Aksararen


Alen, mampir ke toko sebelah ya?

Galendra yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung menoleh kearah Reggie yang sudah berdiri di depannya sambil membawa belanjaan yang baru saja ia beli.

Lo belum puas belanja disini?” tanya Alen sembari mengambil alih barang belanjaan milik Reggie.

Reggie tersenyum manis kearah Galen lalu menggeleng pelan. Sang dominan pun menghela nafasnya sebentar.

Yaudah, ayo. Jangan lama-lama tapi

Binar mata Reggie seketika muncul, “Okay! Let's go~” pemuda manis itu pun berjalan dengan semangat menuju toko buku.

Melihat Reggie yang nampak antusias tanpa sadar membuat Galendra tersenyum tipis.

Kini mereka berdua sudah ada di toko buku, tepatnya ada di bagian rak buku khusus dengan genre fantasi.

Gue kira lo mau beli buku dongeng anak-anak

Reggie menoleh kearah Galen lalu mengernyit, “Kenapa bisa ngira gitu?

Galen menaikkan kedua bahunya, “Yah, lo kan bayi” Seketika Reggie langsung menatap kesal pemuda tinggi itu.

Aku seumuran sama kamu tau!

Iya, iya. Jangan marah-marah mulu dong” Reggie mendengus lalu melanjutkan memilih buku.

Lo suka buku fantasi?

Hu'um!” ujar Reggie tanpa menoleh kearah Galendra.

Kenapa?

Reggie menghentikan pergerakan nya dalam memilih buku, ia menoleh kearah Galendra. Menatapnya sebentar lalu tersenyum.

Kamu orang pertama yang nanya kaya gitu” Galendra mengangkat sebelah alisnya, tanda ia bingung.

Oke, jadi aku suka buku fantasi itu karena isi ceritanya luar biasa!” seru Reggie dengan antusias. Galendra hanya diam, menatap Reggie yang nampak sangat semangat.

Apalagi kalo tentang peri

Lo suka peri?

Iya! Peri itu kan cantik, indah dan bisa terbang!

Iya ya? Sama kaya lo berarti, kecuali poin terbang nya

Reggie terdiam, “Maksud kamu...?

Galendra sedikit menunduk untuk mendekatkan wajahnya kearah Reggie, matanya menatap intens pemuda manis itu. Reggie hanya diam, sedikit bingung karena kelakuan Galendra yang tiba-tiba ini.

Setelah selesai menatap wajah Reggie, Galen kembali menegakkan tubuhnya. Reggie pun langsung bernafas lega.

Iya, bener. Lo kaya peri. Cantik dan indah” setelah berucap seperti itu Galendra tersenyum tipis.

Gue ke rak depan ya. By the way, kenapa pipi lo jadi merah gitu?” Ucapnya tanpa rasa bersalah lalu berjalan cepat menuju rak depan, meninggalkan Reggie yang tengah merasa kacau karena Galendra.

Alen ngeselin!!

Ahahaha, sorry bayi!

Re, lo beneran kaya peri. Peri yang Tuhan utus untuk gue.


Lo yang beli ini semua?

Galendra berujar sembari berjalan mendekati Reggie yang sedang memotong sayuran di dapur apartement nya.

Bukan, hantu yang beli” jawab Reggie tanpa menoleh kearah Galendra.

Sang empu pemilik dapur langsung menghembuskan nafasnya saat melihat Reggie yang nampaknya masih ngambek dengan nya.

Iya, Reggie ngambek karena Galendra tadi mengejeknya perkara maling dan lari.

Masih marah?” tanya Galendra setelah duduk di kursi yang menghadap langsung kearah Reggie yang masih sibuk membuat bumbu.

Aku ga marah” ucapnya kemudian membalikkan badan nya untuk mulai memasak diatas kompor.

Ni bayi harus gue bujuk pake apaan dah batin Galendra sambil menatap punggung sempit Reggie.

Badan nya beneran kek perempuan kalo di liat dari belakang. Gimana ya kalo gue peluk, pas—

Galendra sontak menegakkan duduknya, kepalanya menggeleng pelan, ia mencoba menghilangkan pikiran nya yang semakin liar.

Astaga, Galendra. Sadar.

Terlalu sibuk dengan perang batin juga pikiran, Galendra sampai tidak melihat Reggie yang sudah duduk di depan nya dengan makanan yang sudah di sajikan dengan rapih dan cantik.

Alen” panggilan dari Reggie membuat Galendra langsung mengerjapkan matanya. Ia menatap pemuda manis itu sebentar lalu menatap meja makan yang sudah terisi dengan makanan.

Lo... buat pasta sama fish and chips?” ujar Galendra dengan wajah yang terlihat sedang terkejut.

Tentu saja ia terkejut, karena makanan yang dibuat Reggie adalah makanan kesukaannya.

Iya, Alen suka sama dua makanan ini kan?

Lo tau darimana?

Dulu Alen pernah bilang ke aku kan

Ah, iya. Dia lupa jika enam tahun lalu, ia mengungkapkan semua tentang dirinya.

Tapi... bagaimana bisa ingatan pemuda manis ini begitu tajam?

Lo masih inget...

Iya dong. Gimana bisa aku lupain semua tentang Alen? Kan Alen penyelamat hidup aku juga... tempat hati aku berlabuh” jawab Reggie dengan santai, pemuda manis itu mulai bergerak untuk mengisi piring Galen dengan makanan.

Tidak tahu kah Reggie jika yang baru ia ucapkan dengan santai itu membuat jantung Galendra memompa dengan cepat?

Nih, makan yang banyak ya

Galendra berdehem singkat, “Kalo enak ya

Ish! Makanan yang aku buat selalu enak tau!

Gue belum coba semua makanan yang lo buat, jadi kan gue gatau beneran enak apa engga

Reggie menatap kesal Galendra yang kini tengah mengunyah pasta yang baru saja ia buat.

Ngeselih, huh!

Liat aja, aku bakal ngasih Alen semua masakan aku. Masakan aku tuh enak tau, bunda sama ayah aku aja suka

Iya, gue siap makan semua masakan lo

ARGH! ALEN NGESELIN BANGET!

Mendengar teriakan frustasi Reggie, membuat Galendra terkekeh disela makan nya.

Ah, sudah lama ia tidak merasakan atmosfir menyenangkan seperti ini saat ia makan dan suasana ini muncul karena Reggie.

Reggie, si pemuda manis yang muncul tiba-tiba dalam hidupnya setelah pertemuan mereka di kejadian 6 tahun yang lalu.

Ia tersenyum tipis saat melihat Reggie yang sedang makan dengan raut wajah kesal, bibir berwarna ceri itu sesekali bergerak untuk menggumam akan kekesalan nya pada Galendra.

Re

Si manis langsung menatap Galendra.

Buat gue bisa balas perasaan lo itu, ya?

Ma— maksud A—alen?

Re, bantu gue buat suka sama lo

Ya Tuhan... jantung Reggie belum siap untuk ini...

Setelah membaca pesan dari Reggie, kepala Galendra dengan reflek langsung menoleh kearah dalam minimarket, dan benar saja. Ada Reggie disana yang sedang memilih obat luka untuk Galendra.

Tak butuh waktu lama, pemuda manis itu pun berjalan keluar dengan tangan yang penuh. Ia langsung menghampiri meja yang ditempati oleh galendra.

Sakit?” itu adalah kata pertama yang Reggie ucapkan ketika ia baru saja duduk disebelah Galendra.

Sang empu yang ditanya hanya membalas dengan gelengan pelan, Reggie menghela nafas sebentar kemudian tangan nya bergerak untuk mengambil kapas dan meneteskan sedikit obat merah diatas kapas tersebut.

Matanya kini beralih menatap Galendra, “Kalo sakit bilang, jangan ditahan” ujarnya.

Hm

Reggie mengangkat tangannya yang terdapat kapas tadi menuju luka pada pipi Galendra. Pelan tapi pasti. Mata yang biasa memancarkan binar antusias kini berganti dengan tatapan khawatir, bibir yang biasanya mengeluarkan ocehan kini terkatup rapat.

Iya, Galendra kini sedang sibuk memperhatikan pemuda manis yang tengah mengobatinya itu.

Kenapa bisa luka gini sih?” gumam Reggie setelah membersihkan luka itu. Kini ia tengah sibuk membuka hansaplast untuk menutup Galendra.

Sang empu yang tengah diobati pun memilih untuk diam, memperhatikan pemuda itu dengan intens.

Nah, selesai” ucap Reggie sambil tersenyum. Matanya yang tadi sibuk menatap luka langsung berpindah menatap sang pemilik luka.

Keduanya saling bertatapan, hingga tatapan Galendra turun menuju bibir yang berwarna seperti buah ceri itu.

Suasana tengah malam yang sepi menjadi latar keduanya, saking sepi nya kedua pemuda tersebut dapat mendengar suara samar dari degup jantung yang bertalu dengan cepat.

Entah dorongan darimana, kepala Galendra bergerak pelan menuju fokusnya saat ini. Reggie pun semakin gugup. Rona merah yang samar kini menghiasi kedua pipinya, kedua tangannya meremat kuat celana yang ia pakai.

Hingga jarak keduanya menjadi sangat dekat, saking dekatnya hidung mereka berdua hampir bersentuhan. Mata Galendra kembali menatap jelaga indah milik Reggie.

Gue mau nanya” ujarnya dengan suara yang rendah, Reggie secara reflek meneguk ludahnya.

Mau nanya apa?” jawab Reggie, suara pemuda manis itu terdengar sangat pelan.

Apa alasan lo suka sama gue?

Reggie diam begitu juga dengan Galendra.

Hingga Reggie menjawab, “Karena Alen adalah penyelamat hidup aku

Galendra mengernyit, “Gue?

Reggie tersenyum tipis, tangan mungil nya bergerak untuk mengusap rahang tegas milik Galendra dengan lembut. Matanya menatap pemuda yang kini tengah bingung.

Hidup lo akan penuh kebahagia-an suatu saat nanti, jadi jangan nyerah.

Galendra mematung.

Tiba-tiba di dalam otaknya terputar memori saat di hari setelah ia merayakan kelulusan sekolah akhirnya, tepat pada sore hari. Ia pernah tidak sengaja bertemu dengan pemuda yang duduk di pagar pembatas jembatan layang.

Mata Galendra langsung membulat, “Jadi...

Reggie mengangguk pelan sembari tersenyum, “Iya. Itu aku, Alen

Reggie... kenapa bisa—

Lidah Galendra mendadak kelu. Ucapannya tidak sanggup ia lanjutkan lagi. Hingga tanpa pikir panjang, Galendra pun langsung memeluk Reggie dengan erat.

Reggie pun membalas pelukan itu, menyembunyikan wajahnya di bahu Galendra.

Mereka saling berpelukan dalam keadaan sunyi.

Reggie...

Sstt, tenang Alen. Aku udah gapapa kok, semuanya selesai setelah pertemuan pertama kita

Reggie mengusap punggung Galendra dengan lembut, “And how about you?” tanya Reggie.

Mendengar hal itu, Galendra langsung mengeratkan pelukan itu. Menaruh dahi nya di bahu sempit milik Reggie.

Aku kangen mereka re... and I'm really tired of this life

it's okay, Alen. Now I'm here, beside you. you won't be alone anymore” bisikan dari Reggie membuat rasa gundah dalam dada Galendra sedikit menguap.

Promise?

I'm promise

Reggie please keep your promise, i beg you.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.30 Siang dan itu tandanya waktu istirahat Galendra sudah tiba, ia berjalan menuju pintu utama cafè lalu tangan nya bergerak untuk membalik papan nama dari open ke break time. Setelah membalik papan itu, ia pun meregangkan sedikit tubuhnya.

Galen, sini!” Peregangan yang ia lakukan sontak berhenti, pemuda dengan surai hitam itu langsung menoleh kearah sumber suara yang memanggilnya.

Saat menoleh ia pun langsung melihat rekan kerjanya—Haekal yang duduk berhadapan dengan Reggie.

Ah... ia lupa bahwa pemuda manis itu sudah menunggu nya dari tadi.

Langsung saja, kaki jenjang itu melangkah menuju meja yang diduduki dua orang tersebut. Lalu mengambil tempat di kursi sebelah Haekal.

Lo gimana sih? Bisa-bisa nya lo ngacangin cowo semanis Reggie gini?

Mendengar Haekal yang mengatakan kata manis untuk Reggie, itu membuat Galendra langsung memutar bola matanya.

Cih, modus aja lo.

Haekal terkekeh saat melihat wajah Galendra yang menjadi datar, “Sensi amat dah lo, mending makan. Katanya reggie udah masak, ya kan re?

Reggie, pemuda manis yang duduk di depan sepasang rekan kerja itu dan sedari tadi ia hanya menyimak langsung mengangguk saat Haekal bertanya.

Iya, aku masak lebih kok. Jadi, haekal bisa ikut makan juga

Haekal tersenyum lalu menatap Galendra dengan pandangan meledek, “yuhu~ makasih reggie~” Reggie tersenyum lalu dengan cepat tangannya bergerak untuk menyiapkan makan siang yang telah ia buat sejak tadi pagi.

Woah! Ini mah kebanyakan, re!” Seruan haekal membuat Reggie sedikit terkejut, matanya yang penuh binar langsung sedikit meredup.

Ga bakal habis ya?

Tahu jika si manis akan merasa sedih jika makanannya tidak habis, Haekal sontak menggeleng kuat-kuat.

Bakal habis kok! Aku bawa ke ruang pegawai ya? Biar mereka bisa makan makanan kamu” mendengar hal itu, tentu saja membuat Reggie tersenyum lebar. Binar matanya langsung kembali.

Oke! Selamat menikmati ya~” Haekal terkekeh lalu mengangguk, pemuda itu langsung membawa beberapa makanan yang Reggie buat menuju ruang khusus pegawai.

Sekarang, tersisa Reggie dan Galendra di meja itu. Suasana yang ramai tadi berganti dengan rasa canggung. Reggie menunduk karena malu untuk menatap Galendra dan hal itu membuat sang empu merasa sedikit tak enak.

Setelah berperang batin beberapa saat, Galendra pun berdiri kemudian duduk di tempat Haekal tadi. Ia berdehem singkat dan itu berhasil membuat Reggie mengangkat sedikit kepalanya.

Ini buat gue?” Reggie mengerjap sebentar lalu mengangguk.

Makasih” kemudian Reggie pun mulai melahap makanan yang Reggie bawa.

Reggie yang melihat itu pun sontak tersenyum lebar, di pipi nya sedikit terlihat rona merah muda karena tersipu juga malu, matanya terus menatap Galendra yang tengah melahap masakannya.

Enak?” Galendra menatap Reggie sembari mengunyah.

Setelah selesai menelan makanannya, Galendra langsung mengangguk pelan, “Lumayan” katanya.

Senyum Reggie semakin lebar, “Alen suka?” Galendra menatap Reggie dengan bingung.

Hm” akhirnya Galendra hanya membalas dengan sebuah deheman, kemudian ia kembali melahap makanannya.

Alen, kalo tiap hari aku dateng kesini buat ngasih makan siang... boleh ga?

Pertanyaan itu membuat Galendra berhenti sejenak untuk menyuap makanannya,

Emang lo ga kerepotan?

Sama sekali engga!

Kenapa?

Reggie menatap bingung Galendra, “Apanya yang kenapa?” ujarnya dengan pelan.

Galendra menghela nafas sebentar, ia menaruh sendok yang ia gunakan tadi di samping tempat makan itu. Makanan yang Reggie buat kini sudah tandas dengan bersih.

Mata Galendra menatap Reggie dengan dalam dan jujur saja, tatapan itu cukup membuat jantung Reggie berpompa dengan cepat.

Kenapa lo mau repot-repot gini, padahal kita aja baru ketemu?

Reggie diam sejenak,

Ya... Karena alasan aku repot itu kan Alen

Kini Galendra yang dibuat bingung.

Maksud lo?

Alen masa ga paham sih? Aku lagi mau pdkt-an sama kamu tau!

Tunggu... apa katanya barusan?!

Hah?

Reggie mendengus saat melihat Galendra yang masih terlihat tidak paham, “Aku suka sama kamu, Alen. Jadi, aku mau melakukan pendekatan sama kamu

Galendra mengernyit, “Tiba-tiba banget? Kita bahkan baru ketemu kemarin kan?

Reggie tersenyum tipis, “Emang kenapa kalo kita baru ketemu kemarin?

Aneh aja, masa iya lo ngalamin ci—

Iya, Alen. Aku ngalamin cinta pada pandangan pertama dan kamu orang yang udah buat aku jatuh cinta

Galendra diam dan begitupula dengan Reggie, keduanya hanya saling menatap. Berharap pesan dari hati mereka tersampaikan dari tatapan mata itu.

Galendra telah tenggelam di jelaga indah tersebut, hingga suara kekehan dari Reggie membuat ia tersadar.

Alen beneran lupa ya? Kemarin itu bukan pertemuan pertama kita

Sebentar, apa lagi ini? Dia bahkan belum memproses dengan ucapan reggie tentang cinta pada pandangan pertama, lalu sekarang ada hal lain lagi yang harus ia proses?!

Kita pernah bertemu, Alen. Di enam tahun yang lalu

Oh, God... apalagi kejutan yang akan engkau berikan padaku?


Sejam sudah berlalu sejak drama antara dirinya dengan Reggie tadi. Setelah Reggie memperkenalkan dirinya, Galendra langsung paham bahwa Reggie lah yang mengirim pesan padanya tadi malam dan pagi tadi. Jujur, tadi malam ia berniat untuk memarahi sang pemilik nomor yang mengusiknya tadi malam. Namun, saat ia tau Reggie lah sang pengusik itu niatnya tadi malam seakan menguap. Juga selama ia membuat pesanan Reggie tadi, tangan nya terus mengacau padahal biasanya tidak seperti itu. Ia seakan gugup karena ditatap oleh Reggie.

Lalu matanya itu terus saja mencuri pandangan pada pemuda manis yang sedang duduk di kursi pojok dekat jendela besar itu, entahlah apa yang terjadi pada dirinya itu.

Tidak mungkin ia mengalami cinta pada pandangan pertama kan?

Galendra menggelengkan kepalanya pelan, kemudian ia merasakan tepukan pada bahu kanan nya dan hal itu cukup membuat dirinya sedikit terkejut.

Eh? Bang malik?

Malik, sang pemilik cafè langsung tersenyum tipis saat melihat wajah salah satu pegawainya yang nampak sedikit linglung.

Lo kenapa? Sakit?” pertanyaan itu di balas gelengan pelan oleh Galendra.

Terus? Eh, mending lo ngisi perut deh. Udah jam istirahat juga kan” Galendra hanya diam kemudian matanya sedikit melirik kearah Reggie.

Malik mengikuti arah mata pemuda tersebut kemudian ia pun mengangguk paham. “Lo istirahat aja, biar gue samperin pelanggan itu” Belum sempat Galendra berucap, Malik sudah berjalan terlebih dahulu menuju meja Reggie.

Pemuda dengan surai hitam itu pun menghela nafasnya, lalu bergerak untuk melepaskan apron khususnya kemudian berjalan menuju ruang khusus pegawai.

Dalam ruangan itu Galendra hanya meminum ice americano nya dan memakan sandwich yang tadi pagi ia beli di minimarket dekat rumahnya. Disaat pegawai lain makan sambil mengobrol, Galendra hanya duduk dikursi sambil melamun sembari mengunyah sandwich nya.

Sebenarnya, Galendra kini dilanda akan perasaan gelisah akan sesuatu—ah.. lebih tepatnya gelisah karena Reggie.

Otaknya kini tengah berperang dengan banyak pertanyaan, seperti;

Reggie udah balik kan?

Eh, bang Malik ngusir nya kasar ga ya?

Atau dia masih ada di meja nya?

Setelah berperang dengan pikirannya, Galendra memilih untuk melihat keadaan Reggie.

Semata-mata karena perasaan khawatir.

Dia buang bekas makanannya terlebih dahulu, mengambil apron nya kemudian berjalan ke arah luar ruang khusus pegawai. Saat diri nya keluar, pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Reggie yang sedang tertawa dengan Malik.

Melihat tawa dari pemuda manis itu, Galendra menjadi terpaku. Matanya terus menatap Reggie, detak jantungnya kembali berdetak dengan cepat.

Kok bisa ada manusia semanis itu? tanpa sadar ia mem-batin seperti itu.

Oy, Galen!

Suara malik langsung membuat Galendra sadar, ia pun menatap malik yang sedang melambaikan tangannya seakan menyuruhnya untuk mendekat.

Tungkai panjang yang tadi terpaku pun langsung bergerak dengan pelan menuju meja itu.

Kenapa, bang?” Tanya Galen.

Lo udah kelar makan kan? Temenin si Reggie dulu bisa kan?” Galendra melirik Reggie dan ternyata sang empu juga sedang menatap dirinya dengan binar yang sangat bersinar. Dengan cepat Galendra mengalihkan pandangannya kemudian mengangguk pelan kearah Malik.

Bagus. Nah, Reggie kamu bisa ngobrol dulu sama Galen. Kakak mau keluar sebentar soalnya” Reggie tersenyum lalu mengangguk paham, Malik yang melihat itu langsung terkekeh lalu mengusap rambut Reggie karena gemas.

Galendra hanya diam, menatap keduanya dengan datar. Malik pun mulai beranjak dari duduknya kemudian menepuk bahu kiri Galendra, “nitip ya, bro” lalu ia pun pergi ke arah luar cafè.

Setelah Malik benar-benar pergi, Galendra pun duduk di kursi yang diduduki Malik sebelumnya. Matanya menatap Reggie dan yang ditatap pun melakukan hal yang sama.

Lo siapa sih?” Akhirnya, pertanyaan ini terdengar secara langsung.

Aku Reggie, tadi Alen ga denger ya?” Mendengar hal tersebut Galendra langsung mendengus.

Gausah sok imut, lo cowo bukan?” Oke, pertanyaan itu keluar tanpa sadar.

Reggie pun sedikit tersentak namun dengan cepat ia mengatur ekspresinya kemudian tersenyum tipis, “Aku laki-laki kok, emang keliatan nya kaya perempuan ya?

Galendra diam sejenak, “Gaya bicara lo kaya perempuan” mendengar hal itu Reggie pun mengangguk pelan.

Dari dulu aku kalo ngomong kaya gini, aneh ya?

Pertanyaan Reggie itu cukup membuat Galendra merasa bersalah hingga ia memilih untuk berdehem singkat, “Kenapa lo chat gue tiba-tiba gitu?” Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Karena mau deket sama Alen

Galendra mengangkat satu alisnya dan Reggie yang melihat itu sontak menundukkan kepalanya.

Kenapa nunduk?

Tentu saja Galendra langsung bingung karena Reggie yang tiba-tiba menunduk, padahal daritadi pemuda manis itu menatap dirinya dengan binar antusias.

Apa dirinya terlalu kasar?

Alen kalo ngangkat sebelah alis ganteng banget” jawaban Reggie dengan suara pelan juga telinganya yang sedikit memerah cukup membuat Galendra seketika menahan nafasnya.

Maksud lo?

Alen kenapa bisa ganteng banget sih?

Oke, cukup. Galendra tidak sanggup lagi.

“Alen”

“Hm?”

“Udah kenyang”

“terus kalo udah kenyang, aku harus apa?”

“Ga ada sih, aku cuman mau bilang aja”

Sang dominan menatap pemuda manis yang kini sedang merapihkan alat makannya sembari mengemut permen di dalam mulutnya itu, ia menghela nafas pelan kemudian tangan nya terulur untuk mengusap bagian sudut bibir lawannya.

“Ck, kaya anak kecil aja”

“Hehehe, makasih alen”

Reggie beranjak dari duduknya untuk menaruh piring kotornya di wastafel, mencuci nya sebentar kemudian setelah selesai mencuci, ia berniat untuk kembali ke kursi nya.

Namun saat ia melewati kursi Galendra, dirinya malah langsung di tarik lalu terjatuh di pangkuan sang dominan.

Keduanya saling bertatapan, pinggang ramping Reggie di rengkuh dengan erat. Hingga Galendra pun berbisik tepat di depan bibir Reggie,

“Now, Can i get my favorite cherries?”

“Kak”

“Hm?”

Jisung mengeratkan pelukan itu, membenamkan wajahnya di kepala sang kekasih kemudian menghirup aroma vanila dari rambut pemuda manis yang kini sedang ia peluk itu.

“Kiss nya mana?”

“Besok pagi aja, aku ngantuk”

“Yah...”

Cup!

“udah, sekarang tidur”

“kurang kak, aku mau nya di bi—”

“Diem.”

Diam-diam jisung tersenyum lalu saat kantuk mulai menyerang ia pun turut memejamkan matanya, namun sebelum benar-benar jatuh tertidur ia membisikkan sesuatu di telinga Renjun dengan suara rendahnya.

“I love you. Good night, babe”

Seorang pemuda berjalan kearah salah satu makam yang terletak di dekat sebuah pohon melati. Pemuda itu berdiri sejenak, menatap sebuah nisan yang terbuat dari batu itu. Ia mengambil nafas sebentar kemudian berjalan kearah samping makam tersebut lalu berjongkok di dekat nisan itu.

Tangan nya bergerak untuk menyingkirkan bunga melati juga daun-daun kering yang jatuh hingga membuat makam itu sedikit kotor. Setelah membersihkan makam itu, matanya menatap foto kecil yang ada di sudut nisan tersebut lalu tersenyum tipis.

“Halo, juna..” ia berucap dengan lembut sembari menaruh sebuket bunga daisy yang cantik di dekat nisan tersebut.

“Aku datang untuk kesekian kalinya” ujarnya masih sambil menatap foto kecil itu.

“Dengan perasaan yang masih sama” lirihnya lalu angin langsung berhembus pelan membuat ia memejamkan matanya sejenak.

“Udah dua minggu ya kamu pergi? Bagaimana rasanya terbang di langit?” Suara pemuda itu mulai sedikit bergetar karena menahan tangis.

“Juna... pada akhirnya, inilah happy ending nya ya? Tuhan benar-benar memberikan akhir bahagia untuk kita” setitik air mata Rajen mengalir pelan, membasahi pipi nya.

“Kamu bahagia di sisi nya dan aku— bahagia karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki hidup aku sendiri”

Rajen, pemuda yang tengah berjongkok di dekat makan Juna mulai menangis.

“Juna, kepergian kamu benar-benar meninggalkan banyak hal baik” ujarnya disela tangis.

“Kami, benar-benar disadarkan melalui kepergian kamu” Juna menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Ternyata, ini jalan yang semesta pilih untuk mereka semua.

Menyadarkan semua kesalahan mereka, membuat Juna bisa bahagia tanpa merasa sakit lagi juga mengajarkan apa arti hidup yang sebenarnya dan itu semua hanya dengan satu cara.

Mengambil Juna kembali.

Mungkin bagi beberapa orang ini akan disebut sebuah akhir yang tidak bahagia karena Juna harus pergi meninggalkan semuanya.

Tapi, coba di pikirkan kembali. Jika tidak dengan cara ini, apa akhirnya benar-benar akan bahagia? Tidak ada yang tau.

Hei, ingatlah satu hal. Tuhan sudah merencanakan jalan takdir dengan sebaik-baiknya. Jika harus mengambil kembali satu orang untuk membuat banyak orang sadar, maka itu hal yang paling baik kan?

Terkadang melepaskan adalah pilihan yang terbaik.

Juna dan Rajen memang tidak bersama pada akhirnya. Tapi itulah pilihan yang terbaik agar mereka tidak merasakan sakit yang lebih di masa depan nanti.

Bisa saja, di kehidupan selanjutnya Tuhan akan berbaik hati untuk membuat mereka bersama kan?

Menurut Rajen, inilah happy ending yang sebenarnya. Tidak akan lagi yang akan menyakiti Juna dan itu adalah alasan yang cukup untuk membuat dirinya berpikir bahwa ini sebuah akhir yang bahagia.

Walau tetep meninggalkan rasa sakit, tapi Rajen percaya Tuhan akan membantunya untuk menghilangkan rasa sakitnya.

tw// accident, character death. cw// harsh words p.s: you can play sad songs while reading.

Bug!

“SADAR BEGO!” Haidar yang baru saja datang di lokasi yang Nandra kirimkan bersama Rajen langsung memukul kepala Nandra dengan keras.

Nandra yang tengah menunduk sembari bersandar didekat pintu IGD langsung menatap kedua temannya, bukannya marah karena habis dipukul, Nandra malah menangis.

“Sakit” lirihnya disela tangis.

Melihat hal itu Haidar dan Rajen langsung dilanda panik, “Na, duh maaf. Lo kenapa nangis gini? Sakit banget ya?” Haidar berjongkok disebelah Nandra yang tengah menangis.

“Sakit—BERARTI INI BUKAN MIMPI” Nandra berteriak kemudian tangisnya semakin kencang. Haidar menatap bingung sahabatnya lalu matanya menatap Rajen seakan meminta pertolongan.

Rajen menghela nafas lalu mengambil duduk disebelah Nandra, baru saja ia ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba datang seseorang yang Rajen juga Haidar kenal.

“Dokter Brian?” Ujar Haidar dan sang empu yang dipanggil langsung terkejut.

“Kalian datang?”

Haidar dan Rajen sontak bingung, “Nandra yang nyuruh, dok” dokter itu langsung menatap Nandra yang masih menangis. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk.

“Sini, duduk dulu di kursi. Jangan dibawah situ” Haidar dan Rajen langsung berdiri sambil membantu Nandra untuk berdiri namun yang mereka dapatkan sebuah tepisan dengan kasar.

Sang dokter pun langsung berjalan mendekat kearah Nandra, berjongkok di depan pemuda yang sedang menangis di lipatan tangannya.

“Nandra, duduk di kursi ya? Jangan disini, nanti ngalangin jalan” Dokter Brian membantu Nandra berdiri lalu mendudukkan Nandra di tengah-tengah Rajen juga Haidar.

“Dokter Brian, sebenernya ada apa?” Tanya Rajen dan dokter Brian hanya tersenyum lalu mengusap rambut Rajen.

“Juna kecelakaan, sekarang dia sedang ada di dalam ruang IGD itu”

Kedua langsung terdiam dan Nandra bertambah menangis. Mendengar tangisan Nandra yang semakin terdengar pilu langsung membuat Haidar juga meneteskan air matanya, begitupula dengan Rajen yang kini tengah menatap kosong pintu IGD itu dengan air mata yang mulai jatuh.

“Bohong..” lirih Rajen.

“Rajen, saya juga mau bilang kalau ini semua bohong. Namun nyatanya, ini semua bukan kebohongan juga mimpi”


Rajen menatap Juna yang sekarang sudah berada di ruang ICU, ia melihat nya di balik kaca pintu ruangan itu. Tangannya terangkat untuk menyentuh kaca itu, seakan tengah memegang wajah Juna. Air matanya kembali turun dengan perlahan.

Kenapa? Kenapa ini semua tiba-tiba terjadi?

Padahal baru saja dirinya dengan Juna tadi mengobrol lalu menangis bersama, mengungkapkan semua isi hati mereka, saling mendoakan kebahagiaan satu sama lain.

Apa ini? Semesta sedang bercanda ya?

“Rajen, kamu mau ke dalam?” Suara dokter Brian membuat Rajen tersentak, ia menatap dokter itu dengan pandangan bingung.

“Kamu bisa masuk ke dalam jika ingin bertemu dengan Juna” Rajen dengan cepat langsung mengangguk.

Dokter Brian pun tersenyum tipis lalu membantu Rajen untuk bersiap masuk kedalam ruangan Juna.

•••

Saat dirinya baru masuk, wangi obat-obat an langsung menembus masker yang ia gunakan, bunyi alat pendeteksi detak jantung terdengar jelas di telinga nya, dan matanya menatap jelas Juna yang sedang terbaring lemah.

Dengan pelan ia duduk di kursi yang disediakan dalam ruang tersebut, matanya tak lepas menatap Juna yang kini sedang memejamkan matanya.

Tiba-tiba otaknya memutar sebuah ingatan yang dimana dokter Brian menjelaskan alasan Juna kini bisa terbaring lemah di atas ranjang ini dengan banyak alat medis yang menempel pada tubuhnya.

“Juna kecelakaan, di tabrak oleh mobil yang mencoba melanggar lalu lintas.” Dokter Brian menatap ketiga pemuda yang sedang menunduk itu.

“Juna sebenarnya bisa saja selamat dari kejadian itu, jika saja ia tidak memilih untuk menyelamatkan seorang anak kecil. Iya, dia berusaha menyelamatkan anak kecil itu meskipun ia tau nyawa nya bisa saja menghilang. Juna, sahabat kalian itu benar-benar anak yang sangat baik” lalu tangis mereka semakin menjadi-jadi

Air mata Rajen kembali mengalir, kepalanya menunduk, tangannya meremat besi sisi ranjang, punggung nya mulai bergetar.

“Juna, kenapa lo bisa baik banget. Kenapa harus lo yang ada di posisi ini” lirih Rajen.

Hingga beberapa saat kemudian Rajen merasakan sedikit pergerakan dari Juna, ia langsung mengangkat kepalanya.

Sebuah senyuman lemah namun masih terlihat menyiratkan sebuah ketulusan menjadi pemandangan pertama yang Rajen lihat saat air matanya tidak lagi membuat penglihatannya buram.

“Juna...” panggil Rajen dengan lembut dan Juna langsung memejamkan matanya sebentar lalu membukanya kembali.

Seperti sebuah pesan, Aku bisa denger kamu, Jen.

Rajen langsung menangis kencang saat melihat hal itu, ia menggenggam tangan Juna dengan lembut. Juna masih tersenyum dibalik masker oksigen-nya.

“Juna, kamu harus sembuh. Kamu—harus merasakan kebahagiaan lebih banyak dulu” ucap Rajen sembari mengusap air matanya dengan tangannya yang bebas.

“Jun, aku bahkan belum nebus semua kesalahan aku ke kamu selama ini. Jangan pergi dulu, ya?” Juna menatap Rajen lalu setitik air matanya dengan perlahan jatuh.

“Jangan nangis” ujar Rajen sembari mengusap air mata Juna yang jatuh tadi.

Dengan sekuat tenaga nya, Juna mencoba membalas genggaman tangan Rajen dan ia berhasil. “Juna...” ujar Rajen saat merasakan tangan Juna yang mencoba menggenggam balik tangannya.

“Ma—af...” suara itu membuat Rajen sedikit terkejut, ia menatap Juna yang masih tersenyum sembari menatap nya dengan sayu.

“Juna, jangan minta maaf lagi. Udah cukup ya?” Rajen berujar dengan lembut sembari mengusap kepala Juna.

Juna dengan perlahan memejamkan matanya dikala Rajen mengusap kepalanya. Setitik air mata Juna kembali turun dan bibir nya bergerak dengan pelan, Rajen dengan teliti memperhatikan kata apa yang akan diucapkan oleh Juna.

Terimakasih, aku sayang kalian.

Lalu saat Rajen paham ucapan Juna, ia merasakan genggaman tangan Juna kian melemah. Bunyi mesin pendeteksi detak jantung Juna pun mulai berbunyi dengan kacau.

“Juna. Juna, bangun. Juna, bangun!” Seru Rajen sembari menggenggam tangan kanan Juna dengan kedua tangannya.

Para suster juga dokter langsung masuk kedalam ruangan tersebut, Rajen diarahkan oleh salah satu suster untuk keluar.

“Juna, lo gaboleh pergi. Gue belum siap buat kehilangan lo” lirih Rajen ketika keluar dari ruang tersebut. Dirinya langsung jatuh terduduk di sebrang pintu itu.

“Jen, Juna kenapa?” Rajen mengangkat kepalanya dan yang ia lihat saat ini adalah, wajah khawatir dari Ella juga kedua orangtua Juna.

Nandra dan Haidar langsung ikut mendekat kearah Rajen, “Dia kenapa, Jen?” Tanya Haidar dengan suara yang bergetar.

Melihat Rajen yang hanya diam langsung membuat Nandra menjadi marah, “JAWAB, RAJEN!” Sang empu yang menjadi sasaran pertanyaan hanya mampu memejamkan kedua matanya dengan air mata yang selalu mengalir.

“Gue gatau—Na, gue gatau” jawab Rajen dengan suara yang terbata karena ia kini menangis. Nandra dengan pelan langsung jatuh terduduk di sebelah Rajen, turut menangis. Haidar pun sama, menangis.

Ella terdiam lalu menatap pintu ruang ICU dengan kosong, Mama dan Papa Juna juga diam-diam menangis.

Hingga lima belas menit pun berlalu, seorang dokter keluar dengan wajah yang menunjukkan raut tak menyenangkan.

Raut wajah yang membuat semua orang merasa dunia nya akan runtuh sebentar lagi.

Sang dokter menatap lamat orang-orang yang ada di depan ruangan itu. Ia mengambil nafas sebentar kemudian ia berucap,

“Hari ini tepatnya hari kamis, pukul tujuh lewat dua puluh tiga menit malam. Pasien kecelakaan atas nama Arjuna Rengga telah meninggal dunia”

Runtuh, dunia mereka runtuh seketika.

Aku pergi dulu ya, langit dan Tuhan sudah menungguku.

Kenapa harus berakhir seperti ini?

now he's gone.

Juna menangis di dalam kamarnya. Setelah membalas semua pesan dari sahabat juga sepupunya, ia langsung melempar handphone itu ke arah kasur nya lalu menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang bertumpu pada meja belajarnya.

Ia mengabaikan semua panggilan yang masuk, memilih untuk menangis dengan kencang. Orang tua nya belum pulang, di rumah itu hanya ada dirinya seorang diri.

Di sela tangisnya Juna selalu bergumam kata maaf dan Bodoh berulang kali.

Sebenarnya apalagi ini? batinnya dengan nelangsa.

Juna benar-benar bingung dengan jalan takdir-nya, baru saja ia merasakan perasaan bahagia namun beberapa saat kemudian hal yang tidak menyenangkan menimpa dirinya.

Memang benar ya, kehidupan berjalan seperti roda.

Hingga suara pagar yang di buka lalu bunyi mesin mobil membuat Juna buru-buru menghapus tangisnya, mencuci mukanya lalu berganti pakaian dengan pakaian yang santai.

Sebelum membuka pintu utama, ia menyempatkan untuk berkaca dan melihat kondisi wajahnya. Dirasa sudah baik-baik saja, ia langsung membuka pintu itu.

Senyum nya ia kembangkan untuk menyambut kedua orang tuanya namun respon yang ia dapatkan tetap sama, pandangan datar dan ke-acuhan.

“Tumben pulang cepat?” Ujar sang Mama sembari menaruh barang bawaannya diatas meja makan.

“Juna tadi cuman ngambil rapot, ma” ujar nya dengan pelan sembari tersenyum tipis.

“Buatkan saya kopi” sang papa turut duduk disebuah kursi yang tersedia di samping meja makan.

Juna dengan gesit langsung melakukan perintah dari papa nya.

“Ini, pa” Juna menyerahkan kopi panas yang baru saja dibuat itu kepada sang papa.

“Ambil rapot kamu” ucap si kepala keluarga dan Juna dengan cepat mengambil rapot yang ada di kamarnya.

Saat ia kembali ke meja makan, disana sudah ada mama nya yang sedang mengupas sebuah apel dan papa nya yang sedang menyesap kopi yang baru saja ia buat. Entah mengapa, hati Juna yang tadi risau sedikit tenang saat melihat mereka berdua.

“Pa” Juna berjalan mendekat kearah Papa nya lalu menyerahkan buku rapotnya.

Di terimanya buku rapot itu. Juna tetap berdiri di posisi nya saat pria paruh baya itu memeriksa nilai-nilai nya. Hingga beberapa saat kemudian sang papa menyerahkan buku rapot itu pada mama nya.

Juna dengan susah payah meneguk ludahnya, ia tidak tahu apakah orang tuanya merasa senang atau marah, karena mereka sama-sama membaca buku rapot-nya dengan wajah yang datar.

“Bagus, tidak ada yang turun” ujar sang mama dan Juna langsung merasa lega. Sebuah senyuman tipis terbit di bibirnya.

“Tapi tetap saja, nilai kamu harus lebih tinggi dari ini semua” mendengar hal itu Juna langsung mengangguk patuh.

“Duduk” suara berat nan rendah itu membuat Juna langsung bergerak cepat, mengikuti kata yang terucap itu.

“Apa rencana kamu setelah lulus?” Juna tersentak, ia menatap kedua orang tuanya yang sibuk melakukan hal lain.

Ia diam sejenak, kemudian dirinya menjawab dengan lugas “Juna mau langsung cari kerja, Pa”

Pasangan itu masih fokus dengan kegiatannya, seakan tidak ingin menatap Juna. “Kenapa?” Pertanyaan itu cukup membuat suasana menjadi hening sebentar.

Juna menarik nafas nya pelan, “Juna mau cepat-cepat menghasilkan uang dari usaha juna sendiri lalu membalas semua jasa dan pengorbanan kalian pada Juna selama ini”

Juna menundukkan kepalanya setelah menjawab, tanpa ia sadari kedua orang tua nya kini diam mematung. Mata mereka menatap sang anak dengan pandangan terkejut.

“Gausah sok kamu, pasti kamu hanya ingin mendapatkan hati kami dengan jawaban itu kan?” Sang Mama angkat bicara.

Juna dengan cepat mengangkat kepalanya lalu menggeleng kuat di depan kedua orangtua nya, “Juna ga pernah ada pikiran kaya gitu, sedari dulu Juna memang mau melakukan itu semua”

“Juna ga berani untuk bohong di depan kalian” ujarnya dengan pelan.

“Saya masih ga percaya sama ucapan kamu tadi. Jika saya tawarkan untuk membiayai kamu kuliah bagaimana?” Juna tersentak, ia menatap sang papa.

“Maaf, Pa. Juna memang mau menerima tawaran-nya namun Juna merasa tidak pantas untuk mendapatkan hal itu, Juna masih tetap di pendirian awal”

“Kesempatan tidak datang dua kali, Juna” Mama nya turut menimpali.

Juna tersenyum di depan kedua orangtua nya lalu menggeleng, “Juna gamau ngerepotin kalian lagi dengan menerima tawaran itu. Selama ini, kalian sudah terlalu banyak berkorban untuk Juna. Cukup sampai Juna lulus sma saja kalian berkorban, setelah itu biarkan Juna berusaha untuk membalas semuanya”

Juna menunduk, menatap meja makan itu dengan sebuah senyuman.

“Walau Juna ga janji bisa membalas semuanya dengan sama persis” lirih nya.

“Kamu benar-benar menolak ya? Yasudah, saya tidak akan menawarkan ini kembali. Jangan menyesal” ucapan dari papa nya langsung dibalas dengan sebuah anggukan juga senyuman dari Juna.

“Pa, Ma”

“Juna ga akan pernah menyesal untuk lebih memprioritaskan kalian lebih dulu di bandingkan diri Juna sendiri”

Deg!

“Apa alasan kamu?” Juna menatap Mama nya dengan bingung lalu tersenyum tipis dikala ia tahu maksud pertanyaan dari sang mama.

“Juna mau ngelakuin itu semua karena Juna sayang banget sama Mama dan Papa”

Setelah berucap seperti itu Juna langsung berdiri dari duduknya, ia masih tersenyum di depan kedua orang tua nya yang terdiam.

“Makasih atas semua pengorbanan kalian selama ini karena mengurus Juna, Terimakasih banyak karena telah merawat Juna hingga sebesar ini” Juna membungkukkan sedikit tubuhnya di depan kedua orangtua nya.

“Juga maaf karena Juna belum bisa memenuhi keinginan kalian. Maafkan Juna yang telah datang ke hidup kalian, Maaf” Juna masih setia membungkukkan tubuhnya, diam-diam dirinya menangis saat mengucapkan itu semua.

“Maaf Ma, Pa. Juna sayang banget sama kalian berdua” setelah itu Juna langsung kembali berdiri, ia tersenyum di kala orangtua nya memilih untuk tidak melihat kearahnya.

Tak apa, Juna. Setidaknya mereka mendengarkan ucapan kamu tadi.

“Kalau begitu, Juna pamit keluar sebentar ya” ujarnya dengan lembut.

“Juna janji cuman sebentar kok, Ma” Sang Mama hanya membalas sambil mengangguk tanpa melihat ke arah anaknya.

“Pa, Juna pamit”

Setelah itu, Juna langsung berjalan menuju pintu utama rumah itu.

Sejenak ia menggenggam knop pintu dengan erat, memejamkan kedua matanya kemudian membuka pintu itu.

Pantulan cahaya matahari yang sangat terang pun menelan tubuh Juna, seakan menjemputnya lalu membawa Juna pergi.

Semua nya sudah terpenuhi, Juna.

Mama Papa, Thankyou, sorry and I love you