Mustahil.

You can play just like a Dream-BEN while reading

Juna tersenyum tipis sembari menggeleng pelan saat membaca beberapa percakapan para sahabatnya di grup chat itu, hingga saat dirasa percakapan telah usai ia taruh ponsel itu di sebelahnya.

Juna duduk bersandar di tembok dekat pintu masuk rooftop sekolah, matanya menatap langit biru yang mulai sedikit berubah karena jam petang akan datang. Setelah puas menatap langit itu ia memilih untuk memejamkan matanya sambil mengambil nafas dalam dan dihembuskan dengan perlahan.

Cukup lama Juna ada di posisi itu hingga bunyi pintu yang dibuka terdengar di indra pendengarannya. Matanya tetap terpejam, ia memilih untuk acuh.

Telinga Juna mendengar langkah kaki yang menuju kearahnya kemudian ia merasakan sang pemilik langkah kaki itu duduk di sampingnya. Aroma parfum yang familiar membuat Juna menjadi penasaran akan orang itu.

Di bukalah kedua matanya dengan perlahan, beberapa detik ia menyesuaikan cahaya kemudian menoleh kearah orang yang ada di sebelahnya.

“Hai” sapa orang itu dan Juna hanya menanggapi dengan sebuah senyuman tipis.

Tidak ingin berlama-lama menatap sepasang mata itu, Juna memilih untuk melihat langit kembali. “Tumben kesini” ucap Juna setelah diam beberapa detik.

“Gue pengen ketemu lo” jawaban itu membuat dada Juna tiba-tiba berdebar kencang. Namun, sebisa mungkin Juna mencoba bersikap normal.

“Tadi kita ketemu” Juna menjawab dengan pelan.

“Ralat deh, gue pengen ngobrol sama lo” Juna diam, ia masih belum ingin menatap lawan bicaranya.

“Udah lama ya kita ga berduaan gini” ucapan orang itu membuat Juna diam-dia menggigit pipi dalamnya.

“Kan gaada alasan buat kita ada waktu untuk berduaan” ucapan Juna yang terdengar sangat santai itu tanpa sadar membuat sang lawan bicara merasakan ada panah yang menancap di dadanya.

“Kenapa, jen? Ella bikin lo kesel lagi?” Rajen, orang yang menjadi lawan bicara Juna itu menggeleng pelan.

Juna melirik sedikit kearah Rajen, “Terus? Mau curhat tentang hubungan kalian?” Panah kedua datang menancap dada Rajen.

“Oh, atau lo mau minta sesuatu lagi ke gue?”

Oke, panah ketiga cukup membuat dada Rajen sangat terasa sakit. Rajen menghela nafasnya pelan,

“Maaf, Jun. Aku kangen kamu”

Juna mematung, matanya menatap kosong langit, nafasnya seakan berhenti sejenak. Apa-apaan? Pernyataan apa yang baru saja ia dengar? Apa ini termasuk dalam imajinasi? Atau mimpinya?

Tidak, ini mustahil.

“Jun, aku kangen kita yang kemarin

Astaga, kenapa mimpi buruk ini terus berlanjut? Siapapun, tolong bangunkan Juna dari mimpi buruk ini.

“Juna... ak— aku baru sadar tentang perasaan aku ke kamu selama ini”

Berhenti, tolong! Bangunkan Juna, cepat! Tolong berteriak-lah di depan wajah nya jika ini hanya mimpi!

“Jun, aku sadar. I'm falling in love with you

Apa...?

Apa katanya barusan?

Diam nya Juna membuat Rajen merasa gugup sendiri, di dalam otaknya ada berbagai pertanyaan juga contoh respon apa yang akan Juna berikan padanya.

Sedangkan Juna kini tengah merasa pikirannya sangat kosong, dirinya sangat merasa bingung akan sesuatu. Apa ini hanya mimpi atau benar-benar realita?

“Gue pasti lagi mimpi” gumaman Juna didengar oleh telinga Rajen.

Rajen yang tadi tengah merasa gugup kini berganti dengan perasaan khawatir. Pilihan nya untuk jujur tidak salah kan?

Dengan pelan Rajen menepuk bahu Juna dan kesadaran Juna langsung kembali, mata cantik itu mengerjap beberapa kali lalu menatap Rajen.

Di tatapnya sepasang manik kelam milik Rajen dengan dalam, seperti mencari sesuatu di dalam manik tersebut.

“Lo serius?”

Rajen tersentak pelan namun dengan cepat ia membalas Juna dengan anggukan kuat, “Iya, gue serius” jawabnya dengan lugas.

Juna masih menatap sepasang mata Rajen kemudian senyum kecil terbit begitu saja. Jujur, senyuman itu membuat Rajen berpikir jika Juna merasa senang akan pernyataan tadi.

Namun, senyuman juna yang semakin lebar juga disusul dengan suara tawa membuat Rajen menghapus pikiran tersebut.

Juna tertawa dengan keras sambil menundukkan kepalanya, ia memegang perutnya seperti tengah merasa sakit perut karena tertawa.

“AHAHAHA, BERCANDA BANGET DAH HIDUP GUE” Teriak Juna disela tawanya.

Rajen menatap bingung Juna, kernyitan di dahi nya terlihat jelas. Juna masih tertawa lalu saat melihat wajah bingung Rajen, tawa nya semakin mengeras. Tangan nya yang bebas mulai naik turun memukul lantai semen.

“Aduh, hahahaha lucu” Juna mulai meredakan tawanya pelan-pelan.

“Ada yang lucu dari ucapan gue?” Tanya Rajen sambil menatap Juna dengan pandangan bingung juga sedikit tersirat rasa tidak suka. Pasalnya, ia mengira Juna menganggap ucapan serius nya hanya bercanda.

Setelah tawa nya reda, Juna tersenyum sinis sambil menatap Rajen. “Iya, ada yang lucu. Lucu karena lo bisa dengan mudahnya ngerubah hidup gue”

Rajen menaikkan satu alisnya, “Maksud lo?”

Juna terkekeh lalu mengangguk, “Apa respon yang lo harapkan dari gue setelah bilang itu, Jen?”

Rajen bungkam dan melihat hal itu membuat Juna tersenyum kecil.

“Ga nyangka ya, bayangan respon yang ada di otak lo ternyata ga terjadi? Kok malah gue di ketawain? isi pikiran lo gitu kan?”

Benar, ucapan Juna benar adanya.

“Jen, gue sepenuhnya bukan ngetawain lo kok” Rajen menatap Juna.

“Gue lagi ngetawain diri sendiri, yang bisa bodoh banget sampe kaya gini”

Senyum Juna hilang dan Rajen memilih untuk tetap diam.

“Maaf ya, Jen? Lo jadi ngerasain hal yang salah ini, harusnya lo tetep di tempat yang seharusnya”

“Jun, lo gausah min—”

“Tapi nyatanya emang gue yang harus minta maaf duluan kan?” Juna menatap Rajen dengan pandangan yang tidak dapat di deskripsikan. Terlalu misterius dan membuat Rajen sedikit takut.

“Maaf, Jen. Ayo kita sama-sama berjuang buat lupain perasaan ini, sesuatu yang salah ga baik buat di teruskan”

Rajen mengepalkan tangannya, “Jun, lo tau? Beberapa hari ini gue terus yakinin diri gue buat milih jalan ini, karena gue bener-bener udah jatuh ke lo, Juna”

Juna menggigit bibir dalamnya, mencoba menahan tangisannya.

“Jen, apa lo juga tau? Apa aja yang udah gue lakuin selama ini buat gue lupain perasaan ini, lupain kenangan kita, juga gue yang lagi cari cara untuk tetap tersenyum di hari besok?” Ucap Juna dengan lugas.

Rajen terdiam.

“Kita sama-sama gatau, Jen” Juna diam, membiarkan hening sejenak hingga ia pun menghembuskan nafas pelan.

“Lo mau berjuang?” Tanya Juna tiba-tiba.

“Iya, ayo berjuang bersama” ucap Rajen dengan penuh keyakinan.

Mata keduanya saling beradu, menghantarkan sebuah pesan yang sulit di ucapkan dengan sebuah kata-kata. Saking merasa fokus atas satu sama lain, mereka menghiraukan suara musik yang meriah dari lapangan bawah.

“Mustahil, Jen” Rajen tersentak saat mendengar ucapan itu juga melihat Juna yang kini tersenyum tipis.

“Semua itu mustahil untuk terjadi, Jen”

“Juna, di dunia ini gaada yang namanya mustahil sebelum di coba dulu”

“Setelah di coba apa hasilnya akan benar-benar sebuah kabar yang baik?”

Rajen terdiam dan Juna hanya menatap Rajen dengan sendu.

“Lo siap dengan semua kemungkinan yang buruk?” Rajen tetap diam, entah kemana hilangnya keyakinan yang ada tadi. Semua itu seakan sirna ketika Juna menanyakan tentang sebuah konsekuensi yang akan terjadi.

“Gue—”

“Siap kalau perjuangan kita itu akan melibatkan banyak kehilangan orang-orang yang kita sayang?” Juna menatap Rajen dengan pandangan yang menuntut jawaban tegas. Namun, yang ia dapat hanya sebuah mata yang menyiratkan rasa ragu juga sedikit ketakutan.

“Lo belum siap, Jen” ucap Juna dengan lirih.

“Juna...”

“Rajen, kalaupun lo besok bakal menjawab pertanyaan gue tadi dengan yakin, gue ga akan nerima ajakan lo buat berjuang. Maaf, Jen. Larangan yang Tuhan berikan jika terus di tentang akan berujung sia-sia dan meninggalkan banyak rasa sakit”

Dada Rajen seakan terasa sakit dikala mendengar itu semua dan tak jauh berbeda dari Rajen, Juna juga merasakan sakit itu.

Sakit yang sulit di deskripsikan.

“Lo... jahat” gumam Rajen.

“Iya, gue jahat. Maaf, Jen. Maaf. Maaf karena lo harus ngerasain sakit yang seperti ini, maaf karena gue hampir bikin lo ngerasain yang namanya neraka dunia. Maaf” Juna menundukkan kepalanya, air matanya perlahan turun begitupula dengan Rajen.

Mereka menangis tanpa suara.

“Kenapa harus begini, kenapa?!” Rajen bertanya dengan nada yang frustasi dan hal itu membuat Juna merasa sakit yang lebih lagi.

iya, ya? Kenapa harus seperti ini alur takdir kita?

“Jen, sekali lagi gue minta maaf. Maaf yang benar-benar langsung dari hati gue, Maaf”

Rajen kian terisak dan hati Juna semakin teriris, ia tidak sanggup lagi untuk melihat sang cinta pertama-nya. Sungguh.

Kenapa harus ia yang merasakan ini semua?

Dengan gerakan lembut, Juna merengkuh Rajen dengan erat. Menepuk punggung tegap itu, membiarkan seragamnya basah karena air mata Rajen.

“Pelan-pelan lo bakal ngelupain ini semua, Jen. Lo punya Ella yang akan bantu lo ngelupain ini semua, gue yakin lo bisa kembali ke kehidupan lo yang normal” bisik Juna dan Rajen langsung menggeleng pelan.

“Semoga di hari berikutnya, kebahagiaan akan datang terus kedalam hidup lo” Rajen menggeleng frustasi dikala mendengar itu semua.

Sedangkan Juna semakin mengeratkan pelukan itu dan terus menepuk punggung Rajen, air mata Juna sudah berhenti mengalir namun rasa sakit-nya kian terasa.

Juna benar-benar tidak bisa berbuat apapun selain ini semua.

Jujur, Juna ingin berjuang bersama dengan Rajen. Membiarkan cinta mereka terus tumbuh bersama hingga membuat kisah yang bahagia

Tapi, kembali ke realita. Dunia ini tidak seindah dongeng penghantar tidur, yang dimana semua hal mustahil bisa terjadi.

Cukup dirinya saja yang merasakan karma karena telah memilih sebuah jalan yang salah, cukup dirinya saja. Ia tidak ingin orang-orang yang ia sayangi merasakan ini semua.

Jika sebuah kebahagiaan tidak selalu datang padanya, bisakah Tuhan memberikan orang-orang yang Juna sayangi mendapatkan banyak kebahagiaan? Bahagia yang sebenarnya.


Satu menit berlalu.

Tangis Rajen mulai mereda dan Juna pun mulai melepaskan pelukannya itu, Juna tersenyum kecil dikala Rajen menghapus air matanya.

“Jen, gue titip Ella ya”

Rajen menatap Juna dengan pandangan yang amat dalam,

“Lo sayang banget ya sama Ella?” Juna mengangguk kecil.

“Iya, gue sayang banget sama dia. Sampai sulit buat menjabarkan seberapa sayang gue sama dia” Juna tertawa kecil.

Rajen menatap Juna yang tampak baik-baik saja, sebenarnya ia ingin marah kepada Juna yang dengan cepat langsung nampak bahagia ketika membahas Ella. Namun sebelum ia melontarkan amarahnya, hatinya berkata jika Juna sedang mencoba mengalihkan rasa sakitnya.

Rajen sadar, ini batasnya untuk menuntut Juna. Kemarin ia sudah terlalu banyak menyakiti pemuda manis itu, semua ucapannya sangat berpengaruh untuk mengubah alur hidup Juna.

Dirinya itu bagaikan sosok yang sangat brengsek dan Juna adalah sosok malaikat tanpa sayap.

Kenapa semesta mempertemukan mereka berdua dalam keadaan yang seperti ini?

“Gue titip Ella ya, Jen. Tolong jadiin dia pusat dunia lo untuk selamanya” Rajen hanya diam, ia bingung akan jawaban apa yang harus ia katakan.

“Gue ga nyuruh lo janji kok. Kalo emang gabisa gapapa, semoga lo bisa bertemu sosok pendamping yang baik di masa depan” Juna tersenyum pada Rajen.

Astaga, jantungnya mulai berdebar sangat kencang hanya karena senyuman Juna.

“Gue bakal coba menuhin itu”

Juna menatap Rajen dengan terkejut, “Serius?”

Rajen mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, “Tapi, gue boleh minta satu hal?”

“Apa?”

“Peluk gue”

Juna langsung saja merengkuh kembali tubuh tegap Rajen hingga ia merasakan pelukan balasan dari Rajen.

Terasa hangat namun juga menyakitkan di waktu bersamaan.

“Aku yakin suatu saat nanti kamu akan memiliki sumber kebahagian yang lebih baik dalam hidup kamu” ucap Juna dengan lembut.

Rajen memilih diam, menyembunyikan wajahnya di bahu Juna.

“Lo juga, Jun. Semoga ada kebahagiaan yang datang ke lo. Maafin gue yang brengsek ini, Jun”

“Gapapa, Rajen. Gapapa, gue udah maafin lo”

Apakah setelah ini kisah mereka akan usai?

very painful reality.