Peluk.
untuk mendapat feel nya, kalian bisa putar lagu Pelukku untuk pelikmu.
Raka menyunggingkan senyum tipisnya saat membukakan pintu untuk pemuda yang bilang ingin di peluk.
“Masuk, Jen”
Jendral membalas senyuman Raka, kemudian mereka pun berjalan masuk kedalam rumah milik si pemuda manis itu. Jendral di persilahkan duduk dan Raka kembali ke dapur untuk membuatkan minum.
“Muka lo kusut, Jen” ucap Raka sambil membawa dua gelas es teh manis yang baru saja ia buat.
“Makasih. Emang keliatan nya gitu?” Raka mengangguk sembari mendudukan diri di sebelah Jendral.
“Belum makan?” Jendral tersenyum tipis sembari menatap wajah manis Raka.
“Udah, Raka”
“Kok kaya belum makan?”
“Ga percaya?”
“Percaya deh” Mendengar hal itu, Jendral pun terkekeh dan Raka yang melihat tawa itu sontak merasa tenang.
“Nah gitu, ketawa” ujar Raka sembari meminum es teh yang ia buat.
“Gue nambah ganteng ya kalo ketawa?” Tanya Jendral dan Raka mengangguk pelan.
“Mumpung gaada orang, gue jujur” Jendral mematung sejenak, debaran jantungnya mulai menggila.
“Lo juga”
Raka menoleh, “Hm?”
“Lo juga, kalo lagi jujur makin keliatan lucu”
Diam sebentar, kemudian sebuah cubitan Jendral dapatkan di lengannya.
“Aww! Sakit, Rak”
“Lebay!”
Lagi, Jendral tersenyum. Memang ya, hanya di hadapan Raka, ia tidak akan bisa menyembunyikan senyumannya.
“Jadi, Jen. Kenapa?”
Mata mereka saling menatap, “Gaada, gue cuman mau menikmati waktu untuk berhenti sejenak kaya yang lo bilang waktu itu” Tatapan bingung pun Raka berikan pada Jendral.
“Raka”
“Apa?”
“Gue boleh minjem bahu lo, ga?”
Raka semakin dibuat bingung oleh tingkah Jendral yang tidak seperti biasanya, tapi berdasarkan firasatnya, Jendral benar-benar ingin meminjam bahunya. Jadi, ia membolehkan Jendral untuk meminjam bahunya.
Puk!
Jidat Jendral sudah menempel di bahu kanan Raka, matanya ia pejamkan untuk menikmati harum tubuh Raka dan waktu yang sedang berjalan.
Raka yang bingung pun hanya bisa mengelus surai Jendral, berharap pemuda itu merasa nyaman.
Usapan lembut terus ia berikan, dan Jendral menikmati hal itu. Hingga sunyi menemani keduanya.
“Rak, makasih” suara Jendral yang pelan membuat Raka sedikit tersentak.
“Buat?”
“Semuanya, terutama makasih udah bersedia jadi temen gue” sebuah senyuman muncul di bibir Raka saat mendengar hal itu.
“Lo bahagia jadi temen gue, Jen?”
“Banget”
Kekehan pelan yang berasal dari Raka terdengar merdu di telinga Jendral, ia semakin merasa nyaman.
“Waktu bisa berhenti dulu ga sih, Rak?”
“Kenapa? Lo betah di posisi ini?”
“Iya, gue mau tetep kaya gini”
“Dasar, gue nya pegel”
“Maaf” gumam Jendral dan Raka hanya mengangguk.
“Gapapa, lo pasti lagi butuh ini banget ya?” Kini Raka menambahkan sebuah usapan lembut untuk punggung Jendral.
Jadi posisinya kini ialah Raka seperti sedang memeluk Jendral sambil duduk menyamping di sofa tersebut.
“Cuman lo doang, Rak” Ucapan Jendral membuat Raka terdiam.
“Cuman lo doang yang bisa bikin capek nya gue ilang” Tanpa Raka ketahui, kini mata Jendral tengah memanas karena air matanya terus ingin keluar saat mendapatkan kenyamanan yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Jendral.... gue gatau lo kenapa, tapi gue disini. Gue ada di deket lo, oke?” Setetes air mata Jendral jatuh.
Raka yang merasakan bahu Jendral bergetar, langsung memberikan pelukan hangat. Entah ada apa dengan dirinya, tapi ia merasa harus memberikan ini semua pada Jendral.
“Nangis aja, Jen. Jangan ditahan” bisikan Raka seperti sebuah mantra dan langsung saja, air mata yang sedari tadi ia tahan langsung berebut keluar.
“Gue cengeng, Rak”
“Engga, lo ga cengeng. Wajar lo nangis, Jen”
Raka semakin mengeratkan pelukannya dan lama-lama ia merasakan bahu kanannya basah.
“Raka, gue capek di tuntut buat jadi sempurna” Kalimat itu keluar dengan bebas dari bibir Jendral.
Sudah lama ia menahan diri untuk mengucapkan kalimat itu, tapi akhirnya di hadapan Raka, ia berhasil mengucapkan kalimat itu.
Raka terdiam, namun pelukannya tidak ia lepaskan.
“Gue mau kaya Jero, Rak. Gue ga suka ada posisi ini, gue ga suka” Tangis Jendral semakin pecah dan tentu saja hal itu membuat hati Raka ikut terasa sesak.
Sesak yang sulit di deskripsikan.
“Gue mau nyerah, gue—”
“Jen, terimakasih karena sudah bertahan sampai saat ini”
Ucapan Jendral dipotong oleh Raka dan mendengar kalimat yang Raka lontarkan membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Langsung saja, ia membalas pelukan Raka. Ia peluk Raka dengan erat, seperti menyiratkan sebuah pesan terimakasih.
Terimakasih karena sudah memberikan kalimat yang selama ini ingin ia dengar.
“Lo anak yang hebat, Jen”
Lagi, Raka mengucapkan kalimat yang selalu ia tunggu-tunggu.
“Buat jadi sempurna itu sulit ya, Jen?”
“Susah, Raka. Jadi sempurna itu susah” Jawab Jendral di tengah tangisnya.
“Tapi lo bisa laluin semua kesulitan itu”
“Gapapa, Jendral. Nangis aja, lo udah nahan ini dari lama kan? Tumpahin aja, cuman gue yang ada disini. Gaakan ada yang ngejek lo karena nangis, gaada yang nyuruh lo buat berhenti nangis, gaada yang nuntut lo jadi sempurna disini” Ucap Raka dengan suara lembutnya.
Wajahnya ia sembunyikan di bahu Raka dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
Terlalu banyak kebahagiaan yang ia dapat hari ini dan semua itu karena Raka. Selalu Raka. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur Raka datang kedalam hidupnya.
“Makasih banyak, Raka”
“Anytime, Jen. Kalo lo ngerasa berat buat nahan semuanya sendiri, lo bisa dateng ke gue”
“Lo bakal kasih gue peluk lagi?”
“Iya, gue bakal kasih lo peluk atau tempat bersandar nanti karena lo deserve buat dapet itu semua”
Jendral melepaskan pelukan antara mereka berdua hingga mereka saling menatap satu sama lain saat ini.
Wajah Jendral yang sembab akibat menangis membuat Raka tersenyum kecil, tangan mungilnya ia bawa untuk menghapus jejak air mata di pipi Jendral.
Setelah selesai membersihkan jejak air mata itu, tangannya bergerak untuk menepuk pelan kepala Jendral beberapa kali sambil berujar,
“Good job, Jendral. You did very well“
“Thankyou“
Kadang kala tak mengapa untuk tak baik-baik saja, karena kita hanyalah manusia. Wajar jika tidak sempurna.