Marah.

Suasana kelas Juna kini sangat hening, hanya terdengar guratan pulpen pada kertas dan gesekan lembaran buku.

Disaat mereka tengah fokus mencatat materi yang ada di buku juga papan tulis, ada satu orang yang tengah termenung. Menatap kosong papan tulis dan jari yang menggerakkan pulpen dengan pelan.

Tak!!

“Siapa yang menjatuhkan pulpen?” Suara berat khas membuat fokus anak-anak kelas sedikit teralihkan.

Juna melirik teman sebangku nya yang tengah menatap kearah depan, matanya pun beralih untuk menatap kearah bawah meja. Ada sebuah pulpen disana, itu tandanya pulpen tersebut milik teman sebangkunya.

“Jen” bisik Juna sembari menyenggol bahu Rajen pelan, sang empu pun menoleh.

“Pulpen lo jatoh” Rajen menatap Juna sebentar, tentu saja hal itu membuat Juna sedikit merasa risih. Beberapa detik kemudian Rajen tersadar, ia mengangguk sekilas lalu mengambil pulpen nya yang jatuh.

“Pulpen saya, pak” ujar Rajen sembari menunjukkan pulpen yang baru saja jatuh.

“Hm, lanjutkan mencatat”

Kemudian semuanya kembali mencatat, begitupula dengan Juna. Rajen melirik Juna sekilas lalu menghela nafas pelan.


“Oy, Rajen!”

Suara yang amat familiar terdengar di telinga nya, lantas pemuda itu pun menoleh kearah pintu kelasnya. Disana ada Juna juga Haidar dan Nandra yang berdiri sembari menatap dirinya.

“Huh?” Tatapan bingung itu membuat Haidar berdecak.

“Bengong mulu lo hari ini. Mau istirahat ga?” Rajen dengan cepat mengangguk lalu berjalan kearah para sahabatnya.

Sampailah mereka di kantin.

“Lo kenapa sih, jen?” Tanya Nandra kemudian meminum es teh nya sambil menatap Rajen yang ada di samping kanannya.

Rajen yang tengah mengaduk acak nasi goreng nya langsung menatap Nandra, “Gue kenapa?” Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.

“Lo kaya orang patah hati, Jen. Bengong mulu lah, kalo di tanya linglung, disuruh makan ogah-ogah an. Ngapa lo? Diputusin—”

Ctak!

Suara sendok yang di taruh dengan kasar membuat Haidar menghentikan ucapannya, “Emang kalo kaya gitu selalu karena patah hati?!” Respon berlebihan yang Rajen berikan membuat ketiga sahabatnya itu menatap Rajen dengan bingung.

“Gue cuman nanya” ujar Haidar dan Rajen pun langsung mendengus kesal.

“Lo kenapa, jen? Kalo ada masalah, lo bisa cerita ke—”

“Apa? Cerita ke lo bertiga? Ogah. Gue jijik cerita di depan orang yang bermuka dua bahkan ga normal kaya kalian semua”

Brak!

Meja itu di gebrak oleh Haidar, matanya menatap kesal Rajen yang juga menatap dirinya dengan pandangan serupa. Juna yang ada di sebelah Haidar langsung mencoba menahan, ia mengelus punggung Haidar sembari menuntunnya untuk duduk kembali.

“Dar, inget ini di kantin loh. Orang-orang lagi liatin kita” bisik Juna, Haidar mendengus kesal lalu kembali duduk.

“Lo ada masalah apa sama kita? Bilang, jen. Gausah pake segala rendahin gitu, apa kata lo? Bermuka dua? Ga normal? Tumben lo bawa-bawa kata itu” Rajen menggeram, tangan nya mengepal.

“Lo—”

“Oke, guys. Kayanya kita harus ke rooftop” Ujar Juna sambil berdiri, ketiga sahabatnya menatap Juna kemudian turut berdiri dari duduknya.

••

“Apa masalah lo ama kita?”

Pertanyaan itu muncul dengan bebas dari bibir Haidar saat mereka sampai di rooftop. Juna bersandar di tembok dekat pintu rooftop, menatap ketiga sahabatnya yang mungkin akan meledakkan emosi nya.

“Cih, lo pada bahkan ga sadar?”

“Apa? Apa yang kita ga sadar?!” Haidar menatap nyalang Rajen yang kini tengah menatap dirinya juga sahabatnya yang lain dengan pandangan yang seperti merendahkan.

Sial, Haidar benci tatapan itu.

“Akhir-akhir ini, lo pada selalu main tanpa gue” Nandra menatap bingung Rajen.

“Maksud lo?”

“Lo bertiga bilang batal main di grup tapi malah ngumpul bertiga. Itu maksudnya apa? Mau nyingkirin gue? Bilang dong kalo kaya gitu, gue ga masalah kok kalo lopada—”

“SIALAN, CUMAN KARENA ITU?!” Haidar menatap jengah Rajen.

“Cuman karena itu jen, lo sampe ngatain kita bermuka dua dan ga normal?” Nandra menimpali.

Juna melihat ketiga sahabatnya yang sudah mengepalkan tangan dengan sangat kuat langsung berjalan mendekat, “Jen, kalo karena hal itu lo sampe kesel sama kita. Gue minta maaf, maaf karena kesannya kita mau nyingkirin lo” Juna berujar dengan lembut, matanya pun menatap Rajen dengan pandangan bersalah.

“Kita ketemu dan akhirnya ngumpul tanpa lo itu secara ga sengaja, jen. Kita gaada niatan buat main bareng tanpa lo, gaada sama sekali” Kepalan tangan Rajen sedikit melunak.

“Sekali lagi, maaf ya. Lain kali, kalo ada kejadian kaya gitu lagi gue kabarin lo biar kita ngumpul bareng” Juna tersenyum tipis, kemudian matanya beralih kearah Nandra dan Haidar.

“Udahan dong, jangan marah-marah. Sesama bro masa berantem sih” Juna mencoba mencairkan suasana tegang itu.

Haidar dan Nandra saling bertatapan sebentar lalu menghela nafas secara bersamaan, “Kaya kata Juna tadi, kita gaada maksud buat kaya gitu. Sorry deh kalo hal itu bikin lo ngerasa tersingkirkan” ujar Nandra.

“Gue juga minta maaf, jen. Tapi kata-kata lo tadi... bikin gue sedikit kecewa, lain kali kalo marah tolong jangan bawa kata-kata itu” Rajen menatap ketiga sahabatnya dengan pandangan bersalah, tangan yang terkepal kini sudah hilang.

“Maaf... gue kelepasan, gue—” Rajen menghela nafas sejenak.

“Gue hari ini lagi banyak pikiran, apalagi masalah itu terus ada di otak gue sampe rasanya frustasi. Maaf” Juna mengangguk pelan.

“Udah selesai kan? Jangan pada marah-marah lagi, ya? Kan udah saling minta maaf” Juna menatap Nandra dan Haidar secara bergantian sembari tersenyum.

“Oke, untuk kali ini gue maafin. Tapi kalo lo ngatain gue dan sahabat gue yang lain gitu lagi, gue ga akan segan-segan buat nonjok muka lo” Rajen tersenyum tipis lalu mengangguk.

“Kalo gue kelewat batas kaya tadi, tonjok gue aja dar” Haidar menatap Rajen dengan pandangan tak percaya kemudian senyum tipis nya terbit sambil mengangguk.

“Damai damai, yok lanjut jajan lagi” ujar Nandra sambil menepuk tangan nya.

“Cielah, tadi aja pada mau adu jotos sekarang udah ngajak jajan lagi” Juna berujar dengan nada bercanda.

“Ya, wajar kan dalam hubungan sahabat ada kejadian kaya gini?” Ucap Haidar dan disetujui yang lain.

“Yuk balik kantin, gue mau beli cilor”

Haidar dan Nandra berjalan lebih dulu kemudian Juna pun mengikuti dari belakang namun saat baru melangkah, Rajen menahan tangan nya.

“Pulang sekolah nanti, kita bisa ngobrol sebentar?” Juna menatap Rajen dengan bingung.

“Cuman berdua, di taman biasa ya? Please

“Hm”