Dokter kesayangan.
Juna berjalan menuju kearah klinik yang sering ia kunjungi itu, kaki nya melangkah dengan ringan seakan tidak ada beban apapun di pundaknya.
Memang tidak seperti biasanya.
Di hari-hari sebelumya, ia akan berjalan dengan sangat berat kearah klinik tersebut. Tapi kali ini rasanya sangat berbeda.
Panas terik pun tidak membuat diri Juna merasa buruk.
Aneh, namun Juna rasa hal ini justru hal yang baik.
Tok tok tok
“Dokter brian”
Juna menunggu adanya jawaban di depan pintu tersebut.
“Silahkan masuk” mendengar suara sang pemilik ruangan, Juna langsung membuka pintu itu dan nampaklah sebuah ruangan yang sering ia kunjungi.
“Selamat siang, dokter Brian” sapa Juna dengan senyuman nya, sang dokter pun membalas sapaan itu sambil tersenyum juga.
“Siang, duduk dulu ya”
Juna menuruti ucapan dokter tersebut, ia duduk di sofa yang nyaman itu sambil menatap ruangan bernuansa minimalis juga penuh dengan aroma khas obat. Dokter Brian turut duduk di sofa dekat Juna sembari memberikan segelas air putih pada pemuda manis itu.
“Minum dulu, Jun” Juna mengangguk kemudian meminum air itu hingga setengahnya tandas.
“Apa kabar?” Ujar sang dokter dengan lembut sembari menyiapkan beberapa alat khusus-nya.
“Sangat baik! Dokter Brian sendiri gimana?” Tanya Juna dengan antusias.
“Baik juga. Nah, kita cek detak jantung dulu ya?” Juna mengangguk.
Dokter Brian langsung melakukan tugasnya, “Tarik nafas pelan-pelan, Juna” sang empu langsung mengambil nafasnya.
“Hembuskan” Juna menghembuskan nafasnya dengan pelan, dokter Brian tersenyum tipis lalu mengangguk.
Sang dokter pun kembali membereskan alat-alatnya dan hal itu membuat Juna mengernyit bingung, “Udah, dok?” Tanya nya dan dokter Brian langsung menggeleng.
“Belum. Kita belum masuk kedalam sesi cerita kita” ujarnya dan Juna langsung mengangguk paham.
“Jadi, apa yang membuat kamu senang akhir-akhir ini?” Tanya dokter Brian sembari memegang sebuah buku kecil juga pulpen.
“Em, banyak! Dari mulai langit yang akhir-akhir ini indah banget, dok!” Dokter Brian mengangguk setuju.
“Iya, apalagi langit malam selalu menampakkan bulan dengan jelas. Kemudian?”
“Sahabat-sahabat Juna!” Dokter Brian menatap Juna dengan alis sebelah yang sedikit diangkat.
“Mereka selalu ada buat aku, dok. Aku juga beberapa kali, cerita tentang diri atau masalah aku ke mereka”
“Bagus, Juna. Kamu hebat” senyum Juna kian mengembang.
“Jadi, kamu sudah bisa sedikit-sedikit membuka jati diri kamu sendiri di depan mereka?” Juna mengangguk.
“Lalu?”
“Masalah aku sama sepupu aku udah mulai teratasi dengan baik, dok” Dokter Brian tersentak dan menatap mata Juna. Sang dokter tidak menemukan sirat kebohongan, ucapan pasien muda nya ini benar-benar jujur.
“Astaga, Juna. Saya turut bahagia atas itu, kamu benar-benar hebat” Juna lagi-lagi tersenyum.
“Bagaimana perasaan kamu? Apakah masih sering merasakan sesak atau panik?” Juna menggeleng dan dokter Brian langsung tersenyum lebar.
“Aku udah mulai biasa dengan semuanya, dok. Aku bener-bener ngikutin saran dokter brian juga. Kalo mau nangis ya aku bakal nangis, aku mau marah ya bakal marah” Dokter Brian menatap haru Juna.
“Bagaimana dengan obat itu?” Juna terdiam sejenak dan hal itu membuat dokter Brian sedikit merasa khawatir.
Namun senyum cerah Juna yang tiba-tiba muncul membuat dokter Brian sedikit merasa lega, “Aku bahkan lupa sama obat itu, dok”
Tanpa sadar, dokter itu menjatuhkan air matanya. Matanya menatap Juna yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumya.
“Eh, dokter kok nangis?!” Ujarnya dengan panik dan dokter Brian langsung tertawa kecil sambil mengusap air matanya.
Dokter itu baru menyadari jika pemuda manis yang ada didepan-nya ini dari awal datang dengan sebuah senyuman ringan, dari cara berjalan yang nampak sangat mudah tidak seperti sedang diseret paksa, binar matanya yang terlihat lebih bersinar, juga wajahnya yang kian berseri.
Ini perubahan yang pesat dan sungguh membuat Dokter Brian bahagia.
“Dok, kok nambah nangis” Juna berucap sembari menyerahkan beberapa lembar tisu pada sang dokter kesayangannya.
“Saya bahagia, Juna. Sangat bahagia” ujarnya dengan suara yang lembut. Hati Juna saat mendengar kalimat itu langsung merasa hangat.
“Kali ini kabar baik ya, dok?” Tanya nya dengan pelan, sang dokter langsung mengangguk semangat.
“Iya, Juna. Perubahan kamu yang drastis ini sangat membuat saya terharu juga bahagia” Juna tersenyum lebar.
“Kamu hebat, Juna. Kamu hebat karena sudah berjuang sampai saat ini”
Juna menundukkan kepalanya, air matanya dengan perlahan juga turut keluar.
Juna bukan bahagia karena sakit nya yang mulai membaik, dirinya bahagia hingga menangis karena melihat dokter kesayangannya itu.
Melihat sang dokter sampai menangis haru hanya karena ini, Juna merasa dirinya sudah memberikan sebuah kebahagiaan kepada orang yang ia sayangi.
“Juna” sang empu pemilik nama langsung mengangkat kepalanya, ditatapnya sang dokter sembari menghapus bekas air matanya.
“Terimakasih sudah berjuang sampai di titik ini” Juna tersenyum.
“Dokter, aku boleh peluk—”
“Boleh, Juna” mendengar hal itu Juna langsung mendekat kearah dokter itu lalu memeluknya dengan erat.
Juna merasakan punggung nya yang di usap dengan lembut, air matanya kembali turun. Juna menyembunyikan wajahnya di bahu dokter itu sembari bergumam,
“Terimakasih juga, dokter Brian. Terimakasih sudah merawat Juna selama ini, dokter Brian juga sudah berjuang dengan baik”
Sang dokter tersenyum bangga, ia menepuk punggung Juna beberapa kali. “Kamu pasien kesayangan saya, Juna” ucap dokter Brian dengan lembut.
“Dokter Brian juga dokter favorit juga kesayangan, Juna. Terimakasih atas semua jasa dokter Brian selama ini”
“Sama-sama, anak baik. Saya harap kamu bisa sembuh total di masa depan nanti”
“Semoga, dok. Semoga”
List nya yang belum terwujud kini tersisa satu lagi.