Aksararen

cw // kiss

Jero dan Jendral saling bertatapan lalu menyunggingkan senyum tipis kemudian tatapan mereka kembali di alihkan pada pemuda manis yang sedang memberikan makan ikan-ikan di sungai.

Entah pemuda ini sadar atau tidak, tapi rasanya ia sudah membuat dunia sendiri. Melupakan dua orang yang membawanya ke tempat indah seperti ini.

Tapi dua orang yang membawa si manis pun hanya diam, membiarkan juga memperhatikan dia dengan tenang. Di temani suara gemercik air sungai, senandung kecil dari si manis juga angin yang berhembus dengan sepoi-sepoi. Suasana yang tenang dan menyenangkan.

Lima belas menit mereka bertahan dalam situasi tersebut, hingga akhirnya Jero merasa bosan.

“Raka, emang ikan sungai nya ganteng? Ampe lo kacangin kita berdua” Raka menolehkan kepalanya kemudian tertawa kecil saat melihat wajah dua pemuda yang sepertinya sudah mulai bosan.

Berdiri dari duduknya kemudian berjalan kearah si kembar, ia membungkukkan tubuhnya untuk mengusap dahi si kembar yang sedikit berkeringat dengan sapu tangan yang ia bawa. Di mulai dari Jero kemudian Jendral dan di akhiri dengan senyuman manis.

Jangan di tanya bagaimana keadaan kembar sekarang, intinya mereka merasa sangat sulit bernafas. Raka membuat dada mereka terasa sesak yang bukan membuat sakit malah membuat bahagia.

“Maaf, gue udah lama ga main di tempat semacam ini” Ucapnya sembari mengambil duduk di tengah-tengah mereka berdua.

Si kembar kini tengah memfokuskan pandangan mereka pada si manis. Sedangkan yang di pandang tengah menatap pemandangan yang ada di depan matanya sambil memikirkan banyak hal.

“Ga kerasa ya... kok udah mau kelas dua belas aja kita?” Gumaman Raka membuat si kembar terkekeh.

“Terus lo mau stuck di kelas sebelas?” Pertanyaan Jero membuat Raka mengangguk.

“Gue ga siap buat jadi anak kelas dua belas” dengan bibir yang sedikit cemberut.

“Tapi lo harus siap” Ujar Jendral sembari menyodorkan minuman kaleng pada Raka.

Raka menerima minuman itu dan langsung menegaknya, “Ah! Seger banget, emang soda paling enak di minum pas siang gini” Ucapnya sambil menatap kaleng minuman itu.

“Kaya lagi iklan aja, kapten” ujar Jero yang ternyata ikut menegak minuman kaleng tersebut.

“Lo seneng, Rak?” Raka mengangguk dengan antusias.

“Banget gila! Makasih udah ngajak gue ke tempat kaya gini!” Jero dengan refleknya langsung mengusak surai halus Raka dan mendapat respon erangan kesal dari sang empu.

Melihat mereka berdua, Jendral langsung berujar sesuatu.

“Raka, lo pernah penasaran ga sih kenapa kita berdua bisa suka sama lo?”

Baiklah, akhirnya topik yang membuat Raka susah tidur beberapa hari ini akan mulai di bahas.

“Hmmm, penasaran. Emang kenapa kalian bisa suka sama gue?” Si kembar saling bertatapan sebentar kemudian Jero pun bersuara.

“Di mulai dari gue. Kenapa gue suka sama lo? Awalnya karena gue terbawa suasana sama semua perlakuan lo. Terutama pas lo masangin dasi gue. Jujur aja, Rak. Lo orang pertama yang kasih gue perhatian segitunya, gue jadi ngerasa di sayang dan di lihat. Yah, selanjutnya gue malah makin jatuh sama pesona lo yang emang menarik banget di mata gue” Penjelasan yang jelas dan tegas dari Jero, entah mengapa membuat Raka jadi sedikit salah tingkah.

Ehem. Oke, kalo Jendral?”

Jendral tersenyum kecil, “Karena lo orang pertama yang ga mandang rendah tentang hobi gue, ngoleksi ganci. Lo juga yang selalu lihat gue apa adanya, ga kaya orang-orang yang suka lihat sisi sempurna gue doang. Terakhir yang paling penting, karena lo emang layak buat di cintai” Raka kembali berdehem pelan, ia tengah meredakan dirinya yang di landa serangan banyak panah cinta.

“Bukan karena gue manis?” Oke, Raka mengaku ini pertanyaan konyol tetapi sepertinya si kembar menganggap itu pertanyaan serius.

“Itu alasan utama juga pelengkap!” Seru keduanya dan Raka langsung menatap mereka dengan terkejut.

“Anjir, gue cuman bercanda!”

“Tapi itu fakta kok” Ucap Jendral dan Jero mengangguk setuju.

“Ah, udahlah! Jangan bikin gue salting!” Jero dan Jendral pun hanya tertawa saat melihat wajah Raka yang kian memerah.

Lucu!!

“Sekarang lo, Rak. Apa lo juga ngerasain apa yang kita rasain?” Pertanyaan Jendral membuat Raka diam sejenak.

Ia mengambil nafas lalu menghembuskannya, “Gue.... gue jujur ngerasa dilema banget sama keputusan apa yang harus gue ambil” Ucap Raka sambil memainkan jemari nya.

“Pulang dari acara kita yang main bertiga waktu itu. Di kamar, gue langsung mikirin banyak hal. Apa jawaban yang gue mau bilang ke kalian, apa yang harus gue lakuin? Pilihan apa yang harus gue ambil? Gue bener-bener bingung” Raka menjeda kalimatnya untuk mengambil nafas dengan berat dan hal itu di lihat oleh si kembar yang sedari tadi membisu.

“Tapi di satu sisi gue mempertanyakan ke diri gue, apa gue emang pantes buat milih di antara kalian? Gue emang pantes buat dapetin cinta yang kaya gini? Gue ga dapet jawaban rasional nya But in the same time sisi egois gue bilang, Iya, gue pantes buat dapetin ini” Mata Raka kini menatap pohon-pohon yang bergerak mengikuti arah angin berhembus.

“Ini bukan keputusan yang sulit di ambil kalo gue sadar dari awal, sepenting apa kalian di hidup gue. Sayangnya, gue masih denial. Maaf ya, kemaren-kemaren gue ngasih lo semua perhatian yang pada akhirnya bikin kalian ngerasa di gantung. Contohnya, pura-pura ga sadar kalo kalian suka sama gue. Itu gue masih di denial soalnya, hehe”

Jendral dan Jero mengangguk pelan. “Gapapa, Rak. Gue juga pernah ngalamin denial itu” Ujar Jero dan Raka hanya tersenyum tipis.

“Selanjutnya, langkah terakhir yang gue ambil buat ngambil keputusan adalah curhat ke Gema. Gue bilang ke dia kalo gue takut tapi dia bilang ke gue buat jangan takut karena dia tau kalian bakal nerima semua keputusan gue”

“Gema bener kok, lo jangan takut sama keputusan yang lo ambil hari ini. Karena yang kita mau keputusan lo hari ini bisa buat lo bahagia di masa depan” Ucapan Jero saat ini terdengar tulus dan hati Raka seketika menghangat.

“Akhirnya, gue nemu apa jawaban yang cocok buat hari ini” Raka masih menatap kearah depan, mengabaikan tatapan gugup dari si kembar.

“Yang perlu kalian tau, peran kalian dalam hidup gue baru-baru ini banyak dan kalian saling melengkapi” Raka menjeda untuk mengurangi rasa gelisahnya.

“Gue tau seberapa besar cinta kalian ke gue”

Rak, gue gugup ini.

Diam sejenak hingga suara Raka membuat detak jantung si kembar seakan-akan berhenti berdetak.

“Nama kalian punya posisi yang sama di hati gue”

Deg!

“Gue suka sama kalian berdua”

Raka menatap si kembar dengan sebuah senyuman lebar, tangan mungilnya pun kini menggenggam dengan lembut tangan si kembar.

“Gue tau ini keputusan yang sulit di percaya dan mungkin kalian ngerasa keberatan—”

“Engga, kita ga keberatan sama sekali!” Raka menoleh kearah Jero dengan tatapan terkejut.

“Eh?”

Jendral mengecup punggung tangan Raka yang di genggamannya itu dengan lembut. “Keputusan yang bagus, sayang” ujar Jendral dengan suara rendahnya.

“Iya, karena ini juga yang kita mau. Agak berat memang untuk berbagi, tapi ini keputusan yang tepat karena kita berdua jadi punya seorang Raka. Makasih, Little captain” Ujar Jero setelah itu mengecup pelipis Raka dengan lembut.

Sebentar, Raka tengah nge-blank. Terlalu banyak yang terjadi dan entah ia harus merasa bahagia atau heran atau malah takut?

“Kalian....” Raka menoleh kearah kanan kiri nya dengan cepat dan yang ia temukan hanya pemuda dengan senyum bahagia.

“Hah?!”

Jero dan Jendral terkekeh pelan saat melihat wajah bingung Raka. Gemes.

“Oke, mulai hari ini Raka jadi milik si kembar Jero dan Jendral” Ujar Jero.

“Dan si kembar Jero dan Jendral jadi milik Raka seorang” Tambah Jendral.

Raka diam sejenak kemudian tertawa, astaga apa-apaan situasi saat ini?! Aneh namun ia bahagia.

Cup!

Cup!

Yes, from today on I belong to both of you!

thank you for your feelings for us, little captain

we will make you happy, we promise

Selamat untuk kalian bertiga, semoga hubungan kalian berjalan lancar dan penuh kenangan indah.

Sanubari mereka terasa penuh dengan rasa bahagia.

Jero tersenyum tipis kala melihat seseorang yang mengadakan pertemuan dadakan pada malam ini.

“Nih” Ucap orang tersebut sembari memberikan sekaleng minuman soda.

“Makasih” ujarnya kemudian Jero langsung meneguk minuman itu dan orang tersebut duduk di bangku yang ada di sebelahnya.

“Lo pasti penasaran kan, kenapa gue ngajak lo ketemu malem-malem gini?” Jero pun mengangguk sembari meletakkan kaleng minuman itu diatas meja.

“Sebenernya gue mau jujur....”

Deg!

Jero sontak mengulum bibirnya dan memusatkan perhatiannya pada orang itu. Walaupun pikirannya sedang kacau karena banyaknya pertanyaan yang muncul, tapi ia mencoba untuk tetap santai.

“Lo dulu penasaran kan? Kenapa dulu di pertemuan pertama kita, gue cendrung cuek dan judes ke lo. Padahal kalo ke Jendral, gue malah biasa aja” Raka menundukkan kepalanya dan Jero masih memilih diam.

“Sebenernya itu bukan karena gue benci lo atau gue lebih suka sama kembaran lo.... gue cuman—” Raka mengambil nafasnya kemudian menatap mata Jero.

“—Gue gabisa lupain tentang kejadian waktu smp dulu” saat melihat Jero ingin mengeluarkan suara nya, Raka lebih dahulu menyela.

“Iya, kita satu smp. Lo mungkin lupa sama gue, karena ya wajar aja sih lo lupa sama gue. Dulu penampilan gue ga kaya gini” Alis sebelah Jero seketika terangkat, tanda ia makin bingung dengan ucapan Raka.

Raka tersenyum tipis saat melihat Jero, “Gue—” lagi-lagi kalimatnya tercekat.

Setelah mencoba menanangkan dirinya, Raka kembali mencoba bersuara. “Gue pernah ketemu sama lo, beberapa kali di smp. Di berbagai situasi, entah itu takdir atau kebetulan”

Jero makin membisu, ia terus berpikir apakah memang ia pernah bertemu dengan Raka. Terus di coba, hingga munculah satu ingatan yang tidak terduga.

“Jer, gue gatau lo udah inget atau belum tapi kayanya harus gue perjelas biar lo inget itu semua” Kembali, mata sejernih air itu ia bawa untuk menatap mata Jero.

“Gue pernah suka sama lo, Jer”

Jero langsung menegang. Matanya menatap Raka dengan terkejut.

“Bisa di bilang, lo cinta pertama gue” Raka berujar dengan kekehan pelan.

Namun suara kekehan itu membuat Jero merasakan perasaan yang tidak nyaman.

Seperti perasaan bersalah.

“Dan lo patah hati pertama gue” menutup ucapan itu dengan senyuman tipis juga mata yang sendu.

Panah tak kasat mata rasanya menembus ulu hati Jero.

Astaga, bisa-biasanya ia melupakan ingatan itu?!

“Rak”

“Gausah minta maaf, wajar aja lo nolak gue dulu. Tapi berkat tolakan lo waktu itu, gue jadi bisa berubah menjadi lebih baik. Lo bisa liat gue sekarang, kan?”

Cukup, Jero rasanya tidak sanggup berada di hadapan Raka.

Ia merasa malu, marah, dan syok.

“Maaf” hanya kata itu yang dapat Jero katakan dan Raka hanya bisa tersenyum kala mendengar hal itu.

Puk!

Tepukan lembut di puncak surainya Jero rasakan dan tentu saja ia tahu siapa yang melakukan itu.

“Gapapa, kan gue udah bilang gausah minta maaf” beberapa tepukan ia berikan pada Jero hingga di tutup dengan sebuah elusan lembut.

“Harusnya gue yang minta maaf, karena gue malah bersikap kaya anak sd gitu. Maaf ya, Jer? Pasti lo kepikiran karena sikap gue yang jutek itu dulu” Jero dengan perlahan mengangkat wajahnya kemudian menggeleng pelan.

“Wajar lo kaya gitu, Raka. Lo juga ga perlu minta maaf ke gue” Raka tersenyum lebar saat melihat wajah murung Jero.

“Oh, gitu?”

Anggukan Jero kala merespon pertanyaannya entah mengapa terlihat lucu hingga membuat Raka tertawa.

Jero yang mendengar tawa itu pun sontak memunculkan senyumannya. Seakan keramaian menjadi bisu, di telinga nya hanya dapat terdengar suara tawa Raka.

Jero sudah terlalu jatuh pada pemuda manis yang ada di sebelahnya.

“Lo kenapa bisa berubah kaya gini, Jer? Padahal dulu waktu smp, lo mirip banget kaya je—Oh...” Ucapan Raka terhenti kala sadar akan sesuatu.

“Pantesan” gumam Raka.

“Iya, Rak. Jero waktu smp itu jero yang lagi mencoba mirip kaya Jendral, mencoba buat menjadi sempurna. Mungkin hal itu yang bikin lo jatuh cinta ke gue deh” Tatapan Jero kini beralih kearah jalanan yang masih ramai dengan para pengendara.

“Karena gue mirip Jendral” gumaman Jero membuat Raka mengernyit tidak suka.

“Gue gaada bilang kaya gitu deh? Kan waktu itu gue gatau siapa Jendral” Jero seketika menoleh dengan raut bingung.

“Tapi kan gue dulu mirip kaya Jendral”

“Terus apa? Waktu itu gue kan kenal nya lo itu Jero bukan Jendral. Mau semirip apapun lo waktu itu sama Jendral, gue liat lo sebagai Jero. Lo harus inget itu!” Jero terdiam sejenak kemudian tebitlah sebuah senyuman.

“Gue dulu kenapa nolak lo ya, Rak?” Sambil menumpukan wajahnya di meja dan menatap Raka dengan intens.

Raka berdehem singkat kemudian tanpa menatap Jero, ia mengangkat bahunya untuk merespon pertanyaan Jero.

“Lo dulu liat fisik gue yang jelek kali, jadinya nolak gue” Ucap Raka sebelum meneguk minumannya.

Jero diam sejenak kemudian berujar, “Kayanya bukan, gue emang lupa tapi gue yakin alasannya bukan itu. Bisa aja.... gue pas itu bingung harus jawab apa karena lo orang pertama yang nembak gue?”

Byur!

Itu suara Raka yang menyemburkan minuman yang ada di mulutnya karena terkejut. Jero sontak menegakkan duduknya kemudian menyerahkan sapu tangan yang ia bawa pada Raka.

Si manis menerima sapu tangan itu, mengusap area bibirnya yang basah, sembari mengalihkan pandangannya kearah lain untuk menyembunyikan gurat merah pada pipinya karena merasa sangat malu.

“Lo kenapa tiba-tiba gitu, Rak?”

“Ya, abisnya ucapan lo ga masuk akal! Mana ada, gue orang pertama yang nembak lo padahal waktu smp lo terkenal banget” Jero tersenyum kecil kemudian menatap sisi wajah Raka yang terlihat sangat lucu.

Kemudian hening melanda, mereka sibuk untuk menenangkan diri dari banyaknya pernyataan yang muncul malam ini.

Hingga Jero pun bersuara, “Kejadian itu, bikin lo trauma sama gue ga, Rak?” Raka yang mendengar hal itu langsung terdiam.

“Penolakan gue waktu itu... bikin lo takut buat naruh perasaan lo ke gue lagi ga, Rak?”

Raka masih saja diam dan Jero langsung berpikir bahwa jawaban dari semua pertanyaannya adalah, Ya.

Pupus sudah harapannya untuk menjadikan Raka sebagai kekasih hati, sepertinya ia akan tahu keputusan Raka lusa nanti.

Wah, sakit juga ternyata.

Jero tersenyum tipis kemudian menghela nafasnya, “Yaudah, kalo gitu—”

“Engga”

Suara Raka membuat Jero menatap pemuda itu dan tak lama kemudian Raka menatap dirinya dengan keadaan pipi yang memerah juga mata yang terlihat menyiratkan sedikit amarahnya.

“Sayangnya, engga Jer. Gue ternyata masih bisa naruh perasaan gue ke lo”

Anjir?!

Raka sekarang sedang memakan makan malamnya dengan lahap, tanpa mempedulikan dua pemuda yang tengah menatapnya dengan penuh cinta.

Yah, jujur ia sadar lagi di tatap. Tapi daripada nanti acara makannya tertunda, lebih baik dia berpura-pura tidak peduli. Biarkan Raka menikmati nikmatnya makan malam kali ini.

Waktu terus berjalan, hingga tak terasa Raka pun selesai dengan acara makannya. Sebelum menetap si kembar, ia memilih untuk mengusap bibirnya dengan tisu terlebih dahulu kemudian menghabiskan minumannya.

Selesai, kini matanya menatap dua pemuda yang sudah menemaninya seharian penuh. Ia melirik keadaan piring milik mereka dan ternyata mereka juga sudah selesai makan.

“Ini aneh, tapi makasih udah bikin gue seneng hari ini” ujar Raka dengan tulus dibarengi sebuah senyuman tipis.

Jero dan Jendral tersentak kemudian langsung mengalihkan pandangan mereka kearah lain dengan pipi yang semakin memanas. Raka mengangkat satu alisnya, tanda ia bingung dengan kelakuan mereka.

“Kenapa?” Tanyanya dan Jero langsung berdehem.

“Emang senyum lo itu kayanya semakin hari semakin manis ya, Rak?” Ucapan Jero mendapatkan respon yang berbeda-beda.

Dari Jendral yang menatap kearah lain sambil menahan tawa dan Raka yang menunduk karena menyembunyikan wajah malunya. Pipi mereka semua terasa panas di waktu bersamaan.

Keheningan diantara mereka membuat Jendral memberanikan diri untuk menatap Raka. “Rak, lo masih inget sama kejadian pelukan kita waktu itu?” Pembahasan yang Jendral mulai membuat pandangan Jero dan Raka fokus kepadanya.

“Hah? Beneran lo pernah pelukan ama dia?” Jendral memutar bola matanya, kemudian mengacuhkan pertanyaan Jero.

“Hm, gue inget. Emang kenapa?” Jawab Raka dengan pandangan bingung.

Jendral tersenyum tipis, “Gue udah ga perlu jadi sempurna lagi” ucapnya dengan nada yang ringan.

Baik Jero maupun Raka langsung terkejut, namun beberapa saat kemudian senyum lebar Raka terbit. Hingga tak lama Jero pun ikut bersuara.

“Gue juga, Rak. Gue udah ga di tuntut lagi, mereka udah tau kalo gue sama kembaran gue ini beda” Mata Raka membulat kemudian menutup mulutnya dengan tangan saking tidak percaya nya.

“Kalian serius?”

Keduanya mengangguk. Raka masih tidak percaya, namun di sisi lain ia bahagia. Ah, ia baru sadar jika seharian ini mereka terlihat sangat akrab. Bahkan candaan yang mereka lontarkan antar satu sama lain terdengar sangat ringan, pantas saja Raka sedikit merasa damai.

Astaga, kenapa rasanya ia ingin menangis karena kemajuan yang mereka alami?

Bukan lagi rasanya, karena air matanya benar-benar menetes saat ini. Tentu saja hal itu membuat si kembar panik kemudian mereka menyerahkan selembar tisu pada Raka.

Namun bukannya di terima, yang mereka dapatkan adalah Raka yang tengah tersenyum cerah di sela tangisnya. Sembari mengusap air mata yang jatuh dan semua itu membuat dada Jero maupun Jendral terasa sangat hangat.

“Bagus, berita yang bagus. Gimana nih? Saking bagusnya, gue ampe nangis”

Entahlah, Raka juga tidak mengerti dengan dirinya. Harusnya ia tidak sampai seperti ini, tapi kenapa ya? Kenapa berita yang si kembar ucapkan tadi membuat dirinya sampai menangis bahagia begini?

Apa mungkin rasa pedulinya pada mereka sangat besar? Ah, tentu saja. Iya, sangat logis karena selama ini mereka selalu datang padanya. Menceritakan tentang keresahan mereka padanya, memberikan yang terbaik untuk membuat dirinya senang, dan yang terpenting ia tahu bagaimana perasaan mereka padanya.

Bagaimana ini? Jangan-jangan dirinya juga merasakan apa yang mereka rasakan?

Jero tersenyum kemudian tangannya terulur untuk mengusap puncak surai Raka, “Makasih karena selalu dengerin cerita gue dan adek gue, makasih Raka” ujarnya dengan suara lembut.

Jangan begitu, nanti gue jadi suka sama lo.

Jendral pun kini memegang tangan kiri Raka yang ada di atas meja, ia mengelus punggung tangan itu dengan lembut dan menggenggam nya.

“Rak, makasih karena lo udah bikin gue ama jero berubah. Makasih banyak, ini semua berkat lo. Kita jadi lebih bahagia sekarang”

Jen, gue jadi nambah bahagia. Jangan bilang gitu.

“Kalian jadi lebih bahagia?” Pertanyaan Raka mendapatkan anggukan yakin dari si kembar dan kekehannya pun sontak keluar.

“Kalian emang lucu kalo udah akur gini, di masa depan nanti jadi lebih akur ya? Enak di pandang tau kalo kaya gini”

Jero dan Jendral saling menatap kemudian tersenyum, “Di ajak buat akur kita, Jen”

“Ya, lo tuh jangan ngejek gue mulu makanya”

“Siap, Adikku~”

“Anjing”

Alunan tawa dari Raka membuat keduanya menoleh kemudian tersenyum tipis.

Cantik, dia selalu cantik dan manis.

“Jangan berantem, kan gue suruh akur tadi” Tangisan nya sudah berhenti dan berganti dengan tatapan yang dibuat garang.

“Ampun, harimau kecil marah nih” Sontak tangan Jero pun di pukul menggunakan sendok oleh Raka.

“Jangan ledekin gue!”

“Iya, iya. Bercanda doang sayang~ abisnya lo lucu kalo lagi mara—Aww! Iya, maaf!”

Jendral tertawa kecil kemudian tangannya bergerak untuk mengusap pipi Raka yang masih ada jejak air mata menggunakan tisu.

“Jangan pergi dari kita ya, Rak? Lo itu bahagia nya kita berdua dan lo pasti tau itu kan?” Ucap Jendral sambil menyudahi usapan pada pipi Raka.

Raka terdiam sejenak kemudian kepalanya menunduk sambil mengatakan sesuatu dengan pelan.

“Kalian sayang sama gue ya?”

Si kembar tersontak, bahkan Jero yang tengah minum pun langsung tercekat namun dengan cepat ia menelan minuman itu kemudian menjawab ucapan Raka dengan tegas.

“Sangat! Bahkan kalo lo suruh gue buat berhenti tawuran pun gue sanggup, asal itu bikin lo seneng” Jendral menatap Jero dengan malas dan mendengus pelan.

Sedangkan Raka? Wah, pipi dia sudah bersemu sangat merah saking malunya.

“Blak-blakan banget” gumam Raka sambil mengeratkan genggaman tangan di ujung bajunya.

“Yah, Raka. Lo juga pasti tau kan, gimana perasaan kita ke lo. Tinggal kita yang mau tau perasaan lo gimana. Lo sayang ama kita berdua atau salah satu dari kita doang?”

Pertanyaan Jendral membuat Jero menatap kembarannya sebentar kemudian menatap Raka.

“Gue gatau...”

Puk!

“Gapapa, santai aja. Jangan dibawa pikiran, tapi kalo bisa lo jawab pertanyaan itu secepatnya sih” ucapan Jero sambil menepuk pucuk kepala nya, membuat Raka mengangkat wajahnya.

Wajah yang memerah karena menahan tangis juga malu dan jangan lupakan bibir yang melengkung karena bingung, astaga! Pemandangan yang terlalu menggemaskan untuk si kembar!

Gue ga kuat anjing.

Lo pikir lo doang? Gue juga ga kuat, sat.

“Harus banget gue jawab?”

Jendral berdehem lalu mengangguk, “Lo harus, biar ga bikin kita bingung terus” dan Raka langsung menghela nafas.

“Kita kasih waktu sampai bagi rapot selesai gimana? Sehari setelah bagi rapot, kita ketemu lagi dan lo bisa ngasih jawaban lo ke kita” ucap Jero.

“Yaudah... nanti gue jawab”

Senyum si kembar muncul, “Oke, sekarang ayo pulang!” Ucap Jero.

Si kembar mulai beranjak dari duduknya namun Raka masih diam, hingga kalimat yang Raka lontarkan membuat pergerakan mereka terhenti.

“Apapun jawaban gue, kalian bisa nerima itu kan?”

Mampus.

Partanyaan atau pernyataan itu?!

They feel happy.

cw // mentioning cigarettes.

Jero yang sedang berada di ruang makan kini beralih ke ruang tamu. Duduk di salah satu sofa, sambil menatap punggung kembarannya yang sibuk merapihkan tatanan rambut. Diam sejenak kemudian dirinya memilih bersuara.

“Mau kemana?” Yang ditanya melirik sedikit.

“Ketemu Raka”

Jawaban yang singkat namun Jero langsung tegang. Di otaknya muncul beragam pertanyaan hingga ia teringat akan sesuatu.

“Pengakuan itu?” Tanya nya dengan nada yang sedikit ragu.

“Hm” Baiklah, Jawaban dari Jendral langsung membuat Jero bagaikan tersambar petir.

“Jen”

“Apa?”

“Lo mau bilang ke dia? Tentang perasaan lo?” Jendral sontak menghentikan tangannya yang sedang menata rambut.

Helaan nafas keluar hingga membuat Jero sedikit merasa bersalah, namun mau bagaimana lagi? Dirinya juga sedang merasa takut.

Takut Raka akan pergi darinya nanti.

“Mumpung bunda sama papa ga dirumah, gue mau ngelakuin apa yang gue mau” Jawabnya tanpa menoleh kearah sang kembaran.

“Jen”

“Apasih, Jer?!” Kini wajah itu menatap Jero dengan raut yang kesal.

“Lo mau nahan gue? Nahan buat ga ungkapin perasaan gue ke raka?!” Kilatan amarah di matanya membuat Jero tersentak.

“Bukan gitu, Jen...”

“Terus apa?”

“Gue takut kalo Raka milih lo... dan jauhin gue nantinya” Jero berujar dengan suara pelan dan kalimat lain di dalam hati.

Jendral langsung berdecak, ia menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap Jero dengan pandangan tidak percaya.

“Kenapa kalo dia milih gue, Jer? Lo takut?” Mata keduanya kini tengah beradu.

“Harusnya gue yang ada di posisi itu, gue yang harusnya ngerasa takut” Jero mengernyitkan alisnya.

“Kenapa lo takut?”

“Karena lo selalu berhasil dapetin apa yang gue mau”

Deg!

Jero seketika merasakan nyeri di dadanya saat mendengar kalimat itu. Ia tambah merasa bingung dengan kembarannya.

“Emang apa—”

“Apa yang gue mau dan lo dapetin itu semua? Banyak! Mau gue kasih tau semuanya?!”

Baik, aura diantara mereka kian memanas. Nampaknya dari awal Jero dan Jendral tidak berada di mood yang baik hari ini.

“Lo selalu dapet semuanya, Jer. Jadi buat kali ini aja, please biarin gue dapetin apa yang gue mau. Gue butuh Raka banget, demi Tuhan!” Mata Jendral kian memanas dan Jero semakin bingung untuk merespon bagaimana.

“Tapi kehidupan lo sekarang sempurna banget, Jen. Gue bahkan iri sama lo—”

“Tapi bukan ini yang gue pengen. Bukan kehidupan kaya gini yang gue mau” Ujar Jendral setelah itu ia mengusap wajahnya dengan kasar.

“Gue yang naksir Raka duluan, Jer. Jangan ngerasa gue yang rebut dia dari lo, karena kenyataannya bukan gitu” Sinis, Jendral terlihat sangat sinis di depan Jero.

Tatapan itu, Jero baru pertama kali lihat dan jujur saja ia sangat merasa sakit.

“Perasaan itu dateng sendiri, Jen. Gue juga gatau kalo gue bakal suka sama Raka juga. Maaf karena kesannya gue ngambil dia dari lo, tapi kita udah sepakat kan? Bersaing secara sehat dan terima apapun keputusan Raka” Jelas nya dan tak lama kemudian suara tawa Jendral menggema.

Jero menatap sang adik dengan terkejut. Kenapa dia malah tertawa?

Sampai tawa Jendral mereda, tangannya menyeka air mata yang keluar sebab tertawa kemudian menatap Jero dengan pandangan yang sulit di artikan.

“Nyatanya lo yang ga siap sama jawaban Raka kan, Jer?”

Jero bungkam. Ucapan Jendral sangat tepat sasaran.

Jendral menghela nafasnya kembali, “Padahal sebelum gue ngelakuin ini semua banyak hal yang gue siapin, banyak hal yang gue pikirin, dan ini momen yang gue tunggu-tunggu. Tapi lo malah nahan gue, bikin gue terlambat buat nemuin Raka”

Jendral sedikit menunduk saat berucap seperti itu, matanya kini menatap lurus gantungan kunci berbentuk rubah yang sedari tadi ia genggam.

“Gue cuman mau ngakuin perasaan gue, bukan ngajak dia pacaran. Kalaupun dia suka sama gue juga, ya buat apa gue lepas kan? Langsung aja gue jadiin dia milik gue” ujar Jendral sembari mengeratkan genggamannya pada gantungan kunci itu.

“Gue ga berharap banyak kalo Raka juga bales perasaan gue, karena gue tau kalo gue mungkin kalah sama lo. Buat urusan percintaan, gue selalu kalah sama lo, Jer. Semua orang yang gue taksir malah naksir sama lo. Waktu itu ya gue gapapa, karena gue masih di tahap naksir. Tapi buat yang kali ini—” Kepala yang tadi menunduk itu mulai terangkat untuk menatap Jero yang terdiam, mematung di duduknya.

“—Untuk yang kali ini, gue mau berjuang sampai dia suka balik sama gue, karena gue bukan di tahap naksir lagi” Sebelah bibirnya terangkat setelah berujar seperti itu.

“Gue juga cinta sama dia” Ucapan Jero hanya di respon anggukan dari Jendral.

“Gue tau. Raka emang pantes buat di cintai banyak orang, tapi gue mau cintanya dia cuman buat gue”

“Serakah”

“Gue serakah? Yah... emang fakta sih”

Jero kini menatap Jendral dengan kilatan amarah.

“Lo udah terlalu banyak dapet banyak cinta dan kasih sayang dari orang lain” sebelah alis Jendral terangkat. Ia memilih diam, membiarkan Jero selesai dengan ucapannya.

“Lo dapet semua cinta dari bunda dan papa, bahkan seluruh keluarga besar ngasih banyak cinta dan kasih sayang TAPI NGGA KE GUE!”

“Lo bilang itu semua cinta dan kasih sayang? Padahal lo tau, gue ada di posisi yang serba salah?” Jendral akhirnya menanggapi.

“Lo pikir gue mau terus-terusan liat lo yang selalu di bandingin, di marahin, bahkan di tuntut sama bunda papa. LO PIKIR GUE MAU LIAT HAL MEMUAKKAN KAYA GITU MULU?! GUE JUGA CAPEK, BRENGSEK!”

Jero kian menegang, dia tidak menyangka bahwa Jendral akan menanggapi dengan begini.

“Jen—”

Prang!

Mata mereka langsung beralih kearah pintu utama dan disana terlihat dua orang yang Jendral sebutkan tadi.

Papa dan Bunda nya.

Benda yang jatuh adalah vas bunga yang mungkin baru saja mereka beli. Mereka datang di waktu yang tidak tepat.

“Bunda... Papa...? Kok kalian udah pulang?” Jero berdiri dari duduknya.

Kedua orang dewasa itu pun hanya diam mematung, menatap kosong kearah anak mereka.

“Kalian ngapain?” Ujar sang kepala keluarga.

“Kenapa teriak-teriak?” Ia bertanya lagi.

Jendral mengusak surainya, membuat apa yang sudah ia tata dengan rapih menjadi berantakan.

Sial.

“Gaada apa-apa, Bun, Pa” Jawab Jendral dengan suara yang ia coba untuk selembut mungkin.

“Jendral, maksud kamu tadi apa, nak?” Kini satu-satunya wanita disana pun bersuara.

Jendral diam sejenak, tangannya ia kepalkan dan bahu nya terasa bergetar.

Baiklah, mungkin memang benar ini harinya. Apa boleh buat.

Senyuman di bibir Jendral terbit, sampai kedua matanya juga memberikan senyuman.

“Jendral cuman lagi jujur kok, Bunda dan Papa”

Mereka semua menatap Jendral dengan tidak percaya.

“Jen, gausah aneh-aneh!” Jero memperingati Jendral dan pemuda bersurai hitam itu pun menatap Jero dengan dingin. Berbeda dengan ekspresi yang ia buat tadi.

“Lo mau terus-terusan ga dapet cinta dan kasih sayang yang lo bilang tadi atau gimana?” Jero langsung gugup, saking gugupnya, ia sampai tidak bisa menelan ludahnya.

Mereka semua tercekat mendengar penuturan Jendral.

“Maaf Bunda dan Papa, Jendral tau kalo kelakuan Jendral kali ini ga sopan. Tapi kayanya hari yang Jendral sangka ga akan datang, ternyata datang. Walau bikin rencana Jendral hari ini berantakan sih”

“Maksud kamu apa, Jendral?” Tanya sang kepala keluarga dengan nada datar.

“Pa, Jendral boleh minta buat ga lagi tutup mata ke aku dan jero?” Tatapan matanya ia lembutkan, agar tidak membuat api yang ia buat makin membesar.

“Kami bisa buat jadi apa yang Papa mau. Kami bisa buat Papa bangga, tapi dengan keahlian yang kami mau. Tanpa unsur terpaksa, tanpa Papa marahin, tanpa Bunda suruh, Jendral sama Jero bisa buat kalian bangga” Jendral menghentikan ucapannya sejenak untuk menetralkan berbagai perasaan yang ada di tubuhnya.

“Kalian pasti tau banget, walau kami kembar, tapi kami ini masih punya perbedaan. Kami manusia dan gabisa untuk jadi sama persis kaya yang kalian pengen. Jendral gabisa buat terus jadi sempurna dan Jero gabisa buat jadi Jendral”

Kedua orangtuanya memberikan pandangan yang sulit diartikan, hingga tanpa sadar setetes air mata pun jatuh dari mata Jendral karena tidak kuat menahan tebalnya api yang ia buat tadi.

Terlalu banyak yang ia rasakan dan kini mereka bercampur. Ini pertama kalinya Jendral merasa begini dan ia tidak suka, sungguh. Ia jadi terlihat lemah.

“Papa, Bunda, tolong berhenti buat suruh kami jadi orang lain ya? Karena kami gaakan bisa jadi orang lain itu”

Jero menatap punggung sang adik dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, di balik sikap acuh tak acuh milik Jendral, ternyata dia sangat peduli dengan dirinya.

“Maaf, Jendral. Maaf karena gue gabisa paham sama lo, harusnya gue yang bela lo, tapi kenapa...—maaf”

Jendral enggan membalikkan tubuhnya, ia tetap berada di posisinya dan menatap kedua orangtuanya yang kini masih terdiam.

“Maaf papa dan bunda jika ucapan jendral tadi bikin kalian sakit hati. Kalo kalian ngerasa jendral bukan lagi anak yang baik, kalian bisa bawa jendral ke tante jess....Lagi

Senyuman tipis terbit di bibirnya, “Tapi kalian harus tau satu hal, karena Jendral yang berterus terang tadi. Hati Jendral kerasa sedikit damai dan lega. Makasih karena udah dengerin aku sampai akhir”

Setelah berucap seperti itu, ia memakai jaket hitam yang ada di sebelahnya kemudian membalikkan tubuhnya untuk menatap Jero.

“Gue udah pernah bilang kan? Sifat kita emang beda, tapi tetep aja faktanya kita itu kembar. Pasti ada kesamaan. Kembar juga yang buat kita selalu paham tentang isi hati satu sama lain. Maaf buat ucapan kasar gue tadi” Jero mengangguk kecil lalu berjalan kearah Jendral.

Mereka berdiri berhadapan kemudian Jero menepuk bahu Jendral beberapa kali.

“Makasih. Dah sana lo temuin Raka, semoga aja tu anak ga marah. Urusan bunda sama Papa biar gue urus” Mereka saling tersenyum tipis lalu Jendral pun mengikuti ucapan Jero.

“Jendral pamit keluar bentar ya dan pasti pulang sebelum jam makan malam!” Serunya saat keluar dari rumah itu kemudian pergi menaiki motornya.

“Nah, Bunda sama Papa. Ayo duduk dulu, kita ngobrol sebentar”


Raka mendengus kasar, ia menatap layar kunci ponselnya kemudian berdecak.

“Udah tiga puluh menit dan dia ga dateng juga?! Sialan, ini gue di prank atau—”

“Halo, Raka”

Raka sontak menoleh kearah kirinya dan bertapa terkejutnya ia saat tau siapa yang menyapa dirinya.

“Kak melvin...”

Sang pemilik nama tersenyum, “Gue boleh duduk disini?” Raka hanya mengangguk dengan ragu.

“Gausah takut, gue ga akan nyakitin lo” ujarnya setelah duduk disebelah Raka.

Ya ga bakal nyakitin gue, tapi lo pernah bikin gue trauma buat deket-deket sama lo.

“Lagi nunggu orang?” Tanyanya sembari membuka bungkus rokok yang ia bawa, Raka pun menatap Melvin dengan sedikit sinis.

“Apa peduli lo, kak” Jawaban Raka membuat Melvin terkekeh sambil mementik api untuk rokok yang ada di belahan bibirnya.

“Sebelum itu, gue pengen bilang di sekitar kita ada tempat main anak-anak. Jadi kalo bisa jangan merokok” dengan nada jutek khas nya.

Melvin menarik rokok yang ada di bibirnya, kemudian mengeluarkan asap rokok tersebut di depan wajah Raka.

Raka langsung terbatuk karena hal itu. Bukannya meminta maaf, Melvin malah tertawa kecil melihat ekspresi Raka.

“Emang lo lucu banget, Rak. Jadi pacar gue mau?” Tanyanya sebelum kembali menghisap gulungan nikotin itu.

Raka berdecak, walaupun diluar ia terlihat nampak berani tapi didalam hatinya ia terus membatin agar Jendral cepat sampai.

Jen, tolongin gue.

“Tipe gue bukan yang kaya lo, kak” jawab Raka tanpa menoleh kearah Melvin.

Melvin menghembuskan asap dari rokok itu, menatap wajah Raka dari samping, sembari tersenyum ia mematikan rokok itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Tangan Melvin yang kini bebas pun bergerak untuk memegang sandaran kursi yang ada dibelakang punggung Raka.

Terkejut? Tentu saja Raka sangat terkejut. Ingij rasanya ia menampar laki-laki yang ada disebelahnya itu namun belum sempat ia merealisasikan keinginannya, Melvin sudah lebih dulu di tarik oleh seseorang.

Bugh!

Raka melotot tak percaya, karena baru saja Melvin di tonjok oleh... JENDRAL?!

SEJAK KAPAN ORANG ITU TIBA?! Pikiran Raka kacau namun keadaan dua orang yang ada didepannya lebih kacau.

“Gue udah bilang buat jauhin Raka kan?!” Jendral mengeratkan cengkrammanya di kerah baju Melvin.

Senyum miring Melvin berikan, “Gue gatau lo bakal dateng, kayanya Raka punya alarm ya buat manggil lo”

Kilatan amarah di mata Jendral sangat terlihat jelas oleh Raka, ia langsung berdiri kemudian memisahkan keduanya.

“Udah, Jen. Gue gapapa, mending kita pergi” bisik Raka dan Jendral langsung melepaskan Melvin.

“Jangan ganggu Raka lagi atau lo habis di tangan gue, bangsat!” Seru Jendral sebelum merangkul Raka untuk pergi dari taman itu. Meninggalkan melvin yang sedang mencoba berdiri.

“Lo gapapa, Raka?”

Raka tersenyum sembari mengelus tangan Jendral yang ada di bahu kanannya.

“Berkat lo, gue gapapa. Makasih karena udah dateng di waktu yang tepat”

Jendral mengangguk pelan, “Maaf karena gue ga dateng di waktu yang di janjikan”

“Gapapa, Jendral. Mending kita ke rumah gue ya? Luka di pipi lo perlu di obatin”

As you wish, little captain

Hari yang berantakan. Yah, mungkin memang belum saatnya.

Raka kini tengah menatap bingung kearah Jero karena keadaaan pemuda itu jauh dari kata baik-baik saja.

Bayangkan saja, ada seseorang yang datang dengan rambut yang tidak tertata, mata yang terlihat lelah, pakaian yang terkesan di pakai dengan terburu-buru, semua itu Raka lihat setelah ia membuka pagar rumahnya.

“Lo kenapa, Jer?” Itu pertanyaan pertama yang Raka ucapkan saat mata mereka bertemu.

“Ayo, keburu tutup indomar nya” Bukannya menjawab, Jero malah mengalihkan dengan topik lain.

Merasa ucapan Jero benar adanya, Raka hanya mengangguk kemudian naik ke motor Jero. Walaupun pikirannya tengah di serbu oleh beberapa pertanyaan yang tertuju pada pemuda di depannya ini, ia memilih untuk menunggu.

Menunggu waktu yang pas.

Motor itu Jero bawa melaju dengan kecepatan sedang nya, agar Raka tidak terlalu merasa kedinginan akan udara malam.

Perjalanan mereka menuju tujuan hanya di lingkupi dengan kesunyian, tidak ada satu pun dari mereka yang berniat membuka percakapan. Hingga tak terasa, mereka pun sampai.

Raka langsung turun dari motor itu setelah berhenti total. Tanpa menunggu Jero, ia melangkah dengan cepat memasuki minimarket tersebut untuk membeli barang yang memang ingin ia beli. Sedangkan Jero memilih untuk menunggu di luar, di kursi yang tersedia tepat di sebelah motornya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan hal itu membuat sekitar minimarket tersebut sepi, hanya ada beberapa motor yang berlalu lalang dan seperti nya hanya Jero juga Raka yang menjadi pelanggan saat ini.

Sepuluh menit berlalu, Raka akhirnya keluar dengan kantong kresek yang ada di tangan kirinya. Ia berjalan mendekati Jero yang masih asik menatap langit malam, hingga ia menyodorkan sekaleng susu coklat kedepan wajah pemuda surai blonde tersebut.

“Hm?” Jero mengambil kaleng minuman itu sambil mengalihkan wajahnya kearah Raka yang kini sudah duduk di kursi sebelahnya.

“Buat lo karena udah nganterin gue” Jero tersenyum tipis saat mendengar hal itu.

“Makasih, gue minum ya” Raka hanya mengangguk sembari memakan sebungkus jelly.

“Hidung lo merah, Rak” Ucap Jero di sela kegiatan minumnya.

“Pilek”

“Pilek kok makan jelly”

“Terserah gue, kok lo ngatur”

Suara kekehan pun terdengar di telinga Raka, tentu saja suara itu berasal dari Jero.

Jujur, dia merasa sedikit tenang saat mendengar suara itu. Tandanya, Jero sudah mulai membaik.

Hening melanda keduanya, hanya suara dahan pohon yang bergerak karena hembusan angin menjadi latar suara keheningan tersebut.

Hingga tak lama, Jero bersuara.

“Maaf, gue ga maksud bikin lo takut di grup”

Raka memilih untuk diam, tapi ia merespon ucapan Jero dengan sebuah anggukan pelan.

“Gue lagi kacau banget tadi, pikiran gue maksudnya yang lagi kacau. Jadi pas lo bilang gitu di grup, emosi gue jadi muncul” Kalimat yang terucap dari bibir Jero sangat menyiratkan rasa bersalah.

“Gapapa, Jero” Lirihan Raka membuat Jero menatap pemuda itu.

Mata mereka kembali bertemu, saling menghantarkan sebuah pesan tersirat yang harap-harap di pahami oleh satu sama lain.

“Kalo boleh tau.... kenapa pikiran lo bisa kacau gitu?”

Jero menghembuskan nafasnya, ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi tersebut, kemudian di tadahkan lah kepalanya untuk menatap langit malam.

“Biasa lah, orangtua ngasih petuah biar gue bisa rajin belajar buat uas nanti”

Raka yang mendengar hal itu langsung ikut menyandarkan tubuhnya, namun matanya ia bawa untuk menatap jalanan yang ada di depannya.

“Lo tau ga sih, Rak? Gimana cerita klasik kehidupan anak kembar?”

Raka diam sejenak, memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan Jero.

“Apa ya.... anak kembar selalu jadi sama persis?” Ujarnya dengan ragu.

Jero menarik sebelah bibirnya, “Bukan selalu jadi sama persis, lebih tepatnya di tuntut untuk jadi sama persis in good way. Paham ga, Rak?”

Maybe? Gue juga ragu sih”

Jero kini menormalkan posisi kepalanya, ia pun ikut menatap jalanan seperti apa yang Raka lakukan.

“Gue gatau ini terjadi ke semua anak kembar atau engga, tapi cerita hidup gue emang termasuk cerita klasik tentang anak kembar, Rak”

Jero sepertinya akan memulai ceritanya dan Raka akan dengan senang hati mendengar cerita dari teman baiknya ini.

“Iya. Di tuntut untuk selalu jadi sama kaya kembaran gue, karena kembaran gue lebih baik daripada gue sendiri. Orangtua gue pikir, kembar tuh artinya plek sama persis kali ya? Jadi kalo gue beda, malah aneh di mata mereka dan harusnya gue ga beda kaya kembaran gue” Jero berhenti sejenak untuk menghembuskan nafas beratnya.

“Gue dari awal masuk sma selalu gini, apalagi mendekati uas. Gue akan lebih sensi, karena orangtua gue juga akan lebih sensi ke gue. Maaf, tadi lo pasti kaget, tapi itu emang selalu terjadi, Rak. Anggota geng kece bahkan tau tabiat jelek gue ini, udah paham lah bahasanya”

Raka kini menatap Jero kemudian tangannya dengan reflek memberikan sebuah usapan lembut pada bahu tegap itu. Agar Jero tahu, jika dia peduli dan tidak marah padanya.

“Gue harusnya berubah ya, Rak?” Tiba-tiba Jero bertanya seperti itu, sambil menatap kearah Raka.

“Gue harusnya berubah kaya Jendral ya, Rak? Biar gue jadi lebih baik dan orangtua gue jadi bahagia”

Raka masih diam, namun tangannya tidak berhenti mengusap bahu Jero.

“Tapi gue pernah jadi Jendral, Rak. Gue pernah sama persis kaya kembaran gue itu dan gue ngerasa itu bukan gue. Gue gabisa kalo terus jadi kaya Jendral”

Matanya kini menyiratkan kebingungan yang Raka rasa kebingungan itu sudah tersimpan dalam waktu lama dan masih menunggu jawaban yang entah kapan datangnya.

“Jer”

Raka mengambil nafasnya sebentar kemudian memberikan senyum penenang pada Jero.

“Lo ga perlu jadi orang lain buat jadi lebih baik. Lo bisa jadi diri lo sendiri, memperbaiki diri lo biar jadi versi yang lebih baik. Ga perlu jadi Jendral, karena lo Jero”

Jero dibuat terdiam, mendengarkan ucapan Raka. Walaupun teman-temannya sudah banyak yang bicara hal seperti yang Raka ucapkan, tapi entah mengapa ucapan Raka memberikan kesan yang berbeda.

“Kembar ga selalu harus sama, Jer. Buktinya, orangtua lo kasih nama yang beda sama kembaran lo. Itu artinya, mereka sadar kalo kalian beda walau fisik kalian keliatan sama. Mungkin sekarang mereka yang selalu nuntut lo untuk jadi kaya Jendral, bisa jadi mereka mau ngasih tau lo buat jadi lebih baik dari yang sekarang”

“Engga, Rak. Mereka nyuruh gue buat sama persis kaya Jendral” Ujar Jero dengan kapala yang kini tertunduk.

“Kalo gitu, lo buktiin ke mereka. Kalo lo itu beda sama Jendral dan lo punya banyak keunggulan yang bisa bikin mereka bangga punya lo” Raka berujar dengan semangat.

“Gimana caranya?”

“Cuman lo yang tau jawaban itu, Jer. Karena lo doang yang paham banget sama diri lo sendiri” Jero terdiam.

“Jer, jangan takut sendiri ya? Lo punya gue dan geng kece yang selalu nemenin lo dan lihat lo sebagai Jero, juga lihat Jendral sebagai Jendral” Raka menepuk punggung Jero beberapa kali sebagai bentuk penyemangat dan jangan lupakan ia juga memberikan senyum manisnya pada Jero.

“Ayo pulang, udah malem banget ini. Nanti orangtua lo marah” Jero mengangguk sekilas.

Kini mereka berdua pun berdiri, menaiki motor Jero kemudian pergi dari minimarket tersebut.

Sekitar dua belas menit motor Jero melaju, hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah Raka. Pemuda manis itu turun dari boncengan Jero dan Jero tetap di motornya.

“Makasih udah mau nganterin gue” Ucap Raka dan Jero mengangguk pelan.

“Sama.... maaf kalo tadi ada ucapan gue yang salah atau bikin lo ga enak hati ya” Kini Jero terdiam, ia hanya menatap Raka.

“Sini, deketan” Raka sontak bingung, alisnya mengernyit, tapi ia tetap mengikuti ucapan Jero.

“Kenapa?”

Bukannya menjawab, Jero malah merapihkan surai Raka yang sedikit berantakan karena terkena angin di jalan tadi. Raka tentu terkejut dengan perlakuan tiba-tiba ini.

“Nah, kalo rapih kan jadi keliatan manisnya”

Bugh!

“Aww!” Ringis Jero setelah lengan kirinya di tinju oleh Raka.

“Gue kira kenapa” Jero tertawa kecil disela ringisannya.

“Maaf, abisnya lo lucu banget. Gue ga tahan buat— oke, maaf” Ucapannya terhenti sejanak karena tatapan galak Raka.

“Intinya, gue juga mau bilang makasih ke lo. Makasih atas semua ucapan lo tadi, setidaknya gue jadi sadar akan sesuatu yang sering gue lupain. Kata-kata lo gaada yang salah, jadi lo ga perlu minta maaf” Ujarnya sembari menunjukkan senyum tipisnya di akhir kalimat.

Raka mengangguk, “Emang lo sadar akan apa?”

Jero menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan dari pemuda manis itu, hingga senyuman kembali muncul di bibirnya.

“Gue sadar kalo gue emang beda sama Jendral dan orangtua gue sadar akan hal itu. Udah ya? Gue balik, lo abis ini harus langsung tidur. Obatnya di minum. Besok kalo sempet, gue jemput. Dah, good night, love!

Belum sempat Raka merespon, Jero sudah melajukan motornya. Meninggalkan Raka yang tengah merasakan perasaan aneh di dadanya.

Good night too, stupid.

Jero menampilkan senyum terbaiknya dan Raka sedang memberikan pandangan galaknya.

“Jangan di gituin mukanya, malah keliatan lucu”

BANGSAT.

Helaan nafas berat pun Raka keluarkan hingga suara tawa dari wanita terdengar di telinganya.

“Pacarmu dateng kok malah di galakin, raka?” Mendengar itu, raut wajah Raka yang tadinya garang menjadi sedikit melunak.

“Dia bukan pacar aku, bu” Jawab Raka dengan suara yang menyiratkan malu.

“Halo tante, status kita sekarang emang bukan pacaran tapi saya pastiin coming soon Raka jadi pacar saya” Kalimat yang Jero ucapkan membuat Raka terkejut sampai mulutnya menganga.

“Iya, nak. Semangat berjuangnya!” Kini Raka menatap ibu nya dengan pandangan tidak percaya.

“Ibuuuu”

“Dah sana berangkat, takut telat”

Raka kembali mendengus kemudian beralih menatap Jero yang sedang tersenyum ramah padanya.

“Yuk, sayang?”

“SAYANG PALA LU PEYANG!”

“RAKA, JANGAN TERIAK TERIAK!”

“Maaf, ibu! Udah, ayo buruan berangkat!”

Jero tersenyum kepada ibu Raka, sambil menundukkan kepalanya sedikit, sebuah pesan bahwa ia pamit pergi dan di respon baik oleh ibu Raka.

Jero pun berangkat ke sekolah dengan senyuman yang mungkin akan bertahan sampai jam pulang sekolah nanti.

Duh, manisnya pagi Raka hari ini. Eh, atau mungkin pagi Jero?

Kini Jendral dan Raka tengah duduk di sebuah taman yang tak jauh dari tempat Raka membeli buku tadi.

Hanya duduk bersebelahan, menikmati malam yang damai.

“Seneng?” Pertanyaan Jendral langsung dijawab dengan anggukan semangat oleh Raka.

“Makasih ya, sama maaf karna ganggu waktu belajar lo. Padahal minggu depan udah mulai uas”

“Santai, gue juga nikmatin banget malam ini karena lo”

“Hah?”

“Lupain, abisin aja itu es krim nya” Raka terdiam kemudian mengangkat bahunya.

Raka pun kembali melanjutkan acara makan es krim nya dan Jendral memilih untuk menatap sisi kanan wajah cantik Raka.

“Raka”

“Hm?”

“Lo kenapa manis banget sih?”

“Tanya ibu gue” Jendral tersenyum tipis saat mendengar jawaban Raka.

Ia kembali menatap Raka dalam diamnya, tanpa ia ketahui, yang ditatap secara mati-matian sedang menahan rasa salah tingkahnya.

“Rak, gue penasaran”

Kini Raka menatap Jendral.

“Apa?”

“Gimana rasanya bibir lo yang warnanya kaya ceri itu”

Deg deg deg

Jendral menatap Raka tanpa ekspresi, namun Raka malah merasa resah. Ia ingin berhenti menatap Jendral, tapi rasanya ia seperti sedang di hipnotis oleh pria yang ada di hadapannya ini.

Hingga tangan Jendral terangkat, ibu jarinya pun bergerak mengusap bagian bawah ujung bibir Raka dengan lembut.

Mampus, gue mau di apain ama ni orang.

Jendral mengusap dengan lembut hingga ia bawa ibu jarinya menuju mulutnya, seperti sedang mencecap sesuatu. Hingga keluarlah sebuah kalimat yang membuat Raka rasanya ingin meleleh ditempat,

“Manis ternyata, gue suka”

Setelah itu senyum Jendral kembali muncul dan kesadaran Raka kembali ke permukaan. Matanya ia alihkan kearah lain, intinya ia sedang menghindari tatapan Jendral.

Anjing lah.

Saat tengah sibuk menetralkan detak jantungnya, Raka dikejutkan dengan sebuah bisikan di telinga sebelah kanannya.

“Raka, lo tau?”

Raka hanya bisa terdiam saat mendengar bisikan Jendral yang terdengar lembut dengan suara rendahnya.

“Lo malam ini, lucu banget”

GA KUAT ANJING, GUE GABISA DI GINIIN.

Raka menolehkan kepalanya sedikit agar bisa menatap Jendral dan ya, kini keduanya saling bertatapan.

Raka sampai mengabaikan es krim nya yang mulai meleleh.

“Lo malam ini juga keliatan ganteng, rambut item emang cocok banget ama lo” suara Raka yang pelan namun terkesan lembut membuat Jendral tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya.

Baiklah, sepertinya malam ini mereka berdua saling meninggalkan kupu-kupu yang berterbangan di dalam tubuh mereka masing-masing.

Dan mungkin, kupu-kupu itu akan selalu berterbangan ketika mereka sedang berdua, seperti malam ini.

Malam ini sangat indah bagi mereka berdua.

Raka menghela nafasnya dengan berat, matanya menatap malas ke-enam temannya yang duduk sambil menunduk di depannya. Ah, kecuali Naren. Pemuda itu nampak biasa saja, padahal di wajahnya terdapat beberapa luka bekas pukulan.

Oh iya, ini sudah jam 5 sore dan mereka sedang berada di warung belakang sekolah. Tempat pertempuran para temannya dengan satu kakak kelas yang baru Raka kenal tadi.

“Kalian tuh....” Setelah berteriak menengahi perkelahian mereka tadi, baru sekarang Raka mulai bersuara kembali.

“Anjir lah, gue gatau harus seneng apa kesel sama lo pada” Raka memijat keningnya seketika.

“Seneng aja, ngapain kesel”

Mata Raka dibawa untuk melirik Naren yang tengah menatap lapangan yang ada di sebelah warung tersebut.

“Gausah pada nunduk, gue gaakan marahin kalian” Ujar Raka tiba-tiba dan membuat teman-temannya yang menunduk tadi langsung mengangkat wajahnya dengan perlahan.

Hingga ketika mata mereka melihat kearah Raka, mereka mendapati pandangan sendu juga sebuah senyuman kecil dari pemuda manis itu.

“Makasih udah belain gue segitunya” kini Raka yang menunduk dan tentu saja membuat yang lain kebingungan.

“Rak, jangan nangis dong” Gema berucap dengan nada bercanda, tapi sepertinya Raka menganggap itu serius.

Buktinya, Raka malah menangis sampai suara isakannya terdengar.

Jelas pada langsung panik lah.

“Anjrit, Gema tanggung jawab lo” Gema sontak melotot kearah Yuda.

“Gue cuman bercanda, sat!” Saka yang duduk diantara Yuda juga Gema hanya menghela nafas.

“Berisik, jangan pada berantem” ucapan Saka langsung menghentikan perdebatan antara Gema dan Yuda.

“Gara-gara ide nya Naren ini”

“Diem atau gue lakban mulut lo, Gem”

“Diem dulu anjing, kenapa malah pada ribut gini sih?!” Giliran Jero yang menengahi.

Tanpa mereka sadari, kini Jendral sudah duduk disebelah Raka sambil memberikan pelukan hangat. Usapan lembut pada punggung Raka membuat si manis meredakan tangisnya.

“Gapapa, Raka. Gausah ngerasa bersalah” Suara Jendral membuat semua mata mereka tertuju pada Raka dan Jendral.

“Maaf....” suara lirih Raka terdengar dan hal itu langsung menciptakan keheningan diantara mereka semua.

Hari makin sore. Angin mulai berhembus dengan kencang, sepertinya nanti malam akan turun hujan. Tapi mereka masih di dekat area sekolah, dengan keadaan seragam yang amburadul juga wajah yang penuh luka.

“Raka, lo ga salah” ucap Gema untuk menenangkan Raka.

“Iya, yang salah itu melvin. Kita kaya gini karena keinginan kita sendiri, buat belain lo” kini Saka yang berucap.

“Lo ga ngerepotin kita, gausah nangis” ucapan Naren membuat Raka mengangkat wajahnya kemudian melepaskan pelukan Jendral.

“Tapi muka lo semua jadi luka gitu” Kalimat yang Raka lontarkan seketika membuat mereka terkekeh.

“Gini doang mah kecil, pas kelas sepuluh kita-kita bahkan pernah ngalamin yang lebih parah” Ujar Jero.

Mata Raka seketika menatap Jendral, yang di tatap seakan paham pun langsung berujar,

“Gue yang nganterin mereka ke rumah sakit, ogah gue ikutan bonyok kaya mereka” Raka mengangguk pelan.

Kemudian kembali hening.

“Gue boleh nanya ga?”

“Tanya aja, Rak. Gema yang ganteng ini bakal jawab semua pertanyaan lo”

Raka memutar bola matanya dengan malas, begitupun dengan temannya yang lain.

“Menyampingkan masalah gue, kalian ada konflik juga ama melvin ya?”

Naren menghembuskan nafasnya, “Tu orang banyak bikin masalah sama kita, dulu. Kita kira udah berubah, ternyata masih sama”

“Salah satunya, dia pernah rebut pacar gue. Tai lah, kalo di inget-inget kok gue masih emosi gini” Ucapan Yuda membuat mereka, kecuali Raka sontak tertawa.

“Gamon ya lo?” Ejekan Gema membuat Yuda menjitak kepala pemuda berkulit tan itu.

“Ya, pokoknya kita masing-masing emang punya problem ama dia. Tapi udah kita maafin, dari lama. Nah, karena tu orang ternyata belom berubah terus malah berulah ke lo, jadinya gini. Itung-itung, kita ngasih pelajaran lah”

Senyum Raka tak bisa ia sembunyikan saat mendangar mereka. Sampai ia pun berujar sesuatu,

“Walaupun lo semua nyebelin, suka bikin gue malu atau emosi, tapi gue mau bilang ke kalian... kalo gue beruntung bisa berteman sama lo pada, makasih udah mau jadi temen baik gue”

Setelah berucap seperti itu, Raka langsung beranjak dari duduknya kemudian berjalan menuju salah satu warung untuk membeli obat luka.

Meninggalkan 6 pemuda yang melongo, terkejut, karena pernyataan tiba-tiba Raka.

“Raka ngomong apa tadi?” Ujar Yuda tanpa mengalihkan pandangannya kearah Raka.

“Dia bilang seneng berteman ama kita...” gumam Saka.

“Dia ga marahin kita...” kini Gema yang bergumam.

“Makasih katanya karena mau jadi temen dia” Naren juga berujar dengan santai.

Brak!

“LAH ANJING? KETUA? LO NGAPAIN AMPE JATOH DARI KORSI”

“Gem, daritadi Raka senyumin gue! ANJRIT!”

Brug!

“Komandan?! Lo mau bikin kepala lo bocor apa gimana? Ngapain pake jedugin kepala ke meja?!”

“Saka.... tadi Raka lucu banget pas gue peluk...”

“Anjir, efek sampingnya baru bekerja”

“RAKA, BURUAN BALIK! KEMBAR BUTUH LO NIH!”

Dasar bucin.

untuk mendapat feel nya, kalian bisa putar lagu Pelukku untuk pelikmu.

Raka menyunggingkan senyum tipisnya saat membukakan pintu untuk pemuda yang bilang ingin di peluk.

“Masuk, Jen”

Jendral membalas senyuman Raka, kemudian mereka pun berjalan masuk kedalam rumah milik si pemuda manis itu. Jendral di persilahkan duduk dan Raka kembali ke dapur untuk membuatkan minum.

“Muka lo kusut, Jen” ucap Raka sambil membawa dua gelas es teh manis yang baru saja ia buat.

“Makasih. Emang keliatan nya gitu?” Raka mengangguk sembari mendudukan diri di sebelah Jendral.

“Belum makan?” Jendral tersenyum tipis sembari menatap wajah manis Raka.

“Udah, Raka”

“Kok kaya belum makan?”

“Ga percaya?”

“Percaya deh” Mendengar hal itu, Jendral pun terkekeh dan Raka yang melihat tawa itu sontak merasa tenang.

“Nah gitu, ketawa” ujar Raka sembari meminum es teh yang ia buat.

“Gue nambah ganteng ya kalo ketawa?” Tanya Jendral dan Raka mengangguk pelan.

“Mumpung gaada orang, gue jujur” Jendral mematung sejenak, debaran jantungnya mulai menggila.

“Lo juga”

Raka menoleh, “Hm?”

“Lo juga, kalo lagi jujur makin keliatan lucu”

Diam sebentar, kemudian sebuah cubitan Jendral dapatkan di lengannya.

“Aww! Sakit, Rak”

“Lebay!”

Lagi, Jendral tersenyum. Memang ya, hanya di hadapan Raka, ia tidak akan bisa menyembunyikan senyumannya.

“Jadi, Jen. Kenapa?”

Mata mereka saling menatap, “Gaada, gue cuman mau menikmati waktu untuk berhenti sejenak kaya yang lo bilang waktu itu” Tatapan bingung pun Raka berikan pada Jendral.

“Raka”

“Apa?”

“Gue boleh minjem bahu lo, ga?”

Raka semakin dibuat bingung oleh tingkah Jendral yang tidak seperti biasanya, tapi berdasarkan firasatnya, Jendral benar-benar ingin meminjam bahunya. Jadi, ia membolehkan Jendral untuk meminjam bahunya.

Puk!

Jidat Jendral sudah menempel di bahu kanan Raka, matanya ia pejamkan untuk menikmati harum tubuh Raka dan waktu yang sedang berjalan.

Raka yang bingung pun hanya bisa mengelus surai Jendral, berharap pemuda itu merasa nyaman.

Usapan lembut terus ia berikan, dan Jendral menikmati hal itu. Hingga sunyi menemani keduanya.

“Rak, makasih” suara Jendral yang pelan membuat Raka sedikit tersentak.

“Buat?”

“Semuanya, terutama makasih udah bersedia jadi temen gue” sebuah senyuman muncul di bibir Raka saat mendengar hal itu.

“Lo bahagia jadi temen gue, Jen?”

“Banget”

Kekehan pelan yang berasal dari Raka terdengar merdu di telinga Jendral, ia semakin merasa nyaman.

“Waktu bisa berhenti dulu ga sih, Rak?”

“Kenapa? Lo betah di posisi ini?”

“Iya, gue mau tetep kaya gini”

“Dasar, gue nya pegel”

“Maaf” gumam Jendral dan Raka hanya mengangguk.

“Gapapa, lo pasti lagi butuh ini banget ya?” Kini Raka menambahkan sebuah usapan lembut untuk punggung Jendral.

Jadi posisinya kini ialah Raka seperti sedang memeluk Jendral sambil duduk menyamping di sofa tersebut.

“Cuman lo doang, Rak” Ucapan Jendral membuat Raka terdiam.

“Cuman lo doang yang bisa bikin capek nya gue ilang” Tanpa Raka ketahui, kini mata Jendral tengah memanas karena air matanya terus ingin keluar saat mendapatkan kenyamanan yang sudah lama tidak ia rasakan.

“Jendral.... gue gatau lo kenapa, tapi gue disini. Gue ada di deket lo, oke?” Setetes air mata Jendral jatuh.

Raka yang merasakan bahu Jendral bergetar, langsung memberikan pelukan hangat. Entah ada apa dengan dirinya, tapi ia merasa harus memberikan ini semua pada Jendral.

“Nangis aja, Jen. Jangan ditahan” bisikan Raka seperti sebuah mantra dan langsung saja, air mata yang sedari tadi ia tahan langsung berebut keluar.

“Gue cengeng, Rak”

“Engga, lo ga cengeng. Wajar lo nangis, Jen”

Raka semakin mengeratkan pelukannya dan lama-lama ia merasakan bahu kanannya basah.

“Raka, gue capek di tuntut buat jadi sempurna” Kalimat itu keluar dengan bebas dari bibir Jendral.

Sudah lama ia menahan diri untuk mengucapkan kalimat itu, tapi akhirnya di hadapan Raka, ia berhasil mengucapkan kalimat itu.

Raka terdiam, namun pelukannya tidak ia lepaskan.

“Gue mau kaya Jero, Rak. Gue ga suka ada posisi ini, gue ga suka” Tangis Jendral semakin pecah dan tentu saja hal itu membuat hati Raka ikut terasa sesak.

Sesak yang sulit di deskripsikan.

“Gue mau nyerah, gue—”

“Jen, terimakasih karena sudah bertahan sampai saat ini”

Ucapan Jendral dipotong oleh Raka dan mendengar kalimat yang Raka lontarkan membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Langsung saja, ia membalas pelukan Raka. Ia peluk Raka dengan erat, seperti menyiratkan sebuah pesan terimakasih.

Terimakasih karena sudah memberikan kalimat yang selama ini ingin ia dengar.

“Lo anak yang hebat, Jen”

Lagi, Raka mengucapkan kalimat yang selalu ia tunggu-tunggu.

“Buat jadi sempurna itu sulit ya, Jen?”

“Susah, Raka. Jadi sempurna itu susah” Jawab Jendral di tengah tangisnya.

“Tapi lo bisa laluin semua kesulitan itu”

“Gapapa, Jendral. Nangis aja, lo udah nahan ini dari lama kan? Tumpahin aja, cuman gue yang ada disini. Gaakan ada yang ngejek lo karena nangis, gaada yang nyuruh lo buat berhenti nangis, gaada yang nuntut lo jadi sempurna disini” Ucap Raka dengan suara lembutnya.

Wajahnya ia sembunyikan di bahu Raka dan mencoba untuk menenangkan dirinya.

Terlalu banyak kebahagiaan yang ia dapat hari ini dan semua itu karena Raka. Selalu Raka. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur Raka datang kedalam hidupnya.

“Makasih banyak, Raka”

Anytime, Jen. Kalo lo ngerasa berat buat nahan semuanya sendiri, lo bisa dateng ke gue”

“Lo bakal kasih gue peluk lagi?”

“Iya, gue bakal kasih lo peluk atau tempat bersandar nanti karena lo deserve buat dapet itu semua”

Jendral melepaskan pelukan antara mereka berdua hingga mereka saling menatap satu sama lain saat ini.

Wajah Jendral yang sembab akibat menangis membuat Raka tersenyum kecil, tangan mungilnya ia bawa untuk menghapus jejak air mata di pipi Jendral.

Setelah selesai membersihkan jejak air mata itu, tangannya bergerak untuk menepuk pelan kepala Jendral beberapa kali sambil berujar,

Good job, Jendral. You did very well

Thankyou

Kadang kala tak mengapa untuk tak baik-baik saja, karena kita hanyalah manusia. Wajar jika tidak sempurna.

Ketika orang-orang bilang laki-laki jangkung dengan rambut berwarna blonde yang duduk di bangku SMA kelas 11 IPS 4 itu orangnya petakilan, suka tawuran, ngelawan guru mulu, perkataan mereka memang benar adanya. Dia memang begitu terlihat diluarnya, tapi untuk kesan pertama di mata Raka dia agak berbeda dari yang orang-orang bilang.

Saat itu Raka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tepatnya kelas 8 SMP. Raka hanya murid biasa saat itu sampai ketika ia tengah berjalan menuju ruang guru, dia tidak sengaja menyenggol bahu seseorang. Iya, Raka menabrak orang yang sedang kita bicarakan saat ini. Mereka sempat berkontak mata dan kesan pertama Raka terhadap orang ini adalah, Ganteng dan Sempurna.

Pasalnya saat itu, penampilan orang ini sangat luar biasa rapih apalagi di tangannya terdapat selembaran sertifikat olimpiade. Menakjubkan ya? Ya... Raka pikir pertemuan mereka hanya sampai disitu, tapi ternyata tidak.

Berulang kali Raka bertemu, dengan bermacam-macam situasi. Singkat cerita, Raka merasa nyaman dan debaran pada jantungnya tidak bisa membohongi. Iya, Raka menyukai dia dan memutuskan untuk menyatakan perasaannya sebelum kelulusan SMP nya.

Yah, saat itu memang penampilan Raka tidak semanis sekarang. Jadi, sudah dapat di tebak bahwa pernyataan cinta nya di tolak begitu saja. Dia tidak menjelaskan kenapa ia menolak Raka, namun si mungil menyimpulkan dirinya di tolak karena penampilannya.

Saat kejadian cinta di tolaknya, Raka mencoba bersikap bodo amat dan berusaha untuk melupakan dia. Sampai dirinya sempat berdoa beberapa hari untuk tidak di pertemukan kembali. Namanya juga anak remaja yang baru mengenal cinta kan? Jadi jangan tertawakan Raka akan hal ini.

Namun tenyata semesta mempertemukan ia kembali. Agak lucu, tapi karena pertemuan kembali dengan orang ini, ia menjadi tahu apa rahasia yang dia pendam. Rahasia yang membuat dirinya berubah seperti itu dan membuat orang-orang terus mengatakan hal buruk padanya.

Kisah hidupnya klasik, seperti beberapa cerita anak kembar yang sudah tidak asing lagi. Raka pikir, memang itulah hal biasa yang dirasakan ketika memiliki kembaran. Namun, Dia membuat pikiran Raka terbuka luas.

Dalam sudut pandang dia, memiliki kembaran memang menyenangkan tapi tidak secara menyeluruh. Ia bahagia memiliki saudara yang seumuran dengannya, tapi karena orang-orang mengira kembar itu berarti sama, jadi orangtua-nya terus menuntut untuk menjadi persis sama seperti kembarannya.

Bukan niatnya untuk melawan permintaan orangtua, tapi yang namanya manusia itu pasti berbeda. Mau di coba se-persis apapun, pasti ada perbedaan yang muncul. Sudah pernah di coba tapi hasil akhirnya tidak menyenangkan.

Menurut Raka, wajar saja jika dia bertindak menonjol seperti sekarang, karena ia ingin di pandang berbeda dari kembarannya.

Tidak mudah memang, bertindak dan menunjukkan bahwa dirinya berbeda. Banyak sekali hal buruk yang ia terima, di marahi, di bandingkan secara terang-terangan, bahkan di acuhkan, dan yang terburuknya adalah itu semua ia terima dari keluarganya sendiri, kedua orangtuanya.

Raka tahu, sangat berat berada di posisi seperti itu. Jadi sebagai seorang teman, ia hanya bisa memberikan kata-kata penyemangat juga saran baik atau jika memang keadaannya semakin sedih, pelukan hangat ia berikan.

Itulah sudut pandang baru Raka terhadap cinta pertamanya, Jero si anak pertama keluarga Askandar.

Teruntuk Jero, terimakasih karena sudah bertahan selama ini. Lo hebat, gue bangga jadi teman baik lo. Jangan takut dengerin perkataan buruk semua orang tentang lo, karena mereka ga mengenal diri lo dengan baik. Ga sebaik gue.

Kemudian, ini tentang laki-laki yang surainya selalu gelap. Tidak pernah diwarnai aneh-aneh karena menurutnya, itu adalah daya pikatnya. Di bandingkan kisah orang yang diatas tadi, orang ini selalu dibicarakan berkebalikan.

Sebagai contoh, Hebat ya anaknya atau Ih, kalem banget ya ga neka-neko atau yang akhir-akhir ini sering di dengar Udah pinter, ganteng, duh pasti orangtua nya bangga mendengar semua itu, siapa coba yang tidak kagum oleh orang ini? Jawabannya, Tidak ada. Bahkan Raka pun kagum pada-nya setelah berteman dengan orang ini.

Sempurna.

Ya, itu adalah kata yang pas untuk diberikan pada orang ini.

Tapi, siapa sangka ya? Di balik kesempurnaan yang orang itu buat ada banyak hal yang harus ia lalui. Keadaan luarnya adalah yang ingin orang-orang lihat, sedangkan keadaan dalamnya adalah hal yang tidak ingin ia tunjukkan pada orang-orang. Semuanya ia pendam, agar selalu terlihat sempurna.

Raka sampai terkejut, tidak menyangka, bahwa teman baiknya yang ia kagumi ini ternyata menutupi banyak hal. Ia menceritakan kisah di balik layarnya pada Raka pada satu hari, dan tebak apa yang mengejutkan? Ya, Raka adalah orang pertama yang mengetahui kisah dibalik kesempurnaan orang itu.

Bagaimana kisahnya yang selalu dituntut menjadi anak yang sempurna, bagaimana ia yang terus menutupi rasa iri pada saudaranya, bagaimana kisahnya yang selalu menahan teriakan karena sangat lelah dikamarnya saat malah hari. Berat. Untuk di pandang sempurna sangat sulit dilakukan.

Dia pernah menangis di hadapan Raka, saking sudah tidak kuatnya memendam semua dan Raka bersumpah, tangisannya kala itu adalah tangis yang sangat menyiratkan rasa lelah yang mendalam. Bahkan hati Raka terasa ngilu saat mendengarnya menangis, ia ingin berbuat lebih untuk menghibur. Namun, ia lagi-lagi hanya bisa memberikan pelukan hangat serta usapan di bahu juga surainya.

Begitulah yang dapat Raka lihat pada orang itu, pada seorang Jendral si anak kedua dari keluarga Askandar juga kembaran dari Jero.

Teruntuk Jendral, lo adalah teman gue yang luar biasa hebat. Lo terlalu kuat di umur lo yang sekarang dan gue yakin lo akan menjadi orang hebat di masa depan nanti. Jen, lo bisa sesekali meluapkan emosi lo karena lo manusia kaya gue dan lo tau? di mata Tuhan, lo keliatan sama kaya manusia lain. So, kalo udah capek jadi sempurna, gapapa banget buat jadi diri lo yang sebenarnya. Semangat, Jendral.

Sekian dari Raka dewa sunandar, yang katanya orang paling cantik plus manis menurut si kembar.