Aksararen

Raka menghela nafasnya, kedua matanya ia bawa untuk menatap mata elang milik pria bersurai blonde yang ada di haddapannya saat ini. Suasana diantara keduanya sangat jauh dari kata cair. “Maunya gimana?” ujar Raka setelah keheningan yang mereka buat tadi.

“Udah gue bilang kan?” Yang ditanya malah memberikan pertanyaan padanya, bukannya jawaban.

Keningnya mengerut, bibirnya sedikit terbuka dan matanya pun menyiratkan rasa tak percaya atas pertanyaan yang baru saja di lontarkan padanya. “Jer???”

“Gue cuman mau ban-”

“Tapi gue ga butuh bantuan lo- I mean kita ga butuh bantuan lo”

Kalimat itu terucap dengan mulus dari bibir Jero, saat ia mengucapkan kalimat tersebut pun nampak biasa saja. Namun, rasanya ada sesuatu yang membuat dada Raka merasakan sesak. Seperti.... apa yang ia lakukan beberapa saat lalu pada orang yang ada di hadapannya itu adalah hal salah. Hal yang seharusnya tidak ia lakukan.

“Gue temen lo, Jer....” Gumaman yang terdengar sangat lirih tidak membuat Jero merasa bersalah.

“Ya, gue tau. Lo itu temen gue dan tandanya lo masih punya batasan untuk ikut campur segala masalah gue dan Jendral” Raka mengatupkan bibirnya, kepalanya ia tundukan sejenak hingga Jero memilih untuk berdiri dari duduknya.

Mata Raka pun secara reflek memperhatikan segala yang Jero lakukan, “Gue pamit. Gue harap di masa yang akan datang nanti, lo ga ngelewatin batas lagi” Ucap Jero dengan tegas dan Raka masih diam, matanya hanya melihat apa yang Jero lakukan dalam diam.

Sampai ketika Jero ingin membuka pagar rumah Raka, si manis berujar dengan nada datar.

“Lewatin batas ya.... Hahahaa, padahal kalian berdua yang duluan ngelewatin batas dalam hubungan pertemanan kita”

Jero terdiam, gerakkannya pun seketika terhenti.

“Jer, gue bingung deh” Suara Raka seakan mengawang dan entah mengapa membuat Jero terdiam, kehilangan banyak kata, juga rasa kesalnya seakan menguap.

“Hubungan kita bertiga itu apa? Kita cuman temen atau lebih?”

Pertanyaan yang mudah saja untuk dijawab oleh dirinya, tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu. Ia merasa... jika ia bersuara, hanya akan menambah suasana semakin runyam.

Keterdiaman Jero membuat Raka terkekeh lalu ia pun bangkit dari duduknya, kedua tangannya ia masukan kedalam saku celana pendeknya, juga matanya menatap punggung Jero tanpa menyiratkan ekspresi.

“Maaf karena gue yang kelewat batas tadi, gue janji ga akan kaya gitu lagi. Juga buat pertanyaan gue tadi, lo gausah jawab. Gue udah dapet jawabannya” Jantung Jero seketika berdetak dengan cepat.

Rak, engga bukan itu-

“Karena kita cuman temen, ga lebih dari itu kan? Yaudah, hati-hati di jalan bro”. Tolong tutup pagernya kaya biasa ya, gue masuk duluan”

Belum, Jero belum memperjelas kalimatnya. Namun, terlambat. Raka sudah menarik kesimpulan dan sekarang ia sudah masuk ke dalam rumahnya.

Dasar, Jero bodoh. Lain kali berpikirlah sebelum berucap.

Bego, lo malah bikin dia makin jauh.

Wkwkwk, lawak lah anjing.

cw// harsh words.

“Buruan woy!”

“Salam dulu anjing, heran gue. Lo sama si jendral belajar buat salam dulu ga sih”

“Bawel, futsal gue udah mau mulai”

“Ya, sabar! Aduh, anjir. Ini tali sepatu gue kenapa susah di lepas gini”

Jero menghela nafasnya, motornya ia standar, kemudian ia berjalan kearah Raka yang tengah kesusahan dengan tali sepatunya.

“Lo ngapa sih...” Jero bergumam pelan sembari menatap Raka yang sedang berjongkok.

Raka mendongakkan kepalanya, lalu menunjukkan raut wajah kesalnya yang entah mengapa terlihat lucu di mata Jero.

“Susah” ucap Raka dan Jero langsung berdecak. Pemuda dengan surai blonde itu pun berjongkok di depan Raka kemudian membantu untuk menyimpulkan tali sepatu Raka.

“Gue kira lo serba bisa” ucap Jero di tengah kegiatan menali sepatu Raka.

Raka berdehem singkat, “Gue sebenernya bisa, cuman ini talinya aja yang susah di lepas” Jero terkekeh saat mendengar alasan yang Raka buat.

“Iya dah, terserah. Nah, selesai. Yok?” Saat ia mengangkat kepalanya, seketika matanya berhadapan langsung dengan Raka yang ternyata tengah menatapnya juga.

Kedua pasang mata tersebut saling beradu, saling meneliti keindahan yang tersaji di depan, dan membatin akan keindahan itu.

Tapi seperti ada yang aneh, mengapa jantung mereka berdetak dengan kencang saat ini?

“Ekhem! Pacaran nya jangan disini juga dong, gan” Raka sontak berdiri, di ikuti Jero.

Sialan Gema.

“Berisik aja lo, Gem. Lo kenapa belom ke lapangan?” Tanya Jero dan Gema hanya menatap datar sang penanya.

“Ketua futsal nya aja ada disini, ngapain gue buru-buru” Ujar Gema sebelum melajukan motornya ke tempat yang Jero maksud.

“Err, berangkat?” Raka mengangguk sembari menundukkan wajahnya.

Setelah memastikan Raka nyaman di motornya, Jero pun langsung melajukan motornya menuju tempatnya ia berlatih futsal.

“Rak”

“Hm”

“Pegangan, gue mau ngebut. Udah telat banget soalnya”

“Hah?!”

“Pegangan, gue mau ngebut!”

“Apaan sih, Jer? Lo mau nyebur?”

Jero menghela nafas, tanpa basa-basi ia pun menarik tangan Raka untuk melingkar di pinggangnya. Sang pemilik tangan pun sedikit terkejut namun beberapa detik kemudian ia paham maksud Jero.

“Bilang dong kalo disuruh pegangan”

“DARITADI GUE BILANG GITU, ANJIR” Teriakan frustasi dari Jero membuat Raka tertawa lepas.

“SORRY” Ujarnya sambil mengeratkan pelukan di pinggang Jero karena laju motor Jero yang semakin kencang.

Awalnya perjalanan mereka menuju lapangan futsal biasa saja, namun disaat beberapa meter lagi mereka sampai ke tujuan, tiba-tiba ada tiga orang yang menghadang jalanan gang tersebut. Raka langsung kebingungan dan Jero tengah menahan kesal.

“Minggir woy!” Seru Jero kepada 3 orang tersebut namun yang ia dapatkan hanya ledekan yang terlihat menyebalkan.

“Lawan dulu dong” Ucap salah satu dari mereka yang Raka lihat memegang sebuah tongkat. Sontak Raka bergidik ngeri dan mengeratkan pelukannya pada Jero.

“Lo kenal mereka, Jer?” Bisik Raka.

“Ini anak buah yang ketuanya lo bikin pingsan kemaren” jawab Jero dengan berbisik juga, Raka seketika mengatupkan bibirnya.

Kok bisa ketemu disini?

“Woy! Malah bisik-bisik, cupu lah” Jero mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh.

“Lo yang cupu, lawan kok ga pake tangan kosong” ujarnya dengan nada yang songong.

Raka mendesis pelan saat merasakan hawa yang tak enak, ia memilih bersembunyi di belakang Jero, hingga sebuah ide pun melintas di otaknya. Tangannya dengan cepat mengambil ponselnya lalu mengetik sesuatu.

“Rak”

Raka yang baru saja selesai mengetik langsung menoleh kearah Jero, “Hm?”

“Jangan turun dari motor ya, kalo semisal keadaannya bikin lo ga nyaman langsung aja pergi pake motor ini” Ucapan Jero membuat Raka membulatkan matanya.

“Terus lo?!”

“Ya, gue nahan mereka”

“Anjir, stres lo. Engga lah, gue gabakal ninggalin lo!” Jero sedikit terkejut dengan ucapan Raka yang terdengar tulus itu.

Namun... “Mending kita kabur berdua!” Jero seketika mematung, matanya menatap Raka dengan pandangan tidak percaya.

“Lo ngajak kita kabur?” Raka mengangguk dengan wajah yang serius.

“Raka, lo tau? Kita mending di rencana gue aja. Gaada penolakan” Mendengar hal itu Raka langsung ingin melayangkan protesnya, namun Jero sudah terlebih dahulu berlari kearah 3 orang yang menghadang mereka tadi.

Nyari perkara aja ni orang, heran gue.

“Gue bilang kan jangan ganggu gue lagi!” Jero berseru dengan lantang sembari menendang kaki pemuda yang berambut merah kehitaman.

Brugh!

Jero dengan tangkas menghindari pukulan lalu dengan cepat memberikan serangan yang mungkin akan berakibat fatal nantinya.

Sret!

Si rambut ikal berhasil mengenai pisau lipatnya kearah pipi Jero, namun bukannya merasa menang ia malah merasa akan sebuah pembalasan yang lebih dan benar saja, Jero sudah menatapnya dengan sinis lalu memberi serangan padanya secara bertubi-tubi.

“Sssshhh, ngapain bikin muka gue baret anjing!”

Raka tersentak saat mendengar seruan itu, ia menggigit bibir bawahnya, dan matanya menyorotkan kekhawatiran pada Jero.

Jangan pingsan, Jer. Gue mohon, badan lo gede soalnya.

Kembali pada Jero, kini ia hanya berhadapan dengan satu orang karena yang lainnya sudah jatuh pingsan. Matanya menyiratkan kekesalan karena telah menganggu dirinya sedangkan orang yang di depannya menatap Jero dengan datar.

Keadaan keduanya jauh dari kata normal, pasalnya baik dari wajah maupun tangan mereka sudah banyak lukisan-lukisan abstrak.

“Lo ada dendam apa sama gue?” Tanya Jero dan orang yang ada di depannya itu hanya menampilkan senyum miringnya.

“Gaada” ujarnya dan tanpa membiarkan Jero berpikir, ia langsung memukul lengan kiri Jero dengan tongkat kayu yang ia bawa.

Bug!

“JERO!”

“Argh! Anjing juga lo” Ucap Jero sambil memegang lengan kirinya yang baru saja terkena pukulan itu, matanya memberikan isyarat singkat pada Raka dan tentu saja Raka paham maksud dari tatapan itu.

Pergi.

Namun Raka memilih untuk tetap di posisi nya, meski takut ia harus tetap disini. Mau bagaimana pun, Jero temannya. Walau ia sedikit tidak menyukai pemuda itu.

Bugh!

“AH!”

“ANJING, BERHENTI GA LO?!” Raka reflek berteriak saat perut Jero di pukul oleh tongkat kayu. Sang pemukul pun langsung menatap Raka kemudian menarik seulas senyum tipis.

“Raka ya?” Dengan usaha maksimalnya, Jero berusaha menarik orang itu agar tidak mendekati Raka.

“Lo.... ssshh jangan deketin dia. Lawan lo itu gue!”

“Lo gabisa lawan gue, perut lo tuh urusin sana” ucap orang itu sembari mendorong Jero, hingga membuat Jero terjatuh ke tanah.

Tubuh Raka sedikit gemetar namun ia mencoba untuk tetap berdiri dengan tegap, memberikan kesan berani kepada orang yang akan mendekat kearahnya.

Kini keduanya berhadapan, hanya satu langkah lagi saja Raka akan merasakan hembusan nafas dari orang tersebut.

Mata keduanya bertemu, disaat Raka memberikan wajah yang dingin, yang di hadapannya malah memberikan wajah yang terkesan ramah. Senyuman bahkan terpatri di bibirnya, namun bukannya merasa nyaman, Raka malah merasa takut.

“Raka, lo belum tau nama gue kan?”

“Gamau tau”

“Kok gitu? Gue tau nama lo, masa lo gatau nama gue?”

Raka meneguk ludahnya, “Salah lo sendiri, kenapa tau nama gue”

Orang yang ada di hadapannya itu terkekeh, “Lucu lo, gimana kalo lo jadi pacar gue?” Kakinya mulai melangkah dan Raka juga turut melangkah mundur.

“Jangan deket-deket gue” Ucap Raka dengan tegas.

“Kenapa? Lo takut?”

“Ogah banget gue takut sama lo”

Walau lisan berujar seperti itu, di dalam hatinya ia terus merapalkan doa agar ada orang yang datang untuk membantunya.

“Gue Maheswara”

“Ga pe—”

Ucapan Raka terhenti saat ada tangan yang dengan lancang memegang bahunya, bahkan diusap.

Maheswara, pemuda itu pelakunya.

“Bahu lo sempit, cocok kalo masuk kedalam pelukan gue”

Bangsat.

Raka mengambil nafas dengan pelan, matanya ia coba untuk tetap memberikan kesan berani namun tangannya sudah tidak bisa ia kendalikan. Ia bergetar karena merasa terintimidasi. Jero yang masih merasakan sakit di tubuhnya, dengan di paksa mencoba untuk menolong Raka.

Namun sebelum ia mendekat kearah mereka, tiba-tiba ada orang lain yang datang.

“Lepas tangan kotor lo dari bahu dia.” Mahes menatap orang yang tengah meremas pergelangan tangannya dengan kuat itu, sampai beberapa detik kemudian ia merasa tak tahan lalu ia melepaskan tangannya pada bahu Raka.

Tepat satu detik saat tangannya terlepas, ia merasakan dirinya seperti melayang lalu menghantam tanah dengan sangat kencang.

“ARGH!” Teriakan itu membuat Jero dan Raka seketika terkejut lalu menatap orang yang baru saja datang itu.

“Jen...” lirih Raka dan orang tersebut langsung menampilkan raut sedihnya pada Raka.

“Maaf, gue telat” Raka yang tidak bisa menahan tangisnya pun langsung menerjang Jendral, memeluk pemuda itu dengan erat sambil menumpahkan tangis yang ia tahan sedari tadi.

Jendral, orang yang datang di saat yang tepat. Ia dengan gugup mencoba membalas pelukan Raka sembari memberikan usapan lembut dan menenangkan.

Jero yang melihat Raka menangis pun langsung berjalan mendekat kearah mereka berdua. Matanya menatap Raka dengan rasa bersalah lalu tangan kanannya yang bebas pun bergerak untuk mengusap rambut Raka.

“Maaf” ujarnya dengan rasa penuh penyesalan.

Cukup lama mereka bertiga di posisi itu, hingga saat dirasa dirinya sudah tenang, Raka melepaskan pelukan itu kemudian menatap dua pemuda kembar yang ada di hadapannya dengan wajah yang sedikit bengkak karena habis menangis.

“Lo berdua tuh.... ah, udahlah. Ayo ke klinik, Jero harus di obatin” ucap Raka sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya tadi.

“Rak, Maaf”

“Bukan salah lo, mereka yang salah”

“Maafin gue juga yang telat, lo jadi ngala—”

“Ayo ke klinik” ujar Raka sambil menyalakan motor milik Jero.

Jendral dan Jero saling bertatapan sebentar lalu menuruti kata Raka.

Mereka bener-bener bikin gue ngalamin banyak hal.

Setelah melihat sosok yang ia cari, pangeran manis bersurai pirang itu pun langsung berlari menghampirinya.

“Nolan?” Panggilan itu membuat sosok yang tengah memandangi kolam ikan langsung menunduk sambil mengusap ujung matanya.

Juanka mengernyit lalu mengambil duduk di sebelah sosok itu, mata yang seindah galaksi miliknya diajak untuk menatap intens seorang pangeran yang selalu mengisi harinya sejak umurnya masih belia.

“Nolan... lo kenapa?”

Nolan, pangeran yang Juanka cari tadi langsung menoleh kearah si manis sambil menampilkan senyum khasnya.

“Gapapa, aku cuman bosen. Jadi duduk disini” kernyitan di dahi menandakan seorang Juanka tengah tidak percaya dengan ucapan Nolan.

“Bohong. Cerita, gue ga keberatan buat dengerin cerita lo” Nolan menatap jelaga indah milik Juanka dengan dalam. Hingga ia pun merasakan detak jantungnya memompa dengan sangat cepat. Padahal ia hanya menatap mata Juanka, tapi mengapa rasanya seperti ia tengah berhadapan dengan para petinggi kerajaan lain?

Ah, Nolan sadar. Orang yang tengah ia tatap ini adalah salah satu petinggi yang ia hormati didalam hatinya. Juanka adalah orang yang penting dan sangat ia sayangi.

“Kamu mau denger?” Juanka sontak tersenyum manis sambil mengangguk semangat.

“Tentu!”

Mereka terdiam sejenak, Nolan tengah berpikir harus mulai bercerita darimana dan Juanka memilih menunggu. Tidak memaksa dan bersiap menjadi pendengar yang baik.

“Kamu bener, Juan”

Ucapan Nolan yang tiba-tiba membuat Juanka sedikit terkejut, tapi setelah itu ia kembali menormalkan diri.

“Jadi pangeran... capek” Kata terakhirnya Nolan ucapkan dengan suara yang pelan, pandangannya pun ia alihkan kearah kolam ikan.

“Padahal aku harusnya udah terbiasa kan? Dari kecil, aku sudah di persiapkan untuk berhadapan sama hal-hal itu. Tapi kenapa? Kenapa rasanya aku ga sanggup? Kenapa aku ngerasa semua hal yang aku lakuin bukan yang terbaik? Aku udah lakuin apa yang aku pelajari, tapi apa-apaan ini?” Mata Nolan menyendu, bahunya yang selalu terlihat tegap kini sedikit turun.

Juanka memandang Nolan dengan iba, dengan refleknya ia usap dengan lembut punggung Nolan.

Hening melanda mereka kembali, hanya suara percikan air yang ikan buat sebagai peramai antara keduanya.

“Juan, aku pantes ga sih buat jadi pemimpin kerajaan ini kelak?” Pertanyaan tiba-tiba itu, tatapan bingung itu, membuat Juan terdiam seribu bahasa.

Nolan yang melihat keterdiaman Juan langsung menghembuskan nafasnya, “Yah, ternyata aku emang ga pantas jadi pemimpin. Pantes aja, kamu pun ragu buat nerima pernyataan cinta aku” Ujarnya dengan pelan sambil menundukkan kepalanya.

Sampai suara kekehan pelan terdengar di telinga nya, Nolan mendongakkan kepalanya lalu matanya melihat dengan jelas Juanka yang tengah tertawa kecil sambil menepuk bahunya beberapa kali.

Cantik.

“Aduh, Nolan! Lo tuh—Hahaha—Ya ampun, Lucu banget!” Nolan mengernyit bingung.

“Kenapa? Apa yang lucu?”

Juanka dengan perlahan meredakan tawanya, setelah itu ia tatap Nolan dengan lembut.

“Lo lucu. Gue ga nyangka, orang yang gue pikir paling percaya diri ini punya sisi yang kaya gini” Nolan semakin bingung.

“Nolan, lo tau ga sih? Di mata gue lo tuh sempurna. Sempurna banget, ngalahin rasa kue pie susu yang dibuat koki di kerajaan sebelah”

“Kok di samain ke kue pie susu?” Ujar Nolan dan Juanka hanya menampilkan cengirannya.

“Gatau, soalnya kue pie susu itu rasanya sempurna. Gue suka” sebelah alis Nolan terangkat.

“Kalo kamu suka pie susu itu, berarti kamu juga suka sama aku?” Bibir Juanka terkatup seketika namun ia menggeleng dengan cepat.

“Jangan bahas pie susu dulu, kita lagi bahas lo yang lagi dilanda keraguan” Nolan mengangguk pelan.

“Ok, Nolan. Gue gatau kata penghibur apa yang pas buat lo, jadi gue mau jujur aja”

Nolan diam, menatap Juanka yang tengah bersiap mengutarakan kalimat yang mungkin saja akan memunculkan jawaban dari keraguannya tadi.

“Pangeran Nolan Wholephilip, sahabat kecil dari Pangeran Juanka Ataresia. Selama gue kenal lo, gue liat pertumbuhan lo dari umur tiga tahun, liat apa aja yang lo lakuin sampe di titik ini. Gue bisa menyimpulkan kalo lo itu sebuah definisi pangeran yang sempurna” Ujar Juan dengan semangat.

“Lo tau? Semua yang lo lakuin, di mata gue dan mungkin di mata orang lain, itu keliatan sempurna semua. Sekalipun lo ada buat kesalahan, lo selalu cari cara untuk mengatasi masalah itu dengan baik. No, lo selalu sanggup buat menghadapi masalah yang ada di depan lo” Nolan terhenyak dengan ucapan Juanka. Entah mengapa, dadanya terasa banyak sekali letusan kembang api. Ia merasa puas dengan apa yang Juan katakan.

“Dan lagi! Lo pantes buat jadi pemimpin kelak kerajaan ini, gue percaya itu” ujar Juanka dengan serius.

Matanya yang seindah langit malam ini, senyumnya yang selembut suara hembusan angin, juga ucapannya yang terdengar tulus dan penuh keyakinan, Nolan dihadapkan semua itu di malam ini melalui satu orang. Seorang Juanka Ataresia.

“Lo pasti suka ngalamin malam yang kaya gini ya? Tiba-tiba pikiran ragu datang di kepala lo” Nolan mengangguk pelan.

“Nah, kalo lo ngalamin malam yang kaya gini lagi, lo harus bilang ke gue!”

“Kenapa?”

“Biar gue kasih pelukan sama senyum gue yang manis! Hahaha” Tawanya mengalun dengan riang, membuat diri Nolan merasa tenang.

Tolong ingatkan Nolan bahwa ia beruntung telah di pertemukan dengan Juanka dan ia tidak salah karena telah menaruh hati pada pemuda itu.

“Iya, aku bakal bilang ke kamu” ucap Nolan dan Juan yang sudah selesai tertawa langsung mengangguk puas.

“Kalo gitu, aku boleh minta peluk?”

“Boleh!” Tanpa berbasa-basi, Nolan langsung masuk kedalam dekapan hangat yang Juanka berikan.

“Nolan”

“Hm?”

“Jangan pernah berpikir buat mundur dan ninggalin semua usaha lo ya” bisik Juanka dan Nolan langsung mengangguk kemudian menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Juan.

“Ga akan”

“Tapi lo harus berhenti buat usaha dapetin gue”

Deg!

Nolan mengeratkan pelukannya, semakin menyembunyikan wajahnya, hingga ia bersuara “Kenapa?”

“Karena usaha lo udah membuahkan hasil yang baik” suara lirih Juanka terdengar dengan jelas di telinga Nolan.

Pelukan mereka terlepas, kedua bahu sempit Juan pun Nolan remas dengan lembut, matanya menatap Juanka dengan berbinar.

“Maksud kamu..?”

“Aku juga suka sama kamu, Nolan. Aku menerima kamu menjadi kekasih hati pangeran Juanka Ataresia”

Kalimat yang selama ini Nolan tunggu pun keluar dari bibir Juanka, tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

“Kamu serius?”

“Serius, masa bohong?”

Nolan menangkup kedua pipi Juanka dengan kedua tangannya, ia tatap jelaga indah itu dengan pandangan tidak percaya.

“Kamu kalo—”

Cup!

“Jangan banyak omong, bawel”

Astaga, baru saja bibir Nolan di kecup singkat oleh Juanka.

Apa ia sedang bermimpi? Jangan bilang ini hanya mimpi? Duh, Nolan sadar! Ini semua nyata! YA AMPUN, BIBIR NYA BARU SAJA DI KECUP OLEH JUANKA.

“Kamu...”

Juanka tersenyum kecil lalu berdiri dari duduknya, “Udah ah, ayo ke ruang makan. Udah jam makan malam dan.... Bunda Ratu harus tau hal ini kan?” Ucapnya sebelum berlari kecil meninggalkan Nolan yang masih memproses segalanya.

Hingga kesadarannya pun kembali, matanya melebar saat melihat Juan yang semakin jauh. Ia berdiri dari duduknya lalu berlari mengejar Juanka—Oh, atau sekarang kita sebut Kekasihnya?

“Juan!”

“Ayo lari yang kenceng, yang sampai paling akhir berarti payah!”

“Aku rela jadi payah demi kamu!”

“Ewww, geli!”

Benar-benar, malam itu Juanka memberikan semua jawaban dari keraguannya dan Nolan sangat bahagia akan hal itu.

Thanks for all the answers. I love you.

Juanka menghela nafasnya dengan berat saat sambungan telponnya sudah terhubung dengan Nolan.

“Kamu kenapa?”

“Bosen, kan gue bilang tadi”

“Ga yakin kamu bosen doang”

“Beneran, boseeen”

“Serius?”

“Astaga! Iya, Nolan! Gue bosen!”

“Aneh, kemaren-kemaren kamu selalu ada kegiatan. Gaada kata 'bosen' yang keluar dari mulut kamu”

Juanka mendengus saat mendengar ucapan Nolan. Tanpa sadar, ia memanyunkan bibirnya sambil menatap jendela kamarnya dengan sebal.

“Gatau lah. Yaudah, gajadi bosen”

“Loh? Aneh”

“AH, GAJELAS NOLAAN. MATIIN AJA”

Juanka tengah merengek dan telinga nya langsung mendengar suara tawa yang selalu ia dengar sejak dari kecil.

“Kamu kangen aku ya?”

“Hah? Apasih! Gajelas!”

“Jujur aja”

“Dih dih aneh lo, siapa yang kangen?!”

“Kamu”

“Engga ya!”

“Iya, aku juga kangen kamu. Lusa aku pulang kok, pas pulang nanti aku bakal langsung nyamperin kamu”

Juanka menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu bersuara kecil “Bener?”

“Iya, bener Juan”

“Ga bohong?”

“Ngapain aku bohong sama kamu?”

Senyum tipis mampir di bibir Juan, “Oke! Kalo gitu, gue mau lanjut ngerjain tugas! Bye, Nolan! Jangan lupa bawa banyak makanan enak”

“Iya, semangat ngerjain tugasnya. Aku ga akan lupa bawain kamu makanan enak. Bye, Juan”

Dan sambungan pun terputus, meninggalkan euforia penuh kupu-kupu di kedua pangeran itu.

cw // kiss

Aleen

Galendra yang mendengar seruan sang kekasih langsung menerbitkan sebuah senyuman lebar nan manis di bibirnya.

Hati-hati, sayang” ujarnya sebelum sebuah pelukan erat Reggie berikan padanya. Galendra memeluk erat kekasih mungilnya, tangan kirinya bergerak mengusap surai halus milik Reggie dengan lembut, hingga si manis melepaskan pelukan itu.

Ayo!

Ga sabar ya?

Banget

Oke oke, ayo kita berangkat” Ucap Galen sembari memakaikan helm pada kepala Reggie dan sehabis itu ia pun turut memakai helm.

Setelah memastikan si manis sudah duduk dengan aman dan nyaman, motornya mulai ia nyalakan kemudian melaju menuju sebuah lokasi yang dari semalam membuat Reggie penasaran.


Sayang

Reggie yang tengah menikmati jalanan kota yang agak ramai pun langsung menumpukan dagunya di bahu kanan Galen.

Kenapa, Len?

Kamu bisa tebak ga kita mau kemana?” Reggie diam sejenak, matanya mulai menelisik area yang mereka lewati.

Kaya ga asing deh” ujarnya.

Galen pun tidak merespon apa-apa, ia sibuk membelokkan motornya kearah kanan hingga sebuah sekolah yang besar pun dapat Reggie lihat.

Eh?

Galen mulai sedikit melambatkan laju motornya saat melewati bangunan tempat menimba ilmu itu.

Itu sekolah sma aku tau” ucapan Galen membuat Reggie terdiam.

Kalo itu sekolah kamu berarti...” gumaman Reggie terhenti saat melihat sebuah jembatan layang. Matanya membulat, degup jantungnya terpompa dengan cepat seketika, tanpa sadar tangannya meremat kuat jaket milik Galen.

Jembatan layang itu...

Galen sedikit menatap kondisi Reggie melalui kaca spion hingga sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.

Iya, Re. Itu tempat yang aku maksud. Tempat kita pertama kali bertemu” Tubuh Reggie semakin menegang.

Hingga motor Galendra berhenti di sebuah minimarket dekat jembatan layang itu. Reggie dan Galen pun turun dari motor itu, helm mereka sudah mereka lepaskan.

Yuk?” Tangan Galen terulur kepada Reggie. Pemuda manis itu terdiam sejenak, menatap uluran tangan tersebut lalu menatap wajah Galen, yang ditatap pun langsung menampilkan senyum lembutnya hingga Reggie akhirnya menerima uluran tangan itu.

Mereka berjalan berdampingan, sembari menggenggam tangan satu sama lain, menikmati semilir angin yang berhembus di jembatan layang itu, juga mata mereka menatap hamparan sungai besar yang berada di bawah jembatan.

Hening melingkupi keduanya. Di setiap langkah mereka, pikiran mereka terus teringat akan cerita masa lalu yang terjadi di jembatan itu. Sedikit sesak pun Reggie rasakan disetiap langkahnya, nafasnya semakin tidak beraturan dengan perlahan.

Hingga langkah mereka berhenti, di tengah-tengah jembatan itu. Tautan antara keduanya belum terlepas, malah semakin mengerat.

Re...” Galen menoleh kearah Reggie yang tengah meremat dadanya, seketika raut wajahnya langsung berubah menjadi khawatir.

Hei, sayang? Kamu kenapa?

Sakit, Alen... sakit” ujar Reggie dengan suara yang lirih. Mata indah itu pun menatapnya, dapat Galen lihat mata itu tengah menahan sebuah air matanya hingga beberapa detik kemudian, air mata yang Reggie bendung pun tumpah.

Awalnya turun dengan perlahan dan lama-kelamaan turun dengan deras.

Galen yang bingung pun hanya bisa memeluk Reggie dengan erat, membisikkan kalimat penenang juga usapan lembut pada punggung juga surai milik Reggie.

It's okay, baby. I'm here

Alen, Alen, Alen—hiks, aku gabisa berhenti nangis” ujar Reggie disela tangisnya dan Galen pun terkekeh pelan.

Pelan-pelan, sayang” ucap Galen.

Aku terus keinget kejadian dulu— aku harusnya biasa aja, tapi aku kenapa malah nangis? HUAAA, ALEN

Cup cup cup, gapapa nangis aja. Nangis sepuas kamu sayang, ga bakal ada yang ledekin kamu disini, gapapa” Reggie semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Galen.

Ka—kamu kok ga sedih?” Tanya Reggie dengan pelan.

Aku?

Hum

Kenapa ya...?” Reggie seketika mendongakkan wajahnya untuk melihat sang kekasih.

Kamu aneh” ucap Reggie sambil memanyunkan bibirnya.

Galen sedikit menundukkan wajahnya agar dapat melihat wajah imut Reggie. Tangan kanannya terangkat untuk merapihkan anak rambut si manis yang berantakan lalu mencubit pelan pipi sang kekasih.

Kamu lucu banget, Re” Raut wajah Reggie kini berubah menjadi sedikit sebal karena pernyataan yang Galen lontarkan tiba-tiba.

Dari lahir!” serunya setelah itu ia lepaskan pelukan antara mereka.

Galen tersenyum tipis saat melihat Reggie yang tengah berpegangan di pagar pembatas jembatan itu sambil menatap luasnya sungai yang tersaji didepan mata.

Sebuah pelukan dari belakang pun Reggie rasakan kemudian ia juga merasakan berat di bahu sebelah kanannya. Reggie sedikit melirik Galen yang tengah menatap sungai besar didepan kemudian ikut menatap apa yang ia tatap sebelumnya. Hembusan angin yang semakin terasa sejuk juga hembusan nafas hangat milik Galen yang terasa di lehernya membuat Reggie merasa nyaman.

Re

Hm?

Kamu kalo lewat sini selalu sedih ya?

Reggie diam sejenak, menghembuskan nafasnya lalu mengangguk pelan, “Iya dan aku gasuka” ucapnya dengan pelan.

Kamu mau ga kalo lewat jembatan ini bukannya ngerasa sedih tapi malah ngerasa bahagia” Reggie mengernyit kemudian membalikkan tubuhnya kearah Galen, hingga kini posisinya mereka saling berhadapan dengan Reggie yang bersandar di pagar pembatas jembatan layang itu dan pinggang nya yang di peluk dengan erat oleh Galen.

Gimana?” Galen tersenyum tipis lalu dengan gerakan yang cepat wajahnya langsung mendekat kearah wajah Reggie, mempertemukan bibirnya dengan bibir kesayangannya.

Reggie mengerjap, tangannya dengan reflek memegang bahu Galen, ia menatap wajah Galen yang sangat dekat dengannya dan matanya sudah tertutup dengan damai.

Tak lama kemudian, mata Reggie pun ikut tertutup, tubuhnya yang tadi tegang mulai rileks dan Galen langsung melumat dengan lembut bibir si manis.

Waktu seakan berjalan dengan lambat, suara bising kota seolah menghilang, yang dapat Galen dan Reggie dengarkan hanya suara detak jantung mereka yang berpompa dengan kencang karena merasakan euforia yang luar biasa.

Beberapa detik kemudian, ciuman mereka terlepas dengan perlahan, keduanya langsung mengambil oksigen yang sempat tertahan tadi.

Dengan wajah yang sedikit memerah, Reggie mencoba menatap Galen dengan garang, “Maksudnya apa cium-cium aku kaya gini?” ujarnya dan Galen hanya diam sembari menempelkan dahi mereka berdua.

Reggie sontak mengatup bibirnya, mata mereka saling bertatapan, menghantarkan sebuah rasa yang sedang mereka rasakan.

Re” panggil Galen dengan suara rendahnya.

Ya?” Jawab Reggie dengan suara lirihnya.

Happy anniversary yang pertama untuk kita berdua” bisik Galen tepat didepan bibir Reggie.

Pemuda manis itu seketika mematung. Ah iya... aku baru inget. batinnya.

Senyuman hangat pun langsung terbit di bibir Reggie, “Happy anniversary too, Kapten” ujarnya setelah itu ia berikan kecupan singkat pada pipi kiri Galen.

Re, terimakasih karena sudah bertahan dalam hubungan ini. Terimakasih atas semua kesabaran juga afeksi yang kamu kasih ke aku. Satu tahun bukan waktu yang sebentar dan kamu hebat karena bisa terus menemani aku sampe saat ini, makasih ya sayang” Reggie mengangguk pelan, senyuman hangatnya masih melekat pada bibir merah muda itu.

Aku juga mau minta maaf, maaf karena aku belum bisa jadi pacar yang baik kaya pacar orang lain di luar sana, maaf karena aku yang kadang ga peka, dan maaf karena aku jarang ngasih afeksi lebih ke kamu” Reggie memilih diam, mendengarkan apa yang ingin dominannya sampaikan padanya.

Untuk pertama kalinya, Galen mengungkapkan semua apa yang ia ingin katakan kepada Reggie.

Re, aku mungkin bukan pacar yang sempurna tapi aku mencoba untuk menyempurnakan hubungan kita” Rangkulan tangannya pada pinggang Reggie ia lepaskan, Galen membuat sedikit jarak antara mereka berdua.

Maka dari itu, cara terakhir aku untuk menyempurnakan hubungan kita ini dengan—

Reggie seketika menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, air matanya tidak bisa ia bendung lagi, Reggie kembali menangis. Namun, tangis kali ini adalah tangis haru.

Matanya melihat jelas Galen yang tengah berlutut dengan satu kakinya, dengan tangan yang memegang sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin yang indah.

Menikahi mu, membuat hubungan kita menjadi lebih serius dan sakral karena hanya maut yang akan memisahkan kita nantinya” Galen memberikan senyum terbaiknya pada Reggie.

Reggie Juandra, Will you marry me to make our beautiful memories more meaningful?” Ujarnya dengan tegas.

Reggie bersumpah, pertanyaan Galen kali ini adalah pertanyaan yang akan Reggie ingat selalu setelah pertanyaanya yang mengajak untuk berpacaran saat dulu. Kedua pertanyaan ini sama-sama membuat dirinya bahagia sampai rasanya ada beribu kupu-kupu yang terbang di perutnya, namun untuk pertanyaan kali ini rasanya beribu kupu-kupu itu juga beterbangan di area dadanya.

Kelamnya yang cantik menatap kelam tegas milik Galen, hingga sebuah senyuman lebar pun ia berikan pada sang dominan.

Yes, I will

Selesai sudah perjalanan cinta mereka dalam status Pacaran karena mulai esok mereka akan melanjutkan perjalanan cinta mereka dengan status yang lebih serius yaitu Menikah. Rasa percaya, Rasa setia dan Rasa cinta yang mereka bangun kemarin akan menghantarkan mereka kedalam kebahagiaan yang luar biasa banyak sekali di hari esok.

Selamat Galen dan Reggie, semoga kehidupan baru kalian akan berjalan lebih baik daripada hari kemarin.

Semua rasa yang mereka rasakan hari ini hanya dapat di deskripsikan dengan dua kata yaitu, Campur aduk.

16.00

Raka mengusap wajahnya yang baru saja ia basuh dengan air itu, matanya menatap pantulan dirinya di cermin yang ada pada kamar mandinya.

“Dah cakep lagi nih gue” ujarnya dengan pelan sambil menaruh handuk yang ia pakai tadi.

Raka mengganti pakaiannya yang sedari pagi melekat pada tubuhnya, saat dirasa sudah rapih pun ia langsung berjalan menuju ruang tamu rumahnya.

Disana ia tidak menemukan siapapun, hanya tv juga kipas yang sedang menyala. “Kebiasaan banget pak sunandar ini” gumamnya sambil mengambil duduk di sofa.

“MISI!”

Suara seruan yang berasal dari luar rumahnya membuat Raka berdecak pelan, kemudian ia kembali berdiri dan berjalan menuju asal suara.

“Siapa sih?! Perasaan saya gaada mesen paket” dumelnya sembari memakai sendal lalu kembali berjalan menuju pagar rumahnya.

“Maaf kak, saya jasa antar buah jeruk buat orang yang sakit” suara itu membuat Raka mengadahkan kepalanya dan saat tahu siapa yang berdiri di depan rumahnya, mata Raka seketika membulat. Dengan reflek nya ia berseru,

“Anjir! Kok lo disini?!”

Suara kekehan terdengar dari orang tersebut dan hal itu membuat Raka bergegas membukakan pagarnya.

“Bukannya gue udah bilang ya tadi?” Ujar orang itu sambil menyerahkan kantung plastik yang berisi buah jeruk kepada Raka.

“Makasih.... Gue lupa masa” ucapnya.

“Yaudah, masuk-masuk. Lo mah, repot-repot bawa ginian segala, jen” bilangnya kaya gitu tapi wajah Raka terlihat puas karena dibawakan buah tangan oleh Jendral.

Iya, Jendral yang datang menjenguk Raka. Seorang diri, tanpa anggota geng kece.

“Ga repot, gue beli di jalan tadi. Sekalian” Raka mengangguk lalu mempersilahkan Jendral duduk di kursi yang tersedia di teras rumahnya.

“Mau minum?”

“Gausah, gue cuman bentar disini” Raka mengangguk paham kemudian mengambil duduk di kursi samping Jendral.

Jendral langsung merilekskan duduknya, melepaskan kacamatanya yang melekat di pangkal hidungnya sedari tadi, menyugarkan rambutnya ke belakang, kemudian mengendurkan dasi yang sedari pagi melingkar di lehernya dan kalian tahu? Semua kegiatan yang Jendral lakukan tidak lepas dari pandangan Raka.

Gila, kaya gitu doang ngapa cakep keliatannya. batinnya.

Saat sadar akan apa yang ia lakukan, Raka seketika menggelengkan kepalanya lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

Jendral menoleh kearah Raka, “Rak, udah sembuh belum?”

Raka yang ditanya seketika kembali menoleh kearah Jendral dengan gugup, “Eh—hah?”

Jendral tersenyum tipis, “Kenapa? Kok kaya gugup”

“Engga! Gue ga gugup, tadi kaget aja” jelasnya dengan intonasi yang cepat.

“Kaget kenapa?”

“Ya karena gue—” ucapan Raka seketika terhenti, ia langsung mengatupkan bibirnya dan Jendral langsung menaikkan satu alisnya.

“Kok berhenti?”

Raka terdiam, bibir dalamnya ia gigit, kepalanya ia bawa untuk menunduk, karena ia merasa kedua pipinya itu tengah bersemu. Raka lagi malu.

Jendral yang merasa gemas dengan tingkah Raka pun memilih untuk melepaskan tawanya, matanya sampai menyipit karena saking lebarnya bibir itu melengkung mengeluarkan tawa.

Raka meremat ujung bajunya, ia menjadi semakin malu.

“Ya ampun, Raka. Lo lucu banget”

SIALAN, ENTENG BANGET NGOMONGNYA.

Tawa Jendral sudah mereda, ia mengusap air mata yang keluar diujung matanya, lalu menatap Raka yang masih menunduk.

“Rak, jangan nunduk”

“Gamau, gue marah”

“Lehernya ga sakit emang?”

“Sakit”

“Yaudah, angkat. Jangan nunduk”

“Gamau, gue malu”

Jendral menghela nafas sejenak lalu beranjak dari duduknya. Raka yang mendengar Jendral berdiri dari duduknya langsung dilanda kebingungan, namun ia masih enggan untuk mengangkat kepalanya.

Hingga ia merasakan sebuah tangan yang tiba-tiba menggenggam kedua tangannya yang tengah meremat ujung bajunya.

Raka sedikit mengangkat kepalanya hingga matanya pun langsung bertatapan dengan Jendral. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, sampai Raka bisa merasakan hembusan nafas Jendral yang hangat. Seketika jantungnya bertalu dengan kencang, ludahnya ia tegup dengan susah payah.

Sampai sebuah senyuman lembut Jendral berikan padanya. Astaga, rasanya jantung Raka akan melompat keluar.

“Maaf, gue ketawa karena lo gemes tadi. Jangan malu, oke?” Raka semakin mengeratkan genggaman pada ujung bajunya.

“O—oke” jawab Raka dengan gugup.

Jendral melepaskan genggamannya pada tangan Raka tadi, lalu mengusap lembut surai Raka. “Jangan nunduk, lehernya nanti nambah sakit”

Raka mengangguk pelan lalu mulai mengangkat kepalanya ke posisi normal.

“Nah, kalo kaya gini kan keliatan muka manisnya”

“Apaan sih, jen?!”

Jendral tertawa pelan lalu berdiri dari posisinya, tubuhnya ia balikkan hingga matanya dapat melihat kondisi dibelakang tubuhnya tadi.

“Acieee, komandan lagi modusin anak orang” Mata Jendral dan Raka seketika membulat saat mendengar suara itu.

“Aduh, kayanya bentar lagi ada yang jadian” sambung suara lainnya.

“Asik, jendral bentar lagi ga jomblo” Jendral seketika menolehkan pandangannya kearah lain dan Raka kembali menundukkan kepalanya.

“Raka bisa malu-malu salting ternyata gaes”

“BERISIK GEMA!”

“AHAHAHA, MALU NIEE”

“YUDA, SAKA, NAREN, KELUAR DARI RUMAH GUE”

Teriakan Raka yang memantul ke lantai karena ia sedang menunduk itu membuat anggota geng kece makin tertawa lebar. Sedangkan Jendral tengah menutup wajahnya yang agaknya sedikit memerah karena malu.

“Jer, adik lo bentar lagi taken! Lo kapan?” Tanya Naren pada Jero yang hanya diam sedari tadi.

“Jer?”

“Hah? Oh iya, ahahaha. Emang anjir lah, adek gue malah duluan” Naren menatap bingung Jero yang seperti menjadi berbeda. Padahal pas berangkat tadi, Jero yang paling tidak sabar untuk datang kerumah Raka tapi pas sampai kenapa malah muram? Itulah yang Naren pikirkan.

“Jangan diledek mulu, oy” ujar Jero.

“HAHAHA, GUE NGAKAK LIAT MUKANYA RAKA”

“Gema, anjing banget lo!”

Ya, sore itu suara tawa menghiasi teras rumah Raka. Sedikit kenangan manis yang terjadi kala itu akan membuat perubahan dalam hubungan mereka, juga sebuah rasa yang tidak pernah terpikirkan pun akan muncul kedepannya.

Untuk pertama kalinya, Jero merasa ingin bersaing dengan Jendral. Bersaing untuk mendapatkan Raka.

Haruskah mereka bersaing? Atau harus ada yang merelakan? Atau... mereka harus berbagi?

Jero tersenyum kecil saat kedua matanya melihat pemuda manis yang sudah dua minggu menjadi teman sebangkunya itu tengah membuka pagar rumahnya.

“Lo tumben sih, jer?”

“Kenapa? Lo ngerasa keganggu?” Raka mendengus sambil menajamkan matanya.

“Banget” ujarnya dengan penuh penekanan. Jero pun hanya memilih untuk tertawa.

“Jangan ketawa, sini in martabaknya” Raka mengadahkan tangannya kearah Jero dan langsung diberikannya plastik yang berisi martabak kepada Raka.

“Titip salam sama ayah ibu lo” Raka mengangguk lalu sedikit berlari kedalam rumahnya untuk menaruh plastik itu. Jero pun memilih untuk tetap diam di posisinya yang tengah duduk diatas motor.

Beberapa saat kemudian Raka pun keluar kembali sembari membawa sesuatu, “Jer, masuk” ucapnya sambil menaruh barang yang ia bawa diatas meja yang berada di teras rumahnya.

Jero mengangguk, memposisikan motornya agar aman tidak menghalangi jalan lalu masuk kedalam pekarangan rumah Raka, kemudian ia mengambil duduk di salah satu kursi yang ada pada teras tersebut.

“Lo mau makan kan? Nih, sate sama lontong. Agak dingin, gapapa?” Jero sedikit terkejut saat Raka yang menawarkan makanan kepada dirinya.

“Gue padahal mau ngajak lo keluar” Raka memutar bola matanya dengan malas lalu duduk di kursi lainnya.

“Ogah gue keluar, udah jam berapa ini” Jero hanya menampilkan cengirannya lalu mulai mengambil piring yang berisi sate tersebut.

“Gue makan ya. Makasih banyak loh, Rak”

Raka mengangguk, “Makan aja, abisin” ujarnya. Kemudian hening pun melanda, telinga mereka kini hanya di penuhi oleh suara dentingan piring milik Jero juga suara jangkrik yang samar.

Mata Raka pun memilih untuk menatap Jero yang tengah melahap makanannya, didalam otaknya penuh dengan beberapa pertanyaan saat melihat teman sebangkunya itu.

Hingga Jero yang hampir menyelesaikan makannya pun sadar tengah di tatap oleh Raka, “Kenapa liatin gue?”

Raka yang mendengar hal itu langsung terjengit kaget, dia membulatkan kedua matanya kemudian menggeleng ribut.

“Eng—engga! Gue ga ngeliatin lo— gue cuman.... ah! Gue mau ngambilin lo minum, takut lo keselek” Ucap Raka dengan terbata-bata lalu ia berdiri dan berjalan masuk kedalam rumahnya untuk mengambilkan Jero minum.

Jero tertawa kecil saat melihat tingkah Raka, kemudian ia melanjutkan makannya yang sempat tertunda tadi.

“Nih” Raka menyerahkan segelas air pada Jero dan diterima baik oleh pria bersurai blonde itu.

Sembari menunggu Jero yang menghabiskan minumnya, Raka pun memilih untuk bermain ponselnya.

“Rak”

“Hm?”

“Makasih”

Raka seketika menoleh kearah Jero dengan bingung, ia mematikan ponselnya lalu menaruhnya di meja. Kini atensinya penuh untuk Jero seorang.

“Lo kenapa?”

Jero sedikit terhenyak saat mendengar pertanyaan dari Raka, sang penanya yang tidak mendapat respon apapun langsung merasa tidak enak.

“Maaf ya... gue kepo banget. Gausah lo jawab deh, Jer” jelasnya dengan nada yang pelan.

“Gapapa, Rak. Wajar aja lo nanya gitu” Raka menatap Jero sebentar lalu mengangguk pelan sambil menolehkan kepalanya kearah lain.

Lalu sunyi kembali, keduanya merasa tidak ingin bersuara padahal banyak pertanyaan dan penjelasan yang ingin mereka ungkapkan.

“Jer” akhirnya, Raka pun bersuara.

“Ya?”

“Besok sekolah” Jero mengerjapkan matanya sebentar lalu seulas senyuman pun terbit di bibirnya.

“Mau gue jemput nih?”

Raka seketika menampilkan raut sinisnya, “Ogah” ujarnya dengan keras.

Jero yang tadi tengah memikirkan banyak hal rumit seketika pikiran itu meluap dan terganti dengan berbagai macam ide untuk menjahili Raka.

“Lo bilang gitu tuh kode kan?”

“Najis, pede abis lo!” Seru Raka dan senyuman miringnya ia berikan pada Raka. Yang diberi senyuman seperti itu pun seketika bergidik ngeri.

“Serem lo anjing”

“Lah, gue ganteng gini dibilang serem?”

Raka seketika menampilkan wajah yang seperti ingin muntah, “Lo kaya om-om tau”

Jero membulatkan matanya saat mendengar ucapan Raka, “Lo kalo ngomong di filter napa”

“Tapi bener kok”

“Heh!”

Raka pun menampilkan cengirannya hingga sebuah lesung kecil pun muncul di kedua pipinya, juga jangan lupakan matanya yang sedikit menyipit karena lebarnya senyum itu.

Jero melihat itu semua, senyum lebar milik Raka yang entah mengapa terlihat sangat menggemaskan. Ludahnya ia teguk dengan susah payah dan dirinya mencoba menetralkan detak jantungnya.

Anjing! kok gue jadi kaya gini?

Ctak!

“Aww!”

“Natap gue nya biasa aja”

Jero seketika salah tingkah, ia memilih untuk sibuk mengusap dahinya yang baru saja Raka sentil itu. Wajahnya ia alihkan kearah lain untuk menyembunyikan wajahnya yang mungkin sedikit memerah karena ia merasakan hangat.

“Jer, lo gapapa kan?” Tanya Raka saat melihat tingkah Jero.

Apanya yang gapapa, gue jadi salah tingkah karena lo!

“Gu—gue gapapa” ucap Jero dengan tergagap tanpa menoleh kearah Raka.

“Serius? Emang sentilannya sakit banget ya?”

Kagak anjir, lo nyentil dahi gue yang bergetar malah jantung gue.

“Engga, ga sakit”

“Masa sih? Sini coba gue liat”

“Gak”

“Lah?” Raka mengernyitkan dahinya hingga ia pun memilih untuk berdiri dari duduknya kemudian berjalan kearah Jero untuk melihat dahi yang baru saja ia sentil itu.

Sontak Jero pun langsung terkejut, wajah Raka terlalu dekat dengan wajahnya saat ini.

Gila. Gue bisa gila.

Disaat Jero yang tengah menahan rasa gugupnya, ada Raka yang tengah meneliti kondisi dahi Jero sambil tangannya itu bergerak unruk mengusap daerah yang berwarna merah pada dahi itu.

“Maaf ya” gumam Raka.

“Ga—gapapa” jawab Jero.

Raka pun menjauhkan wajahnya dari wajah Jero kemudian memberikan tatapan bingung pada pemuda yang tengah mengambil nafas dalam itu.

Emang gue ngalangin oksigen dia ya? batin Raka saat melihat Jero. Namun ia memilih untuk tidak peduli lalu kembali duduk dikursinya.

Gue kenapa jadi gini. Yaelah, Jero. Inget, dia gebetan adek lo. Inget woy! batin Jero dengan penuh penekanan, sampai ia memejamkan matanya untuk menahan rasa yang ada di tubuhnya itu.

“Eh, Jendral nelpon”

Kalimat itu membuat Jero kembali membuka matanya, ia menoleh kearah Raka yang tengah mengangkat panggilan dari kembarannya.

“Halo, jen?”

Raka mulai berbicara dengan Jendral melalui telepon dan Jero memilih diam untuk menyimak obrolan mereka.

Lo lagi ngapain?

Raka menatap Jero sebentar kemudian kembali meluruskan pandangannya.

“Cuman duduk di teras rumah”

Malem-malem gini? Lo ga takut masuk angin?

“Yaelah, masuk angin ya tinggal minum tolak angin” jawab Raka dengan santai dan setelah itu ia pun mendengar suara tawa yang renyah.

Jero juga mendengar suara tawa itu, dia sampai terdiam karena merasa heran dan takjub. Pasalnya, Jendral itu tipe orang yang agak kaku dan jokes nya terkadang rumit untuk Jero pahami. Jadi, ini adalah momen yang langka.

Ya ampun, Rak. Jawaban lo

Raka tersenyum tipis sambil melihat kedua kakinya, “Lo kalo ketawa suaranya kaya bapa-bapa ya”

Mendengar hal itu, Jero langsung menahan tawanya yang akan meledak. Namun, nampaknya suara tawa itu terlanjur didengar oleh Jendral juga Raka.

“Noh, kembaran lo ngetawain” ucap Raka sambil melirik Jero.

Jendral tidak merespon apa-apa dalam beberapa detik hingga ia bersuara kembali,

Dia disana ya?

“Hm”

Yaudah kalo gitu, gue tutup telpon nya. Maaf ya, gue ganggu kalian berdua

Jero sontak membulatkan kedua matanya, begitupun Raka yang sedikit tersentak karena ucapan Jendral.

“Lah? Tiba-tiba banget, Jen?”

Raka menatap Jero dengan pandangan bingung, sedangkan yang ditatap memilih untuk memberi pandangan tanpa arti.

Gapapa, kebetulan gue juga lagi belajar. Gue tutup ya, dah Raka

“Eh— Tuut —Lah, dimatiin...” Raka menatap heran ponselnya yang telah mati itu.

Jero yang tau mengapa sambungan itu diputus sepihak oleh Jendral dengan cepat, memilih untuk diam sejenak lalu berdiri dari duduknya. Raka sontak menoleh lalu memberikan Jero tatapan bingung.

“Mau balik?” Jero mengangguk sambil memakai jaketnya.

“Udah jam sepuluh lebih, ga enak kalo lama-lama” Raka mengangguk kemudian ikut berdiri dari duduknya.

“Makasih ya udah mau gue repotin, nanti sebagai imbalannya gue bantu pas ulangan harian penjas”

“Oke, gue nerima imbalan lo. Hati-hati di jalan, awas kalo ada kucing lewat jangan ditabrak” Jero tersenyum tipis lalu mengusak surai Raka dengan cepat.

Thankyou, besok bareng gue” Ujarnya sambil berjalan menuju motor miliknya itu.

Raka memberikan tatapan tajam kepada Jero, “Jangan telat!” Serunya.

Jero yang tengah memakai helm pun langsung terdiam, kepalanya menoleh kearah Raka yang ternyata sudah menutup pagar dan masuk ke dalam rumahnya.

Sebuah senyuman pun muncul di bibir Jero, kemudian tangannya pun bergerak untuk menutup kaca helm tersebut. Hingga akhirnya, ia pun melajukan motor itu.

Gue ga mungkin suka sama dia kan?

Yaelah, gue gaboleh kaya gini anjir.

Dia lagi...

tw // mayor character death , disease cw // angst

Kalo semisal gue pergi ke langit, lo bakal marah?

Buat apa aku marah? Kalo kamu akan jauh merasa bahagia disana, maka aku juga bakal ngerasain hal itu.


Pagi, diary. Hari ini aku akan menjenguk Jenan di rumah sakit. Tadi pagi dia mengirimiku pesan untuk datang menjenguknya hari ini juga. Aku bingung, karena tumben sekali dia memaksa ku untuk menjenguknya. Awalnya aku tidak ingin, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan dia, pergi menemui dirinya. Menemaninya hingga larut malam tiba. Hari itu, berjalan dengan sangat indah dan banyak sekali kenangan yang terjadi.

Sore mulai tiba, angin mulai terasa berhembus dengan lebih kencang. Taman rumah sakit saat itu entah mengapa menjadi sangat ramai. Suara tawa anak-anak dan orang dewasa selalu terdengar. Raelan pun memilih untuk memejamkan matanya, menikmati sore dengan tenang.

Lo kebiasaan banget diemin gue kalo udah nyaman di tempat ini” Suara itu membuat Raelan membuka kedua matanya dengan perlahan.

Emangnya kenapa, masalah ya?

Yaiya, masalah. Gue nya bosen” Raelan tertawa kecil saat melihat sang sahabat kesayangannya tengah menunjukkan raut merajuknya.

Dasar, liat dong badan kamu kaya gimana

Badan gue? Besar atau mulai kurus?

Raelan mengatupkan bibirnya, matanya menatap sang sahabat dengan pandangan yang menyiratkan rasa sedih, hingga pandangannya teralihkan kearah tiang infus yang ada di sebelah sahabatnya.

Jenan...

Kenapa, Lan? Gue beneran mulai kurus ya? Atau gue makin jelek?

Raelan meneguk ludahnya dengan kasar, mendadak bibirnya terasa kelu. Tangannya diam-diam meremat ujung kemeja yang ia pakai.

Hening pun melanda.

Sampai Jenan pun menghela nafasnya, menyandarkan punggungnya di kursi taman sambil menatap langit. “Lo malu ga sih Lan, karena jadi sahabat gue?

Raelan mengambil nafasnya, lalu tangan kirinya bergerak untuk menggenggam tangan kanan Jenan yang berada diatas pahanya.

Buat apa malu sih, Nan? Kamu kalo ngomong jangan suka aneh” Jenan menolehkan kepalanya, menatap Raelan dengan sirat kelelahan yang nampak dengan sangat jelas.

Gue capek, Lan

Kalimat yang keluar dari mulut Jenan saat itu membuat Raelan dengan susah payah untuk menahan air matanya yang akan jatuh.

Diary, kau tau? Ada satu hal yang tidak terduga terjadi pada sore kala itu. Untuk pertama kalinya setelah Jenan dirawat selama 3 bulan, kata lelah keluar dari mulutnya. Gue capek, Lan katanya begitu. Sakit, aku sakit dengernya.

Malam pun datang, sepasang sahabat itu kini sudah berada disebuah ruangan inap Jenan. Tempat Jenan melakukan aktivitasnya yang terbatas selama tiga bulan lamanya.

Kamu laper?” Ujar Raelan sembari duduk di kursi yang diposisikan di sebelah ranjang Jenan.

Lo laper?” Bukannya menjawab, Jenan memilih untuk memberikan pertanyaan juga.

Aku ga laper, kan tadi mama kamu ngasih aku mie” Jenan mengangguk.

Gue udah kenyang” Raelan tersenyum tipis sambil menatap wajah sahabatnya yang semakin pucat, tangannya bergerak untuk mengusap dahi Jenan kemudian mengelus pipi yang mulai tirus itu. Jenan pun memilih untuk menikmati usapan lembut dari Raelan.

Lan, gue mau nanya

Apa?

Hari ini lo bahagia?” Raelan mengangkat satu alisnya.

Iya. Kamu?

Sama, bahagia juga” Raelan yang mendengar hal itu sontak tersenyum geli, kini tangannya terangkat untuk mengusap surai legam milik Jenan.

Kamu seharian ini aneh banget

Jenan menatap Raelan dengan dalam, “Lo jadi gasuka sama gue ya?

Dih? Aku gaada ngomong gitu

Oh, berarti lo suka gue?” Pertanyaan tiba-tiba dari Jenan membuat Raelan berhenti mengusap surai sahabatnya itu, dengan perlahan tangannya ia taruh diatas pahanya.

Nan, kam—

Gue suka sama lo, Lan” Lagi dan lagi, Raelan merasakan susahnya meneguk ludahnya sendiri, lidahnya kelu, bibirnya terkatup rapat dan detak jantungnya terasa berdebar dengan kencang.

Hah?

Gue suka sama lo, Lan. Tapi gue gamau lo jadi pacar gue

Ma—maksud kamu gimana...?” Suaranya dengan perlahan menjadi pelan, matanya menatap Jenan dengan bingung.

Gue gamau ngikat lo dalam sebuah hubungan karena hidup gue sebentar lagi berakhir” Bibir Jenan dengan lancar mengucapkan kalimat itu.

Diary, Jenan itu aneh ya? Kenapa dia selalu bertindak mengejutkan seperti ini? Apa dia tidak memikirkan bagaimana bingung nya aku buat respon semua ucapan dia? Tapi, mau se-aneh apapun Jenan. Aku tetap sayang sama dia sih hehe.

Aku juga suka sama kamu

Gimana?

Kini Jenan yang dibuat bingung dan terkejut. Ucapan Raelan terlalu tiba, Jenan belum siap untuk mendengar kalimat itu.

Kita sama-sama suka ya ternyata? Ahahaha” Tawa canggung keluar dari mulut Raelan saat melihat Jenan yang nampaknya bingung dengan ucapannya.

Lan... serius?

Buat apa juga aku bohong?

Jenan terdiam, “Kok bisa? Gue orangnya sakit-sakit an, Lan. Kok lo bisa suka juga sama gue?

Ya... aku juga gatau? Kamu sendiri, kenapa suka sama aku?

Jenan mengambil nafasnya kemudian menggenggam tangan Raelan yang berada diatas sisi ranjangnya. “Lo mau tau?

Iya

Raelan, sahabat gue dari kecil. Yang dari dulu selalu nemenin gue kemana-mana, selalu bersikap baik sama gue bahkan orang lain, ga pernah ngeluh atau bahkan jauhin gue pas mulai sakit-sakit an. Bahkan, lo ga pernah komen tentang sifat gue yang selalu dibilang buruk sama orang-orang. Lo itu sempurna banget di mata gue dan gue dengan gatau dirinya malah suka sama lo. Bahkan cinta

Mata Raelan mulai berkaca-kaca, ia menundukkan kepalanya saat mendengar hal itu. Sedangkan Jenan sedang berusaha menahan rasa sesak di dadanya yang menyerang tiba-tiba saat ia tengah berbicara.

Lan, gue selalu berpikir. Gue itu ga berhak buat suka sama lo, karena lo terlalu beda sama gue. Lo pantes di sukain sama orang yang lebih baik dari gue. Lo tau? Gue bahkan pernah coba buat ilangin rasa itu, tapi gabisa. Rasa suka gue ke lo udah besar banget, Lan

Isakan kecil mulai terdengar. Raelan mengusap air matanya yang jatuh dengan tangannya yang bebas. Kepala yang sedari tadi menunduk, dengan perlahan ia angkat untuk menatap Jenan.

Kamu pantes buat ngerasain perasaan itu, Jenan. Kamu pantes” Jenan langsung mengeratkan genggaman tangannya dengan Raelan.

Makasih, makasih karena selalu ada disamping gue, Lan. Makasih banyak atas semuanya” Setetes air mata pun turun membasahi pipi Jenan.

Jenan...” Gumam Raelan sambil menahan tangisnya.

Lan, gue mau nanya lagi

Boleh

Kalo semisal gue pergi ke langit, lo bakal marah?

Bibir bawah Raelan ia gigit, matanya beralih untuk menatap sisi lain. Tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang menyiratkan kesedihan.

Raelan menutup matanya sejenak, lalu menghela nafas. Kepalanya ia tolehkan kembali kearah Jenan, sebuah senyuman manis pun ia berikan pada Jenan.

Buat apa aku marah? Kalo kamu akan jauh merasa bahagia disana, maka aku juga bakal ngerasain hal itu

Oh iya, aku juga mau makasih ke kamu. Makasih karena udah jujur soal itu, aku jadi ga ngerasain suka sebelah pihak hehe” Jenan tersenyum sambil menatap dengan lekat wajah manis Raelan.

Gue bakal kangen sama lo, Lan

Kamu ngomong apasih, Nan? Bilang kaya gitu seakan besok kamu bakal langsung pergi” Senyum Jenan dengan sekejap menghilang.

Gue boleh minta peluk ga, Lan?” Raelan terdiam lalu mengangguk.

Ia berdiri dari duduknya kemudian memeluk tubuh Jenan dengan erat. Mengusap punggung lebar itu dengan lembut, Jenan pun memilih untuk menyembunyikan wajahnya di bahu sempit sahabatnya. Mereka memilih untuk diam, menikmati pelukan itu seakan pelukan terakhir yang akan mereka lakukan.

Hingga mereka pun mengucapkan pesan kepada satu sama lain.

Bahagia selalu, Lan. Semoga lo bisa menemukan seseorang yang mencintai lo dengan tulus dan hubungan kalian berjalan dengan baik

Kamu juga. Semoga kamu selalu diberikan kebahagiaan dan sakit yang kamu rasain hilang secepatnya

Yah, benar. Pelukan itu memang pelukan terakhir yang kami lakukan. Dia benar dengan kalimatnya, bahwa dia akan pergi ke langit. Kenapa firasatnya itu sangat tepat? Apakah dia mendadak menjadi cenayang saat itu? Hahaha, benar kan. Jenan itu aneh, tapi itulah daya tariknya yang membuat aku menyukai dirinya. Namun, sayang sekali. Sayang sekali kami tidak sempat memulai sebuah hubungan dan membuat kisah manis dengan rasa yang berbeda dari sebelumnya. Btw, aku berharap Jenan sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku harap di langit sana, ia merasakan banyak kebahagiaan. Jenan, selamat beristirahat dengan tenang ya. Aku sayang sama kamu.

Selesai.

Reggie menghela nafasnya pelan, wajahnya ia hadapkan kearah jendela yang ada disebelahnya kemudian memejamkan kedua matanya. Menikmati suasana pagi hari yang damai hari ini.

Galendra yang tengah menyetir pun sesekali melirik kearah sang kekasih, didalam hatinya ia tengah mengagumi paras manis milik sang kekasih yang tidak pernah memudar itu namun otaknya itu kini sedang bertanya-tanya akan sesuatu. Mengapa reggie lebih diam dari biasanya?.

Hingga setelah beberapa menit menghadapi keheningan, Galen pun akhirnya memberanikan diri untuk bersuara.

Re

Hm?” Dehem Reggie sembari membuka kedua matanya kemudian duduk dengan posisi normal sambil kepalanya menoleh kearah Galen.

Kamu gapapa?” Reggie yang mendengar hal itu seketika mengernyitkan dahinya.

Iya, aku gapapa kok. Emang kenapa?” Galen menatap sang kekasih sebentar lalu kembali menatap jalanan yang ada di depannya.

Engga, aku cuman ngerasa ada yang beda sama kamu

Reggie terkekeh pelan sambil meluruskan pandangannya kearah jalanan. “Mungkin karena kita udah lama ga ketemu?” ujarnya dengan pelan namun Galen dapat mendengar jelas hal itu.

Kalimat yang baru saja Reggie lontarkan entah mengapa membuat Galen merasakan hal yang belum pernah ia rasakan, hingga tangannya yang memegang kemudi sampai diremat dengan kencang.

Hingga akhirnya, keadaan mobil itu kembali sunyi sampai mereka tiba di area pemakaman.


Reggie menatap kedua batu nisan yang ada dihadapannya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Galendra yang melihat Reggie hanya berdiri mematung sontak langsung memanggil nama sang kekasih lalu menyuruhnya untuk jongkok di sebelah dirinya.

Re?” Reggie mengangguk pelan lalu mengambil posisi jongkok disebelah Galen.

Are you okay?” Lagi, pertanyaan itu kembali Galen lontarkan dan Reggie hanya membalas dengan sebuah anggukan.

Galendra menghela nafasnya pelan, tidak ingin memperkeruh suasana Galen pun memilih untuk berdoa lebih dahulu dan di ikuti oleh Reggie.

Kedua mata mereka terpejam, merapalkan doa di dalam hati hingga bercerita kepada kedua orang yang telah tiada itu di dalam hati mereka. Keadaan mereka disana jauh lebih tenang dibandingkan dengan suasana saat mereka pertama kali kesana.

'Ma, Pa. Besok berita besar tentang studio foto yang kalian buat akan terpampang dimana-mana. Galendra berhasil mewujudkan mimpi kalian. Dengan begini, pasti kalian akan lebih merasa tenang kan? Galen percaya, kalian pasti membantu banyak diatas sana. Ma, pa, kalian juga pasti melihat bagaimana suksesnya Reggie kan? Mimpinya juga terwujud. Ma, Pa, Galen minta doa-nya untuk kelancaran hubungan kami. Rencananya, setelah semua urusan Galen selesai, Galen mau bawa hubungan kami jadi lebih serius dan membuat dia merasakan banyak kebahagiaan. Doakan, Galen ya?

Halo, mama dan papa. Ini reggie, apa kabar kalian disana? Semoga kalian disana merasakan ketenangan dan kebahagiaan ya. Kalian disana pasti melihat bagaimana sukses nya anak kalian sekarang kan? Galen, anak mama dan papa sangat membuat bangga. Bahkan aku juga merasa bangga sekali sama dia, perjuangan nya untuk membuat mimpi kalian terwujud sangat luar biasa. Ma, pa, tenang aja ya? Galen ga sendirian disini, ada aku kok. Reggie bakal temenin dia, jikalau di masa depan nanti kami berpisah, Reggie bakal terus temenin dia sampe ketemu jodohnya yang tepat. Sudah segini aja hehe, sampai jumpa di lain hari mama papa!

Kedua mata mereka terbuka secara bersamaan, menatap sebuah bunga yang mempercantik batu nisan kedua orangtua Galen. “Udah lama ya kita ga kesini bareng?

Iya, bulan lalu aku gabisa dateng...” jawab Reggie dengan pelan.

Kangen?

Banget

Galendra tersenyum tipis, menatap sang kekasih dari samping lalu tangannya bergerak untuk mengusak lembut surai sang kekasih hati.

Mau nunggu aji chandra disini atau di depan?” Tanya Galen sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah manis Reggie.

Di depan aja kali ya? Kamu udah selesai kan?” Galen mengangguk lalu berdiri, setelah berdiri ia pun mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Reggie berdiri.

Yuk?” Reggie mengangguk sambil tersenyum lebar, ia juga menerima uluran tangan Galen yang ingin menggenggam tangannya.

Kami pergi dulu ya, mama dan papa!” Galen tersenyun tipis saat mendengar hal itu.

Nanti kami kesini lagi, ma, pa” Setelah berucap seperti itu, mereka pun pergi kearah gerbang pemakaman.


Reggie dan Galendra kini tengah duduk sambil meminum teh hangat yang baru saja mereka beli di minimarket seberang jalan. Duduk bersampingan, sambil menatap matahari yang mulai naik dan membawa hawa panas.

Re

Ya?

Ma—

Alen, bisa ga kita stop buat saling bilang kata maaf secara terus-terusan? Aku mulai muak soalnya” Galendra tersentak saat mendengar kalimat yang baru saja Reggie lontarkan itu.

Maksud kamu?” Reggie menghela nafasnya lalu menaruh gelas kertas berisi teh hangat itu disebelahnya.

Kita, selama dua minggu ini terus ngucapin kata maaf. Entah itu karena lama bales chat atau hal lainnya” Kepala Reggie langsung menunduk setelah mengucapkan hal itu.

Tapi re, bukannya wajar untuk bilang maaf? Kan aku dan kamu bilang maaf karena kita buat kesalahan. Walaupun kesalahan itu termasuk kesalahan kecil” Ucap Galen.

Aku tau, tapi gatau kenapa aku tuh ngerasa muak. Aku ngerasa kita lagi bikin sebuah jarak. Kita yang sekarang, kerasa beda sama yang dulu. Kamu ngerasa gitu ga?” Galen terdiam, menatap mata Reggie yang terlihat berkaca-kaca.

Re... kamu lagi khawatir ya?” Galendra tersenyum saat melihat wajah bingung Reggie yang terlihat sangat menggemaskan.

Sayang, sebuah hubungan itu ga akan selamanya berjalan dengan rasa yang sama. Aku tau, akhir-akhir ini kita terasa sedikit jauh. Aku tau, kalo ada sedikit jarak diantara kita” Galen berhenti sejenak untuk mengusap pipi Reggie.

Tapi apa semua itu, bikin perasaan sayang kita berdua berubah? Menurut aku engga. Aku masih sayang sama kamu kok, bahkan lebih dari yang kemarin. Cuman, karena kehidupan kita yang mulai berbeda dari kemarin jadilah seperti ini” Reggie menatap Galen dengan perasaan yang campur aduk.

Maaf, aku cuman takut” Galen yang mendengar suara lirih itu dengan refleks langsung memeluk Reggie dengan erat.

Aku cuman takut, kamu dengan perlahan lupa sama hubungan kita ini, Alen” Galen mengangguk paham sambil mengelus surai belakang Reggie.

Ssstt, it's okay sayang. Aku paham, wajar banget kalo kamu ngerasa gitu karena aku juga pernah ngerasain hal itu” Reggie memeluk Galen dengan erat sambil menenggelamkan wajahnya di bahu Galen.

Re, aku sayang banget sama kamu. Jangan pernah berpikir kalo kita bakal terpisah ya?” Reggie mengangguk pelan.

Aku juga sayang banget sama kamu. Aku kangen banget sama kamu, Aleen” Rengekan dari Reggie mengundang tawa kecil Galendra.

Lucu banget, astaga.

Seharian ini, kita kencan ya? Kamu free kan?

Uhm

Oke, ayo kita kencan sehari full!” ujar Galen tiba-tiba sambil melepaskan pelukan mereka.

Loh, terus Aji sama Chandra?

Biar aku bilang mereka kalo aku pulang duluan

Lah??? Nanti mereka marah ga?” Galendra tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya.

Mereka ga bakal berani buat marahin aku” Reggie memicingkan kedua matanya.

Kamu sombong banget

Engga, aku ga sombong” Reggie memutar bola matanya dengan malas.

Jadi, kamu mau kan?” Reggie tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan Galen.

Kamu kok makin bodoh ya?

Kok jadi ngatain aku?

Maaf hehe~, iya aku mau! Ayo! Kita hari ini ke cafe dekat pusat kota yang baru buka itu ya?” Galen mengangguk sambil mengulurkan tangannya.

Baik, yang mulia pangeran. Setelah itu, anda ingin kemana?” Reggie tertawa sambil menggeleng pelan.

Kamu kenapa jadi gini?

Karena aku kangen kamu?

Astaga, Galendra!

Galendra hanya tertawa sambil mengeratkan genggaman tangannya dengan tangan si mungil. Mereka pun berjalan kearah mobil mereka kemudian pergi dari daerah pemakaman untuk memulai kencan satu hari full mereka.

I just want to tell him that I love him very much.

Raka menatap jam dinding rumahnya dengan jengkel, dahinya terus mengerut dan bibirnya tanpa sadar di manyunkan. “Ck, lama!” Ujarnya padahal jam masih menunjukkan pukul 6.20 dan jam masuk sekolahnya adalah 7.30. Memang dasarnya Raka saja yang bete dengan orang yang akan menjemputnya.

“Adek, kamu ga bareng si gema?” Suara dari sang ibu membuat Raka menoleh dan merubah raut wajah nya menjadi lebih cerah.

“Engga, aku bareng sama temen lain”

“Temen apa pacar?” Pertanyaan dari sang ibu membuat Raka langsung membulatkan matanya lalu menggeleng kencang.

“Aku gamau pacaran sama dia!” Serunya kemudian suara klakson motor pun terdengar.

Sang Ibu hanya tertawa, “Noh, calon pacarnya dah—”

“RAKA BERANGKAT, DADAH IBU!” Raka berteriak lebih dulu sebelum sang Ibu menyelesaikan ucapannya.

“Dasar anak muda”


Raka kini sedang menatap datar pengendara motor yang ada di depannya, “Lo mau sekolah atau balapan?” Ucapnya.

“Hah? Ya sekolah anjir, ini gue pake seragam” Raka yang mendengar hal itu langsung memutar bola matanya dengan malas.

“Sekolah pake jaket denim, rambut ala artis korea, motor ninja, MAKSUD LO GIMANA? LO MAU GUE NUNGGING SELAMA NAIK MOTOR, JER?!” Jero seketika memejamkan kedua matanya saat Raka berteriak. Kemudian saat keadaan mulai kembali kondusif, ia pun membuka kedua matanya.

“Ya... sorry, gue kira lo suka naik motor ginian. Yaudah, nanti-nanti gue—”

“Gaada nanti-nanti, ayo berangkat” Raka berujar sambil mencoba menaiki motor tersebut.

“Udah?” Tanya Jero dan Raka menjawabnya dengan deheman singkat.

“Oke, pegangan” Motor Jero pun mulai melaju kearah sekolah.

“Rak”

“Apaan”

“Lo temen gue smp beneran?”

“Iya”

“Gue ngelakuin kesalahan ya sampe lo cuek gini ke gue?” Motor Jero mulai memasuki area sekolah, banyak mata yang melihat mereka berdua.

“Lo pikir aja gimana” jawab Raka sambil menatap datar orang-orang yang tengah berbisik saat melihat kearah dirinya dengan Jero.

“Serius dong, gue beneran gatau nih” ucap Jero sambil mematikan mesin motornya dan Raka hanya diam. Ia sibuk turun dari motor itu.

“Rak, kalo gue salah tolong maafin” ucap Jero sambil berjalan menyeimbangi langkah Raka.

“Emang lo salah apaan?” Tanya Raka tanpa menatap Jero, pandangannya hanya lurus kedepan.

“Ya... gatau, makanya gue nanya. Tapi ga lo jawab” Raka yang mendengar hal itu sontak memutar bola matanya dengan malas.

“Lupain aja sih, jer”

“Gabisa semudah itu, kalo lo mau gue lupain ini berarti lo harus berhenti cuek sama gue” Langkah Raka berhenti, membuat Jero seketika kebingungan.

“Pertama, lepas jaket denim lo itu” Jero mengernyit kemudian melaksanakan perintah Raka.

“Oke. Yang kedua, lo pake dasi yang bener” Jero semakin mengernyit.

“Gimana?”

“Hah? Lo gabisa make dasi?” Jero mengangguk dengan polos seperti orang bodoh. Raka menghela nafasnya sebentar lalu melangkah sedikit kearah Jero.

Kondisi sepi lorong kelas yang membuat Raka berani bertindak seperti ini, bukan karena apa tapi jika di suasana ramai akan banyak yang membicarakan mereka dan Raka tidak suka hal itu.

Kembali ke mereka, kini tangan Raka dengan cekatan sedang memakaikan dasi pada Jero dan sang pemilik dasi tengah terdiam.

“Selesai. Ck, lo tuh kalo ke sekolah walaupun ga niat jangan kaya gini. Perhatiin kondisi seragam lo” Jero mengerjapkan kedua matanya lalu menatap hasil ikatan dasi yang Raka buat.

“Makasih..” lirih Jero.

“Apasih, lebay. Gausah makasih segala” ujar Raka dengan sedikit rasa salah tingkah.

“Emang gue yang agak lebay ya...” gumaman Jero tak di dengar oleh Raka karena suaranya terlalu kecil.

“Dan terakhir, lo sebenernya ga ngelakuin kesalahan yang fatal sama gue. Cuman gimana ya... Ah, gitu deh! Ayo buruan ke kelas” Jero menatap punggung sempit Raka yang mulai menjauh hingga sebuah senyum tipis terbit di bibirnya.

“Tungguin gue, rak!”

Pertama kalinya gue ketemu orang yang segitu teliti nya sama penampilan gue. Itu salah satu bentuk perhatian kan?