Aksararen

Juna berlari kearah pintu utama untuk membuka pintu rumahnya, menyambut orang tua nya yang baru saja kembali entah darimana.

Juna menatap antusias sang mama namun yang ia dapatkan hanya pandangan datar juga angkuh dari mama juga papa nya.

Senyum nya dengan perlahan luntur, ia bergerak untuk menutup pintu kembali disaat kedua orang tuanya sudah masuk ke dalam rumah.

“Teko nya kenapa kosong, juna?” Suara itu membuat Juna segera berlari kearah dapur.

Disana ada sang mama yang menatap nya sambil memegang sebuah teko yang terbuat dari tanah liat, Juna menatap sang mama dengan pandangan bersalah lalu tangan nya mengadah guna meminta teko itu agar ia isi dengan air minum.

“Kamu hari ini ga sekolah, kenapa? Sakit?” Ujar sang Mama sambil memberikan teko itu pada Juna.

Sembari mengisi teko itu, Juna menjawab pertanyaan sang mama. “Iya, ma. Badan Juna kurang sehat tadi” jawab Juna dengan lembut.

Walau di luar ia terlihat biasa saja, di dalam diri Juna kini ia tengah bersorak senang karena sang Mama menanyakan keadaanya.

Itu tandanya dia peduli dengan Juna, bukan?

Jadi... bolehkah Juna ber-ekspetasi jika mama nya akan memberikan afeksi lebih hari ini pada dirinya?

“Sudah berobat?”

Juna tersenyum tipis, “Iya, ma” lalu tangan nya bergerak untuk memberikan teko yang sudah penuh dengan air kearah wanita paruh baya itu.

“Kamu ngambil duit mama buat berobat?”

Juna mematung seketika.

“E—engga, ma. Juna pakai duit bulanan Juna sendiri kok” Jawabnya dengan pelan.

Wanita itu mengangguk sekilas, “Bagus. Jangan sampai kamu merepotkan saya dan suami saya hanya karena sakit sepele itu”

“Iya, ma”

“Sakit nya udah mulai membaik?”

Mama sudah mulai peduli? batin Juna sebelum membalas pertanyaan sang mama dengan sebuah anggukan.

“Yasudah, lanjutkan pekerjaan kamu seperti biasa. Hari ini saya mau udang goreng, suami saya mau cumi saus asam manis dan Ella mau mie goreng”

Ah, ia kira sang mama akan memberikan sedikit keringanan atas pekerjaannya. Tapi ternyata, tidak.

Astaga, Juna. Apa yang kamu harapkan sebenarnya?

“Iya, ma”

“Hari ini kamu ga sekolah... berarti seharian ga ngapa-ngapain dong? Enak ya. Waktu yang saya berikan selama saya tidak ada di rumah cukup untuk istirahat kan?”

Juna meneguk ludahnya dengan kasar, anggukan kembali ia berikan pada mama nya.

“Setelah memasak dan membersihkan rumah, jangan lupa buat motong rumput halaman depan”

Setelah itu, Juna di tinggalkan sendiri. Mama yang ia sayangi, meninggalkan dirinya dengan luka yang entah ke berapa.

Ekspetasi nya benar-benar hancur.

Harus seberapa kuat lagi?

Nandra berlari menuju ruangan seseorang yang beberapa hari ini membuatnya penasaran akan sesuatu.

Ruang pemeriksaan

Begitulah isi tulisan papan yang bertengger di atas pintu yang ada di depan Nandra, pemuda itu mencoba menstabilkan nafasnya sejenak.

Setelah dirasa detak jantung nya mulai berangsur normal, dengan gerakan pelan ia membuka knop pintu tersebut.

“Juna, sebenarnya apa yang membuat diri kamu tidak semangat berjuang untuk sembuh?”

Suara itu menghentikan pergerakan Nandra, dirinya seakan terpaku. Niatnya untuk masuk seketika hilang.

Hening melanda, tidak ada satupun suara yang terdengar. Hingga beberapa detik kemudian suara yang familiar terdengar di telinga Nandra.

“keinginan aku, dokter brian. Dengan semua penyakit ini, keinginan aku dan orang sekitar aku bakal terwujud”

Deg!

Kaki Nandra rasanya menjadi lemas saat mendengar jawaban dari sahabat mungil nya, nada bicara yang mengalun dengan pelan cukup membuat dada Nandra merasakan sakit.

Sakit yang jarang ia rasakan.

“Keinginan? Maksud kamu apa, Juna?”

“Dokter... aku punya keinginan untuk menghilang dari hadapan semua orang”

BRAK!

“NANA?!”

“Juna... lo gaboleh pergi”

Bunyi pintu yang dibuka dengan kasar juga suara lirih dengan sedikit isakan itu berasal dari Nandra.

“Na—”

“Dokter brian, tolong bantu Juna buat sembuh. Tolong buat dia lupa sama keinginan dia tadi, saya mohon” Nandra jatuh terduduk dihadapan Juna yang saat ini tengah berdiri kaku.

“Nana jangan kaya gini” Pelan-pelan Juna membantu Nandra untuk bangun namun yang ia dapati hanya tepisan yang kasar.

Dokter Brian menatap simpati kedua pemuda itu.

“Juna, hari ini cukup sampai disini ya?”

Juna menoleh kearah dokter Brian dengan pandangan tidak percaya, “Dok—”

“Saran yang akan saya berikan pada kamu hari ini adalah, berusahalah untuk lebih terbuka dengan perasaan kamu sendiri. Jangan di pendam lagi, ya?” Dokter Brian berdiri dari duduknya lalu berjalan kearah dua pemuda itu.

Ia mengusap bahu sempit Juna dengan lembut sambil tersenyum tipis lalu bergerak untuk membantu Nandra berdiri.

“Bantu Juna untuk sembuh juga, ya?” Bisik Dokter muda itu saat membantu Nandra berdiri.

Nandra menatap dokter Brian kemudian mengangguk semangat, “Saya usahakan”

Dokter Brian tersenyum kemudian menepuk bahu kiri Nandra, “Juna, pulang ya?”

“Tapi dok—”

“Kamu juga, Nandra...? Kamu pasti bolos sekolah kan? Nah, sekarang mending balik ke sekolah”

“Baik, dok. Terimakasih banyak ya, kami pamit dulu”

“Na—”

“Ayo, jun. Aku anter kamu pulang”

Juna menghela nafas dalam, menatap dua orang yang sedang melempar senyum kearahnya. Kemudian mengangguk kecil.

“Kami pamit dulu, dok”

Juna sedikit membungkukkan tubuhnya kearah dokter Brian, sang dokter pun hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Jangan lupa obat nya diminum, juna!”

“Kalo aku ga lupa, dok!”

“Saya yang bakal ngingetin dia, dok!”

“Ish, nyebelin”

“Iya. Sama-sama, Juna”

Juna mendelik kesal kearah Nandra yang kini tengah terkekeh kecil sambil merangkul pundaknya.

Dokter Brian menatap punggung dua pemuda itu yang semakin menjauh, seutas senyum tipis pun terbit di bibirnya.

Setidaknya dia memiliki teman yang benar-benar peduli dengannya.

Juna kini sedang melamun, setelah ia menangis beberapa menit sambil di peluk oleh Nandra.

“Juna?”

Tepukan pada bahu juga suara dari arah samping membuat Juna menoleh pelan, matanya masih menyiratkan kesenduan yang mendalam. Jejak air mata pun terlihat dengan jelas di pipi pemuda manis itu.

Astaga, Nandra tidak kuat melihat kondisi Juna yang jauh dari kata baik-baik saja itu.

“Mau beli minum dulu?”

Gelengan pelan Nandra dapatkan sebagai jawaban, ia menghela nafas dalam lalu mengusap rambut Juna dengan lembut.

“Mau ke rumah Rajen terus nonjok muka dia?” Juna menatap mata Nandra sejenak lalu menggeleng lagi.

“Jun, terus lo mau apa? Jangan diem kaya gini, gue ga sanggup liatnya” Ujar Nandra dengan frustasi.

“Mau nya apa?” Gumam Juna sembari menatap kosong lapangan luas yang ada di depannya.

“Mau hilang” lanjut nya dengan suara pelan dan tentu saja itu semua di dengar oleh Nandra.

Nandra menatap Juna dengan pandangan tidak percaya. Sungguh, Nandra tidak menyangka jika Juna akan berkata seperti itu.

“Jangan” Nandra berucap sambil menundukkan kepalanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi Juna.

Air matanya sedari tadi sudah berkumpul dan siap untuk jatuh, membuat sebuah aliran sungai kecil di pipi nya.

Juna tersenyum tipis melihat Nandra yang tengah menunduk, lalu tangan nya bergerak untuk mengusap lembut punggung Nandra.

“Maaf ya, na. Kamu jadi na—”

“ASTAGA, DEMI TUHAN JUNA! BERHENTI MINTA MAAF! GUE GA SANGGUP DENGER KATA ITU TERUS TERLONTAR DARI BIBIR LO!”

Nandra menatap marah ke arah Juna, matanya sudah mengeluarkan cairan bening yang sudah di tahan sedari tadi. Nafasnya memburu, tangan nya terkepal.

Juna yang tadi terkejut dengan bentakan Nandra kini mencoba melembutkan pandangan matanya, senyum tipis nya kini terukir di bibir merah muda itu.

“Kalo bukan kata maaf lalu kata apa yang pantas untuk terlontar di bibir aku ini, na?”

Nandra menatap mata Juna lalu dengan perlahan amarahnya mereda.

“Na, dari dulu— bibir ini selalu di perintah untuk berkata maaf. Mau perbuatan aku salah atau bener, aku di haruskan untuk minta maaf terlebih dahulu”

Kepalan tangan Nandra terlepas, “Juna— gue... maaf, harusnya gue ga bentak lo”

Puk!

Kepala dengan surai hitam kelam itu Juna tepuk dengan pelan.

“Gapapa. aniway, makasih udah nemenin aku ya? Maaf, aku terus ngerepotin kamu beberapa hari ini”

Nandra menggeleng pelan, “Itu gunanya sahabat kan? Saling berbagi rasa suka atau duka, saling menyemangati”

Juna tersenyum kecil lalu mengangguk pelan, kemudian ia berdiri dari duduknya. Nandra menatap bingung punggung Juna yang ada di depannya.

Langit sore yang hampir gelap itu menyapa penglihatan Juna, angin yang mulai berhembus dengan kencang pun menerpa surai juga bajunya. Di tutupnya sejenak jelaga indah itu sembari menghirup oksigen dalam-dalam.

Setelah puas, Juna pun membuka matanya kembali lalu menatap tajam matahari yang sudah tenggelam itu.

“TUHAN, TADI NANDRA BERTANYA. APA MAU, JUNA?

Teriakan Juna tiba-tiba membuat Nandra membulatkan matanya, ia menatap punggung sempit yang berdiri tegak itu.

“JUNA JAWAB, AKU MAU MENGHILANG. TUHAN, JUNA MAU MENGHILANG DARI HADAPAN MEREKA SECEPATNYA SETELAH URUSAN JUNA DENGAN MEREKA SELESAI!”

Nandra menatap Juna dengan pandangan tidak percaya, ia dengan cepat berdiri di sebelah Juna lalu bersiap untuk berteriak.

“TUHAN, SEBELUM ENGKAU MENGABULKAN KEINGINAN JUNA. TOLONG BERIKAN DIA KEBAHAGIAAN YANG SELAMA INI TERTUNDA! BUAT DIA TERSENYUM DENGAN LEBAR TANPA ADANYA BEBAN!”

Juna menatap Nandra yang baru saja berteriak sangat kencang, ia tidak percaya jika Nandra akan berujar seperti itu.

Sungguh, Juna terkejut.

“Tolong, kabulkan keinginan kami”

Nandra kembali menundukkan kepalanya, Juna yang melihat bahu Nandra mulai bergetar pun langsung memeluk pemuda itu dengan erat.

“Ssstt, nana...” Juna mengusap punggung Nandra dengan lembut dan yang di peluk semakin menangis.

“Ju—juna, lo harusnya ga ngalamin itu semua— lo ga pantes buat ngerasain rasa sakit itu— JUNAAAA” Nandra berujar dengan susah payah karena tangis nya tidak mau berhenti.

Juna tersenyum lalu menggeleng pelan, “Na, jangan nangis keras-keras. Aku malu dengernya”

Nandra yang mendengar itu pun tertawa walaupun harus tersendat karena tangis nya.

“Nandra”

Pelukan itu terlepas, mata keduanya saling menatap. Surai keduanya bergerak pelan mengikuti arah angin.

“Makasih”

“AAAAA JUNAAAA, SINI GUE PELUK”

Senyum cerah nya dengan perlahan kembali.

Renjun mendengus kesal saat melihat tingkah pacar nya yang sangat amat menyebalkan itu. Bagaimana bisa dia melupakan hari spesial ini?

tok tok tok!

“Sebentar~”

Renjun berjalan menuju kearah pintu utama lalu membuka kan pintu untuk melihat siapa gerangan yang bertamu ke rumahnya.

“Hai, sayang”

Debum!!

Pintu itu di tutup kembali dengan kencang oleh Renjun, membuat tamu yang mengetuk pintu tadi memejamkan matanya karena terkejut.

“Sayang? Aku disuruh di luar aja?” Suara itu terdengar di telinga Renjun.

“Mending lo pulang deh!” Seru Renjun.

“Renjun”

Oke, Renjun kalah. Pintu itu dibuka kembali dan nampaklah sosok yang ia cintai namun untuk hari ini ia akan menyebut nya sebagai sosok yang menyebalkan.

“Aku dateng kok ga di sambut sama peluk?” Renjun mendengus, tangan nya bergerak untuk menarik sang tamu agar masuk ke dalam rumahnya. Pintu itu ia tutup kembali lalu matanya menatap tajam pemuda yang ada di depannya.

“Ngeselin banget ya, jen?”

Jeno, kekasih dari Renjun yang datang menjadi tamu. Jeno tersenyum hingga matanya menyipit dan membentuk bulan sabit, tentu saja hal itu membuat Renjun yang marah menjadi luluh.

grep!

“Kangen” ujar Renjun dengan suara yang teredam di dada bidang sang dominan. Jeno meletakan barang yang ia bawa di lantai lalu membalas pelukan tiba-tiba dari si mungil dengan erat.

“Aku juga kangen, duh lucu banget pacar aku. Jadi pengen di karungin” ujar Jeno dan decakan malas pun terdengar.

“Lebay” Jeno sontak terkekeh pelan lalu dengan perlahan mencoba melepaskan pelukan Renjun. Namun naas, si mungil nampaknya tidak ingin melepaskan pelukan itu.

“Ren, pindah tempat dulu. Jangan di depan pintu gini dong, yuk peluknya lanjut di kamar aja?” Jeno berujar dengan lembut sambil mengelus punggung sempit sang submisif.

Gelengan kecil Jeno dapatkan sebagai respon, hingga beberapa detik kemudian isakan kecil pun terdengar.

“Eh, sayang? Kamu nangis?”

“Eng—engga! hiks” Jeno tersenyum tipis.

“Kenapa nangis, hm?” Surai itu ia usap dengan lembut.

“Jeno nyebelin” ucap Renjun dengan pelan.

“Aku nyebelin banget ya di twitter? Maaf ya, sayang? Aku ga maksud bikin kamu kesel gini”

Renjun melepaskan pelukan itu lalu menatap Jeno dengan wajah yang sangat menggemaskan. Pipi yang terdapat bekas lelehan air mata, hidung yang memerah, mata yang berkaca-kaca, serta bibir berwarna merah muda itu sedikit terbuka. Astaga, jantung Jeno tidak kuat jika di hadapkan pemandangan yang seperti itu.

“Bawa moomin?” Jeno tersenyum lalu mengangguk, ia ambil barang yang ada di lantai tadi lalu menyerahkan nya pada Renjun. Sang penerima pun langsung menyambut dengan antusias.

“Aku udah ngasih kado spesial di hari yang spesial ke kamu, sekarang kado spesial buat ak—”

Ucapan Jeno tiba-tiba terhenti karena Renjun menangkup wajahnya.

Cup! Cup!

Kedua sisi pipinya di kecup oleh Renjun.

Cup!

Sekarang bagian bibirnya yang di kecup, Renjun diam sejenak dengan posisi itu. Jeno pun ikut menikmati, mata kedua nya memejam sejenak dengan bibir yang saling menempel lalu setelah puas Renjun pun menjauhkan wajahnya dari Jeno.

I love you!

Setelah itu Renjun pun berlari ke arah kamarnya sambil membawa bingkisan yang Jeno kasih padanya, ia meninggalkan Jeno yang tengah mematung karena sedang memproses kejadian yang baru saja terjadi.

Setelah memproses semuanya, Jeno pun langsung sadar kemudian tersenyum lebar. Ia mengusap pipi yang baru saja di kecup oleh kekasih mungilnya.

I love you too, sayang!” Seru Jeno dengan nada yang semangat.

Happy Noren Day♡

—Al.

“Kak damar post foto aku tadi?”

Damar yang tengah sibuk dengan ponsel nya langsung menoleh kearah Juna. Senyum jenaka nya pun muncul seketika.

“Iya dong, nih jadi rame banget rt like nya”

Juna mendengus kecil namun beberapa detik kemudian senyum tipis nya muncul, ia taruh ponselnya di atas meja lalu kembali bermain dengan salah satu kucing.

Damar pun turut menaruh ponsel nya disaku lalu menatap Juna yang tengah bermain dengan hewan berbulu itu, senyum tipis nya muncul saat melihat tingkah Juna yang sangat menggemaskan dimata nya.

“Kamu bisa bahasa kucing?” Juna menoleh lalu mengernyit bingung.

“Engga lah”

“Terus kenapa ngobrol sama kucing?”

Juna memutar bola matanya malas dan Damar yang melihat hal itu pun sontak terkekeh.

“Walau aku ga ngerti bahasa kucing tapi kucing tuh ngerti bahasa kita tau” ujar Juna sembari mengelus lembut hewan yang berada di pangkuannya.

“Oh, ya?” Damar menaikkan salah satu alisnya, Juna menatap Damar kemudian tersenyum sambil mengangguk semangat.

“Tapi daritadi dia ga respon kamu pake suara nya”

“Emang di respon nya harus dengan suara?” Damar menatap bingung Juna.

“Dia respon nya lewat hati kalo ga tatapan matanya”

“Tau darimana?”

Juna berhenti mengelus kucing itu.

“Orang yang deket sama aku, kak” dulu lanjutnya di dalam hati.

Damar yang melihat perubahan mimik wajah milik Juna pun dengan cepat berujar,

“Oh, dia pakar kucing?”

Juna menatap malas Damar sambil mendengus kecil, “ya ga gitu juga, kak damar”

“Yah, kan ku kira dia pakar kucing. Soalnya aku mau juga belajar lebih dalam tentang kucing sama orang itu”

“Emang buat apa kenal kucing dengan lebih dalam?”

“Biar kucing ku di rumah ga babuin aku mulu, aku mau bikin dia mandiri”

Jawaban Damar mengundang gelak tawa dari Juna, melihat si manis yang tengah tertawa membuat Damar merasa lega juga senang.

“Ada ada aja deh, kak”

“Kan kaya kata kamu tadi, aku emang ajaib”

“Yeuu, kok malah mengakui sih?”

Damar tersenyum, di tatapnya kembali Juna yang tengah asik bermain dengan kucing itu.

Hingga beberapa detik kemudian, ia menghembuskan nafasnya pelan. Matanya menatap Juna dengan dalam.

“Juna”

Yang di panggil pun langsung menoleh, “kenapa, kak?”

“Mau ke rooftop cafè ini ga?”

Juna sedikit melebarkan matanya, tanda ia sedang terkejut dengan ucapan Damar.

“Ada rooftop?!”

Damar mengangguk dan Juna pun langsung tersenyum lebar, pemuda manis itu menurunkan kucing yang ada di pangkuannya tadi dengan lembut lalu memusatkan atensi nya pada Damar.

“Mau!”


“Woah!”

Ucap Juna sembari bergerak memutar untuk menatap pemandangan yang tersaji di depannya. Angin berhembus dengan tenang, menghantarkan hawa sejuk dan perasaan nyaman dan tenang.

Damar tersenyum tipis melihat ke-antusias an Juna, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia pun bergerak untuk memotret Juna. Setelah berhasil mengambil foto itu, Damar pun kembali tersenyum kecil.

Ia kembali menatap Juna yang masih asik menikmati hembusan angin, pemandangan yang cukup indah bagi Damar.

Pemuda itu mengambil nafas sejenak lalu berjalan untuk menghampiri Juna.

“Suka?”

Juna menoleh lalu mengangguk semangat, “suka banget!” Jawabnya dengan semangat.

Damar menepuk kepala Juna sambil mengangguk pelan, “bagus deh kalo kamu suka, mau duduk dulu ga?”

Kini Juna dan Damar pun duduk bersebelahan, matahari hari ini tidak terasa terlalu terik karena tertutup awan. Suasana yang cukup nyaman.

“Juna, aku mau bilang sesuatu”

Juna yang mendengar nada bicara Damar berbeda dari sebelumnya pun langsung menegang. Tangan Damar bergerak menyentuh bahu Juna agar sang empu menatapnya.

Mata yang biasa memancarkan aura jenaka kini berubah menjadi serius, Jujur Juna sedikit merasa takut dengan tatapan itu. Seperti bukan Damar begitu pikirnya.

“Juna, apapun yang aku bilang nanti tolong jangan buat itu jadi alasan kita menjauh ya?”

Juna diam, ia hanya menatap Damar dan yang di tatap pun mengerti apa maksud Juna.

“Mungkin kamu sadar tapi kalo ga sadar juga gapapa”

Damar menatap dalam Juna, tangannya memegang lembut tautan tangan Juna.

“Juna, aku jatuh dalam pesona kamu. Hati aku memilih kamu untuk menjadi tempat berlabuh” Ujar Damar dengan sungguh-sungguh.

“Aku suka sama kamu, Juna”

Saat genggamannya merasakan tautan yang semakin mengerat, ibu jarinya pun bergerak untuk mengelus tautan itu. Juna menundukkan kepalanya saat mendengar ucapan Damar.

Tatapan serius Damar pun sekarang melunak, ia menghembuskan nafasnya pelan lalu tersenyum tipis. Tangannya yang bebas, bergerak mengelus lembut surai milik sang adik kelas.

“Aku ga minta kamu buat jawab kok, aku bilang kaya gitu agar hati aku tenang”

Dengan pelan Juna pun mengangkat kepala nya dan menatap Damar yang tengah tersenyum.

“Ma—”

“Juna, gapapa” sela Damar.

“Aku udah tau jawabannya kok, kamu tenang aja ya? Jangan ngerasa bersalah, karena disini aku atau kamu itu ga ada yang salah”

“Dibandingkan jawaban, aku lebih pengen kamu peluk—”

Grep!

“Makasih, kak damar” bisik Juna di dalam dekapan itu.

Damar yang tadi sedikit terkejut pun langsung membalas pelukan Juna, ia eratkan pelukan itu.

Rasanya hangat dan nyaman.

“Jangan pergi dari hadapan aku ya, juna?” Ucap Damar dengan pelan lalu mengeratkan pelukan itu.

“Juna ga bakal pergi kok” jawab Juna dengan lembut lalu mengusap punggung Damar.

“Makasih buat semuanya, kak. Aku ngerasa beruntung karena di pertemukan orang yang baik kaya kak damar” bisik Juna dan tentu saja hal itu membuat hati Damar sedikit menghangat.

Walaupun rasa sakit dan sesak lebih mendominasi.

“Aku harap kak Damar bisa bertemu orang yang lebih baik dari aku, orang yang bisa membalas semua perhatian kak Damar”

“Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya kak Damar”

“Terimakasih kembali, Juna”

let's find our happiness together

(you can play Doll by Baekhyun and Doyoung)

Juna sedang menunduk sambil menatap sepatu yang ia pakai, hingga suara mesin motor yang familiar membuat kepala itu terangkat.

“Ayo” ujar sang pengemudi, Juna menatap sang empu sebentar lalu bergerak untuk menaiki motor itu.

“Pegangan”

Juna pun mengeratkan pegangan nya di bahu sang pengemudi.

Motor itu pun berjalan, bergerak pergi menuju suatu tempat yang tidak diketahui oleh Juna.


“Na”

Sang pemilik nama tidak menghiraukan panggilan itu, ia tengah sibuk menuntun Juna.

“Nah, sampai” mendengar hal itu pun Juna langsung melihat keadaan sekitarnya.

Juna melihat ada sebuah danau di depannya, di sekitarnya terdapat beberapa pohon pinus serta rumput hijau yang tumbuh dengan subur. Pada tepi danau juga ada beberapa kursi yang tersedia dan tiang lampu untuk memberikan sedikit penerangan.

Juna memejamkan matanya kemudian mengambil nafas dalam, aroma khas pohon serta danau menyapa indera penciuman nya, di hembusnya nafas tadi sambil membuka matanya dengan perlahan.

Nyaman dan menenangkan.

“Udah tenang?” Tanya Nandra setelah melihat mata Juna sudah terbuka kembali.

“Sedikit” jawab Juna dengan pelan, Nandra tersenyum lalu mengajak Juna untuk duduk di salah satu kursi.

“Mau cerita darimana?”

Juna diam, menatap danau di depannya dengan pandangan sendu. Senyum kecil yang biasa menghiasi bibirnya kini hilang. Perubahan raut Juna tentu membuat Nandra menjadi semakin khawatir dengan kondisi sahabat mungil nya itu.

“Aku suka sama Rajen, na” Nandra yang mendengar itu langsung menegang.

Saat ini, Juna hanya ingin menunjukkan sosok asli dirinya di depan Nandra. Tanpa ada yang harus di tutupi dan tanpa topeng nya yang selalu ia pakai saat di depan orang-orang.

“Rajen tau....?” Tanya Nandra untuk memecahkan keheningan.

“Belum, sebentar lagi dia bakal tau” jawab Juna.

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore, matahari kian terbenam untuk berganti tugas dengan sang bulan. Suara jangkrik mulai saling bersahutan dan suara itu menjadi alunan dari keheningan yang tercipta di antara kedua sahabat itu.

“Capek ya na, bersikap seakan diri kita baik-baik aja? Aku muak deh lama-lama”

Nandra hanya diam, membiarkan pemuda manis itu mengungkapkan isi hatinya yang selama ini di pendam.

“Na, dulu aku selalu mikir. Kenapa ya orang tua aku bersikap seakan aku orang yang tidak di inginkan?”

Juna menarik nafas nya sejenak lalu menghembuskannya dengan pelan.

“Pertanyaan tadi udah aku dapet jawabannya, ternyata aku memang orang yang tidak di inginkan oleh mereka. Seharusnya aku ga lahir, na. Harusnya sosok anak perempuan yang lahir untuk melengkapi kehidupan mereka, bukan aku”

Nandra mengepalkan tangannya begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dengan santai dari bibir sahabatnya itu.

“Aku udah nemu jawaban pertama, na. Tapi ternyata Tuhan ngirim aku satu pertanyaan lagi, Kenapa sepupu yang aku sayang tiba-tiba benci sama aku? Kenapa Ella yang dulu deket sama aku jadi berubah drastis? Apa salah aku sama dia?”

Juna menundukkan kepalanya untuk menatap tautan kedua jarinya.

“Buat pertanyaan itu, aku belum nemu jawabannya. Aku frustasi, na. Frustasi karena ga dapet jawabannya”

“Ju—”

“Gapapa, na. Nanti aku bakal nemuin jawabannya sendiri kok. Suatu saat nanti, waktu bakal ngasih jawaban dari pertanyaan aku di waktu yang tepat”

Juna menoleh kearah Nandra lalu tersenyum tipis sambil mengangguk kecil, mengatakan pada Nandra bahwa dirinya masih baik-baik saja.

“Na, kayanya Tuhan nganggep aku itu anak yang kuat ya? Karena ga lama aku dapet pertanyaan itu, ada pertanyaan lain yang dia kasih ke aku. Kenapa aku bisa jatuh cinta sama kekasih dari sepupu aku sendiri?”

Juna pun akhirnya diam, kini dirinya tengah menahan rasa sesak yang ada di dadanya. Ia tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan kalimat lain.

Tangan Nandra bergerak untuk menggenggam tautan tangan Juna, mengeratkan genggaman itu agar Juna tidak merasa sendiri. Agar Juna tahu bahwa ada dirinya yang menemaninya.

“Juna, jatuh cinta itu bisa ke siapa aja. Kita gabisa nentuin bakal jatuh cinta ke siapa”

“Memang sakit jika hati kita memilih untuk berlabuh ke orang yang salah, tapi itu jadi salah satu pengalaman hidup yang akan berguna di suatu saat nanti. Kamu ga salah, juna. Jatuh cinta itu bukan suatu kesalahan, walaupun kita jatuh cinta ke orang yang salah”

Air mata Juna jatuh dengan perlahan, Nandra mengelus tautan tangan Juna dengan lembut.

“Juna, berhenti buat nyalahin diri kamu sendiri. Kamu ga sepenuhnya salah, jangan selalu berasumsi kaya gitu. Kamu tau ga?”

Juna mengangkat kepalanya untuk menoleh ke arah Nandra, air mata nya masih mengalir bahkan semakin deras, hidungnya sudah sedikit memerah, Nandra yang melihat itu semua pun langsung tersenyum tipis. Tangan nya yang bebas dengan pelan bergerak untuk menghapus jejak air mata Juna.

“Kalo terus nyalahin diri sendiri atas kesalahan yang bahkan bukan salah kamu itu ga baik”

“Tapi, na. Se—semuanya emang salah aku, harusnya aku—”

“Juna, berhenti ya? Berhenti kaya gini. Gaada yang salah, juna. Kamu ga salah, hanya takdir saja yang sedang menguji kamu. Tuhan memberikan semua pertanyaan itu buat diri kamu sendiri, juna. Buat bekal untuk kehidupan kamu ke depannya”

Suara isak tangis Juna semakin mengeras, air matanya sudah keluar dengan sangat deras, dadanya semakin sesak.

“Tuhan sayang sama kamu, Juna”

Juna semakin menangis, tangan kanan nya terkepal untuk menepuk dadanya yang sangat sesak. Nandra dengan cepat menahan kepalan tangan Juna kemudian memeluknya dengan erat.

it's okay, Juna. It's okay, everything will be fine. Trust me

“Nana— sesak, hiks

ssst, I'm here. You're not alone, I'm here. Keluarin semuanya, Juna. Gapapa kok, ga bakal ada yang marahin kamu disini, gabakal ada yang bikin kamu sakit”

Nandra menepuk punggung Juna dengan pelan, membisikkan kalimat penenang, memeluknya dengan erat untuk membuat Juna merasa aman.

“Juna, kamu keluarin semuanya sekarang. Nanti setelah itu kamu harus bisa buat bergerak dengan kuat, kamu harus bisa nyari jawabannya dengan lebih baik daripada hari sebelumya, kamu pasti bisa”

Isakan Juna sedikit mereda.

“Tuhan pasti bangga sama kamu, Juna. Kamu hebat, kamu hebat karena bisa bertahan sejauh ini”

Mata Nandra diam-diam mengeluarkan air mata, namun senyum khas nya masih terpatri di bibirnya.

“Besok kamu harus bisa lebih kuat ya, Juna? Kamu ga bakal sendiri kok, ada aku di samping kamu”

Juna mengangguk pelan di dalam dekapan Nandra sembari meredakan isakan tangisnya.

Hingga beberapa detik kemudian, pelukan itu terlepas dengan perlahan. Nandra menatap wajah yang berhias dengan raut lelah milik sahabatnya itu, tangan nya lagi-lagi bergerak untuk menghapus air mata milik Juna.

“Makasih, na” ujar Juna dan Nandra hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Terimakasih kembali” Nandra mengusap rambut Juna dengan pelan.

“Siap buat menjalani hari dengan lebih baik dari sebelumnya?”

Juna tersenyum tipis lalu mengangguk pelan,

“Juna siap!”

“Semangat, Juna. Kita berjuang bareng-bareng ya? Kamu ga sendiri, inget itu loh”

“Iya, nana~!”

Tuhan, tolong biarkan sahabat Nandra untuk merasakan yang namanya bahagia. Tolong biarkan dia untuk merasakan itu.

Tuhan, Juna bakal berusaha buat menjadi lebih baik kedepannya. Tolong bantu Juna ya.

you will be in pain and cry for a while, But don't worry about it, It'll only be for a little while.

Juna menatap Rajen dengan tatapan kesal, jengah bahkan tidak habis pikir. Kalian bayangkan saja, dia bilang akan langsung mengantarnya pulang tapi malah di bawa melimpir ke cafè yang tak jauh dari rumahnya.

“Jangan galak dong tatapannya” ujar Rajen sembari meletakkan minum di meja.

“Males ah, mau balik aja gue” Juna pun beranjak dari duduknya tapi dengan cepat Rajen menahan tangan Juna.

“Lepas” ujar Juna dengan nada malas dan Rajen menggeleng keras.

Juna menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya dengan berat, “gue bilang lepas, jen”

“Temenin sebentar, ya?” Juna memutar bola matanya malas lalu duduk kembali di tempat awalnya. Seketika senyum Rajen pun muncul.

“Mau ngomong apa? Kalo ga penting, gue pulang”

“Jangan dong”

“Jen”

“Hm?”

Juna mendengus kesal lalu meminum salah satu minuman yang dibawa oleh Rajen tadi.

“Aku mau ngajak ngobrol bentar”

“Tadi di sekolah kita ngapain? Main gundu? Atau nebang pohon?” Juna merespon dengan kesal.

Rajen tersenyum tipis lalu mengeluarkan sesuatu dari tas nya, “aku tadi nemu kertas ini di laci bawah meja kamu” Juna melirik kertas itu kemudian mengambilnya dari tangan Rajen.

Gue bilang buat jauhin Rajen, Arjuna Rengga.

Itu kalimat yang tertulis di kertas tersebut, seketika tubuh Juna pun menegang. Ia tahu persis tulisan siapa itu.

“Lo baca?” Tanya Juna masih dengan mata yang menatap kertas itu, Rajen menatap Juna dengan pandangan bersalah.

“Maaf—”

“Gue nanya, lo baca apa engga bukan minta lo buat bilang maaf” Juna pun akhirnya menatap Rajen dengan datar.

“Iya, aku baca”

Helaan nafas terdengar dari Juna, Rajen masih menatap dirinya dengan pandangan itu dan jujur saja ia tidak suka.

“Jangan natap gue kaya gitu”

“Juna,”

Rajen memanggil namanya dengan lembut, jujur saja saat berteman dengan Rajen ia jarang sekali mendengar nada seperti itu. Namun siapa sangka, akhir-akhir ini pemuda yang memiliki senyum menawan itu selalu berbicara dengannya memakai nada yang lembut.

“Kita ini teman kan? Teman dekat, iya kan?”

Juna diam, iya, jen. Kita teman dan tidak akan lebih dari itu.

“Jun, dengan sesama teman apalagi yang sudah dekat seperti hubungan kita sekarang. Harusnya kamu bisa lebih terbuka ke aku”

“Aku ga minta kamu buat selalu ceritain masalah yang kamu alami, tapi aku minta ke kamu buat bisa lebih percaya sama aku. Aku mau kamu percaya sama aku, juna. Percaya ke teman dekat kamu ini, jun”

Bisakah dirinya menghilang sekarang juga?

“Jun, aku selalu percaya ke kamu buat cerita sedikit tentang masalah yang aku alami. Tapi kamu malah menutup diri, aku jadi ragu kalo kamu nganggep aku temen apa engga”

“Gue temen lo, jen. Temen deket lo, jangan raguin itu cuman karena gue ga pernah ceritain masalah gue ke lo”

Akhirnya, Juna pun bersuara.

“Gue emang ga terlalu biasa buat menceritakan masalah yang gue lagi hadepin. Jen, gue cuman mau cerita sama lo tentang hal yang bikin bahagia bukan sebaliknya”

Rajen diam, mencerna semua ucapan yang baru saja Juna ucapkan.

“Jujur, jen. Gue agak sakit hati karena lo meragukan pertemanan kita tadi, kita emang deket dan seharusnya lo tau kan tabiat apa yang gue punya?”

“Sekarang, gue jadi ragu kalo lo sebenernya tuh nganggep gue temen deket atau cuman sekedar temen curhat lo doang?”

Tubuh Rajen menegang seketika.

“Karena gue ngerasa akhir-akhir ini, gue cuman jadi pendengar keluh kesah lo tentang kelakuan sepupu gue”

“Jen, bahkan lo ga pernah untuk inisiatif nanya duluan Jun, ada masalah apa?. Lo ga pernah nanya kaya gitu ke gue, Rajen”

Rajen menatap Juna dengan pandangan rasa bersalah, ketika matanya melihat wajah Juna yang sedang menahan tangis juga amarah, ia jadi makin merasa bersalah. Dadanya kini terasa sangat sesak.

“Jun—”

“Iya, gapapa. Gue ga marah, jen. Jangan terlalu di pikirin. Dah, ya? gue pulang duluan”

Setelah berujar seperti itu, Juna pun berdiri dari duduknya lalu berjalan meninggalkan cafè tersebut. Juga meninggalkan seorang pemuda yang tengah menundukkan kepala yang sekarang penuh akan perasaan menyesal.

I'm sorry. Really.

kau sakiti hati ini, tuk kesekian kalinya.

Juna menatap Rajen dengan tatapan kesal, jengah bahkan tidak habis pikir. Kalian bayangkan saja, dia bilang akan langsung mengantarnya pulang tapi malah di bawa melimpir ke cafè yang tak jauh dari rumahnya.

“Jangan galak dong tatapannya” ujar Rajen sembari meletakkan minum di meja.

“Males ah, mau balik aja gue” Juna pun beranjak dari duduknya tapi dengan cepat Rajen menahan tangan Juna.

“Lepas” ujar Juna dengan nada malas dan Rajen menggeleng keras.

Juna menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya dengan berat, “gue bilang lepas, jen”

“Temenin sebentar, ya?” Juna memutar bola matanya malas lalu duduk kembali di tempat awalnya. Seketika senyum Rajen pun muncul.

“Mau ngomong apa? Kalo ga penting, gue pulang”

“Jangan dong”

“Jen”

“Hm?”

Juna mendengus kesal lalu meminum salah satu minuman yang dibawa oleh Rajen tadi.

“Aku mau ngajak ngobrol bentar”

“Tadi di sekolah kita ngapain? Main gundu? Atau nebang pohon?” Juna merespon dengan kesal.

Rajen tersenyum tipis lalu mengeluarkan sesuatu dari tas nya, “aku tadi nemu kertas ini di laci bawah meja kamu” Juna melirik kertas itu kemudian mengambilnya dari tangan Rajen.

Gue bilang buat jauhin Rajen, Arjuna Rengga.

Itu kalimat yang tertulis di kertas tersebut, seketika tubuh Juna pun menegang. Ia tahu persis tulisan siapa itu.

“Lo baca?” Tanya Juna masih dengan mata yang menatap kertas itu, Rajen menatap Juna dengan pandangan bersalah.

“Maaf—”

“Gue nanya, lo baca apa engga bukan minta lo buat bilang maaf” Juna pun akhirnya menatap Rajen dengan datar.

“Iya, aku baca”

Helaan nafas terdengar dari Juna, Rajen masih menatap dirinya dengan pandangan itu dan jujur saja ia tidak suka.

“Jangan natap gue kaya gitu”

“Juna,”

Rajen memanggil namanya dengan lembut, jujur saja saat berteman dengan Rajen ia jarang sekali mendengar nada seperti itu. Namun siapa sangka, akhir-akhir ini pemuda yang memiliki senyum menawan itu selalu berbicara dengannya memakai nada yang lembut.

“Kita ini teman kan? Teman dekat, iya kan?”

Juna diam, iya, jen. Kita teman dan tidak akan lebih dari itu.

“Jun, dengan sesama teman apalagi yang sudah dekat seperti hubungan kita sekarang. Harusnya kamu bisa lebih terbuka ke aku”

“Aku ga minta kamu buat selalu ceritain masalah yang kamu alami, tapi aku minta ke kamu buat bisa lebih percaya sama aku. Aku mau kamu percaya sama aku, juna. Percaya ke teman dekat kamu ini, jun”

Bisakah dirinya menghilang sekarang juga?

“Jun, aku selalu percaya ke kamu buat cerita sedikit tentang masalah yang aku alami. Tapi kamu malah menutup diri, aku jadi ragu kalo kamu nganggep aku temen apa engga”

“Gue temen lo, jen. Temen deket lo, jangan raguin itu cuman karena gue ga pernah ceritain masalah gue ke lo”

Akhirnya, Juna pun bersuara.

“Gue emang ga terlalu biasa buat menceritakan masalah yang gue lagi hadepin. Jen, gue cuman mau cerita sama lo tentang hal yang bikin bahagia bukan sebaliknya”

Rajen diam, mencerna semua ucapan yang baru saja Juna ucapkan.

“Jujur, jen. Gue agak sakit hati karena lo meragukan pertemanan kita tadi, kita emang deket dan seharusnya lo tau kan tabiat apa yang gue punya?”

“Sekarang, gue jadi ragu kalo lo sebenernya tuh nganggep gue temen deket atau cuman sekedar temen curhat lo doang?”

Tubuh Rajen menegang seketika.

“Karena gue ngerasa akhir-akhir ini, gue cuman jadi pendengar keluh kesah lo tentang kelakuan sepupu gue”

“Jen, bahkan lo ga pernah untuk inisiatif nanya duluan Jun, ada masalah apa?. Lo ga pernah nanya kaya gitu ke gue, Rajen”

Rajen menatap Juna dengan pandangan rasa bersalah, ketika matanya melihat wajah Juna yang sedang menahan tangis juga amarah, ia jadi makin merasa bersalah. Dadanya kini terasa sangat sesak.

“Jun—”

“Iya, gapapa. Gue ga marah, jen. Jangan terlalu di pikirin. Dah, ya? gue pulang duluan”

Setelah berujar seperti itu, Juna pun berdiri dari duduknya lalu berjalan meninggalkan cafè tersebut. Juga meninggalkan seorang pemuda yang tengah menundukkan kepala yang sekarang penuh akan perasaan menyesal.

I'm sorry. Really.

kau sakiti hati ini, tuk kesekian kalinya.

Juna membukakan gerbang rumahnya dan langsung nampaklah Rajen yang tengah duduk di atas motornya sembari tersenyum lebar, melihat hal itu pun sontak Juna membalas senyuman nya.

“Maaf” ujar Rajen dan Juna pun mengangguk maklum.

Jam menunjukkan pukul 2 siang lebih dan itu artinya langit sedang terasa sangat terik karena matahari. “harus banget cerita sekarang?” Tanya Juna sembari mengibaskan tangan nya kearah wajahnya.

“Maaf, ya. Aku gabisa nunda ceritanya” Ujar Rajen dan Juna pun menghela nafas lalu mengangguk.

“Ke taman biasa aja kalau begitu” Rajen tersenyum kemudian mengangguk setuju.

Juna menaiki motor Rajen lalu motor itu pun bergerak menuju tempat yang Juna sebutkan tadi.


“Wah, gila gila gila. Kenapa panas banget sih hari ini?!” Rajen terkekeh kecil melihat Juna yang tengah menggerutu.

“Lagi ga mood kali matahari nya, jadi panas banget” Juna menatap Rajen kemudian menghela nafas lelah.

“Ga lucu” Sontak tawa Rajen pun keluar mendengar ucapan Juna tersebut.

Gajelas ni anak kok bisa gue suka sama cowo modelan kek dia itulah isi batin Juna sembari melihat Rajen yang tengah tertawa.

“Masih lama ga ketawa nya?” Rajen meredakan tawa nya sejenak lalu berdehem singkat.

“Udah”

“Bagus, lanjut ya. Mau bahas apa sih?”

Rajen diam sejenak sembari menatap mata Juna dan tentu saja hal itu membuat Juna salah tingkah sendiri tapi pemuda manis itu pun mencoba menutupi nya.

“Aku pengen putus sama Ella”

Juna seketika mematung mendengar deretan kalimat yang baru saja Rajen lontarkan. Otaknya kini tengah memproses apa yang baru saja ia dengar tadi.

“H-hah?”

Rajen mengalihkan pandangannya kearah deretan pohon yang ada di depannya, ia bergumam pelan. Entah apa yang ia gumamkan karena Juna tengah bertengkar dengan pikirannya.

“Ella berubah”

Juna memilih diam, membiarkan Rajen melontarkan kalimat tentang sepupu nya.

“Kenapa dia bisa berubah ya, jun?”

“Kenapa dia selalu marahin aku setiap abis pergi sama kamu?”

“Kok dia keliatan benci banget ya kalo kita jalan berdua?”

“Kenapa dia kaya gitu? Padahal dia tau kita berdua kan sahabat”

Deg

Rasanya jantung Juna seperti berhenti berdetak sejenak hingga membuatnya ingin menepuk dada kiri nya dengan kencang, tapi ia memilih diam.

Lagi-lagi dan lagi, setiap Rajen bilang ingin bercerita kepadanya selalu ini yang akan ia bahas. Tidak tahu kah dia jika Juna akan merasakan sesak saat mendengar kalimat itu?

“Aku sampe jengah kalau dia udah marah-marah gajelas”

“Kalo kita lagi debat, kenapa dia selalu bawa-bawa kamu?”

“Itu pertanyaan yang selalu terputar di otak aku, jun”

“Padahal dulu Ella ga kaya yang sekarang....” gumam Rajen.

Juna masih setia untuk diam, belum berniat untuk merespon celotehan Rajen. Saat ini dada nya tengah merasakan sesak yang jarang sekali ia rasakan seumur hidupnya, sesaknya ini berbeda dengan sesak yang ia alami saat terkurung di perpustakaan. Sesak ini terasa sama dengan sesak saat Ella menghina nya di rooftop waktu itu.

“Jun, emang salah ya kalau deket sama sahabat di saat kita udah punya pacar?”

Juna menghela nafas pelan sambil memejamkan matanya, kini ia tengah bingung akan respon apa yang harus ia berikan? Desahan frustasi pun dapat Rajen dengar.

Rajen yang melihat wajah Juna yang tengah menyiratkan rasa lelah langsung merasa tak enak, harusnya ia tidak memaksa Juna mendengar itu semua karena mau bagaimana pun ia tengah berhadapan dengan sepupu dari kekasihnya. Tapi, tidak bisakah Rajen egois sebentar untuk mengeluh di depan Juna? Bukan Juna sepupu Ella melainkan Juna sahabatnya.

“Bener mau putus?”

Ucapan Juna yang tiba-tiba membuat Rajen mematung seketika. Juna melirik kearah Rajen yang hanya diam kemudian menghela nafas lagi.

“Jen, kalau lagi pusing kaya gini jangan langsung buat keputusan. Nanti yang ada lo nyesel lagi, pusing lagi”

“Tapi... aku capek, jun”

“Terus? Mau langsung milih buat mutusin Ella? Kalau gitu, putusin sekarang. Telpon Ella, bilang la, aku mau putus dah tuh lo ga capek lagi”

Rajen menatap Juna dengan pandangan tidak percaya, tangan nya mengepal diatas pahanya dan itu semua di lihat oleh Juna.

“Apa? Kesel?”

“Jun, harus—”

“Harusnya gimana? Katanya tadi mau putus? Yaudah, ikutin kata gue tadi”

“Tapi—”

“Gaada tapi, lo tadi udah yakin kan pas bilang mau mutusin Ella? Kenapa? Sekarang ragu?”

Jujur, Juna rasanya ingin menangis sekarang juga. Panasnya terik matahari yang membuatnya lemas juga hawa panas diantara dirinya dengan Rajen juga menambah rasa lemas itu.

Rajen mengeraskan rahangnya, kepalan di tangannya makin mengerat hingga akhirnya—

“JUNA!”

Ya, Rajen membentak Juna untuk pertama kalinya. Dan Juna yang masih terkejut pun dengan sekuat tenaga membalas teriakan Rajen.

“APA?”

Rajen menatap Juna dengan pandangan terkejut, sedangkan Juna tengah mengatur nafasnya. Dada nya bergerak naik turun untuk mengais oksigen sebanyak mungkin, mata Juna sedikit berkaca-kaca dan tentu saja ia coba untuk mengendalikan dirinya agar tidak menangis.

Rajen yang melihat Juna sedang kesulitan bernafas pun langsung tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan, dengan tangan yang sedikit gemetar ia arahkan untuk memegang pundak Juna.

“Gausah” ujar Juna dengan datar sembari menepis pelan tangan Rajen tadi.

“Jun, maaf” ujar Rajen dengan pelan.

“Hm”

“Jangan ma—”

“Engga marah. Jen, lain kali kalo di hadapan Ella jangan kaya gini ya?”

Rajen menundukkan kepalanya lalu mengangguk pelan, “...iya”

Juna diam, ia sedang sibuk dengan handphone nya dan Rajen pun ikut diam. Sekarang suasana yang panas tadi menjadi hening.

“Jen”

Rajen mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat wajah sisi kanan Juna yang tengah menatap lurus kedepan.

“Capek itu wajar dalam sebuah hubungan”

“Lo boleh kok ngerasa jengah, muak, marah, kesel, sedih dan yang lain”

Juna menghela nafas sebentar.

“Tapi, jen. Lo ga boleh ngambil keputusan disaat lo lagi ngalamin hal itu semua, jangan pernah. Gue ingetin ya, jangan kaya gitu lagi jen”

Juna menoleh kearah Rajen lalu tersenyum tipis kearahnya, tentu saja yang di perlakukan seperti itu entah mengapa merasa nyaman juga... sedih?

“Keputusan yang diambil saat emosi lo lagi ga stabil bakal bikin penyesalan di akhir dan gue—”

Rajen menatap dalam jelaga milik Juna, saking terpukau nya dengan mata Juna ia sampai tidak menyadari jika sepasang iris itu tengah menahan tangis.

“—Gue gamau sahabat gue ini, ngerasain penyesalan yang kaya gitu” ujar Juna yang diakhiri dengan senyuman manis.

Tatapan keduanya terkunci seperti sedang menghantarkan pesan dari hati mereka melalu mata itu, angin sore pun mulai berhembus. Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi, rasanya suasana seperti ini sangat damai.

“Ju—”

“RAJEN!”

Teriakan khas dari seorang perempuan membuat Rajen lebih dahulu memutuskan pandangannya dengan Juna, melihat sosok sang kekasih hati membuat senyum Rajen terbit begitu saja. Ia beranjak dari duduk nya lalu melebarkan tangannya untuk menyambut sang pujaan hati ke dalam pelukannya.

“Kangen” ujar sang kekasih dan Rajen pun terkekeh sembari mengeratkan pelukannya.

“Aku juga” ucap Rajen.

“Kamu baru pulang main sama temen kamu kan? Emang ga capek lari-lari kaya tadi?”

“Engga!” Rajen tersenyum lalu merapihkan anak rambut yang menutupi wajah manis sang kekasih.

Kedua pasangan itu sudah asik dengan dunia nya tanpa menyadari ada satu orang yang duduk di kursi belakang mereka, menatap mereka dengan pandangan sendu.

Inilah yang dimaksud Juna di awal, walaupun Rajen sering mengeluh padanya tentang perubahan sikap Ella tapi pemuda itu terus saja memberikan afeksi yang sama. Tidak berubah, namun bertambah berani untuk memamerkan kemesraan nya di depan orang-orang.

Juna beranjak dari duduknya lalu berjalan pelan meninggalkan sahabat juga sepupunya itu.

Berjalan dengan pelan sembari menatap lurus jalanan dengan pandangan kosong, dalam hatinya ia bertanya—

mengapa dirinya selalu ada di tengah-tengah hubungan mereka berdua? Apakah Tuhan sedang menguji kesabaran juga ikhlas nya? Atau Tuhan memberikan karma karena dirinya memilih jalan yang menyimpang?

Juna berhenti melangkahkan kaki nya untuk melihat area taman bermain anak yang masih sepi, matanya memejam sejenak kemudian mengatur nafasnya agar menjadi tenang.

Ia buka kembali matanya kemudian melanjutkan berjalan menuju kearah rumahnya.

Tuhan, tolong maafkan Juna. Jika yang Juna rasakan sekarang adalah sebuah dosa, Juna mohon hilangkan sekarang juga. Juna sudah tidak sanggup dengan ini semua.

Aku tidak sekuat itu untuk menahan semuanya.

Juna membukakan gerbang rumahnya dan langsung nampaklah Rajen yang tengah duduk di atas motornya sembari tersenyum lebar, melihat hal itu pun sontak Juna membalas senyuman nya.

“Maaf” ujar Rajen dan Juna pun mengangguk maklum.

Jam menunjukkan pukul 2 siang lebih dan itu artinya langit sedang terasa sangat terik karena matahari. “harus banget cerita sekarang?” Tanya Juna sembari mengibaskan tangan nya kearah wajahnya.

“Maaf, ya. Aku gabisa nunda ceritanya” Ujar Rajen dan Juna pun menghela nafas lalu mengangguk.

“Ke taman biasa aja kalau begitu” Rajen tersenyum kemudian mengangguk setuju.

Juna menaiki motor Rajen lalu motor itu pun bergerak menuju tempat yang Juna sebutkan tadi.


“Wah, gila gila gila. Kenapa panas banget sih hari ini?!” Rajen terkekeh kecil melihat Juna yang tengah menggerutu.

“Lagi ga mood kali matahari nya, jadi panas banget” Juna menatap Rajen kemudian menghela nafas lelah.

“Ga lucu” Sontak tawa Rajen pun keluar mendengar ucapan Juna tersebut.

Gajelas ni anak kok bisa gue suka sama cowo modelan kek dia itulah isi batin Juna sembari melihat Rajen yang tengah tertawa.

“Masih lama ga ketawa nya?” Rajen meredakan tawa nya sejenak lalu berdehem singkat.

“Udah”

“Bagus, lanjut ya. Mau bahas apa sih?”

Rajen diam sejenak sembari menatap mata Juna dan tentu saja hal itu membuat Juna salah tingkah sendiri tapi pemuda manis itu pun mencoba menutupi nya.

“Aku pengen putus sama Ella”

Juna seketika mematung mendengar deretan kalimat yang baru saja Rajen lontarkan. Otaknya kini tengah memproses apa yang baru saja ia dengar tadi.

“H-hah?”

Rajen mengalihkan pandangannya kearah deretan pohon yang ada di depannya, ia bergumam pelan. Entah apa yang ia gumamkan karena Juna tengah bertengkar dengan pikirannya.

“Ella berubah”

Juna memilih diam, membiarkan Rajen melontarkan kalimat tentang sepupu nya.

“Kenapa dia bisa berubah ya, jun?”

“Kenapa dia selalu marahin aku setiap abis pergi sama kamu?”

“Kok dia keliatan benci banget ya kalo kita jalan berdua?”

“Kenapa dia kaya gitu? Padahal dia tau kita berdua kan sahabat”

Deg

Rasanya jantung Juna seperti berhenti berdetak sejenak hingga membuatnya ingin menepuk dada kiri nya dengan kencang, tapi ia memilih diam.

Lagi-lagi dan lagi, setiap Rajen bilang ingin bercerita kepadanya selalu ini yang akan ia bahas. Tidak tahu kah dia jika Juna akan merasakan sesak saat mendengar kalimat itu?

“Aku sampe jengah kalau dia udah marah-marah gajelas”

“Kalo kita lagi debat, kenapa dia selalu bawa-bawa kamu?”

“Itu pertanyaan yang selalu terputar di otak aku, jun”

“Padahal dulu Ella ga kaya yang sekarang....” gumam Rajen.

Juna masih setia untuk diam, belum berniat untuk merespon celotehan Rajen. Saat ini dada nya tengah merasakan sesak yang jarang sekali ia rasakan seumur hidupnya, sesaknya ini berbeda dengan sesak yang ia alami saat terkurung di perpustakaan. Sesak ini terasa sama dengan sesak saat Ella menghina nya di rooftop waktu itu.

“Jun, emang salah ya kalau deket sama sahabat di saat kita udah punya pacar?”

Juna menghela nafas pelan sambil memejamkan matanya, kini ia tengah bingung akan respon apa yang harus ia berikan? Desahan frustasi pun dapat Rajen dengar.

Rajen yang melihat wajah Juna yang tengah menyiratkan rasa lelah langsung merasa tak enak, harusnya ia tidak memaksa Juna mendengar itu semua karena mau bagaimana pun ia tengah berhadapan dengan sepupu dari kekasihnya. Tapi, tidak bisakah Rajen egois sebentar untuk mengeluh di depan Juna? Bukan Juna sepupu Ella melainkan Juna sahabatnya.

“Bener mau putus?”

Ucapan Juna yang tiba-tiba membuat Rajen mematung seketika. Juna melirik kearah Rajen yang hanya diam kemudian menghela nafas lagi.

“Jen, kalau lagi pusing kaya gini jangan langsung buat keputusan. Nanti yang ada lo nyesel lagi, pusing lagi”

“Tapi... aku capek, jun”

“Terus? Mau langsung milih buat mutusin Ella? Kalau gitu, putusin sekarang. Telpon Ella, bilang la, aku mau putus dah tuh lo ga capek lagi”

Rajen menatap Juna dengan pandangan tidak percaya, tangan nya mengepal diatas pahanya dan itu semua di lihat oleh Juna.

“Apa? Kesel?”

“Jun, harus—”

“Harusnya gimana? Katanya tadi mau putus? Yaudah, ikutin kata gue tadi”

“Tapi—”

“Gaada tapi, lo tadi udah yakin kan pas bilang mau mutusin Ella? Kenapa? Sekarang ragu?”

Jujur, Juna rasanya ingin menangis sekarang juga. Panasnya terik matahari yang membuatnya lemas juga hawa panas diantara dirinya dengan Rajen juga menambah rasa lemas itu.

Rajen mengeraskan rahangnya, kepalan di tangannya makin mengerat hingga akhirnya—

“JUNA!”

Ya, Rajen membentak Juna untuk pertama kalinya. Dan Juna yang masih terkejut pun dengan sekuat tenaga membalas teriakan Rajen.

“APA?”

Rajen menatap Juna dengan pandangan terkejut, sedangkan Juna tengah mengatur nafasnya. Dada nya bergerak naik turun untuk mengais oksigen sebanyak mungkin, mata Juna sedikit berkaca-kaca dan tentu saja ia coba untuk mengendalikan dirinya agar tidak menangis.

Rajen yang melihat Juna sedang kesulitan bernafas pun langsung tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan, dengan tangan yang sedikit gemetar ia arahkan untuk memegang pundak Juna.

“Gausah” ujar Juna dengan datar sembari menepis pelan tangan Rajen tadi.

“Jun, maaf” ujar Rajen dengan pelan.

“Hm”

“Jangan ma—”

“Engga marah. Jen, lain kali kalo di hadapan Ella jangan kaya gini ya?”

Rajen menundukkan kepalanya lalu mengangguk pelan, “...iya”

Juna diam, ia sedang sibuk dengan handphone nya dan Rajen pun ikut diam. Sekarang suasana yang panas tadi menjadi hening.

“Jen”

Rajen mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat wajah sisi kanan Juna yang tengah menatap lurus kedepan.

“Capek itu wajar dalam sebuah hubungan”

“Lo boleh kok ngerasa jengah, muak, marah, kesel, sedih dan yang lain”

Juna menghela nafas sebentar.

“Tapi, jen. Lo ga boleh ngambil keputusan disaat lo lagi ngalamin hal itu semua, jangan pernah. Gue ingetin ya, jangan kaya gitu lagi jen”

Juna menoleh kearah Rajen lalu tersenyum tipis kearahnya, tentu saja yang di perlakukan seperti itu entah mengapa merasa nyaman juga... sedih?

“Keputusan yang diambil saat emosi lo lagi ga stabil bakal bikin penyesalan di akhir dan gue—”

Rajen menatap dalam jelaga milik Juna, saking terpukau nya dengan mata Juna ia sampai tidak menyadari jika sepasang iris itu tengah menahan tangis.

“—Gue gamau sahabat gue ini, ngerasain penyesalan yang kaya gitu” ujar Juna yang diakhiri dengan senyuman manis.

Tatapan keduanya terkunci seperti sedang menghantarkan pesan dari hati mereka melalu mata itu, angin sore pun mulai berhembus. Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi, rasanya suasana seperti ini sangat damai.

“Ju—”

“RAJEN!”

Teriakan khas dari seorang perempuan membuat Rajen lebih dahulu memutuskan pandangannya dengan Juna, melihat sosok sang kekasih hati membuat senyum Rajen terbit begitu saja. Ia beranjak dari duduk nya lalu melebarkan tangannya untuk menyambut sang pujaan hati ke dalam pelukannya.

“Kangen” ujar sang kekasih dan Rajen pun terkekeh sembari mengeratkan pelukannya.

“Aku juga” ucap Rajen.

“Kamu baru pulang main sama temen kamu kan? Emang ga capek lari-lari kaya tadi?”

“Engga!” Rajen tersenyum lalu merapihkan anak rambut yang menutupi wajah manis sang kekasih.

Kedua pasangan itu sudah asik dengan dunia nya tanpa menyadari ada satu orang yang duduk di kursi belakang mereka, menatap mereka dengan pandangan sendu.

Inilah yang dimaksud Juna di awal, walaupun Rajen sering mengeluh padanya tentang perubahan sikap Ella tapi pemuda itu terus saja memberikan afeksi yang sama. Tidak berubah, namun bertambah berani untuk memamerkan kemesraan nya di depan orang-orang.

Juna beranjak dari duduknya lalu berjalan pelan meninggalkan sahabat juga sepupunya itu.

Berjalan dengan pelan sembari menatap lurus jalanan dengan pandangan kosong, dalam hatinya ia bertanya—

mengapa dirinya selalu ada di tengah-tengah hubungan mereka berdua? Apakah Tuhan sedang menguji kesabaran juga ikhlas nya? Atau Tuhan memberikan karma karena dirinya memilih jalan yang menyimpang?

Juna berhenti melangkahkan kaki nya untuk melihat area taman bermain anak yang masih sepi, matanya memejam sejenak kemudian mengatur nafasnya agar menjadi tenang.

Ia buka kembali matanya kemudian melanjutkan berjalan menuju kearah rumahnya.

Tuhan, tolong maafkan Juna. Jika yang Juna rasakan sekarang adalah sebuah dosa, Juna mohon hilangkan sekarang juga. Juna sudah tidak sanggup dengan ini semua.

Aku tidak sekuat itu untuk menahan semuanya.