Aksararen

Setelah acara baku hantam dengan kedua sahabatnya itu kini Juna tengah melamun sembari menatap guru yang sedang menyampaikan beberapa materi yang belum sempat di bahas.

Dalam otak Juna ia berpikir, sudah tiga hari semenjak sepupu nya izin untuk tidak masuk ke sekolah dan selama tiga hari itu pula Juna selalu merasa resah akan sesuatu.

Entahlah, juna juga tidak terlalu paham apa yang membuatnya resah. Yang pasti, Juna yakin perasaan resah ini di mulai sejak kejadian di kantin.

Helaan nafas berat kembali keluar dari hidungnya dan hal itu membuat teman sebangkunya melirik kearah dirinya. Juna tahu Rajen selalu mencuri pandang kearahnya namun ia memilih untuk acuh dan menatap kearah guru yang sedang mengajar.

Menyebalkan batin Juna kemudian menunduk untuk mencatat sesuatu di buku tulisnya.

“Juna...” suara yang seperti sedang berbisik itu membuat Juna menoleh ke sumber suara. Juna menjawab dengan tatapan bingung kearah teman sebangkunya.

“Kenapa?” Tanya Rajen dengan pelan, Juna diam sejenak kemudian menggelengkan kepalanya.

Setelah itu mereka berdua pun kembali sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing hingga tak terasa bell pulang pun berbunyi.

Jam pulang sekolah kini di percepat dan hari ini bell berbunyi pukul 14.30.

Juna membereskan alat tulisnya kemudian beranjak dari duduknya, kaki jenjangnya melangkah dengan tenang menuju keluar kelas.

Tanpa di sangka di samping pintu kelas ada Rajen yang tengah bersandar, “ngapain, jen?” Tanya Juna. Sebenarnya Juna agak malas untuk bersuara karena sudah terlalu lelah dengan hari ini, namun kembali ke realita sangat tidak mungkin ia mengabaikan sahabat nya itu.

Rajen yang tadi sedang bermain ponsel nya sambil bersandar langsung menegakkan tubuhnya lalu menaruh ponselnya di saku. Ketika matanya bertemu pandang dengan Juna secara reflek senyum nya pun terbit, Juna yang melihat itu pun sedikit tersentak namun secepat mungkin ia menormalkan wajahnya dan membalas senyuman Rajen.

“Pulang?” Juna sontak tertawa saat mendengar pertanyaan Rajen sedangkan yang bertanya kini menatapnya dengan pandangan bingung.

“Rajen, lo tuh kalo mau nanya jangan pake pertanyaan yang udah jelas lo tau apa jawabannya” Ujar Juna setelah selesai tertawa dan Rajen sontak tersenyum canggung lalu mengusap tengkuknya.

“Gi—gitu, ya?” Rajen terkekeh lalu menggeleng pelan.

“Yaudah, gue duluan ya” Juna menepuk pundak kanan Rajen kemudian berjalan menuju gerbang sekolah. Rajen yang melihat punggung Juna semakin menjauh sontak berlari kearah Juna.

“JUN, AKU ANTER YA!”

Sial!


Juna menatap lelah kearah Rajen yang kini berdiri di hadapannya sembari menyerahkan helm padanya. Matanya menatap helm berwarna kuning itu sejenak kemudian menatap Rajen dengan tatapan sengit. Rajen kini tengah tersenyum—ah, lebih tepatnya ia sedang menahan tawa karena melihat tatapan sinis Juna yang terlihat sangat lucu baginya.

“Ngerepotin, jen”

“Engga, juna~”

“Ck, lo tuh ya!”

“Hehehe, yuk? Keburu sore banget”

“Nyebelin”

“Iya, sama-sama Juna”

Juna memakai helm nya dengan malas dan Rajen yang melihat hal itu sontak terkekeh kecil, “mau sampe kapan berdiri? Kamu mau jalan sambil make helm?” Juna mendengus kemudian bergerak naik keatas motor Rajen.

“Pegangan ya, aku gamau kamu kebawa angin”

“Ngeselin!”

“Iya, makasih yang lebih lucu” Rajen berujar tanpa sadar dan kalimat yang ia ucapkan itu cukup membuat bibir Juna terkatup rapat seketika.

Motor Juna pun kini bergerak keluar area sekolah dan Juna masih senantiasa diam, tentu saja hal itu membuat Rajen yang sedang mengendarakan motornya merasa khawatir. Ia takut Juna kerasukan hantu sekolah, “Juna?” Yang di panggil pun hanya berdehem singkat.

Motor Rajen berhenti sejenak untuk menunggu lampu lalu lintas yang berwarna merah, “Kamu kenapa?” Rajen ingin sekali menengok kearah belakang namun yang ia lakukan malah menatap Juna dari kaca spion.

“Gapapa” ujar Juna dengan suara pelan dan untung saja Rajen masih bisa mendengar suara Juna.

Rajen diam sejenak untuk berpikir dan Juna juga kembali diam.

“Lagi buru-buru pulang, jun?”

“Iya, kangen kasur” Rajen tersenyum kecil saat mendengar jawaban Juna.

“Kalo aku ajak ke taman deket komplek kamu, mau ga?” Juna diam sejenak kemudian ia menghela nafasnya.

“Terserah”


—You can play never not by Lauv

Jam menunjukkan pukul 15.30, biasanya di jam ini Juna baru pulang sekolah. Itulah mengapa ia menerima ajakan Rajen karena memang biasanya ia akan pulang dari sekolah ke rumah di jam-jam segini.

Alasan lain ia menerima ajakan Rajen adalah ia ingin beristirahat sejenak sebelum mendapat sesuatu yang lebih buruk di rumah nanti.

Juna duduk bersandar di kursi yang tersedia di sekitar taman tersebut, merilekskan tubuhnya yang sedikit kaku. Matanya terpejam untuk menikmati semilir angin sore, nafasnya yang sedari tadi rasanya sesak kini sedikit demi sedikit pun normal kembali.

“Udah lama ga kesini” Ujar Rajen sembari menyamankan duduknya di sebelah Juna.

“Emang biasanya kemana?” Ujar Juna dengan mata yang masih terpejam, Rajen menengok kearah Juna sebentar lalu tersenyum kecil.

“Di rumah, tempat les, cafe, mall” Juna membuka matanya sedikit untuk melihat wajah Rajen.

Wait, muka rajen kenapa keliatan sendu?

“Tempat rame semua” ucapan Juna membuat Rajen mengangguk.

“Ella suka milih tempat yang rame” Kini mata Juna sudah terbuka kembali, kemudian ia pun memperbaiki cara duduknya.

“Lo suka?” Rajen menoleh kearah Juna dan kini mereka pun saling bertatapan, pohon-pohon sekitar bergerak halus mengikuti arah angin dan suara khas anak kecil menjadi latar keduanya.

Mata Rajen seperti tidak mau berhenti untuk menyelami iris indah milik Juna, rasanya Rajen tengah menyampaikan sesuatu pada Juna dan hal itu membuat rasa lelahnya sedikit demi sedikit meluap. Sedangkan yang ditatap tengah merasa kacau, pikirannya seperti sedang tidak berfungsi juga jantung nya tengah memompa dengan sangat cepat.

“Engga” Jawaban Rajen membuat Juna sedikit merasa terkejut, ia jadi berpikir sesuatu yang melenceng dari topik. Salahnya juga sih yang bertanya dengan kalimat yang tidak jelas.

“Tapi aku nyoba buat suka sih, kan Ella suka ke tempat kaya gitu. Jadi ke depannya aku juga bakal sering ke tempat ramai sama dia” Sambung Rajen.

Juna menatap wajah bagian samping milik Rajen yang tengah menatap kearah depan, mendengar kalimat Rajen tadi entah kenapa dada nya tiba-tiba merasa sesak. Seperti sedang di hantam batu yang sangat besar.

“Lo sayang banget sama Ella?”

Bodoh, Juna bodoh. Kenapa kau bertanya sesuatu yang mungkin jawabannya nanti akan membuat mu bertambah merasa sesak?

Rajen menoleh kearah Juna sembari tersenyum kecil, pemuda itu tidak langsung menjawab melainkan memilih untuk menatap Juna sebentar.

Jen, jangan natap aku kaya gitu.

Beberapa detik kemudian Rajen pun mengangguk pelan, “Iya, jun. Aku sayang banget sama Ella, sepupu cantik kamu itu”

Kini dirinya seperti sedang tersambar petir, entah perasaanya saja atau tubuhnya sedikit bergetar?

Kenapa sesek ya, jen?

“Yah... walaupun Ella kadang nyebelin sih, tapi kebanyakan sifatnya itu bikin aku nyaman sama dia. Apalagi kalo udah mode lucu sama dewasa nya keluar, bikin aku pengen meluk dia erat banget”

Jen, bisa berhenti cerita in dia kalo sama aku?

“Segitu sayang nya ya, jen?”

“Iya!”

Juna tersenyum membalas senyuman Rajen kemudian mengangguk paham, “Tolong jaga dia, ya? Jangan bikin dia nangis atau ngerasain sakit, jen” ucap Juna sembari menahan bibirnya yang bergetar tanpa melunturkan senyuman nya di hadapan Rajen.

“Iya, jun. Pasti”

“Kalo dia lagi mode nyebelin jangan di bentak atau marahin, Ella ga suka kalo di kaya gituin”

Padahal dirinya sedang menahan rasa sesak juga tangis, tapi kenapa bibirnya tidak mau berhenti berbicara?

“Tolong bahagia in dia, jen”

Rajen sedikit tersentak mendengar suara Juna yang sedikit berbeda dari sebelumnya.

“Aku usahain, jun”

Juna tersenyum kecil lalu beranjak dari duduknya, ia menepuk pundak Rajen sambil meremat kecil.

“Gue duluan, ya”

Tanpa mendengar respon Rajen, Juna pun langsung berjalan meninggalkan Rajen di belakangnya.

Sore itu pun Juna menjadi tahu jawaban dari semua pertanyaan yang ada di benaknya, jawaban dari semua rasa resah di dalam dirinya, juga jawaban dari alasan dirinya yang selalu merasa gugup jika Rajen memperlakukan dirinya dengan manis.

Juna menyukai Rajen.

Rajen, sahabatnya dan pacar dari sepupunya.

Why him?

Setelah selesai dengan urusan di kamar mandi juga handphone nya, Juna pun berjalan keluar bilik menuju arah wastafel untuk mencuci tangan nya. Ia mengeringkan tangan nya dengan tisu sambil menatap dirinya di cermin yang ada di hadapannya.

Suasana kamar mandi yang sunyi sedikit membuat Juna merasa takut namun tersimpan juga rasa tenang di dalam dadanya. Di suasana seperti ini, biasanya akan ada suara yang mengusik dirinya dan itu sangat membuat Juna merasa jengkel.

“Dasar anak tidak tahu untung!”

“Harusnya kamu lahir sebagai perempuan jika akhirnya begini!”

“Gue jijik liat lo”

Bukannya merasa marah atau apapun, hanya saja di saat seperti ini ia menjadi berpikir jika dirinya ternyata sangat tidak berguna untuk hidup di dunia ini. Mengapa dirinya memilih untuk lahir ke dunia ini?

“Sudah, juna. Jangan mulai” gumam nya pada diri sendiri.

Senyum tipis Juna pun terbit kala melihat bayangan nya di cermin yang juga tersenyum, Juna merasa sedang di beri semangat. Walau faktanya, itu hanya bayangan dirinya.

Setelah selesai, Juna pun keluar kamar mandi menuju kearah kantin. Kaki nya berjalan dengan pelan, menikmati udara pagi yang berhembus. Keadaan sekolah kini sedikit lebih ramai karena beberapa menit lagi, bell masuk akan berbunyi. Sepasang mata indah itu menelisik setiap sudut yang menarik perhatiannya.

Hingga ia pun sampai di tujuan.

“Hai, juna!” Sapaan riang dari orang yang baru saja menepuk pundaknya itu membuat Juna menoleh.

“Halo, kak damar” Ujar Juna sembari membalas senyuman lebar sang kakak kelas yang akhir-akhir ini dekat dengannya.

“Mau beli sarapan?” Tanya Damar dan Juna menggeleng kecil.

“Aku mau—” ucapan Juna terputus saat merasakan getaran halus dari handphone yang ada di saku celana nya.

“Bentar ya kak” Damar mengangguk paham dan Juna pun mengangkat panggilan yang membuat hp nya bergetar tadi.

“Halo”

“Jun, lo lagi dimana?”

“Di kantin, na”

“Oke, kita otw”

“Hm”

Sambungan telepon pun terputus, Juna kembali memusatkan atensi nya pada Damar. “Cari meja yuk, kak? Temen ku pada mau nyusul kesini” Damar mengangguk paham kemudian ia menarik tangan Juna dengan halus menuju meja yang sudah menjadi incaran nya kala Juna sibuk menelpon tadi.

Sedangkan yang ditarik pun hanya pasrah, terlalu malas untuk menolak dan juga Juna tau sifat kakak kelas nya itu. Kak Damar itu orang nya suka narik tangan orang lain, itu yang Juna pikir.


“Err... ini kenapa pada diem?” Juna memecah keheningan di meja yang ia juga teman nya tempati. Pasalnya sedari para sahabatnya datang, yang pertama mereka lakukan adalah menatap Damar yang duduk di sebelah Juna. Tatapan mereka terlalu misterius, entah apa yang sedang mereka pikirkan saat ini. Sedangkan yang ditatap kini tengah asik memakan nasi uduk nya.

“Lo berdua pacaran, ya?”

Uhuk!

“Pelan-pelan minum air nya, jen. Kagak ada yang bakal minta juga”

Iya, bukan Juna atau Damar yang terbatuk tadi. Melainkan malah Rajen yang tadi sedang meminum air mineralnya.

Semua tatapan orang yang ada di meja tersebut sekarang terpusat kearah Rajen, setiap pasang mata itu menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda.

So—sorry” ujar Rajen dengan gugup sembari mengelap sisi bibir nya dengan tisu.

“Hmmm” suara Nandra tiba-tiba terdengar, pemuda berzodiak leo itu pun menatap kearah yang berzodiak gemini dengan pandangan yang sangat aneh.

Seperti sedang bertelepati, senyum keduanya tiba-tiba muncul bersamaan dan hal itu cukup membuat Juna merasa merinding seketika.

“Bang, kalo lo suka Juna buruan di serius in dong. Kasian gue bang, liat Juna yang jomblo sejak lahir” Ucapan Haidar membuat senyum Damar terbit seketika.

“Betul kata idar, bang. Siapa tau lo bakal jadi cinta pertama juga terakhir dalam hidup Juna”

Astaga, kepala Juna rasanya sangat pening melihat tingkah aneh dari dua sahabatnya itu. Bisakah mereka menjadi normal sehari saja?

“Oh, kalian setuju kalo gue sama Juna pacaran nih?” Tanya Damar dan Juna pun langsung saja menatap Damar dengan pandangan tidak percaya.

“Setuju lah! Iya ga, jen?” Rajen yang di sebut namanya pun sedikit merasa panik, tatapannya tidak sengaja bersibobrok dengan iris mata Juna yang sedang menatapnya dengan pandangan yang seperti penasaran jawaban apa yang akan ia ucapkan.

“I-iya, setuju. Kasian juga liat Juna yang jomblo dari lahir” ucapnya lalu mengalihkan tatapannya kearah lain.

“Tuh kan, bang!” Ujar Haidar dengan riang, Damar pun terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.

Tanpa mereka tahu, di saat yang lain merasa senang ada satu orang yang merasa sedikit sedih dengan jawaban yang Rajen lontarkan tadi.

i shouldn't feel this way, right?

Juna berjalan santai menuju tempat yang akan menjadi titik pertemuannya dengan Rajen.

Angin malam mulai terasa karena sudah pukul 7 malam, banyak kendaraan yang masih berlalu lalang jadi Juna tidak merasa terlalu sepi.

“Juna!” Yang di panggil langsung menoleh lalu tersenyum tipis, kaki nya pun bergerak sedikit lebih cepat untuk menghampiri yang memanggil.

“Mau langsung?” Tanya Juna saat sudah berada di hadapan Rajen.

“Iya, biar ga kemaleman” Juna mengangguk.

“Nih” Rajen menyerahkan helm kepada Juna dan tentu di terima dengan baik oleh sang empu.

Setelah memastikan Juna aman di belakangnya, Rajen pun mulai menjalankan motornya menuju Gramedia.


“Lo milih buku atau milih baju, jen? Lama banget perasaan” Ujar Juna ketika mereka berdua telah keluar dari Gramedia.

Rajen terkekeh mendengar ucapan sinis Juna, bukannya merasa kesal ia malah merasa Juna sangat menggemaskan.

Juna yang sedang marah itu sangat menggemaskan, oke? Percaya dengan Rajen.

“Mulut kamu ga capek apa ngoceh terus?” Rajen berujar seperti karena saat ia memilih buku tadi, Juna selalu mengikuti nya seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Apalagi mulutnya itu beberapa kali melontarkan pertanyaan seperti, “Buku nya udah ketemu belum?” atau “masih lama ga, jen? Gue capek jalan nih” dan jika Rajen tak salah, Juna sempat merengek dengan suara yang kecil.

“Rajen kenapa lama banget sih? Gue capek jalan, jen~”

Kira-kira itulah kalimat yang berhasil Rajen dengar, sangat menggemaskan bukan? Rasanya Rajen ingin memasukkan Juna ke dalam sakunya.

“Engga!” Jawab Juna dengan nada kesal dan lagi-lagi Rajen terkekeh.

“Mau beli makan? Mumpung masih jam setengah delapan nih” Juna dengan cepat menoleh kearah Rajen dengan mata yang terlihat sangat berbinar.

“Ayo! Beli ramen aja yuk, jen? Gue udah lama ga makan ramen deh” Senyum tipis pun terbit di bibir Rajen saat mendengar nada ceria dari suara Juna.

“Dasar bocah” gumam Rajen, jika ia pikir kalimat nya itu tidak di dengar oleh Juna maka pikirannya itu salah total.

Rupanya, Juna mendengar gumaman Rajen dan langsung saja ia menatap Rajen dengan garang.

“Ngomong apa tadi barusan?” Rajen menjadi tergagap seketika saat melihat Juna yang tengah bersiap untuk memukulnya.

“Bocah, jen?” Rajen meneguk ludahnya dengan susah payah. Aura ceria yang Juna pancarkan tadi sudah berubah menjadi aura yang menyeramkan.

“I-itu... a-aku duluan ya, jun!” Rajen melesat dengan cepat dan Juna langsung menatap Rajen yang tengah berlari dengan pandangan tidak percaya.

“Ni samoyed satu nyebelin parah” gumam Juna kemudian berlari untuk mengejar Rajen.

* Untuk momen kali ini, terlihat sangat menggemaskan ya?


Kini kedua nya telah berada di restoran ramen favorit Juna, mereka berdua duduk berhadapan dengan meja yang ada di tengahnya.

“Jun, sakit~” Juna mendengus kala mendengar rengekan dari Rajen, padahal ia hanya memukul lengan Rajen dengan pukulan yang sedikit keras.

“Lebay”

“Beneran sakit, Jun~” Juna menghela nafasnya, walaupun sedikit menyebalkan tapi Juna sedikit merasa lucu karena tingkah Rajen yang seperti anak kecil ini.

Rajen menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya yang ada diatas meja, melihat tingkah Rajen yang semakin menjadi-jadi dengan tidak sadar senyum kecil Juna pun terbit.

Tangan kanan Juna terulur untuk mengusap lembut lengan Rajen yang baru saja ia pukul itu. Sedangkan yang di perlakukan seperti itu sedikit merasa terkejut.

“Jangan rewel, jen. Ramen nya udah mau dateng” Ujar Juna lalu menghentikan usapannya itu, Rajen langsung menegakkan kembali duduknya kemudian menatap Juna. Hingga anggukkan yang sedikit kaku menjadi respon dari Rajen.

“Silahkan~” seorang pelayan pun datang dengan membawa pesanan yang mereka pesan.

“Makasih” ujar Rajen dan Juna dengan berbarengan.

Mereka berdua pun mulai memakan ramen yang mereka pesan itu.

“Enak?” Tanya Juna disela makannya.

Rajen mengangguk tanpa menatap Juna karena ia sibuk memakan ramen nya, entah untuk ke berapa kali senyum kecil Juna terbit karena melihat tingkah Rajen.

“Pelan-pelan makan nya, gabakal ada yang ngambil kok” ucapan Juna membuat Rajen menatap kearahnya.

Karena merasa di tatap, Juna pun menghentikan gerakannya yang akan menyuap ramen nya. Mereka berdua pun bertatapan, Juna yang memandang Rajen dengan pandangan bingung sedangkan Rajen menatap polos Juna sambil mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya.

“Apa?” Tanya Juna saat Rajen sudah menelan makanannya.

“Mirip bunda”

“Hah?” Rajen dengan tiba-tiba menampilkan senyum nya hingga matanya menjadi menyipit, Juna masih mengernyit bingung karena tingkah aneh Rajen.

“Abisin, jun. Keburu malem nantinya” merasa tidak akan mendapatkan penjelasan apapun, Juna pun menghela nafas kemudian melanjutkan makan nya yang sempat tertunda.

Rajen tersenyum tipis melihat Juna yang sedang memakan ramen, cara makan Juna terlihat sangat lembut dan tidak terburu-buru. Juga ketika mengunyah mie ramen itu, pipi nya menjadi bulat dan itu terlihat sangat teramat menggemaskan.

Rasanya Rajen ingin mencubit pipi bulat itu, kenapa bisa pemuda di hadapannya ini sangat terlihat menggemaskan? Tolong beritahu Rajen jawabannya.

“Kok bengong?” Ujar Juna sambil mengunyah sisa makanan nya.

Rajen mengedipkan kedua matanya sebentar lalu memusatkan kembali atensinya pada Juna.

“Hm?”

“Kenapa sih, jen? Lo aneh ba—” ucapan Juna terhenti.

Juna menatap tidak percaya dengan apa yang sedang Rajen lakukan. Rajen saat ini tengah membersihkan area sekitar bibir Juna yang terkena kuah ramen dengan tisu, mata Rajen terlihat serius membersihkan noda itu.

Sedangkan Juna kini tengah menatap kosong Rajen, jantungnya kini tengah memompa dengan cepat dan dapat Juna rasakan jika kedua pipi nya sedikit terasa panas.

Apa-apaan ini?!

“Belepotan banget kalo makan, kaya bebek” Kesadaran Juna pun kembali saat mendengar ucapan Rajen.

“A-apaan sih?! Aku bukan bebek!” Ujar Juna dengan gugup karena mencoba menutupi salah tingkahnya di depan Rajen.

“Kata ayah aku, kalo makannya belepotan itu kaya bebek” Jawab Rajen.

“Ih, diem!” Rajen tertawa saat melihat tingkah Juna.

“Jangan ketawa, Rajen! Nyebelin banget sih?!”

“Oke-oke, aku berhenti ketawa”

“Nyebelin” gumam Juna.

“Iya, sama-sama”

“Rajen!”

“Hahaha, maaf‐maaf~”

“Lain kali jangan kaya gitu lagi, kan bisa bilang ke aku kalo belepotan” ujar Juna dengan suara yang kecil, tanpa ia sadari tingkah asli nya keluar di depan Rajen.

“Maaf, juna~ reflek tadi”

Juna mendengus kesal, melihat hal itu Rajen pun langsung berpikir apa yang akan membuat Juna tidak kesal padanya.

“Jangan marah, nanti aku beliin eskrim deh di indomar deket rumah kamu”

“Boong?” Tanya Juna, Rajen tersenyum sambil menggeleng. Di dalam hati Rajen, ia berseru senang karena Juna masuk ke dalam rayuan nya.

“Engga” Juna menatap Rajen sejenak lalu melanjutkan makannya, tapi sebelum itu ia mengucapkan sesuatu yang membuat Rajen rasanya ingin menculik Juna karena gemas.

“Aku mau dua eskrim”

So ... everything will start from here?

“Gue mau ke warung dulu” Ucap Juna sambil menaruh handphone nya kedalam saku, ucapan pemuda manis itu membuat kedua sahabatnya melihat kearahnya dengan berbagai pandangan.

“Lo udah mesen bakso anjir?” Ujar Haidar dengan pandangan yang tidak percaya.

“Gimana dah, jun? Katanya tadi laper banget karna abis praktek? Kenapa di tinggal gitu aja?” Nandra menimpali dengan pandangan terkejut.

“Tangan Ella berdarah karna praktek, di uks juga stok hansaplas abis” Jelas Juna dengan singkat, ia beranjak dari duduknya dan tentu saja langsung di tahan oleh Haidar.

“Rajen kemana? Kenapa ga dia aja?” Tanya Haidar dan Juna pun langsung mendengus.

“Rajen ada urusan sama pak dion, dar. Udah ya? Gue mau beli hansaplas, takut tangan nya ella kenapa-napa. Bakso yang gue pesen, lo makan aja. Udah gue bayar kok!” Setelah itu tanpa mendengar ocehan sahabatnya lagi, Juna langsung berlari kearah warung untuk membeli hansaplas untuk sang sepupu.

“Juna tuh... kenapa baik banget anjing?” Ujar Nandra tiba-tiba dan Haidar langsung menoleh.

“Gatau gue juga, coba lo tularin dah sifat cuek lo itu ke dia” Nandra mendelik dan Haechan tertawa kecil.

“Lo ga ngerasa aneh sama si Ella, dar?” Haidar mengangkat alisnya seakan bertanya maksudnya?

“Ni cewe gue liat-liat selalu aja ganggu waktu luang nya Juna, ada masalah apaan sih tu anak” Haidar hanya diam, tidak berniat menjawab ocehan Nandra. Mulutnya memang terkatup rapat, tapi batinnya turut mengoceh menjawab ucapan Nandra.

Lo gatau aja kalo si Juna sering di jadiin babu ama tu cewe.


Ceklek

Bunyi pintu yang dibuka membuat yang sedang di dalam ruangan itu menatap orang yang baru saja membuka pintu.

“Mau apa kesini?” Tanya Ella sambil menatap sinis orang yang baru datang itu.

“Nganterin ini” Juna menaruh kantong plastik berisi sekotak hansaplas diatas nakas sebelah ranjang yang Ella duduki.

“Ga guna” Ucapan Ella tak dihiraukan oleh Juna, pemuda manis itu lebih memilih untuk menatap luka pada tangan sang sepupu.

“Udah di kompres pake air dingin?” Tanya Juna dengan lembut dan Ella hanya mendengus kesal.

“Ngapain sih segala perhatian kaya gini?”

“Karena gue khawatir” Jawaban Juna membuat Ella diam sejenak kemudian menatap malas kearahnya.

“Gue ga butuh rasa khawatir lo itu” Juna hanya tersenyum tipis lalu mengangguk kecil.

“Bener, lo pasti ga butuh itu” Suara Juna kian memelan dan Ella langsung memandang Juna dengan remeh.

“Jijik” Juna menundukkan kepalanya saat mendengar kata yang meluncur dengan lancar dari bibir perempuan itu.

“Gue ga pernah liat cowok se-lembek lo, jun” Juna menggigit bibir dalamnya.

“Kenapa lo gabisa bersikap normal kaya laki-laki diluar an sana?” Juna mematung seketika, ia tidak pernah menyangka jika sepupunya akan melontarkan kalimat itu.

“Bahkan buat ngelawan gue lo ga berani?” Juna mengepalkan tangannya lalu mulai mengangkat kepalanya yang tertunduk tadi untuk menatap sang sepupu.

“Apa? Lo kesel?” Juna tersenyum tipis lalu mengangguk dan hal itu membuat Ella menatap dirinya dengan pandangan tidak percaya.

“Gue kesel, la. Tapi gue milih nahan semua itu, karena mau bagaimana pun lo perempuan dan lo itu sepupu gue” mendengar itu reaksi Ella hanya meremat selimut yang menutupi daerah kakinya.

“Jadi maksud lo, gue itu lemah dan bukan tandingan lo? LO NGEREMEHIN GUE, JUNA?!” Juna memejamkan matanya saat mendengar teriakan Ella kemudian saat sang sepupu selesai berteriak kedua matanya pun kembali terbuka.

“Lo salah, gue ga pernah ngeremehin lo. Lo salah nangkep apa yang gue maksud, la” Jawab Juna.

“Gak! Gue paham maksud lo itu!” Juna menghembuskan nafasnya pelan, ia pun bergerak untuk mengambil sesuatu. Ella pun hanya acuh, tidak peduli apa yang akan Juna ambil.

“Nih” Juna memberikan sebuah kain yang dibasahi oleh air dingin juga sudah sedikit diperas agar air nya tidak menetes, Ella menatap datar kain itu.

“Biar cepet sembuh, la”

Sial.

Ella dengan malas pun menerima kain basah itu lalu ia tempelkan di area punggung tangan yang terluka itu, Juna tersenyum tipis saat melihat sepupunya yang merespon baik.

“Lain kali hati-hati” Ujar Juna dan Ella hanya diam.

“Hansaplas nya bisa di pake kalo mau balik kelas nanti. Itu titipan Rajen kok, cowok lo yang nyuruh gue buat beli” Ella tetap acuh, mengabaikan semua ucapan Juna.

Pemuda manis itu menatap sang sepupu sebentar lalu menghembuskan nafasnya lagi dengan berat.

“Gue balik ke kelas dulu, ya? Kalo butuh apa-apa jangan sungkan buat minta ke gue” Juna pun beranjak pergi dari ruangan itu, meninggalkan Ella yang masih diam.

Cepet sembuh.

Kenapa harus bersikap kaya gitu sih? Ganggu banget tau ga.

Juna menghela nafas lelah setelah melihat isi roomchat nya dengan haidar, Dasar kagak jelas batin Juna. Walaupun batin nya memisuhi haidar tapi bibir siswa manis itu menyunggingkan sebuah senyuman.

“Idar... idar...” gumam Juna lalu mengadahkan kepalanya kearah langit.

“Cerah ya” komentar nya saat melihat langit yang berwarna biru itu.

“Juna~” suara lirih yang terdengar di telinga kiri nya membuat Juna dengan reflek menoleh dan seketika wajah terkejutnya berubah menjadi wajah datar.

“Galak amat tu muka” Cibir orang yang berada di sebelah Juna.

“Diem atau gue pukul?” Haidar tertawa melihat Juna yang sedang mengancamnya.

“Serem~” Ucap Haidar sembari menyamankan duduknya di sebelah Juna lalu membukakan botol aqua pesanan Juna tadi.

“Nih” Juna menerima botol aqua itu kemudian meminum sedikit air itu.

“Tumben ga beliin yang dingin?”

“Masih pagi gaboleh minum es” Juna memutar bola matanya malas dan Haidar hanya tersenyum melihat tingkah sahabat manisnya itu.

Keadaan keduanya pun hening, hingga haidar pun membuka kembali percakapan antar keduanya.

“Lo... kenapa?” Juna yang baru saja ingin membuka tutup botol aqua langsung berhenti sebentar namun setelah itu ia kembali melanjutkan gerakannya.

“Gapapa” jawab Juna setelah menegak airnya.

“Ck, jangan boong dong jun” pinta Haidar.

“Lah, gue ga boong dar. Buktinya, gue sehat nih” Haidar menatap mata Juna sebentar lalu memutuskan pandangannya untuk mengambil permen yang ia beli.

Permen dengan rasa susu coklat itu Haidar buka kemasannya, kemudian permen itu ia berikan pada Juna.

Thanks bro~” ucap Juna lalu memakan permen itu.

Haidar mengunyah permen susu itu sebentar sembari memikirkan sesuatu sedangkan Juna hanya mendiamkan permen itu di dalam mulutnya sambil melihat langit yang semakin terasa terik karena matahari.

“Kadang gue bersyukur bisa sekolah ini deh” ujar Juna tiba-tiba.

“Emang biasanya kagak?” Pertanyaan haidar di abaikan oleh Juna.

“Di ini sekolah ada rooftop jadi gue bisa liat langit kaya gini” lanjut Juna.

Haidar menatap sisi kiri wajah Juna sambil mengunyah permen nya kemudian ikut melihat langit seperti yang Juna lakukan.

“Langit itu udah kaya obat penenang lo ya, jun?” Juna mengangguk kecil.

“Iya, kalo liat langit rasanya beban yang gue bawa tuh langsung melu—” Juna menghentikan ucapannya lalu dengan cepat ia menoleh kearah haidar.

Haidar tersenyum kemudian tangan kanannya ia bawa untuk mengusap surai Juna dengan lembut.

“Kalo boleh tau, beban apa aja yang lo bawa kesini jun?” Juna terdiam, bingung ingin menjawab apa.

“Ceritain ke gue, jun. Apa yang udah sepupu lo lakuin ke diri lo hari ini”

Mampus.

Juna berjalan dengan tergesa ke tempat yang sepupu nya sebutkan itu.

“JUNA!” Di sela larian nya ia merasa di belakangnya ada yang memanggil dan dengan reflek pun ia berhenti sejenak lalu menoleh kearah belakang.

Rajen?

Juna menatap Rajen yang sedang berlari kearahnya namun beberapa detik kemudian ia kembali berlari dengan cepat. Tentu saja, hal itu membuat Rajen menjadi terbingung.

Sorry, jen. Tolong, berhenti kejar gue.

“Akhirnya lo sampe juga” Juna menumpu kedua tangannya di lutut sembari mengatur nafasnya agar kembali normal.

“Ada a—”

Bugh!

Sebuah tendangan meluncur dengan bebas ke arah perutnya, Juna seketika langsung terhuyung ke belakang.

Pria manis itu meringis sembari memegang perutnya yang habis di tendang oleh sang sepupu. Sepasang mata yang selalu nandra bilang sangat indah itu memancarkan kilatan amarah juga bingung. Sedangkan yang di tatap, kini tengah tersenyum remeh.

“Bajingan kaya lo—” Ella maju selangkah kearah Juna yang kini tengah menahan rasa sakit.

“Sampah masyarakat kaya lo—” Ella maju selangkah lagi dan hal itu membuat Juna sedikit gemetar.

“HARUSNYA GAADA DI DUNIA INI!”

Plak!

Tamparan itu sukses membuat pipi Juna memerah, bahkan saking kerasnya tamparan Ella, Juna merasa telinga nya sedikit berdenging.

“Gue udah ngasih lo peringatan tapi kenapa lo belom kapok juga?!” Teriak Ella dan Juna masih diam. Juna menatap kosong sepatunya dengan tangan kanan yang memegang pipinya.

“Gue kurung lo di perpustakaan—”

“Kenapa?”

Ucapan Ella terhenti saat mendengar suara Juna yang lirih, perempuan itu menatap Juna dengan bingung.

“Maksud lo?” Tanya Ella dan bukannya jawaban, yang ia dapat hanya kekehan dari Juna.

“Bodoh” Ella mengepalkan tangan nya lalu langsung saja berdiri di hadapan Juna kemudian menjambak rambut Juna hingga wajah manis dengan ruam merah di pipi itu berhadapan langsung dengan wajah kesal milik Ella.

“Gue bodoh, la” ucap Juna dan Ella masih menatap nyalang kearah Juna.

“Gue selalu di bilang bodoh dan lo kebalikannya, dari dulu begitu kan? Gue selalu di pandang buruk dan lo baik. Tapi kenapa, kenapa lo masih ngelakuin ini semua ke gue?” Ella melihat mata Juna yang kosong dan entah mengapa hal tersebut semakin membuatnya kesal.

“Karena gue ga suka lo ada di dunia ini.” Jawab Ella dengan penuh penekanan.

Juna menatap mata Ella lalu tertawa dengan keras, “HAHAHAHA— lo? Lo ga suka gue hidup di dunia ini?” Juna tersenyum lalu mengangguk kecil.

“Yaudah, bawa gue ke rooftop” Ella menatap bingung Juna.

“Lo mau nyuruh gue bunuh lo disana? Terus gue di tangkep sama polisi karena kasus pembunuhan? ITU MAU LO, SAT?!” Kerah baju Juna di tarik dengan ganas oleh Ella dan Juna hanya merespon dengan gelengan.

“Gue ga mungkin nyuruh sepupu kesayangan keluarga gue buat ngelakuin itu” Pegangan Ella pada kerah baju Juna sedikit melonggar.

“Gue bakal pergi dari dunia ini sendiri, tanpa melibatkan siapa-siapa. Itu kan yang lo mau? Gue bisa kok buat menuhin keinginan sepupu kesayangan gue itu” Ella menatap Juna dengan jengah lalu dengan berutal, ia mendorong Juna dengan keras.

“LO GILA!” Teriak Ella dan Juna langsung tertawa.

“Baru sadar?”

“LO BUKAN JUNA!” Entah mengapa Ella menjadi panik sendiri melihat tingkah Juna yang berbeda dari biasanya.

“Ella, ini gue. Arjuna rengga, sepupu lo yang selalu lo harapkan buat pergi dari dunia ini”

“Beli kado nya udah, sekarang ayo pulang” Ucap Juna.

“Betah amat di rumah sih, jun” gumam Rajen dan masih di dengar oleh Juna. Pemuda manis itu tentu saja tidak terima di bilang begitu, langsung saja ia menghadiahkan Rajen pukulan di bahu kanan.

“AWW!” Juna tertawa saat melihat wajah Rajen yang sedang kesakitan karena pukulannya tadi.

“Lemah lo, jen!”

“Enak aja!”

Keduanya pun tertawa, hingga tak terasa sudah sampai di parkiran khusus motor.

“Ke perpustakaan kota aja deh, yuk?” Tawar Rajen dan Juna pun langsung menatapnya dengan bingung.

“Ngapain?”

“Ya, baca buku atau mau minjem buku. Terserah” Juna menimbang sebentar lalu mengangguk.

“Boleh deh” Rajen diam-diam tersenyum tipis.


“Woah, ada event apa ini?!” Seru Juna saat melihat bagian loby perpustakaan kota ramai dengan orang-orang.

“Kayanya lagi promosiin club gitu deh” jawab Rajen dan Juna pun mengangguk.

“Hey, guys! Welcome!” Seruan dari pria berkulit putih membuat keduanya sedikit tersentak.

“Oh? Hai!” Juna membalas sapaan itu dengan senyum manis nya. Senyum yang membuat dua orang dominan sekitarnya merasa gugup seketika.

“Want to join our club?” Tanya pria yang menyapa tadi, Rajen dan Juna saling bertatapan lalu keduanya menatap pria berkulit putih tersebut.

Juna tersenyum kecil lalu menggeleng dan pria berkulit putih tersebut pun langsung mengangguk paham.

“Sorry, but can i take some picture with the property?” Pria berkulit putih itu pun langsung mengangguk, tanpa sadar Juna pun memekik kecil.

Rajen yang sedari tadi diam, memperhatikan gerak-gerik sahabat manis nya itu. Entah hanya perasaan nya saja, atau Juna memang makin bertambah manis?

“Jen, fotoin!” Rajen mengangguk sambil tersenyum, ia mengambil handphone nya lalu memotret Juna yang sedang memegang spanduk kecil sambil tersenyum.

Poto sudah Rajen potret dan Juna langsung mendekat kearah Rajen untuk melihat poto tersebut. Karena terlalu menempel, Rajen bisa mencium aroma parfum juga wangi rambut Juna.

Aroma yang manis dan candu. Itulah kalimat yang bisa Rajen katakan. Bahkan, aroma kekasihnya itu kalah manis dengan Juna. Tanpa sadar, jantung Rajen berpacu dengan cepat.

“Jen! Liat!” Juna sekarang sedang menunjukkan wajahnya yang muncul dari bolongan krucut, Rajen tertawa lalu mengarahkan kamera belakang hp nya kearah wajah Juna.

Poto kedua Juna pun ia potret.

“Udah yuk, kita kan mau nyari buku” ucap Rajen dan Juna pun mengangguk.

•••

“Udah nemu?” Ucap Juna saat menghampiri Rajen yang tengah berdiri di depan rak sembari melihat keluar jendela.

“Jen?” Rajen sedikit tersentak lalu menatap Juna.

“Kenapa?” Rajen diam sejenak.

“Lagi sunset, potoin dong jun” Juna hampir saja tersedak ludah nya sendiri saat mendengar ucapan Rajen.

“Yang bener aja??”

“Potoin, jun~” Juna menghela nafas lalu mengangguk.

Rajen langsung tersenyum lebar lalu mulai berpose di dekat cahaya matahari yang masuk melalui jendela, pose yang Rajen lakukan memang sedikit aneh namun Juna tidak akan berbohong jika Rajen kini kadar ketampanannya bertambah.

Poto pun berhasil Juna potret.

“Udah, jen” ucap Juna dan Rajen mengangguk.

“Lagi” ucap Rajen.

Rajen mulai berpose, ia menatap Juna lalu tangan nya mengisyaratkan agar Juna memotret nya dari dekat. Juna berjalan mendekati Rajen, saat sudah berada di dekat sahabatnya itu Rajen langsung menarik Juna sedikit hingga keduanya hanya berjarak beberapa centi.

Pergelangan tangan Juna, Rajen genggam.

“Ayo poto, jun” Juna mengerjap lalu mengangguk, degup jantung nya kembali menggila.

Poto kedua pun berhasil Juna potret, Juna menghembuskan nafas lega saat melihat hasilnya bagus. Padahal tadi ia sangat takut jika hasilnya akan sedikit terguncang karena tangan nya yang tiba-tiba sedikit bergetar dan berkeringat.

“Nice shoot!” Ucap Rajen saat melihat potonya.

“Sekarang, pulang?” Tanya Juna dan Rajen pun langsung terkekeh. Tangan yang lebih besar dari juna itu, mengusak surai Juna dengan gemas.

“Iya, ayo pulang” ucap Rajen sambil menatap Juna dan jangan lupakan senyum khasnya yang terpatri di bibirnya.

Tuhan, sahabat Juna kenapa aura gantengnya dominan banget.

Juna manis banget, gila.

23-05-2022, 13.00 WIB.

“Adek bangun yuk” Mahen menepuk punggung Melvin dengan lembut, hingga putra kecilnya itu pun membuka mata nya.

“Papa?” Mahen tersenyum lalu menggendong anaknya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah Melvin.

“Adek, mau bantuin papa buat sesuatu?” Tanya Mahen sambil mengelap wajah Melvin dengan hati-hati. Sang anak yang belum paham maksud dari sang Papa hanya mengangguk.

Alright!, kita akan membuat sesuatu” Mahen menggendong anaknya dan sang anak hanya tertawa mendengar nada bicara Mahen yang sangat bersemangat.


“Ren, dah selesai belum?” Tanya Haekal sedangkan Rendra yang tengah membeli beberapa baju untuk anggota keluarga kecilnya langsung menengok kearah Haekal.

“Belom, gue bingung mau beliin melvin baju yang mana” Haekal menghela nafasnya lalu melihat kearah dua baju yang membuat Rendra bingung.

“Warna coklat bagus” Rendra mengangguk paham lalu tangan nya meraih baju anak laki-laki berwarna coklat yang Haekal maksud.

“Oke, selesai. Ayo kita bayar” Haekal mendengus pelan lalu mengejar Rendra yang sudah jalan mendahuluinya kearah kasir.

“Lo sebenernya udah klop sama yang coklat kan? Tapi masih ragu dikit” Ucap haekal, membahas baju tadi.

Rendra tertawa kecil sambil mengangguk, “Betul sekali tuan Haekal”

“Tau gitu lo tanya aja sih ke gue”

“Yah... maaf deh”

Mereka berdua pun sibuk membayar barang belanjaan di kasir. Setelah selesai mereka pun berjalan menuju parkiran mall tersebut.

“Tumben banget belanja banyak gini?”

“Hari ini hari spesial” Haekal mengerutkan dahinya dan Rendra sadar akan itu.

“Hari anniversary pertama pernikahan gue sama Mahen” Haekal sedikit terkejut lalu mengangguk paham.

“Ga kerasa ya... dah satu tahun berlalu” gumam Haekal.

“Iya... dan lo masih jomblo” Ucap Rendra dan setelah itu tawa khasnya keluar, tentu saja hal itu membuat Haekal sedikit kesal.

“Jahat lo, jun”

“Gausah cemberut gitu elah”

“Abisnya!”

“Oke oke, gue minta maaf”

“Traktir gue janjiw dulu”

“Sialan”

Lalu tawa mereka berdua pun lepas begitu saja.


Rendra menatap bingung keadaan rumahnya yang gelap, ia merasa seperti Deja vu akan suasana yang ia rasakan saat ini.

“Mahen? Kamu dimana?” Bukan jawaban dari sang suami yang Rendra dapat melainkan lampu rumahnya tiba-tiba menyala begitu saja.

“Baba”

Mata Rendra mendapati sosok suami juga anaknya yang tengah berdiri di dekat pintu dapur dengan senyuman yang terpatri di bibir keduanya.

“Welcome home, babe” Rendra yang sedari tadi diam, mulai paham dengan semuanya. Langsung saja kaki kurus itu melangkah kearah suami juga anaknya kemudian memeluk mereka berdua.

Tangan kiri Mahen yang bebas pun membalas pelukan Rendra, Melvin yang ada di gendongan tangan kanan Mahen juga bergerak mendekati kepala sang Baba.

“Happy anniversary, babe” Bisik Mahen.

“Maaf ya, aku buat acara kecil aja” Rendra membalas dengan anggukan, air mata Rendra sudah menetes karena rasa haru.

Suasana rumah itu kini sangat hangat, beberapa lilin hias yang menyala untuk kesan romantis, musik pengiring untuk kesan santai, juga pelukan tulus membuat suasana nya sangat menakjubkan.

“Makasih udah mau bertahan untuk aku juga Melvin, i love you

“Makasih juga, mahen. Aku bahagia banget, i love you too

“ai lov yuuu” seruan Melvin yang tiba-tiba itu membuat dua orang dewasa tersebut langsung mematung.

“Babaa papaa” Mahen dan Rendra saling pandang lalu senyum bahagia muncul begitu saja.

“Aih, anak baba udah bisa bilang i love you” Rendra mengusap rambut Melvin dengan lembut.

“Anak papa gemes banget, pengen makan hm?” Melvin menatap Mahen dengan pandangan binar lalu mengangguk.

“Ma'em!” Rendra dan Mahen tertawa melihat tingkah Melvin.

“Iya, sayang. Ayo makan” mereka pun berjalan kearah dapur.

“Kamu mesen ini semua dimana?” Tanya Rendra sambil menatap makanan favoritnya dan Mahen yang sudah tersaji cantik di meja makan tersebut.

“Mama aku yang mesen” Rendra mengangguk paham.

Melvin di dudukkan di kursi khususnya oleh Mahen dan Rendra langsung mengambil posisi di sebelah Melvin.

“Woah, ada bubur kesukaan melvin juga. Ini mama yang buat?” Mahen tersenyum lalu mengangguk.

“Selamat makan~” seru Rendra dan Mahen bersamaan dan Melvin tertawa sambil bertepuk tangan.

Keluarga kecil itu menyantap makanan dengan suasana yang terasa hangat sekali. Tingkah Melvin yang sangat menggemaskan juga membuat Mahen juga Rendra merasakan perasaan bahagia yang belum pernah mereka rasakan selama ini.

Kebahagian mereka datang dengan cara yang sederhana.

Juna kini tengah duduk di salah satu kursi depan minimarket sambil menyesap teh hangat yang ia beli di minimarket tersebut.

Suasana malam saat ini tidak terlalu sunyi karena ada beberapa orang yang berlalu-lalang melewati minimarket tersebut, suasana yang cocok untuk banyak berpikir atau sebut saja Overthinking. Itulah yang Juna lakukan hingga sebuah tepukan di bahu kirinya menyadarkan Juna.

“Melamun?” Juna tersenyum lalu menggeleng pelan.

“Kenapa?” Tanya Rajen saat sudah duduk nyaman disebelah Juna.

“Harusnya gue yang nanya ga sih?” Rajen terkekeh sebentar.

“Ada masalah sama ella?” Rajen diam sejenak lalu mengangguk pelan.

“Cerita aja” Ucap Juna lalu setelah itu ia menyesap teh nya.

“Ada masalah kecil” Rajen mulai bercerita dan Juna hanya diam.

“Jun, aku tuh ngerasa kalo Ella sekarang bukan Ella yang aku kenal dulu” Juna diam-diam tersenyum tipis.

Kamu yang gatau sifat aslinya, Jen batin Juna.

“Berubah kaya gimana?” Tanya Juna dan Rajen membalas dengan helaan nafas.

“Awal-awal masih biasa aja, tapi makin lama aku kaya ngerasa ga nyaman sama dia” Juna mengangguk pelan.

“Kemauan dia banyak dan ga wajar, ada salah satu kemauan dia yang paling ga wajar. Kamu tau jun, dia pengen apa?” Juna menatap Rajen sambil menyesap tehnya dengan tenang.

Jauhin Juna. Batin Juna

“Dia minta aku buat jauhin kamu” Bingo! tebakkan Juna sangat benar.

“Jadi?” Rajen mengusap wajahnya dengan kasar lalu menggeleng.

“Aku ga habis pikir sama dia! Kamu sahabat aku, jun. Ga mungkin aku jauhin kamu. Jadi, aku sama dia debat dan akhirnya kaya gini” Juna mengambil nafasnya sebentar, mencoba membuat dirinya tenang.

“Aku mau nanya, boleh?” Rajen menatap Juna lalu mengangguk.

Juna mengubah gaya bicaranya tanpa sadar, padahal ia berniat menahan dirinya untuk menggunakan aku-kamu di depan Rajen.

“Ella pacar kamu dan aku sahabat kamu” Rajen hanya diam, mendengarkan ucapan sahabat mungilnya.

“Dimana-mana kemauan pacar itu prioritas kan?” Pertanyaan Juna sangat tepat sasaran, Rajen kini diam. Bibirnya terkatup rapat, otaknya bingung untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Juna.

“Biasanya kalo bucin tuh bakal nurutin semua keinginan doinya, karena bisa aja keinginan si doi emang sebuah hal terbaik untuk si bucin di masa depan nanti. Paham maksud aku kan, jen?” Rajen menatap Juna begitupun sebaliknya, mereka saling menatap seperti sedang berbicara melalui mata. Hingga akhirnya Rajen memutuskan pandangan mereka berdua.

“Aku paham. Tapi tetep aja, kamu sahabat aku dan aku gamau jauhin kamu. Lagian Ella sepupu kamu, kenapa dia nyuruh aku jauhin kamu? Aneh”

Juna tersenyum tipis lalu menyesap teh nya hingga habis, sedangkan Rajen menatap kearah bawah meja. Tangannya bertaut dengan erat, Rajen tengah merasa gelisah entah karena alasan apa.

Teh Juna sudah tandas dan desahan lega dari pemuda manis tersebut mengalihkan atensi Rajen.

“Suram banget muka nya, pak” Juna tiba-tiba mengajak Rajen untuk bercanda.

“Yah, lagi punya masalah yang rumit nih pak” jawab Rajen dan mendapat respon tawa kecil dari Juna, tanpa sadar senyum Rajen muncul.

“Ngopi pak, siapa tau ilang stres nya”

Rajen dan Juna pun tertawa, sungguh selera humor mereka sangat rendah. Jika Haidar ada di antara mereka berdua, pasti pemuda itu akan bilang “Humor lo berdua receh!”.

Tawa mereka pun mereda. Diam sejenak untuk menormalkan nafas mereka berdua yang tadi tersendat karena tertawa.

“Yah... lo ga salah kok, jen” ucap Juna. Pemuda manis itu kembali mengubah gaya bicaranya.

“Lo berhak buat nolak” sambung nya.

“Tapi, jen” Juna menatap mata Rajen dengan serius dan yang di tatap entah mengapa merasa gugup seketika.

“Jangan nyesel karena pilihan yang lo buat sekarang, terus—” Rajen mengernyit bingung sedangkan Juna tersenyum tipis.

“— Lo laki, jen. Mending minta maaf duluan ke cewe lo, ella kalo lagi marah serem anjir. Cewe selalu benar, bro” Juna menepuk bahu Rajen sedangkan pemuda yang memiliki senyum menawan tersebut tengah menahan perasaan yang membingungkan dalam dada nya.

Rajen tidak paham, apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Rasanya ingin marah, namun marah untuk hal apa?

“Udah jam sepuluh, gue balik ya?”

Juna ingin beranjak dari duduknya namun Rajen malah menahan tangan Juna.

“Sebentar” ucap Rajen dengan pelan.

Juna menatap Rajen dengan pandangan bingung lalu kembali duduk seperti semula.

Rajen menatap Juna dengan tatapan yang membuat pemuda manis tersebut menjadi sedikit gugup dan gelisah, hingga gerakan tiba-tiba dari Rajen membuatnya mematung.

Rajen memeluk Juna. Rajen membenamkan wajahnya di pundak sempit Juna. Rajen memeluknya dengan erat!

Juna tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ini... pertama kalinya Rajen memeluknya dengan sangat erat. Sangat erat hingga debaran jantung milik Rajen dapat Juna rasakan.

“Jen—”

“Lima menit, ren. Gue butuh ini” Suara Rajen terdengar sangat serak.

Dengan awalan ragu, akhirnya Juna membalas pelukan Rajen. Tangan lembut milik Juna mengusap punggung tegap Rajen dengan pelan, membuat Rajen merasakan nyaman juga hangat.

it's okay, Rajen. It's not your fault” Bisik Juna dengan pelan.

Thankyou” Gumam Rajen dan hal itu terdengar di telinga Juna.

Jen, jangan gini. Aku takut kalo aku bakal suka sama kamu.

Jun, maaf. Gue tanpa sadar malah meluk lo kaya gini.

Sebuah kebiasaan kecil bisa mengubah hidup seseorang.

“Jun” Rajen memanggil nama Juna yang sedang sibuk membereskan buku-bukunya, sang empu yang dipanggil pun menoleh kearah Rajen.

“Apa?” Jawab Juna setelah selesai merapihkan buku-bukunya.

“Balik bareng siapa?” Juna mengernyit bingung.

“Kak damar” Rajen seketika diam saat mendengar jawaban Juna.

“Lo gamau balik? Ella nungguin tuh” Rajen mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh kearah pintu kelas.

“Gih sana, keburu sore” Rajen diam sejenak lalu mengangguk.

“Aku duluan ya, hati-hati dijalan. Bilang ke bang damar jangan ngebut” setelah berucap seperti itu Rajen pun menghampiri pacarnya kemudian pergi dari pandangan Juna yang masih mematung.

Apa-apaan tadi? Rajen menggunakan aku-kamu?

“Juna!” Seruan itu menyadarkan Juna dari lamunannya.

“Kak damar?” Dominan yang disebut namanya itu pun langsung terkekeh saat melihat Juna yang masih bingung.

“Ayo, kita kan pulang bareng” Juna mengangguk pelan lalu berdiri dari duduknya.

•••

“Kak” panggil Juna dengan suara yang agak keras karena takut Damar tidak mendengarnya.

“Kenapa jun?” Jawab Damar sambil melirik kearah kaca spion untuk melihat keadaan submisif manis yang sedang ia bonceng itu.

“Belok kanan kak!” Damar mengangguk paham lalu membelokkan motornya kearah kanan.

Hingga beberapa menit kemudian mereka pun sampai di depan tempat les Juna.

“Ini kan tempat les?” Juna tersenyum sambil menyerahkan helm pada Damar.

“Aku hari ini ada les kimia, kak” Damar menatap Juna lalu mengangguk paham.

“Mau aku tungguin?” Juna membulatkan matanya lalu menggeleng kuat.

“Aku les nya sampe jam enam-an, kak. Nanti kak damar pegel, lagian rumah aku deket kok dari sini” Jelas Juna.

“Yaudah, kalo gitu aku pulang dulu nanti kalo les kamu selesai telpon aku aja. Aku jemput” Juna lagi-lagi menggeleng.

“Gausah, kak” Damar menghela nafas sebentar lalu mengangguk pelan.

“Yakin?” Tanya Damar sekali lagi dan Juna mengangguk dengan sungguh-sungguh dan mendapatkan respon senyum kecil dari sang dominan.

“Semangat les-nya, aku pulang ya?” Damar mengusap rambut Juna dengan lembut lalu menyalakan motornya.

“Makasih ya kak damar, hati-hati dijalan” Damar mengangguk lalu melajukan motornya.

•••

Juna meregangkan tubuhnya lalu melihat jam di hp nya, 17.40. Juna bergegas membereskan alat tulisnya lalu berjalan keluar dari tempat les tersebut.

Pemuda manis itu berjalan dengan santai sambil bersenandung kecil, ia mengambil nafas dalam untuk merasakan ketenangan sejenak. Hingga kaki itu pun melangkah kearah minimarket dahulu sebelum pulang ke rumahnya.

Namun sepasang mata cantik milik Juna melihat seseorang yang ia kenali sedang duduk di kursi yang tersedia di depan minimarket tersebut. Tanpa pikir panjang pun Juna menghampiri orang itu.

“Jen?” Rajen yang tadi tengah melamun langsung sadar kemudian menoleh kearah orang yang memanggilnya.

“Juna?” Juna tersenyum lalu duduk di kursi sebelah Rajen.

“Kenapa belum balik?” Tanya Juna.

“Mau malming-an” jawab Rajen dan Juna hanya mengangguk paham.

“Malmingan nya pake seragam?” Rajen terkekeh lalu menggeleng pelan.

“Yakali, jun” Kini Juna yang terkekeh.

“Baru balik les?” Juna mengangguk.

“Aku anter ke rumah, mau?” Juna menghela nafasnya pelan lalu menggeleng.

“Mending lo pulang, jen. Siap-siap dari sekarang kalo mau ngajak Ella malmingan” Rajen hanya diam sambil menatap Juna dengan pandangan yang—Entahlah, Rajen pun bingung.

“Gue mau beli barang dulu” setelah berucap seperti itu, Juna pun berdiri dari duduknya lalu berjalan masuk ke dalam minimarket. Meninggalkan Rajen yang tengah merasa aneh dengan dirinya sendiri.

Tak lama kemudian Juna kembali keluar dari minimarket tersebut sambil menenteng kantung plastik hasil belanja nya tadi.

“Lo belom pulang?!” Seru Juna saat melihat Rajen yang masih belum beranjak dari duduknya. Namun dengan gerakan tiba-tiba, Rajen berdiri dari duduknya kemudian menatap Juna dengan serius.

Juna menampilkan wajah terkejutnya, dalam hatinya ia sedang merutuki Rajen karena membuat dirinya kaget.

“Jun” Juna menatap Rajen dengan alis yang diangkat.

“Lo mau ke rumah gue ga?” Respon yang Rajen dapat adalah tatapan tidak percaya dari Juna.

“Lo kesurupan?!” Juna menatap Rajen dengan aneh lalu menggeleng pelan.

“Aneh lo, jen. Dah ya, gue mau balik. Lo buruan balik juga, jangan kelamaan disini nanti kerasukan” setelah berucap seperti itu Juna pun berjalan meninggalkan Rajen.

Gila, merinding banget. Rajen kesurupan beneran ya?

Rajen gila!