”

Ctak!

Suara sendok yang di taruh dengan kasar membuat Haidar menghentikan ucapannya, “Emang kalo kaya gitu selalu karena patah hati?!” Respon berlebihan yang Rajen berikan membuat ketiga sahabatnya itu menatap Rajen dengan bingung.

“Gue cuman nanya” ujar Haidar dan Rajen pun langsung mendengus kesal.

“Lo kenapa, jen? Kalo ada masalah, lo bisa cerita ke—”

“Apa? Cerita ke lo bertiga? Ogah. Gue jijik cerita di depan orang yang bermuka dua bahkan ga normal kaya kalian semua”

Brak!

Meja itu di gebrak oleh Haidar, matanya menatap kesal Rajen yang juga menatap dirinya dengan pandangan serupa. Juna yang ada di sebelah Haidar langsung mencoba menahan, ia mengelus punggung Haidar sembari menuntunnya untuk duduk kembali.

“Dar, inget ini di kantin loh. Orang-orang lagi liatin kita” bisik Juna, Haidar mendengus kesal lalu kembali duduk.

“Lo ada masalah apa sama kita? Bilang, jen. Gausah pake segala rendahin gitu, apa kata lo? Bermuka dua? Ga normal? Tumben lo bawa-bawa kata itu” Rajen menggeram, tangan nya mengepal.

“Lo—”

“Oke, guys. Kayanya kita harus ke rooftop” Ujar Juna sambil berdiri, ketiga sahabatnya menatap Juna kemudian turut berdiri dari duduknya.

••

“Apa masalah lo ama kita?”

Pertanyaan itu muncul dengan bebas dari bibir Haidar saat mereka sampai di rooftop. Juna bersandar di tembok dekat pintu rooftop, menatap ketiga sahabatnya yang mungkin akan meledakkan emosi nya.

“Cih, lo pada bahkan ga sadar?”

“Apa? Apa yang kita ga sadar?!” Haidar menatap nyalang Rajen yang kini tengah menatap dirinya juga sahabatnya yang lain dengan pandangan yang seperti merendahkan.

Sial, Haidar benci tatapan itu.

“Akhir-akhir ini, lo pada selalu main tanpa gue” Nandra menatap bingung Rajen.

“Maksud lo?”

“Lo bertiga bilang batal main di grup tapi malah ngumpul bertiga. Itu maksudnya apa? Mau nyingkirin gue? Bilang dong kalo kaya gitu, gue ga masalah kok kalo lopada—”

“SIALAN, CUMAN KARENA ITU?!” Haidar menatap jengah Rajen.

“Cuman karena itu jen, lo sampe ngatain kita bermuka dua dan ga normal?” Nandra menimpali.

Juna melihat ketiga sahabatnya yang sudah mengepalkan tangan dengan sangat kuat langsung berjalan mendekat, “Jen, kalo karena hal itu lo sampe kesel sama kita. Gue minta maaf, maaf karena kesannya kita mau nyingkirin lo” Juna berujar dengan lembut, matanya pun menatap Rajen dengan pandangan bersalah.

“Kita ketemu dan akhirnya ngumpul tanpa lo itu secara ga sengaja, jen. Kita gaada niatan buat main bareng tanpa lo, gaada sama sekali” Kepalan tangan Rajen sedikit melunak.

“Sekali lagi, maaf ya. Lain kali, kalo ada kejadian kaya gitu lagi gue kabarin lo biar kita ngumpul bareng” Juna tersenyum tipis, kemudian matanya beralih kearah Nandra dan Haidar.

“Udahan dong, jangan marah-marah. Sesama bro masa berantem sih” Juna mencoba mencairkan suasana tegang itu.

Haidar dan Nandra saling bertatapan sebentar lalu menghela nafas secara bersamaan, “Kaya kata Juna tadi, kita gaada maksud buat kaya gitu. Sorry deh kalo hal itu bikin lo ngerasa tersingkirkan” ujar Nandra.

“Gue juga minta maaf, jen. Tapi kata-kata lo tadi... bikin gue sedikit kecewa, lain kali kalo marah tolong jangan bawa kata-kata itu” Rajen menatap ketiga sahabatnya dengan pandangan bersalah, tangan yang terkepal kini sudah hilang.

“Maaf... gue kelepasan, gue—” Rajen menghela nafas sejenak.

“Gue hari ini lagi banyak pikiran, apalagi masalah itu terus ada di otak gue sampe rasanya frustasi. Maaf” Juna mengangguk pelan.

“Udah selesai kan? Jangan pada marah-marah lagi, ya? Kan udah saling minta maaf” Juna menatap Nandra dan Haidar secara bergantian sembari tersenyum.

“Oke, untuk kali ini gue maafin. Tapi kalo lo ngatain gue dan sahabat gue yang lain gitu lagi, gue ga akan segan-segan buat nonjok muka lo” Rajen tersenyum tipis lalu mengangguk.

“Kalo gue kelewat batas kaya tadi, tonjok gue aja dar” Haidar menatap Rajen dengan pandangan tak percaya kemudian senyum tipis nya terbit sambil mengangguk.

“Damai damai, yok lanjut jajan lagi” ujar Nandra sambil menepuk tangan nya.

“Cielah, tadi aja pada mau adu jotos sekarang udah ngajak jajan lagi” Juna berujar dengan nada bercanda.

“Ya, wajar kan dalam hubungan sahabat ada kejadian kaya gini?” Ucap Haidar dan disetujui yang lain.

“Yuk balik kantin, gue mau beli cilor”

Haidar dan Nandra berjalan lebih dulu kemudian Juna pun mengikuti dari belakang namun saat baru melangkah, Rajen menahan tangan nya.

“Pulang sekolah nanti, kita bisa ngobrol sebentar?” Juna menatap Rajen dengan bingung.

“Cuman berdua, di taman biasa ya? Please

“Hm”