Berubah.

Raka kini tengah menatap bingung kearah Jero karena keadaaan pemuda itu jauh dari kata baik-baik saja.

Bayangkan saja, ada seseorang yang datang dengan rambut yang tidak tertata, mata yang terlihat lelah, pakaian yang terkesan di pakai dengan terburu-buru, semua itu Raka lihat setelah ia membuka pagar rumahnya.

“Lo kenapa, Jer?” Itu pertanyaan pertama yang Raka ucapkan saat mata mereka bertemu.

“Ayo, keburu tutup indomar nya” Bukannya menjawab, Jero malah mengalihkan dengan topik lain.

Merasa ucapan Jero benar adanya, Raka hanya mengangguk kemudian naik ke motor Jero. Walaupun pikirannya tengah di serbu oleh beberapa pertanyaan yang tertuju pada pemuda di depannya ini, ia memilih untuk menunggu.

Menunggu waktu yang pas.

Motor itu Jero bawa melaju dengan kecepatan sedang nya, agar Raka tidak terlalu merasa kedinginan akan udara malam.

Perjalanan mereka menuju tujuan hanya di lingkupi dengan kesunyian, tidak ada satu pun dari mereka yang berniat membuka percakapan. Hingga tak terasa, mereka pun sampai.

Raka langsung turun dari motor itu setelah berhenti total. Tanpa menunggu Jero, ia melangkah dengan cepat memasuki minimarket tersebut untuk membeli barang yang memang ingin ia beli. Sedangkan Jero memilih untuk menunggu di luar, di kursi yang tersedia tepat di sebelah motornya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan hal itu membuat sekitar minimarket tersebut sepi, hanya ada beberapa motor yang berlalu lalang dan seperti nya hanya Jero juga Raka yang menjadi pelanggan saat ini.

Sepuluh menit berlalu, Raka akhirnya keluar dengan kantong kresek yang ada di tangan kirinya. Ia berjalan mendekati Jero yang masih asik menatap langit malam, hingga ia menyodorkan sekaleng susu coklat kedepan wajah pemuda surai blonde tersebut.

“Hm?” Jero mengambil kaleng minuman itu sambil mengalihkan wajahnya kearah Raka yang kini sudah duduk di kursi sebelahnya.

“Buat lo karena udah nganterin gue” Jero tersenyum tipis saat mendengar hal itu.

“Makasih, gue minum ya” Raka hanya mengangguk sembari memakan sebungkus jelly.

“Hidung lo merah, Rak” Ucap Jero di sela kegiatan minumnya.

“Pilek”

“Pilek kok makan jelly”

“Terserah gue, kok lo ngatur”

Suara kekehan pun terdengar di telinga Raka, tentu saja suara itu berasal dari Jero.

Jujur, dia merasa sedikit tenang saat mendengar suara itu. Tandanya, Jero sudah mulai membaik.

Hening melanda keduanya, hanya suara dahan pohon yang bergerak karena hembusan angin menjadi latar suara keheningan tersebut.

Hingga tak lama, Jero bersuara.

“Maaf, gue ga maksud bikin lo takut di grup”

Raka memilih untuk diam, tapi ia merespon ucapan Jero dengan sebuah anggukan pelan.

“Gue lagi kacau banget tadi, pikiran gue maksudnya yang lagi kacau. Jadi pas lo bilang gitu di grup, emosi gue jadi muncul” Kalimat yang terucap dari bibir Jero sangat menyiratkan rasa bersalah.

“Gapapa, Jero” Lirihan Raka membuat Jero menatap pemuda itu.

Mata mereka kembali bertemu, saling menghantarkan sebuah pesan tersirat yang harap-harap di pahami oleh satu sama lain.

“Kalo boleh tau.... kenapa pikiran lo bisa kacau gitu?”

Jero menghembuskan nafasnya, ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi tersebut, kemudian di tadahkan lah kepalanya untuk menatap langit malam.

“Biasa lah, orangtua ngasih petuah biar gue bisa rajin belajar buat uas nanti”

Raka yang mendengar hal itu langsung ikut menyandarkan tubuhnya, namun matanya ia bawa untuk menatap jalanan yang ada di depannya.

“Lo tau ga sih, Rak? Gimana cerita klasik kehidupan anak kembar?”

Raka diam sejenak, memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaan Jero.

“Apa ya.... anak kembar selalu jadi sama persis?” Ujarnya dengan ragu.

Jero menarik sebelah bibirnya, “Bukan selalu jadi sama persis, lebih tepatnya di tuntut untuk jadi sama persis in good way. Paham ga, Rak?”

Maybe? Gue juga ragu sih”

Jero kini menormalkan posisi kepalanya, ia pun ikut menatap jalanan seperti apa yang Raka lakukan.

“Gue gatau ini terjadi ke semua anak kembar atau engga, tapi cerita hidup gue emang termasuk cerita klasik tentang anak kembar, Rak”

Jero sepertinya akan memulai ceritanya dan Raka akan dengan senang hati mendengar cerita dari teman baiknya ini.

“Iya. Di tuntut untuk selalu jadi sama kaya kembaran gue, karena kembaran gue lebih baik daripada gue sendiri. Orangtua gue pikir, kembar tuh artinya plek sama persis kali ya? Jadi kalo gue beda, malah aneh di mata mereka dan harusnya gue ga beda kaya kembaran gue” Jero berhenti sejenak untuk menghembuskan nafas beratnya.

“Gue dari awal masuk sma selalu gini, apalagi mendekati uas. Gue akan lebih sensi, karena orangtua gue juga akan lebih sensi ke gue. Maaf, tadi lo pasti kaget, tapi itu emang selalu terjadi, Rak. Anggota geng kece bahkan tau tabiat jelek gue ini, udah paham lah bahasanya”

Raka kini menatap Jero kemudian tangannya dengan reflek memberikan sebuah usapan lembut pada bahu tegap itu. Agar Jero tahu, jika dia peduli dan tidak marah padanya.

“Gue harusnya berubah ya, Rak?” Tiba-tiba Jero bertanya seperti itu, sambil menatap kearah Raka.

“Gue harusnya berubah kaya Jendral ya, Rak? Biar gue jadi lebih baik dan orangtua gue jadi bahagia”

Raka masih diam, namun tangannya tidak berhenti mengusap bahu Jero.

“Tapi gue pernah jadi Jendral, Rak. Gue pernah sama persis kaya kembaran gue itu dan gue ngerasa itu bukan gue. Gue gabisa kalo terus jadi kaya Jendral”

Matanya kini menyiratkan kebingungan yang Raka rasa kebingungan itu sudah tersimpan dalam waktu lama dan masih menunggu jawaban yang entah kapan datangnya.

“Jer”

Raka mengambil nafasnya sebentar kemudian memberikan senyum penenang pada Jero.

“Lo ga perlu jadi orang lain buat jadi lebih baik. Lo bisa jadi diri lo sendiri, memperbaiki diri lo biar jadi versi yang lebih baik. Ga perlu jadi Jendral, karena lo Jero”

Jero dibuat terdiam, mendengarkan ucapan Raka. Walaupun teman-temannya sudah banyak yang bicara hal seperti yang Raka ucapkan, tapi entah mengapa ucapan Raka memberikan kesan yang berbeda.

“Kembar ga selalu harus sama, Jer. Buktinya, orangtua lo kasih nama yang beda sama kembaran lo. Itu artinya, mereka sadar kalo kalian beda walau fisik kalian keliatan sama. Mungkin sekarang mereka yang selalu nuntut lo untuk jadi kaya Jendral, bisa jadi mereka mau ngasih tau lo buat jadi lebih baik dari yang sekarang”

“Engga, Rak. Mereka nyuruh gue buat sama persis kaya Jendral” Ujar Jero dengan kapala yang kini tertunduk.

“Kalo gitu, lo buktiin ke mereka. Kalo lo itu beda sama Jendral dan lo punya banyak keunggulan yang bisa bikin mereka bangga punya lo” Raka berujar dengan semangat.

“Gimana caranya?”

“Cuman lo yang tau jawaban itu, Jer. Karena lo doang yang paham banget sama diri lo sendiri” Jero terdiam.

“Jer, jangan takut sendiri ya? Lo punya gue dan geng kece yang selalu nemenin lo dan lihat lo sebagai Jero, juga lihat Jendral sebagai Jendral” Raka menepuk punggung Jero beberapa kali sebagai bentuk penyemangat dan jangan lupakan ia juga memberikan senyum manisnya pada Jero.

“Ayo pulang, udah malem banget ini. Nanti orangtua lo marah” Jero mengangguk sekilas.

Kini mereka berdua pun berdiri, menaiki motor Jero kemudian pergi dari minimarket tersebut.

Sekitar dua belas menit motor Jero melaju, hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah Raka. Pemuda manis itu turun dari boncengan Jero dan Jero tetap di motornya.

“Makasih udah mau nganterin gue” Ucap Raka dan Jero mengangguk pelan.

“Sama.... maaf kalo tadi ada ucapan gue yang salah atau bikin lo ga enak hati ya” Kini Jero terdiam, ia hanya menatap Raka.

“Sini, deketan” Raka sontak bingung, alisnya mengernyit, tapi ia tetap mengikuti ucapan Jero.

“Kenapa?”

Bukannya menjawab, Jero malah merapihkan surai Raka yang sedikit berantakan karena terkena angin di jalan tadi. Raka tentu terkejut dengan perlakuan tiba-tiba ini.

“Nah, kalo rapih kan jadi keliatan manisnya”

Bugh!

“Aww!” Ringis Jero setelah lengan kirinya di tinju oleh Raka.

“Gue kira kenapa” Jero tertawa kecil disela ringisannya.

“Maaf, abisnya lo lucu banget. Gue ga tahan buat— oke, maaf” Ucapannya terhenti sejanak karena tatapan galak Raka.

“Intinya, gue juga mau bilang makasih ke lo. Makasih atas semua ucapan lo tadi, setidaknya gue jadi sadar akan sesuatu yang sering gue lupain. Kata-kata lo gaada yang salah, jadi lo ga perlu minta maaf” Ujarnya sembari menunjukkan senyum tipisnya di akhir kalimat.

Raka mengangguk, “Emang lo sadar akan apa?”

Jero menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan dari pemuda manis itu, hingga senyuman kembali muncul di bibirnya.

“Gue sadar kalo gue emang beda sama Jendral dan orangtua gue sadar akan hal itu. Udah ya? Gue balik, lo abis ini harus langsung tidur. Obatnya di minum. Besok kalo sempet, gue jemput. Dah, good night, love!

Belum sempat Raka merespon, Jero sudah melajukan motornya. Meninggalkan Raka yang tengah merasakan perasaan aneh di dadanya.

Good night too, stupid.