cw// harsh words.
“Buruan woy!”
“Salam dulu anjing, heran gue. Lo sama si jendral belajar buat salam dulu ga sih”
“Bawel, futsal gue udah mau mulai”
“Ya, sabar! Aduh, anjir. Ini tali sepatu gue kenapa susah di lepas gini”
Jero menghela nafasnya, motornya ia standar, kemudian ia berjalan kearah Raka yang tengah kesusahan dengan tali sepatunya.
“Lo ngapa sih...” Jero bergumam pelan sembari menatap Raka yang sedang berjongkok.
Raka mendongakkan kepalanya, lalu menunjukkan raut wajah kesalnya yang entah mengapa terlihat lucu di mata Jero.
“Susah” ucap Raka dan Jero langsung berdecak. Pemuda dengan surai blonde itu pun berjongkok di depan Raka kemudian membantu untuk menyimpulkan tali sepatu Raka.
“Gue kira lo serba bisa” ucap Jero di tengah kegiatan menali sepatu Raka.
Raka berdehem singkat, “Gue sebenernya bisa, cuman ini talinya aja yang susah di lepas” Jero terkekeh saat mendengar alasan yang Raka buat.
“Iya dah, terserah. Nah, selesai. Yok?” Saat ia mengangkat kepalanya, seketika matanya berhadapan langsung dengan Raka yang ternyata tengah menatapnya juga.
Kedua pasang mata tersebut saling beradu, saling meneliti keindahan yang tersaji di depan, dan membatin akan keindahan itu.
Tapi seperti ada yang aneh, mengapa jantung mereka berdetak dengan kencang saat ini?
“Ekhem! Pacaran nya jangan disini juga dong, gan” Raka sontak berdiri, di ikuti Jero.
Sialan Gema.
“Berisik aja lo, Gem. Lo kenapa belom ke lapangan?” Tanya Jero dan Gema hanya menatap datar sang penanya.
“Ketua futsal nya aja ada disini, ngapain gue buru-buru” Ujar Gema sebelum melajukan motornya ke tempat yang Jero maksud.
“Err, berangkat?” Raka mengangguk sembari menundukkan wajahnya.
Setelah memastikan Raka nyaman di motornya, Jero pun langsung melajukan motornya menuju tempatnya ia berlatih futsal.
“Rak”
“Hm”
“Pegangan, gue mau ngebut. Udah telat banget soalnya”
“Hah?!”
“Pegangan, gue mau ngebut!”
“Apaan sih, Jer? Lo mau nyebur?”
Jero menghela nafas, tanpa basa-basi ia pun menarik tangan Raka untuk melingkar di pinggangnya. Sang pemilik tangan pun sedikit terkejut namun beberapa detik kemudian ia paham maksud Jero.
“Bilang dong kalo disuruh pegangan”
“DARITADI GUE BILANG GITU, ANJIR” Teriakan frustasi dari Jero membuat Raka tertawa lepas.
“SORRY” Ujarnya sambil mengeratkan pelukan di pinggang Jero karena laju motor Jero yang semakin kencang.
Awalnya perjalanan mereka menuju lapangan futsal biasa saja, namun disaat beberapa meter lagi mereka sampai ke tujuan, tiba-tiba ada tiga orang yang menghadang jalanan gang tersebut. Raka langsung kebingungan dan Jero tengah menahan kesal.
“Minggir woy!” Seru Jero kepada 3 orang tersebut namun yang ia dapatkan hanya ledekan yang terlihat menyebalkan.
“Lawan dulu dong” Ucap salah satu dari mereka yang Raka lihat memegang sebuah tongkat. Sontak Raka bergidik ngeri dan mengeratkan pelukannya pada Jero.
“Lo kenal mereka, Jer?” Bisik Raka.
“Ini anak buah yang ketuanya lo bikin pingsan kemaren” jawab Jero dengan berbisik juga, Raka seketika mengatupkan bibirnya.
Kok bisa ketemu disini?
“Woy! Malah bisik-bisik, cupu lah” Jero mengangkat sebelah alisnya, lalu terkekeh.
“Lo yang cupu, lawan kok ga pake tangan kosong” ujarnya dengan nada yang songong.
Raka mendesis pelan saat merasakan hawa yang tak enak, ia memilih bersembunyi di belakang Jero, hingga sebuah ide pun melintas di otaknya. Tangannya dengan cepat mengambil ponselnya lalu mengetik sesuatu.
“Rak”
Raka yang baru saja selesai mengetik langsung menoleh kearah Jero, “Hm?”
“Jangan turun dari motor ya, kalo semisal keadaannya bikin lo ga nyaman langsung aja pergi pake motor ini” Ucapan Jero membuat Raka membulatkan matanya.
“Terus lo?!”
“Ya, gue nahan mereka”
“Anjir, stres lo. Engga lah, gue gabakal ninggalin lo!” Jero sedikit terkejut dengan ucapan Raka yang terdengar tulus itu.
Namun... “Mending kita kabur berdua!” Jero seketika mematung, matanya menatap Raka dengan pandangan tidak percaya.
“Lo ngajak kita kabur?” Raka mengangguk dengan wajah yang serius.
“Raka, lo tau? Kita mending di rencana gue aja. Gaada penolakan” Mendengar hal itu Raka langsung ingin melayangkan protesnya, namun Jero sudah terlebih dahulu berlari kearah 3 orang yang menghadang mereka tadi.
Nyari perkara aja ni orang, heran gue.
“Gue bilang kan jangan ganggu gue lagi!” Jero berseru dengan lantang sembari menendang kaki pemuda yang berambut merah kehitaman.
Brugh!
Jero dengan tangkas menghindari pukulan lalu dengan cepat memberikan serangan yang mungkin akan berakibat fatal nantinya.
Sret!
Si rambut ikal berhasil mengenai pisau lipatnya kearah pipi Jero, namun bukannya merasa menang ia malah merasa akan sebuah pembalasan yang lebih dan benar saja, Jero sudah menatapnya dengan sinis lalu memberi serangan padanya secara bertubi-tubi.
“Sssshhh, ngapain bikin muka gue baret anjing!”
Raka tersentak saat mendengar seruan itu, ia menggigit bibir bawahnya, dan matanya menyorotkan kekhawatiran pada Jero.
Jangan pingsan, Jer. Gue mohon, badan lo gede soalnya.
Kembali pada Jero, kini ia hanya berhadapan dengan satu orang karena yang lainnya sudah jatuh pingsan. Matanya menyiratkan kekesalan karena telah menganggu dirinya sedangkan orang yang di depannya menatap Jero dengan datar.
Keadaan keduanya jauh dari kata normal, pasalnya baik dari wajah maupun tangan mereka sudah banyak lukisan-lukisan abstrak.
“Lo ada dendam apa sama gue?” Tanya Jero dan orang yang ada di depannya itu hanya menampilkan senyum miringnya.
“Gaada” ujarnya dan tanpa membiarkan Jero berpikir, ia langsung memukul lengan kiri Jero dengan tongkat kayu yang ia bawa.
Bug!
“JERO!”
“Argh! Anjing juga lo” Ucap Jero sambil memegang lengan kirinya yang baru saja terkena pukulan itu, matanya memberikan isyarat singkat pada Raka dan tentu saja Raka paham maksud dari tatapan itu.
Pergi.
Namun Raka memilih untuk tetap di posisi nya, meski takut ia harus tetap disini. Mau bagaimana pun, Jero temannya. Walau ia sedikit tidak menyukai pemuda itu.
Bugh!
“AH!”
“ANJING, BERHENTI GA LO?!” Raka reflek berteriak saat perut Jero di pukul oleh tongkat kayu. Sang pemukul pun langsung menatap Raka kemudian menarik seulas senyum tipis.
“Raka ya?” Dengan usaha maksimalnya, Jero berusaha menarik orang itu agar tidak mendekati Raka.
“Lo.... ssshh jangan deketin dia. Lawan lo itu gue!”
“Lo gabisa lawan gue, perut lo tuh urusin sana” ucap orang itu sembari mendorong Jero, hingga membuat Jero terjatuh ke tanah.
Tubuh Raka sedikit gemetar namun ia mencoba untuk tetap berdiri dengan tegap, memberikan kesan berani kepada orang yang akan mendekat kearahnya.
Kini keduanya berhadapan, hanya satu langkah lagi saja Raka akan merasakan hembusan nafas dari orang tersebut.
Mata keduanya bertemu, disaat Raka memberikan wajah yang dingin, yang di hadapannya malah memberikan wajah yang terkesan ramah. Senyuman bahkan terpatri di bibirnya, namun bukannya merasa nyaman, Raka malah merasa takut.
“Raka, lo belum tau nama gue kan?”
“Gamau tau”
“Kok gitu? Gue tau nama lo, masa lo gatau nama gue?”
Raka meneguk ludahnya, “Salah lo sendiri, kenapa tau nama gue”
Orang yang ada di hadapannya itu terkekeh, “Lucu lo, gimana kalo lo jadi pacar gue?” Kakinya mulai melangkah dan Raka juga turut melangkah mundur.
“Jangan deket-deket gue” Ucap Raka dengan tegas.
“Kenapa? Lo takut?”
“Ogah banget gue takut sama lo”
Walau lisan berujar seperti itu, di dalam hatinya ia terus merapalkan doa agar ada orang yang datang untuk membantunya.
“Gue Maheswara”
“Ga pe—”
Ucapan Raka terhenti saat ada tangan yang dengan lancang memegang bahunya, bahkan diusap.
Maheswara, pemuda itu pelakunya.
“Bahu lo sempit, cocok kalo masuk kedalam pelukan gue”
Bangsat.
Raka mengambil nafas dengan pelan, matanya ia coba untuk tetap memberikan kesan berani namun tangannya sudah tidak bisa ia kendalikan. Ia bergetar karena merasa terintimidasi. Jero yang masih merasakan sakit di tubuhnya, dengan di paksa mencoba untuk menolong Raka.
Namun sebelum ia mendekat kearah mereka, tiba-tiba ada orang lain yang datang.
“Lepas tangan kotor lo dari bahu dia.” Mahes menatap orang yang tengah meremas pergelangan tangannya dengan kuat itu, sampai beberapa detik kemudian ia merasa tak tahan lalu ia melepaskan tangannya pada bahu Raka.
Tepat satu detik saat tangannya terlepas, ia merasakan dirinya seperti melayang lalu menghantam tanah dengan sangat kencang.
“ARGH!” Teriakan itu membuat Jero dan Raka seketika terkejut lalu menatap orang yang baru saja datang itu.
“Jen...” lirih Raka dan orang tersebut langsung menampilkan raut sedihnya pada Raka.
“Maaf, gue telat” Raka yang tidak bisa menahan tangisnya pun langsung menerjang Jendral, memeluk pemuda itu dengan erat sambil menumpahkan tangis yang ia tahan sedari tadi.
Jendral, orang yang datang di saat yang tepat. Ia dengan gugup mencoba membalas pelukan Raka sembari memberikan usapan lembut dan menenangkan.
Jero yang melihat Raka menangis pun langsung berjalan mendekat kearah mereka berdua. Matanya menatap Raka dengan rasa bersalah lalu tangan kanannya yang bebas pun bergerak untuk mengusap rambut Raka.
“Maaf” ujarnya dengan rasa penuh penyesalan.
Cukup lama mereka bertiga di posisi itu, hingga saat dirasa dirinya sudah tenang, Raka melepaskan pelukan itu kemudian menatap dua pemuda kembar yang ada di hadapannya dengan wajah yang sedikit bengkak karena habis menangis.
“Lo berdua tuh.... ah, udahlah. Ayo ke klinik, Jero harus di obatin” ucap Raka sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya tadi.
“Rak, Maaf”
“Bukan salah lo, mereka yang salah”
“Maafin gue juga yang telat, lo jadi ngala—”
“Ayo ke klinik” ujar Raka sambil menyalakan motor milik Jero.
Jendral dan Jero saling bertatapan sebentar lalu menuruti kata Raka.
Mereka bener-bener bikin gue ngalamin banyak hal.