Keluhan.

Juna kini tengah duduk di salah satu kursi depan minimarket sambil menyesap teh hangat yang ia beli di minimarket tersebut.

Suasana malam saat ini tidak terlalu sunyi karena ada beberapa orang yang berlalu-lalang melewati minimarket tersebut, suasana yang cocok untuk banyak berpikir atau sebut saja Overthinking. Itulah yang Juna lakukan hingga sebuah tepukan di bahu kirinya menyadarkan Juna.

“Melamun?” Juna tersenyum lalu menggeleng pelan.

“Kenapa?” Tanya Rajen saat sudah duduk nyaman disebelah Juna.

“Harusnya gue yang nanya ga sih?” Rajen terkekeh sebentar.

“Ada masalah sama ella?” Rajen diam sejenak lalu mengangguk pelan.

“Cerita aja” Ucap Juna lalu setelah itu ia menyesap teh nya.

“Ada masalah kecil” Rajen mulai bercerita dan Juna hanya diam.

“Jun, aku tuh ngerasa kalo Ella sekarang bukan Ella yang aku kenal dulu” Juna diam-diam tersenyum tipis.

Kamu yang gatau sifat aslinya, Jen batin Juna.

“Berubah kaya gimana?” Tanya Juna dan Rajen membalas dengan helaan nafas.

“Awal-awal masih biasa aja, tapi makin lama aku kaya ngerasa ga nyaman sama dia” Juna mengangguk pelan.

“Kemauan dia banyak dan ga wajar, ada salah satu kemauan dia yang paling ga wajar. Kamu tau jun, dia pengen apa?” Juna menatap Rajen sambil menyesap tehnya dengan tenang.

Jauhin Juna. Batin Juna

“Dia minta aku buat jauhin kamu” Bingo! tebakkan Juna sangat benar.

“Jadi?” Rajen mengusap wajahnya dengan kasar lalu menggeleng.

“Aku ga habis pikir sama dia! Kamu sahabat aku, jun. Ga mungkin aku jauhin kamu. Jadi, aku sama dia debat dan akhirnya kaya gini” Juna mengambil nafasnya sebentar, mencoba membuat dirinya tenang.

“Aku mau nanya, boleh?” Rajen menatap Juna lalu mengangguk.

Juna mengubah gaya bicaranya tanpa sadar, padahal ia berniat menahan dirinya untuk menggunakan aku-kamu di depan Rajen.

“Ella pacar kamu dan aku sahabat kamu” Rajen hanya diam, mendengarkan ucapan sahabat mungilnya.

“Dimana-mana kemauan pacar itu prioritas kan?” Pertanyaan Juna sangat tepat sasaran, Rajen kini diam. Bibirnya terkatup rapat, otaknya bingung untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Juna.

“Biasanya kalo bucin tuh bakal nurutin semua keinginan doinya, karena bisa aja keinginan si doi emang sebuah hal terbaik untuk si bucin di masa depan nanti. Paham maksud aku kan, jen?” Rajen menatap Juna begitupun sebaliknya, mereka saling menatap seperti sedang berbicara melalui mata. Hingga akhirnya Rajen memutuskan pandangan mereka berdua.

“Aku paham. Tapi tetep aja, kamu sahabat aku dan aku gamau jauhin kamu. Lagian Ella sepupu kamu, kenapa dia nyuruh aku jauhin kamu? Aneh”

Juna tersenyum tipis lalu menyesap teh nya hingga habis, sedangkan Rajen menatap kearah bawah meja. Tangannya bertaut dengan erat, Rajen tengah merasa gelisah entah karena alasan apa.

Teh Juna sudah tandas dan desahan lega dari pemuda manis tersebut mengalihkan atensi Rajen.

“Suram banget muka nya, pak” Juna tiba-tiba mengajak Rajen untuk bercanda.

“Yah, lagi punya masalah yang rumit nih pak” jawab Rajen dan mendapat respon tawa kecil dari Juna, tanpa sadar senyum Rajen muncul.

“Ngopi pak, siapa tau ilang stres nya”

Rajen dan Juna pun tertawa, sungguh selera humor mereka sangat rendah. Jika Haidar ada di antara mereka berdua, pasti pemuda itu akan bilang “Humor lo berdua receh!”.

Tawa mereka pun mereda. Diam sejenak untuk menormalkan nafas mereka berdua yang tadi tersendat karena tertawa.

“Yah... lo ga salah kok, jen” ucap Juna. Pemuda manis itu kembali mengubah gaya bicaranya.

“Lo berhak buat nolak” sambung nya.

“Tapi, jen” Juna menatap mata Rajen dengan serius dan yang di tatap entah mengapa merasa gugup seketika.

“Jangan nyesel karena pilihan yang lo buat sekarang, terus—” Rajen mengernyit bingung sedangkan Juna tersenyum tipis.

“— Lo laki, jen. Mending minta maaf duluan ke cewe lo, ella kalo lagi marah serem anjir. Cewe selalu benar, bro” Juna menepuk bahu Rajen sedangkan pemuda yang memiliki senyum menawan tersebut tengah menahan perasaan yang membingungkan dalam dada nya.

Rajen tidak paham, apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Rasanya ingin marah, namun marah untuk hal apa?

“Udah jam sepuluh, gue balik ya?”

Juna ingin beranjak dari duduknya namun Rajen malah menahan tangan Juna.

“Sebentar” ucap Rajen dengan pelan.

Juna menatap Rajen dengan pandangan bingung lalu kembali duduk seperti semula.

Rajen menatap Juna dengan tatapan yang membuat pemuda manis tersebut menjadi sedikit gugup dan gelisah, hingga gerakan tiba-tiba dari Rajen membuatnya mematung.

Rajen memeluk Juna. Rajen membenamkan wajahnya di pundak sempit Juna. Rajen memeluknya dengan erat!

Juna tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ini... pertama kalinya Rajen memeluknya dengan sangat erat. Sangat erat hingga debaran jantung milik Rajen dapat Juna rasakan.

“Jen—”

“Lima menit, ren. Gue butuh ini” Suara Rajen terdengar sangat serak.

Dengan awalan ragu, akhirnya Juna membalas pelukan Rajen. Tangan lembut milik Juna mengusap punggung tegap Rajen dengan pelan, membuat Rajen merasakan nyaman juga hangat.

it's okay, Rajen. It's not your fault” Bisik Juna dengan pelan.

Thankyou” Gumam Rajen dan hal itu terdengar di telinga Juna.

Jen, jangan gini. Aku takut kalo aku bakal suka sama kamu.

Jun, maaf. Gue tanpa sadar malah meluk lo kaya gini.

Sebuah kebiasaan kecil bisa mengubah hidup seseorang.