Damai dan Lega.
cw // mentioning cigarettes.
Jero yang sedang berada di ruang makan kini beralih ke ruang tamu. Duduk di salah satu sofa, sambil menatap punggung kembarannya yang sibuk merapihkan tatanan rambut. Diam sejenak kemudian dirinya memilih bersuara.
“Mau kemana?” Yang ditanya melirik sedikit.
“Ketemu Raka”
Jawaban yang singkat namun Jero langsung tegang. Di otaknya muncul beragam pertanyaan hingga ia teringat akan sesuatu.
“Pengakuan itu?” Tanya nya dengan nada yang sedikit ragu.
“Hm” Baiklah, Jawaban dari Jendral langsung membuat Jero bagaikan tersambar petir.
“Jen”
“Apa?”
“Lo mau bilang ke dia? Tentang perasaan lo?” Jendral sontak menghentikan tangannya yang sedang menata rambut.
Helaan nafas keluar hingga membuat Jero sedikit merasa bersalah, namun mau bagaimana lagi? Dirinya juga sedang merasa takut.
Takut Raka akan pergi darinya nanti.
“Mumpung bunda sama papa ga dirumah, gue mau ngelakuin apa yang gue mau” Jawabnya tanpa menoleh kearah sang kembaran.
“Jen”
“Apasih, Jer?!” Kini wajah itu menatap Jero dengan raut yang kesal.
“Lo mau nahan gue? Nahan buat ga ungkapin perasaan gue ke raka?!” Kilatan amarah di matanya membuat Jero tersentak.
“Bukan gitu, Jen...”
“Terus apa?”
“Gue takut kalo Raka milih lo... dan jauhin gue nantinya” Jero berujar dengan suara pelan dan kalimat lain di dalam hati.
Jendral langsung berdecak, ia menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menatap Jero dengan pandangan tidak percaya.
“Kenapa kalo dia milih gue, Jer? Lo takut?” Mata keduanya kini tengah beradu.
“Harusnya gue yang ada di posisi itu, gue yang harusnya ngerasa takut” Jero mengernyitkan alisnya.
“Kenapa lo takut?”
“Karena lo selalu berhasil dapetin apa yang gue mau”
Deg!
Jero seketika merasakan nyeri di dadanya saat mendengar kalimat itu. Ia tambah merasa bingung dengan kembarannya.
“Emang apa—”
“Apa yang gue mau dan lo dapetin itu semua? Banyak! Mau gue kasih tau semuanya?!”
Baik, aura diantara mereka kian memanas. Nampaknya dari awal Jero dan Jendral tidak berada di mood yang baik hari ini.
“Lo selalu dapet semuanya, Jer. Jadi buat kali ini aja, please biarin gue dapetin apa yang gue mau. Gue butuh Raka banget, demi Tuhan!” Mata Jendral kian memanas dan Jero semakin bingung untuk merespon bagaimana.
“Tapi kehidupan lo sekarang sempurna banget, Jen. Gue bahkan iri sama lo—”
“Tapi bukan ini yang gue pengen. Bukan kehidupan kaya gini yang gue mau” Ujar Jendral setelah itu ia mengusap wajahnya dengan kasar.
“Gue yang naksir Raka duluan, Jer. Jangan ngerasa gue yang rebut dia dari lo, karena kenyataannya bukan gitu” Sinis, Jendral terlihat sangat sinis di depan Jero.
Tatapan itu, Jero baru pertama kali lihat dan jujur saja ia sangat merasa sakit.
“Perasaan itu dateng sendiri, Jen. Gue juga gatau kalo gue bakal suka sama Raka juga. Maaf karena kesannya gue ngambil dia dari lo, tapi kita udah sepakat kan? Bersaing secara sehat dan terima apapun keputusan Raka” Jelas nya dan tak lama kemudian suara tawa Jendral menggema.
Jero menatap sang adik dengan terkejut. Kenapa dia malah tertawa?
Sampai tawa Jendral mereda, tangannya menyeka air mata yang keluar sebab tertawa kemudian menatap Jero dengan pandangan yang sulit di artikan.
“Nyatanya lo yang ga siap sama jawaban Raka kan, Jer?”
Jero bungkam. Ucapan Jendral sangat tepat sasaran.
Jendral menghela nafasnya kembali, “Padahal sebelum gue ngelakuin ini semua banyak hal yang gue siapin, banyak hal yang gue pikirin, dan ini momen yang gue tunggu-tunggu. Tapi lo malah nahan gue, bikin gue terlambat buat nemuin Raka”
Jendral sedikit menunduk saat berucap seperti itu, matanya kini menatap lurus gantungan kunci berbentuk rubah yang sedari tadi ia genggam.
“Gue cuman mau ngakuin perasaan gue, bukan ngajak dia pacaran. Kalaupun dia suka sama gue juga, ya buat apa gue lepas kan? Langsung aja gue jadiin dia milik gue” ujar Jendral sembari mengeratkan genggamannya pada gantungan kunci itu.
“Gue ga berharap banyak kalo Raka juga bales perasaan gue, karena gue tau kalo gue mungkin kalah sama lo. Buat urusan percintaan, gue selalu kalah sama lo, Jer. Semua orang yang gue taksir malah naksir sama lo. Waktu itu ya gue gapapa, karena gue masih di tahap naksir. Tapi buat yang kali ini—” Kepala yang tadi menunduk itu mulai terangkat untuk menatap Jero yang terdiam, mematung di duduknya.
“—Untuk yang kali ini, gue mau berjuang sampai dia suka balik sama gue, karena gue bukan di tahap naksir lagi” Sebelah bibirnya terangkat setelah berujar seperti itu.
“Gue juga cinta sama dia” Ucapan Jero hanya di respon anggukan dari Jendral.
“Gue tau. Raka emang pantes buat di cintai banyak orang, tapi gue mau cintanya dia cuman buat gue”
“Serakah”
“Gue serakah? Yah... emang fakta sih”
Jero kini menatap Jendral dengan kilatan amarah.
“Lo udah terlalu banyak dapet banyak cinta dan kasih sayang dari orang lain” sebelah alis Jendral terangkat. Ia memilih diam, membiarkan Jero selesai dengan ucapannya.
“Lo dapet semua cinta dari bunda dan papa, bahkan seluruh keluarga besar ngasih banyak cinta dan kasih sayang TAPI NGGA KE GUE!”
“Lo bilang itu semua cinta dan kasih sayang? Padahal lo tau, gue ada di posisi yang serba salah?” Jendral akhirnya menanggapi.
“Lo pikir gue mau terus-terusan liat lo yang selalu di bandingin, di marahin, bahkan di tuntut sama bunda papa. LO PIKIR GUE MAU LIAT HAL MEMUAKKAN KAYA GITU MULU?! GUE JUGA CAPEK, BRENGSEK!”
Jero kian menegang, dia tidak menyangka bahwa Jendral akan menanggapi dengan begini.
“Jen—”
Prang!
Mata mereka langsung beralih kearah pintu utama dan disana terlihat dua orang yang Jendral sebutkan tadi.
Papa dan Bunda nya.
Benda yang jatuh adalah vas bunga yang mungkin baru saja mereka beli. Mereka datang di waktu yang tidak tepat.
“Bunda... Papa...? Kok kalian udah pulang?” Jero berdiri dari duduknya.
Kedua orang dewasa itu pun hanya diam mematung, menatap kosong kearah anak mereka.
“Kalian ngapain?” Ujar sang kepala keluarga.
“Kenapa teriak-teriak?” Ia bertanya lagi.
Jendral mengusak surainya, membuat apa yang sudah ia tata dengan rapih menjadi berantakan.
Sial.
“Gaada apa-apa, Bun, Pa” Jawab Jendral dengan suara yang ia coba untuk selembut mungkin.
“Jendral, maksud kamu tadi apa, nak?” Kini satu-satunya wanita disana pun bersuara.
Jendral diam sejenak, tangannya ia kepalkan dan bahu nya terasa bergetar.
Baiklah, mungkin memang benar ini harinya. Apa boleh buat.
Senyuman di bibir Jendral terbit, sampai kedua matanya juga memberikan senyuman.
“Jendral cuman lagi jujur kok, Bunda dan Papa”
Mereka semua menatap Jendral dengan tidak percaya.
“Jen, gausah aneh-aneh!” Jero memperingati Jendral dan pemuda bersurai hitam itu pun menatap Jero dengan dingin. Berbeda dengan ekspresi yang ia buat tadi.
“Lo mau terus-terusan ga dapet cinta dan kasih sayang yang lo bilang tadi atau gimana?” Jero langsung gugup, saking gugupnya, ia sampai tidak bisa menelan ludahnya.
Mereka semua tercekat mendengar penuturan Jendral.
“Maaf Bunda dan Papa, Jendral tau kalo kelakuan Jendral kali ini ga sopan. Tapi kayanya hari yang Jendral sangka ga akan datang, ternyata datang. Walau bikin rencana Jendral hari ini berantakan sih”
“Maksud kamu apa, Jendral?” Tanya sang kepala keluarga dengan nada datar.
“Pa, Jendral boleh minta buat ga lagi tutup mata ke aku dan jero?” Tatapan matanya ia lembutkan, agar tidak membuat api yang ia buat makin membesar.
“Kami bisa buat jadi apa yang Papa mau. Kami bisa buat Papa bangga, tapi dengan keahlian yang kami mau. Tanpa unsur terpaksa, tanpa Papa marahin, tanpa Bunda suruh, Jendral sama Jero bisa buat kalian bangga” Jendral menghentikan ucapannya sejenak untuk menetralkan berbagai perasaan yang ada di tubuhnya.
“Kalian pasti tau banget, walau kami kembar, tapi kami ini masih punya perbedaan. Kami manusia dan gabisa untuk jadi sama persis kaya yang kalian pengen. Jendral gabisa buat terus jadi sempurna dan Jero gabisa buat jadi Jendral”
Kedua orangtuanya memberikan pandangan yang sulit diartikan, hingga tanpa sadar setetes air mata pun jatuh dari mata Jendral karena tidak kuat menahan tebalnya api yang ia buat tadi.
Terlalu banyak yang ia rasakan dan kini mereka bercampur. Ini pertama kalinya Jendral merasa begini dan ia tidak suka, sungguh. Ia jadi terlihat lemah.
“Papa, Bunda, tolong berhenti buat suruh kami jadi orang lain ya? Karena kami gaakan bisa jadi orang lain itu”
Jero menatap punggung sang adik dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, di balik sikap acuh tak acuh milik Jendral, ternyata dia sangat peduli dengan dirinya.
“Maaf, Jendral. Maaf karena gue gabisa paham sama lo, harusnya gue yang bela lo, tapi kenapa...—maaf”
Jendral enggan membalikkan tubuhnya, ia tetap berada di posisinya dan menatap kedua orangtuanya yang kini masih terdiam.
“Maaf papa dan bunda jika ucapan jendral tadi bikin kalian sakit hati. Kalo kalian ngerasa jendral bukan lagi anak yang baik, kalian bisa bawa jendral ke tante jess....Lagi“
Senyuman tipis terbit di bibirnya, “Tapi kalian harus tau satu hal, karena Jendral yang berterus terang tadi. Hati Jendral kerasa sedikit damai dan lega. Makasih karena udah dengerin aku sampai akhir”
Setelah berucap seperti itu, ia memakai jaket hitam yang ada di sebelahnya kemudian membalikkan tubuhnya untuk menatap Jero.
“Gue udah pernah bilang kan? Sifat kita emang beda, tapi tetep aja faktanya kita itu kembar. Pasti ada kesamaan. Kembar juga yang buat kita selalu paham tentang isi hati satu sama lain. Maaf buat ucapan kasar gue tadi” Jero mengangguk kecil lalu berjalan kearah Jendral.
Mereka berdiri berhadapan kemudian Jero menepuk bahu Jendral beberapa kali.
“Makasih. Dah sana lo temuin Raka, semoga aja tu anak ga marah. Urusan bunda sama Papa biar gue urus” Mereka saling tersenyum tipis lalu Jendral pun mengikuti ucapan Jero.
“Jendral pamit keluar bentar ya dan pasti pulang sebelum jam makan malam!” Serunya saat keluar dari rumah itu kemudian pergi menaiki motornya.
“Nah, Bunda sama Papa. Ayo duduk dulu, kita ngobrol sebentar”
Raka mendengus kasar, ia menatap layar kunci ponselnya kemudian berdecak.
“Udah tiga puluh menit dan dia ga dateng juga?! Sialan, ini gue di prank atau—”
“Halo, Raka”
Raka sontak menoleh kearah kirinya dan bertapa terkejutnya ia saat tau siapa yang menyapa dirinya.
“Kak melvin...”
Sang pemilik nama tersenyum, “Gue boleh duduk disini?” Raka hanya mengangguk dengan ragu.
“Gausah takut, gue ga akan nyakitin lo” ujarnya setelah duduk disebelah Raka.
Ya ga bakal nyakitin gue, tapi lo pernah bikin gue trauma buat deket-deket sama lo.
“Lagi nunggu orang?” Tanyanya sembari membuka bungkus rokok yang ia bawa, Raka pun menatap Melvin dengan sedikit sinis.
“Apa peduli lo, kak” Jawaban Raka membuat Melvin terkekeh sambil mementik api untuk rokok yang ada di belahan bibirnya.
“Sebelum itu, gue pengen bilang di sekitar kita ada tempat main anak-anak. Jadi kalo bisa jangan merokok” dengan nada jutek khas nya.
Melvin menarik rokok yang ada di bibirnya, kemudian mengeluarkan asap rokok tersebut di depan wajah Raka.
Raka langsung terbatuk karena hal itu. Bukannya meminta maaf, Melvin malah tertawa kecil melihat ekspresi Raka.
“Emang lo lucu banget, Rak. Jadi pacar gue mau?” Tanyanya sebelum kembali menghisap gulungan nikotin itu.
Raka berdecak, walaupun diluar ia terlihat nampak berani tapi didalam hatinya ia terus membatin agar Jendral cepat sampai.
Jen, tolongin gue.
“Tipe gue bukan yang kaya lo, kak” jawab Raka tanpa menoleh kearah Melvin.
Melvin menghembuskan asap dari rokok itu, menatap wajah Raka dari samping, sembari tersenyum ia mematikan rokok itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Tangan Melvin yang kini bebas pun bergerak untuk memegang sandaran kursi yang ada dibelakang punggung Raka.
Terkejut? Tentu saja Raka sangat terkejut. Ingij rasanya ia menampar laki-laki yang ada disebelahnya itu namun belum sempat ia merealisasikan keinginannya, Melvin sudah lebih dulu di tarik oleh seseorang.
Bugh!
Raka melotot tak percaya, karena baru saja Melvin di tonjok oleh... JENDRAL?!
SEJAK KAPAN ORANG ITU TIBA?! Pikiran Raka kacau namun keadaan dua orang yang ada didepannya lebih kacau.
“Gue udah bilang buat jauhin Raka kan?!” Jendral mengeratkan cengkrammanya di kerah baju Melvin.
Senyum miring Melvin berikan, “Gue gatau lo bakal dateng, kayanya Raka punya alarm ya buat manggil lo”
Kilatan amarah di mata Jendral sangat terlihat jelas oleh Raka, ia langsung berdiri kemudian memisahkan keduanya.
“Udah, Jen. Gue gapapa, mending kita pergi” bisik Raka dan Jendral langsung melepaskan Melvin.
“Jangan ganggu Raka lagi atau lo habis di tangan gue, bangsat!” Seru Jendral sebelum merangkul Raka untuk pergi dari taman itu. Meninggalkan melvin yang sedang mencoba berdiri.
“Lo gapapa, Raka?”
Raka tersenyum sembari mengelus tangan Jendral yang ada di bahu kanannya.
“Berkat lo, gue gapapa. Makasih karena udah dateng di waktu yang tepat”
Jendral mengangguk pelan, “Maaf karena gue ga dateng di waktu yang di janjikan”
“Gapapa, Jendral. Mending kita ke rumah gue ya? Luka di pipi lo perlu di obatin”
“As you wish, little captain“
Hari yang berantakan. Yah, mungkin memang belum saatnya.