Aksararen

23-05-2021, 09.40 WIB.

Alunan musik khas acara pernikahan mengalun dengan indah dan musik itu terus terdengar ke telinga Rendra yang saat ini sedang mempersiapkan dirinya di sebuah ruangan khusus.

“Ren” Rendra yang tengah merapikan dasi kupu-kupunya langsung membalikkan tubuhnya kearah orang yang memanggil namanya dengan lembut.

“Mama...” Ucap Rendra dengan pelan, matanya menatap sang Mama dengan pandangan haru. Sedangkan Wanita paruh baya itu kini tengah tersenyum lembut sambil berjalan kearah putra manisnya itu.

“Anak mama nambah ganteng ya?” Wanita itu mengusap bahu sempit Rendra lalu merapihkan pakaian anaknya kemudian menatap Rendra dengan bangga juga haru.

“Biasanya engga ganteng, ma?” Canda Rendra dan membuat wanita dengan wajah yang sudah memiliki keriput namun masih terlihat cantik itu tertawa kecil.

“Kamu ini” Rendra hanya menampilkan cengiran jenakanya pada sang Mama.

“Tamu di depan udah dateng semua” Ucap sang Mama dan seketika membuat Rendra kembali merasa tegang.

“Mahen juga udah siap-siap ke altar” Setelah berucap seperti Rendra melihat senyum tulus terpatri di bibir mama nya.

“Anak mama sebentar lagi—”

“Ma, jangan nangis” Rendra tersenyum lembut sambil menggenggam tangan sang mama.

“Make up mama nanti luntur loh” Tawa kecil kembali terdengar diantara dua orang itu.

“Mama” Rendra menatap sang Mama dengan pandangan serius.

“Makasih untuk semuanya—” Rendra menggantung ucapannya untuk mengambil nafas sambil menundukkan kepalanya.

“—Rendra sayang mama” Lanjut nya dengan suara pelan namun masih terdengar oleh wanita yang sedang di genggam tangannya oleh Rendra.

“Mama juga sayang sama kamu” Sang Mama memeluk tiba-tiba dan hal itu membuat Rendra merasa ingin menangis, ia membalas pelukan itu lalu menyembunyikan wajah manisnya di pundak wanita nomor satunya.

“Papa ga diajak buat pelukan?” Suara berat itu mengintrupsi kegiatan Rendra juga Mama nya lalu tawa bahagia kembali terdengar.

“Sini papa”

Kemudian keluarga kecil itu pun saling berpelukan, menyalurkan berbagai perasaan yang mereka rasakan, saling memberikan rasa hangat juga haru.

“Papa sayang sama kalian berdua”

“Udah tau!” Jawab ibu dan anak itu bersama. Pelukan itu pun kini terlepas.

“Ayo, ren. Kamu udah siap?” Rendra menatap sang Papa kemudian beralih kearah Mamanya, kedua orang tuanya kini sedang tersenyum dan Rendra pun turut tersenyum sambil mengangguk.

“Rendra siap”


Semua tamu undangan kini menatap Rendra yang tengah berjalan sambil menggandeng Papa nya, Kepalanya sedikit tertunduk karena merasa malu, tamu-tamu disana kini saling berbisik mereka sedang memuji paras Rendra. Sedangkan di altar, ada sang dominan yang berdiri sambil menatapnya dengan pandangan memuja, senyum Mahen kian melebar karena menyadari pipi Rendra yang sedikit memerah. Waktu seakan berjalan dengan lambat, dentingan piano yang mengalun dengan indah menjadi latar musik. Suasana yang sangat indah.

Hingga tak terasa ayah dan anak itu kini sudah berada dihadapan Mahen.

“Mahen, Saya titip anak manis saya. Tolong untuk menjaga dia dengan sepenuh hati, jika dia berperilaku salah tolong di tegur” Mahen tersenyum sambil mengangguk.

“Saya akan melakukan itu semua” Pria paruh baya itu tersenyum lega lalu dengan lembut menyerahkan tangan Rendra pada Mahen.

Kini mereka berdua saling berdiri berhadapan yang hanya dijarak oleh sang pendeta.

“Saya akan mulai” ucap sang pendeta lalu mulai membacakan doa untuk Mahen dan Rendra. Hingga pendeta itu menanyakan sesuatu pada Mahen.

“Saya bersedia” Jawab Mahen dengan tegas, kemudian pendeta itu kini menanyakan hal yang serupa pada Rendra.

“Saya bersedia” Jawab Rendra dan sang pendeta pun mempersilahkan keduanya menyematkan cincin pernikahan mereka lalu Mahen mengecup kening Rendra dengan lembut.

Para tamu pun langsung bersorak, tanda bahwa mereka juga bahagia untuk pasangan tersebut. Suara tepuk tangan, kalimat godaan dari para teman menghiasi tempat itu.

“Ciee udah sah!”

“Selamat woy!”

Mahen dan Rendra menatap para tamu sambil tersenyum.

“Makasih semuanya!” Teriak Mahen dan para tamu kembali heboh. Rendra tersenyum melihat tingkah suaminya, lalu ia merasakan tangan kirinya di genggam oleh Mahen.

“Makasih juga buat kamu, sayang. I love you” bisik Mahen dan seketika pipi Rendra menjadi merah.

“Apasih mahen!” Mahen tertawa melihat Rendra yang tengah salah tingkah.

“Gamau dijawab, hm?” Rendra berdecak kecil.

“I love you too” bisik Rendra tiba-tiba dan membuat Mahen harus menahan rasa gemasnya.

“Siap untuk berjuang sama aku untuk masa depan kita?” Rendra menatap Mahen, hingga beberapa detik kemudian pemuda manis itu mengangguk.

Selamat untuk kalian berdua, semoga kebahagiaan senantiasa bersama kalian.

Juna berjalan menyusuri lorong kelas 12, entah apa yang sepupu nya ingin katakan padanya secara langsung. Berbicara empat mata, di rooftop.

Pintu rooftop Juna buka lalu di tutup kembali, disana ia melihat sang sepupu yang berdiri di dekat pagar pembatas yang tingginya hanya sebatas dada.

“Kenapa?” Tanya Juna dengan wajah datarnya.

“Lo udah mulai berani sama gue?” Tanya Ella sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap Juna dengan pandangan remeh.

“Emang nya dulu gue takut?” Juna balik bertanya dan hal itu membuat Ella menjadi geram.

“Lo ga lupa kan kalo rahasia besar lo udah gue tau?” Senyum remeh itu cukup membuat Juna merasa terpancing.

“Juna~ juna~ lo tuh harusnya sadar—” Ella berjalan mendekat kearah Juna tanpa menghilangkan senyum remehnya. Menatap Juna dengan pandangan miris juga jijik.

“—Sejak lo lahir orang tua lo udah ga suka sama lo, terus ditambah lo homo gini. Ck, jangan kebanyakan tingkah” Juna mengepalkan kedua tangannya hingga telapak tangan berwarna putih itu berubah menjadi merah.

“Badan lo lemah, kaya perempuan” Cercaan itu semakin membuat Juna marah.

“Cukup” ucap Juna dengan lirih.

“Harusnya lo lahir jadi perempuan, bukannya jadi laki-laki lemah kaya gini” pundak sempit itu sedikit di dorong oleh jari telunjuk Ella.

“Baru di dorong dikit aja udah mau jatoh ke belakang, dasar lemah”

“Berhenti” lirih Juna dan Ella hanya mengangkat satu alisnya namun senyum jahatnya terus terpatri di bibir itu.

“Sadar, Juna. Sadar sama keadaan lo!” Nada bicara Ella semakin naik dan Juna sekarang menjadi sedikit gemetar.

“Lo gabisa bahagia! Hidup lo itu beban banyak orang! Sadar Arjuna!” Punggung sempit Juna bergetar, mata cantiknya pun terpejam untuk menahan semua emosi yang ia rasakan, tangan nya semakin terkepal.

“Ingat apa kata gue. Jangan ngerusak semuanya”

Setelah itu pun Ella berjalan meninggalkan Juna. Pemuda manis itu pun langsung jatuh terduduk, wajahnya sudah merah padam sambil tertunduk.

Juna, sadar kalimat itu terus terngiang di kepalanya, rasa pening melanda hingga telinga nya pun berdengung. Juna meremat rambutnya dengan kencang.

“Sakit— hiks sakit! SAKIT! BERHENTI!” Racau Juna lalu menepuk dada nya dengan keras menggunakan tangan kanannya.

“Juna bodoh! JUNA TIDAK TAHU DIRI!” Wajah itu di tadahkan kearah langit, teriknya matahari tidak Juna rasakan. Mata indah itu terpejam lalu tak lama sebuah air mata meleleh menyusuri pipinya.

Brak!

Bunyi pintu yang dibuka dengan keras mengalihkan pandangan Juna, matanya tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang tengah berlari kearahnya karena tertutup oleh air mata. Pandangannya kian memburam lalu kegelapan menyapanya.

“JUNA!”


“Juna...” suara lirih itu membuat Juna sedikit terusik, mata cantiknya yang terpejam kini dengan perlahan dibuka. Juna mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh kearah sampingnya.

“Kak damar?” Ucap Juna dengan suara yang pelan, pemuda dominan itu sedikit tersentak saat mendengar suara Juna.

“Minum dulu ya?” Damar mengambil segelas air yang ia siapkan kepada Juna dan pemuda manis itu pun meneguk air itu.

“Masih pusing?” Tanya Damar dengan lembut dan Juna pun membalas dengan gelengan pelan.

“Sekarang jam berapa?” Tanya Juna.

“Jam pelajaran terakhir” Juna langsung menatap sang kakak kelas dengan pandangan tak percaya.

“Aku pingsan nya lama banget dong?” Damar tertawa kecil karena melihat wajah panik Juna yang terlihat lucu.

“Gapapa, aku udah minta izin ke guru kok” Juna mengangguk paham.

“Kak damar kenapa disini? Kakak bisa ketinggalan materi loh...” Damar tersenyum lalu mengusap rambut Juna dengan lembut.

“Tenang, itu masalah gampang. Kamu beneran ngerasa baik kan? Ga ada yang sakit? Atau kamu laper?” Juna tersenyum kecil lalu menggeleng.

“Aku gapapa, kak damar” Damar menghela nafas pelan lalu mengelus kepala Juna kembali.

Suasana menjadi hening, Juna dan Damar sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga tak lama kemudian bunyi bell pulang sekolah terdengar di telinga mereka.

“Udah pulang ya...” gumam Juna.

“Kayanya sahabat kamu bentar lagi kesini” Ucap Damar dan Juna pun mengangguk setuju.

“Maaf udah ngerepotin kak damar” Damar tersenyum.

“Gapapa, cantik. Engga ngerepotin kok” pipi Juna sedikit memerah saat mendengar panggilan Cantik dari Damar.

“A—aku ga cantik! Aku ganteng tau!” Ucap Juna sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

“Iya, engga cantik. Manis deh, Juna itu manis” bibir Juna melengkung sedikit namun pipinya kian memerah.

“Gemes banget sih?” Damar mencubit pipi gembil Juna dan mendapat respon erangan kesal dari si manis.

“Kak damar~ jangan di cubit!” Damar tertawa lalu mengangguk, sekarang tangannya bergerak untuk mengelus pipi gembil yang dihiasi warna merah tersebut.

“Jaga kesehatan kamu, hm? Jangan sampai kamu pingsan kaya gini lagi” Juna menunduk lalu mengangguk.

“Makasih kak”

“Sama-sama, manis” Damar mengusak rambut Juna.

“Punten” suara Haidar mengintrupsi kegiatan dua orang pemuda itu, Juna menaikkan wajahnya lalu terlihatlah ketiga sahabatnya yang sedang menatap datar kearahnya.

“Menebar ke-uwu an terus ya, untung ni uks sepi” Damar tertawa saat mendengar cibiran Haidar.

“Namanya juga lagi pendekatan, dar” Pipi Juna seketika langsung memerah kembali.

Damar tersenyum melihat tingkah Juna yang sedang salah tingkah itu lalu beranjak dari duduknya.

“Yaudah, gue pamit duluan ya? Jaga si manis, anterin sampe rumah kalo bisa. Gue mau nganter tapi masih ada urusan osis” Haidar dan Nandra mengangguk paham sedangkan Rajen sedari tadi hanya diam dengan raut wajah yang tak bersahabat.

“Siap, makasih udah nemenin Juna ya bang” Damar mengangguk lalu keluar dari ruangan tersebut.

“Mau pulang sekarang, Jun?” Juna mengangguk lalu bergerak untuk turun dari ranjang itu dibantu oleh Nandra.

“Siapa yang mau nganter Juna?” Tanya Haidar.

“Gue” jawab Rajen dan Juna langsung menegang.

“Oke. Juna mau pulang sama Rajen kan?” Juna menatap Nandra sejenak lalu mengangguk pelan.

“Ayo kita jalan ke parkiran”


“Rajen” panggil Juna saat motor Rajen sudah menempuh setengah perjalanan menuju rumahnya.

“Apa, Jun?” Juna mengigit bibir bawahnya sebentar, Rajen yang tidak mendapat jawaban apa-apa langsung melihat keadaan Juna melalui kaca spion.

“Turunin gue di pertigaan ya?” Rajen mengernyit.

“Kenapa?”

“Tolong ya? Gue ada urusan di daerah situ” Rajen diam sejenak lalu mengangguk.

Beberapa menit kemudian mereka berdua pun sampai di pertigaan yang Juna maksud.

“Makasih tumpangannya, gue ngerepotin lo lagi...” Rajen tersenyum hingga matanya menyipit saat melihat Juna yang berkata sambil menunduk.

“Gapapa. Lo ada urusan apa emangnya?” Tanya Rajen.

“Daftar les” ucap Juna dan Rajen langsung membulatkan matanya.

“Tempat les yang disitu?” Ucap Rajen sambil menunjuk sebuah rumah tingkat yang di depannya ada spanduk.

“Iya” jawab Juna.

“Gue juga les disitu!”

“Oh, ya? Gue kira lo tipe yang gasuka ikut les”

“Kalo gue ga ikut les, ga mungkin gue dapet rangking tiga besar terus di kelas” Juna terkekeh sambil mengangguk.

“Ayo, gue anter daftar”

“Gapapa?”

“Yaiyalah! Ayo!”


“Kenapa ikut les kimia doang?”

“Emangnya gaboleh?” Juna menatap Rajen dengan bingung.

“Boleh aja sih” ucap Rajen dengan pelan dan Juna hanya tersenyum saat melihat tingkah Rajen.

“Kenapa? Kecewa gabisa les bareng?” Rajen menatap Juna dengan pandangan terkejut lalu menggeleng kuat.

“Engga! Apa-apaan pake kecewa segala” gerutuan Rajen membuat Juna tertawa.

“Ya... kali aja lo kecewa, karna gaada cowo manis kek juna yang bakal nemenin lo” entah Juna melihat atau tidak tapi telinga Rajen tadi terlihat sedikit memerah. Entah kenapa, Rajen menjadi salah tingkah mendengar ucapan Juna.

“Gue udah selesai daftar, jadi... gue cabut duluan ya?” Rajen mengerjap sebentar lalu menatap Juna dengan bingung.

“Gue an—”

“Duluan ya, jen! Hati-hati di jalan!” Juna berucap sambil berlari, meninggalkan Rajen yang masih memproses keadaan.

Kenapa dia kaya ngehindarin gue?

Sorry.

Rendra kini sudah berada di depan pintu rumahnya, berdiri dengan perasaan bingung.

Panas mulai terik dan Rendra pun mau tak mau harus segera masuk ke dalam rumahnya, ia mencari kunci pintu rumahnya di dalam saku dan belum sempat ia memasukkan kunci itu ke dalam lubang pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka.

Rendra hampir saja memekik kencang, ia menjadi panik dan takut. Takut ada maling yang masuk ke dalam rumahnya, jantungnya berdegup dengan kencang lalu ia dorong pintu itu dan dibuka dengan lebar-lebar.

Dor!

Bunyi ledakan balon membuat Rendra hampir saja pingsan, lampu rumahnya tiba-tiba menyala dan matanya seketika membulat saat melihat isi rumahnya.

“I—ini ada apa?” Tanya Rendra dengan gagap karena saking terkejutnya.

Tentu saja Rendra terkejut, saat lampu nyala yang ia lihat ruang tamu nya telah di hiasi dengan bunga matahari juga mawar putih, kelopak bunga mawar itu di sebar hingga membuat sebuah jalan, balon-balon berwarna kuning, putih juga merah turut membuat kesan ramai, dan yang paling membuat Rendra terkejut adalah kekasihnya berdiri dengan senyum lebarnya juga memakai pakaian formal sambil memegang sebuket bunga lili putih yang sangat cantik.

Rendra menutup mulutnya dengan telapak tangan cantiknya, ia menatap Mahen dengan pandangan tidak percaya.

“Ren, deketin mahen nya” sebuah suara yang sangat Rendra rindukan terdengar di telinga nya, Rendra kembali terkejut dengan kedatangan sang mama.

Tidak hanya ada sang Mama, disana juga ada sang Papa, sahabatnya, sahabat Mahen, juga orang tua Mahen. Mereka semua akan menjadi saksi bagaimana Mahen dan Rendra akan melangkah ke jenjang lebih resmi nantinya.

“Ma—” Mata cantik favorit Mahen itu berkaca-kaca sambil menatap ibu nya.

“Samperin Mahen dulu, rendra” Sang Papa ikut menimpali dan Rendra pun hanya mengangguk.

Rendra menatap Mahen, setetes air matanya lolos, dengan pelan tungkainya berjalan menghampiri sang kekasih hati yang telah hilang kabar selama beberapa hari, air matanya terus berurai namun senyum manis terpatri di bibirnya.

Mereka berdua saling berhadapan, pandangan terkunci, hanya degup jantung mereka berdua yang dapat mereka dengar, Mahen tersenyum sambil menyerahkan bunga lili tersebut dan di terima oleh Rendra.

“Baca kertas kecil itu, Ren” Rendra mengambil kertas kecil yang ada di dalam bucket bunga tersebut.

I love you. please, don't leave me until the death separates.

Rendra tertawa kecil namun air matanya makin keluar dengan deras, Mahen tersenyum lalu mengusap pipi Rendra dengan lembut.

“Will you marry me?” Ucap Mahen dengan lembut sambil mengusap air mata Rendra.

Rendra menatap Mahen dengan mata juga hidung yang sedikit memerah, terlihat sangat menggemaskan.

“Yes, i will” jawab Rendra dengan pelan dan seketika sorakan pun terdengar.

Mahen tersenyum lebar lalu membuka kotak cincin untuk Rendra, ia mengambil tangan kiri Rendra dengan lembut lalu memasangkan cincin itu di jari manis sang pujaan hati. Rendra tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagia nya, ia tidak menyangka bahwa cinta pertama nya akan menaikkan status mereka dari pacar menuju tunangan.

Tidak terkesan buru-buru namun Rendra di buat sangat terkejut. Rasanya saat cincin indah itu tersemat di jemarinya, dadanya terasa akan meledak, Rendra tidak bisa mendeskripsikan dengan kalimat apa yang ia rasakan.

Intinya, mereka berdua kini sangat bahagia.

“Sahabat gue udah mau nikah huhu” ucapan Haidar membuat orang-orang yang hadir disana tertawa.

“Congrats for you two!” Teriak Lucas.

Rendra tersenyum malu, pipinya pun bersemu dan Mahen yang melihat itu pun tentu saja langsung terkekeh. Pria mungil itu ia dekap dengan erat dan sorakan kembali terdengar.

“Jangan mengumbar ke-uwu an woy!”

“Peluk nya nanti aja, disini banyak yang jomblo!”

Sedangkan yang di teriaki sedang asik dengan dunianya sendiri.

“Makasih udah nerima aku” bisik Mahen.

“Makasih juga buat ini semua” jawab Rendra dengan pelan.

“I love you”

“I love you too, Mahen”

Sebuah awalan baru, semoga semuanya lancar hingga waktu pernikahan nanti.

Jam pelajaran terakhir sudah selesai, anak-anak kelas Juna sudah keluar dari kelas untuk pulang ke rumah mereka masing-masing hanya tersisa dua murid lainnya.

“Juna tolong bawa buku ini ke perpustakaan, ya?”

Juna yang sedang membereskan bukunya itu langsung menoleh kearah sang guru, ia melihat sebentar tumpukan buku itu lalu mengangguk sambil tersenyum.

“Makasih ya, juna. Agak cepat nanti ya? Soalnya bentar lagi perpustakaannya bakal di kunci”

“Siap bu!”

Sang guru pergi, Juna memakai tasnya lalu berjalan ke arah depan kelas untuk membawa tumpukan buku itu.

“Perlu gue bantu ga, jun?” Tanya Jia dan Juna pun menggeleng pelan sambil tersenyum.

“Makasih tapi gausah, mending lo pulang aja. Udah mau sore banget” Jia menatap Juna sebentar lalu mengangguk.

“Duluan ya?” Jia pun berjalan keluar kelas.

“Gue juga duluan ya, jun!” Haris berjalan keluar kelasnya meninggalkan Juna seorang diri. Setelah mengunci pintu kelasnya, Juna pun berjalan kearah perpustakaan sambil membawa tumpukan buku.

•••

Nah, sudah. Batin Juna sambil menatap deretan buku yang sudah ia bereskan itu.

Ceklek

Bunyi pintu yang seperti sedang di kunci membuat pandangan Juna beralih untuk menatap pintu perpustakaan yang ternyata sudah tertutup rapat itu.

Wajah manis itu kini menunjukkan raut panik namun masih mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Knop pintu itu Juna gerakkan untuk dibuka namun nihil, pintu itu sudah terkunci.

Juna menoleh ke arah jendela yang ternyata matahari sudah hampir tenggelam. Suasana perpustakaan yang sunyi menambah kesan horor bagi Juna. Dengan perlahan tubuh ringkih itu sedikit bergetar karena ketakutan.

Satu fakta tentang Juna yang harus kalian ketahui, Arjuna sangat takut terkurung di ruangan yang luas. Walaupun ruangan itu terang, tetap saja Juna akan merasa takut.

Juna kembali menggerakkan knop pintu itu dengan brutal lalu menggedornya dengan keras.

“TOLONG! SIAPAPUN TOLONG! ADA ORANG DISINI!” Teriakan itu terus Juna serukan, rasa paniknya semakin menjadi-jadi karena tidak ada satu pun yang menyahuti teriakannya.

Nafas Juna semakin memburu, dadanya terasa sesak, kedua mata cantiknya itu kini berkaca-kaca, mulutnya sedikit terbuka untuk mengais oksigen.

“Tolong—” nafasnya menjadi sangat sesak, telapak tangannya kini terkepal lalu bergerak untuk memukul dadanya.

Deru nafas Juna kian tidak beraturan, pikirannya sudah kacau, beberapa bulir air mata sudah mengalir dengan perlahan.

Tas yang ada di punggungnya ia lepas lalu di dekap dengan erat, Juna memejamkan matanya untuk mencoba berpikir dengan tenang.

Lalu sebuah ide muncul, Juna membuka tasnya lalu mencoba mencari handphone nya. Kemudian yang ia cari pun akhirnya ia dapatkan.

Matanya mulai mengabur, kepalanya kini merasa pusing, telinganya pun sedikit berdenging. Juna asal mendial nomor, lalu sambungan itu pun di angkat oleh seseorang di sebrang sana.

“Halo?” Juna mencoba menahan rasa sesaknya agar bisa menjawab orang yang ia telpon.

“To–tolong.... hosh... Juna—” ucapan Juna tertahan karena nafasnya.

“Juna? Lo kenapa?!”

“Perpus—.... Juna...—Sekolah” Ucapan Juna terputus-putus membuat orang di sebrang sana mengernyit bingung.

“Perpustakaan... tolong...” nada bicara Juna semakin lirih, lalu matanya pun menggelap.

Benda persegi itu jatuh dan Juna pun sekarang bersandar di pintu dengan keadaan tak sadarkan diri.

Orang yang disebrang sana berteriak memanggil Juna namun tidak mendapat balasan apapun.

Detak jantung Juna kian melemah, cahaya matahari terbenam kian menghilang, perpustakaan pun sunyi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Sementara itu di sisi lain.

Rajen menatap ponselnya dengan pandangan bingung, rasa panik tiba-tiba datang saat mendengar bunyi hentakan yang keras.

“JUNA! JUNA JAWAB!” Teriak Rajen dan tidak mendapat balasan apapun dari sambungan telepon tersebut.

“Juna.. lo kenapa?” Rajen menatap ponselnya sambil berpikir apa maksud dari Juna.

Perpustakaan sekolah... juna... tolong... Setelah paham maksudnya Rajen langsung berdiri lalu mengambil jaketnya.

Ia bergegas keluar rumahnya, mengemudikan motor dengan kecepatan diatas rata-rata untuk menolong sahabatnya.

Sepuluh menit Rajen mengemudi seperti orang kesetanan menuju sekolahnya, setelah memarkirkan motornya ia pun berlari menuju perpustakaan. Saat sedang berlari ia tak sengaja bertemu dengan salah satu satpam.

“Pak Jaki!” Seru Rajen dan satpam yang sedang berjalan itu langsung menghampirinya.

“Kena—”

“Pak, kunci perpustakaan ada di bapak kan?” Sang satpam mengangguk.

“Ayo pak ikut saya! Ada yang ke kurung di perpus!” Satpam itu terkejut lalu ikut berlari menuju perpustakaan.

Dug! Dug! Dug!

Rajen memukul pintu itu dengan keras, “JUNA LO ADA DIDALEM?!” Teriakannya tidak mendapatkan jawaban.

“Pak, bisa dibuka ga?” Rajen menatap satpam yang sedang berusaha membuka pintu perpustakaan itu.

“Sebentar”

Klik!

Pintu itu berhasil dibuka, dengan pelan Rajen mendorong pintu bagian kiri lalu masuk ke dalam perpustakaan dengan tergesa. Matanya menatap sekitar perpustakaan tersebut lalu menjadi membulat saat melihat Juna yang sedang bersandar di pintu bagian kanan dengan kondisi tidak sadarkan diri.

“Juna, bangun” pipi gembil Juna di tepuk dengan lembut oleh Rajen namun tidak mendapatkan respon apapun.

“Dibawa aja ke klinik sebelah sekolah, mas” Rajen mengangguk lalu mengambil handphone milik Juna lalu di masukkin ke dalam tas yang Juna dekap. Kemudian tas itu Rajen pakai di punggungnya dan menggendong Juna bridal style.

“Saya titip motor sebentar ya, pak” Sang satpam mengangguk lalu Rajen pun sedikit berlari menuju klinik yang berada di sebelah sekolahnya.

Juna, tolong tahan rasa sakitnya sebentar.

•••

“Juna gimana, dok?” Tanya Rajen saat sang dokter telah selesai memeriksa Juna.

“Dia teman kamu?” Tanya sang dokter sambil menuliskan resep obat.

“Sahabat saya” jawab Rajen dengan tegas dan sang dokter hanya tersenyum tipis.

“Dia dalam kondisi kurang baik, tubuhnya kurang fit juga sepertinya traumanya kambuh” Rajen mengernyit saat mendengar kata Trauma.

“Ini resep vitamin untuk sahabat kamu, nanti tebus di bagian farmasi deket resepsionis ya” Rajen menerima lembar kertas itu sambil mengangguk.

“Kira-kira dia sadar nya kapan, dok?” Tanya Rajen sambil menatap Juna yang tengah terbaring di ranjang.

“Saya habis menyuntikan dia vitamin, mungkin sekitar sepuluh menit lagi ia sadar” Rajen mengangguk paham.

“Kamu beneran sahabat dia?” Tanya sang dokter tiba-tiba dan Rajen pun menatap sang dokter dengan bingung.

“Iya, dok” sang dokter mengangguk.

“Tolong jaga sahabatmu dengan baik, dia itu sangat rapuh juga lembut. Berbeda dari tampak luarnya yang keliatan garang” Ucap sang dokter yang dimana nada ucapannya kian memelan, Rajen kini sangat bingung. Tidak tahu respon seperti apa yang harus ia lontarkan.

“Kamu tebus obatnya dulu saja, saya akan menemani dia” Rajen menatap sang dokter sebentar, lalu beralih untuk menatap sahabatnya.

“Saya pamit sebentar” Rajen beranjak dari duduknya lalu keluar dari ruangan itu.

Sang dokter yang tadi sedang duduk pun beranjak untuk berjalan kearah pasiennya.

“Juna, ayo bangun” ucap dokter itu dengan lembut sambil mengelus surai Juna.

“Eungh...” Juna sedikit menggeliat pelan lalu mata kelamnya pun terbuka dengan perlahan.

“Dokter brian?” Ucap Juna dengan pelan sambil menatap dokter yang tengah tersenyum sambil mengelus kepalanya dengan lembut.

“Udah ngerasa baik?” Juna mencoba untuk duduk dan langsung dibantu oleh dokter tersebut.

“Udah, dok. Tapi... kenapa aku ada disini?” Juna menatap sang dokter.

Belum sempat sang dokter menjawab, pintu ruangan itu dibuka oleh Rajen.

“Kok ada Rajen?” Bingung Juna.

“Gue yang nolongin lo” jawab Rajen dan Juna pun langsung mengangguk kaku.

“Maaf ngerepotin” ucap Juna sambil menunduk.

“Sudah, hari mulai gelap. Lebih baik kalian pulang, takutnya orang tua kalian jadi khawatir karena pulang larut” Juna menatap sang dokter dan yang ditatap hanya melemparkan senyum lembutnya.

Juna menghela nafasnya pelan lalu mencoba untuk turun dari ranjang tersebut, Rajen pun dengan reflek nya langsung membantu Juna.

“Kami pamit dulu, dok. Terimakasih ya” Sang dokter tersenyum lalu mengangguk.

“Hati-hati di jalan, tolong jaga Juna ya Jen” Rajen mengangguk lalu kedua pemuda itu pun keluar dari ruangan tersebut.

Juna, semoga kejadian ini tidak terulang lagi.

•••

“Makasih, jen. Maaf ngerepotin, besok uang lo gue ganti”

“Gausah juga gapapa”

“Eh? Engga-engga! Gue nanti ngerasa bersalah kalo ga ganti duit lo” Rajen tanpa sadar pun tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya yang entah kenapa menjadi sangat menggemaskan.

“Yaudah, besok traktir gue di dua jam istirahat” Juna mengangguk setuju.

“Oke, sekali lagi makasih ya”

“Sama-sama, juna. Gue balik dulu deh ya? Jangan lupa obatnya diminum tapi sebelum itu lo harus makan dulu” Rajen tanpa sadar menunjukkan rasa khawatirnya.

“Iya-iya! Hati-hati di jalan ya, jen!” Rajen mengangguk lalu pergi meninggalkan Juna sendiri di depan rumah Juna.

Semoga orang rumah gaada yang marah.

“Hai, sayang?” Pintu rumah Junie terbuka dan muncullah sosok yang ia cintai, Nana.

Junie langsung memeluk sang kekasih dengan erat, menyembunyikan wajah manisnya di ceruk leher sang dominan. Sedangkan yang dipeluk kini tengah terkekeh sambil membalas pelukan dari Junie.

“Masuk dulu, sayang. Nanti di liat tetangga loh” Junie buru-buru melepas pelukan itu, menarik Nana untuk masuk kedalam rumahnya kemudian mengunci menutup pintu rumahnya.

“Kamu mau minum apa, na?” Tanya Junie sambil memperhatikan gerakkan sang kekasih yang akan duduk di sofa.

“Gausah, sini duduk dulu” Nana menepuk sisi kanan nya yang kosong dan Junie tanpa basa-basi pun langsung duduk di sebelah Nana.

“Ini, aku bawa hadiah buat kamu” Nana menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang yang dihiasi pita berwarna kuning. Junie menerima hadiah itu dengan semangat.

“Wah~ apa ya isinya~” Gumam Junie dengan nada yang menggemaskan dan hal itu membuat Nana tersenyum lebar.

Kotak itu dibuka dan terlihat lah satu cangkir dengan lukisan moomin, sepasang kaus kaki moomin juga kotak kecil yang berisi gelang dan juga kalung.

“Na—” Ucapan Junie tercekat karena hadiah yang kekasihnya berikan padanya, luar biasa.

“Gimana? Junie suka?” Tanya Nana dengan lembut dan Junie langsung mengangguk senang.

“Makasih nana!”

Cup!

Pipi tirus kanan Nana di kecup tiba-tiba oleh Junie, membuat Nana terkejut sedangkan Junie tengah menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang kian memerah.

“Sayang? Kamu cuman mau cium pipi aku doang?” Goda Nana.

“Eng? Kurang?” Mata yang menurut Nana sangat indah itu menatapnya dengan pandangan polos.

“Iya, dong~” Junie menatap Nana sebentar lalu mengangguk kecil, kotak yang ada diatas pahanya itu ia taruh ke meja lalu sedikit memiringkan duduknya untuk menghadap sang dominan.

Kedua pipi Nana di tangkup dengan telapak tangan mungilnya, mata keduanya saling menatap, lalu bibir Junie maju untuk mengecup pipi kiri Nana.

Cup!

“Makasih kado nya nana!”

Cup!

Bibir keduanya saling menempel, tidak ada lumatan, hanya menempel. Mata mereka terpejam, seperti saling menghantarkan perasaan hangat juga bahagia lalu Junie menjauhkan wajahnya dari Nana. Pipi nya kini bersemu dan membuat Nana terkekeh karena gemas.

Cup!

Kening Junie di kecup dengan lembut oleh Nana lalu membawa kekasih mungilnya kedalam pelukan yang hangat.

“Selamat ulang tahun, junie kesayangannya nana” Ucap Nana dengan lembut tepat di telinga kanan Junie.

“Makasih nana, i love you”

“I love you too”

Juna menghembuskan nafas dengan berat sambil menaruh ponselnya kedalam saku, Haidar yang duduk disebelah Juna langsung melirik sahabatnya dengan pandangan bingung.

“Berat banget nafas lo, jun. Kenapa? Dapet perintah dari presiden buat ikut perang?”

Juna mendengus kecil lalu memukul bahu Haidar, tidak terlalu keras namun mampu membuat sang empu sedikit meringis.

“Mana ada presiden ngasih gue perintah kek gitu, dia kenal gue aja kagak” Haidar tertawa kecil sambil membuka bungkus permen.

“Mau?” Tawar Haidar lalu Juna pun mengambil sebungkus permen susu yang Haidar tawarkan tadi.

“Tumben bolos gini, biasanya rajin”

“Lagi ga mood”

“Kaya cewe aja segala ga mood” Juna menatap sinis Haidar sedangkan yang ditatap sedang tertawa.

“Mending lo balik ke kelas aja deh”

“Mending lo makan tu permen deh” Juna hanya diam, tidak menanggapi ocehan Haidar. Ia memilih untuk membuka bungkus permen itu lalu ia makan, sekarang rasa manis terasa di lidahnya.

“Kaget ga sih, si rajen pacaran sama ella” Celetuk Haidar dan Juna hanya diam.

Keheningan melanda mereka berdua. Angin semakin berhembus, menghantarkan rasa dingin pada dua pemuda itu.

“Terlalu cepat...” gumam Juna dan Haidar mendengar gumaman itu.

“Gue ga yakin hubungan mereka berdua bakal awet” ucap Haidar dengan pelan.

“Jangan ngomong kek gitu, dar. Nanti kalo beneran kejadian lo jadi kaget terus berkhayal buat jadi peramal” Haidar terkekeh mendengar penuturan sahabat manisnya.

“Ella sepupu lo? Beneran sepupu?” Jun mengangguk pelan, permen yang ada didalam mulutnya sudah berubah menjadi kecil.

“Gue jarang liat lo berdua ngobrol” Juna hanya tersenyum tipis, matanya menatap kosong langit biru itu sedangkan tangannya meremat bungkus permen.

“Wajib buat sesama sepupu saling ngobrol?” Haidar sedikit tersentak karena pertanyaan tiba-tiba yang Juna lontarkan, matanya menatap wajah sisi kanan Juna yang sedang mendongak untuk melihat langit.

“Sesama saudar itu harus saling ngobrol jun, biar hubungannya makin erat” Respon Juna hanya terkekeh, membuat haidar menatap bingung sahabatnya itu.

“Hubungan aku sama dia erat kok... kaya babu sama majikannya” ucap Juna tanpa sadar lalu Juna pun menutup mulutnya tiba-tiba. Haidar tersenyum kecil saat melihat tingkah pemuda manis di sebelahnya itu.

“Berat ya tiap hari kalo ngobrol pake gue-lo? Gapapa jun, disini cuman ada kita berdua. Mau pake aku-kamu pun ga masalah” telapak tangan Juna dengan perlahan turun.

“Kenapa ga pake aku-kamu aja sih? Toh, gue sama nandra ga masalah kalo lo pake aku-kamu” Juna menatap Haidar lalu kembali menatap kearah depannya.

“Ada Rajen, dar. Dia pasti jijik kalo aku pake aku-kamu. Aku ga normal ditambah ngomong aku-kamu gini nambah bikin jijik kan?” Haidar menatap sahabatnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Aku udah nyoba biasain diri, pake gue-lo. Tapi gabisa, rasanya kaya... beda” Pandangan Juna kini terlihat kosong namun pikirannya penuh dengan banyak hal.

“Semua yang lo lakuin sekarang, cuman takut pandangan Rajen jadi jijik ke diri lo? Serius, jun? Cuman karena Rajen lo nahan diri buat ga jadi diri sendiri?”

Juna terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan, “Engga, bukan karena Rajen doang. Tapi karena tuntutan lingkungan, coba dar kamu bayangin. Hidup di pemukiman rumah yang menjunjung moral dengan tinggi, mencari ilmu bersama orang-orang yang menganggap lemah pengguna gaya bicara aku-kamu, dan di tuntut untuk menjadi anak laki-laki yang kuat oleh keluarga... siapa yang berani ngambil resiko buat menunjukkan diri secara terang-terangan kalo dirinya berbeda dari yang lain?” Haidar hanya diam, Juna pun kini tengah terdiam sambil mengatur nafasnya agar menjadi normal.

“Maaf” gumam Haidar.

“Bukan salah kamu, jadi gausah minta maaf” Jawab Juna sambil menepuk pundak sahabat nya.

“Jun—”

“Haidar” Ucapan Haidar di putus oleh Juna yang kini sedang menatap matanya dengan serius.

“Gapapa, aku udah terbiasa sama semuanya. Jangan bikin diri kamu bingung buat cari cara untuk ngehibur aku atau apapun, aku bisa ngatasin semuanya sendiri” Juna berucap dengan tegas dan lembut, matanya yang tadi menatap haidar dengan serius mulai melunak dengan pandangan menenangkan, senyum manis Juna pun terbit untuk menyakinkan sahabatnya itu.

“Bentar lagi bell jam kedua, yuk cabut ke kelas” Juna berdiri sambil menepuk celananya kemudian mengulurkan tangannya kearah Haidar yang masih menatap wajah Juna.

“Sampai kapan mau natap wajah gue?” Gaya bicara Juna yang berubah itu membuat Haidar tersentak lalu mengangguk. Haidar menerima uluran tangan Juna lalu berdiri dan membersihkan celananya.

“Jam kedua kan diajar sama... ANJIR DAR! PAK DONI NGAJAR JAM KEDUA!” Seru Juna lalu menarik haidar kemudian berlari menuju kelasnya.

Haida yang di tarik oleh Juna hanya menatap punggung sahabatnya, punggung yang menahan banyak beban, punggung sempit yang ternyata sangat kokoh untuk menahan beban yang berat. Bahu kecil yang suka Haidar ejek sebagai candaan ternyata mampu menjadi tegak untuk menghadapi berbagai macam rintangan hidup. Haidar tersenyum kecil lalu mulai berlari, sekarang keadaanya Juna yang ditarik oleh Haidar.

Jun, gue bakal terus nemenin lo!

“Ayo pulang” ucap Haekal tiba-tiba dan membuat Rendra menatap haekal dengan bingung.

“Kenapa? Lo ada urusan?” Haekal menatap Rendra lalu mengangguk.

“Cake nya belom habis...”

“Bungkus lah”

“Ck, dikira cafè mba wen itu warteg apa?!” Haekal menatap sang sahabat dengan pandangan malas.

“Mba wen!” Seru haekal tiba-tiba membuat Rendra membulatkan matanya.

“Kenapa, kal?” Sang pemilik cafè menghampiri dua pemuda itu.

“Bisa bungkus cake sisa ini ga?” Mba wen menatap cake yang diatas meja lalu mengangguk.

“Bisa”

“Makasih ya, mba” mba wen tersenyum lalu membawa sisa kue tersebut.

Sembari menunggu Rendra kini sedang asik memainkan ponselnya, begitupula dengan Haekal. Hingga dengan gerakan cepat Haekal berdiri dan membuat Rendra sedikit terkejut.

“Ren, lo tunggu kue nya sendiri ya?” Ucap Haekal dengan panik.

“Hah? Anjir, lo mau kemana?”

“Jawab, bisa apa engga?” Rendra menatap Haekal bingung lalu mengangguk kaku.

“Yaudah, gue tinggal ya? Oh! Sama ini” Haekal memberikan sebuah kotak berukuran sedang pada Rendra.

“Ini ap—”

“Buka aja kalo kepo! Dah ya, gue duluan!” Haekal pun langsung berlari meninggalkan Rendra yang masih bingung di meja itu seorang diri.

“Ekal kenapa dah?” Gumam Rendra lalu pandangannya beralih kearah sebuah kotak yang sahabatnya berikan tadi.

“Buka ga ya?” Rendra mengetuk dagu nya, ia menimbang sebuah keputusan yang akan ia ambil. Lalu tangan nya bergerak cepat untuk menyentuh kotak tersebut.

“Bodo amat, kata ekal kalo kepo buka aja. Sekarang gue beneran kepo” tutup kotak tersebut Rendra buka.

Tutup kotak tersebut sudah terbuka dan kini mata Rendra menatap bingung isi dari kotak tersebut.

“Kenapa banyak kertas kecil gini?” Gumam Rendra lalu perlahan mengambil kertas kecil yang paling atas.

Hai, sayang. Kamu lagi sendirian di cafè mba wen ya?

Rendra mengernyit bingung saat membaca tulisan yang tertulis di potongan kertas kecil itu.

“Kertasnya masa manggil gue sayang? Kan biasanya yang manggil gitu cuman mahen!” Lagi-lagi Rendra menggumam.

Kemudian Rendra pun melanjutkan kembali untuk mengambil kertas selanjutnya.

Bingung ya, sayang? Gausah bingung gitu. Kamu kalo lagi bingung mukanya nambah gemes.

Rendra mengernyit sebentar lalu terkekeh kecil, sebenarnya ia tidak paham keadaan apa yang sedang ia alami sekarang, namun ia memilih untuk menikmatinya.

Nah, kalo kamu sekarang lagi ketawa coba deh liat sekitar cafè nya mba wen.

Kertas kecil ketiga Rendra ambil dan saat membaca tulisannya seperti sebuah mantra, kepala Rendra bergerak untuk melihat sekitaran cafè itu.

Lalu sepasang mata kelamnya yang selalu Mahen sebut mata yang cantik itu terpaku di salah satu meja.

Meja yang ia tempati seorang diri lalu tiba-tiba ia bertemu dengan Mahen. Pertemuan yang canggung namun berlanjut menjadi sebuah kisah yang panjang. Tanpa sadar bibir Rendra terangkat dan membentuk sebuah senyuman tipis.

Rendra beralih kembali ke kotak itu dan mengambil kertas selanjutnya.

Kamu inget sama kejadian itu kan, babe?

“Iya aku inget” Gumam Rendra tanpa sadar.

Ia beralih untuk mengambil kertas selanjutnya.

Sayang, kamu bisa keluar dari cafè itu sekarang?

Rendra bergegas membereskan perlengkapan yang ia bawa, ia berjalan menuju sang pemilik cafè. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata, mba wen sudah menyerahkan bungkusan sisa kue miliknya dan mungkin ada beberapa kue yang sang pemilik cafè itu tambahkan.

“Hati-hati dijalan, Ren” Punggung sempit itu di dorong pelan menuju pintu keluar cafè oleh wanita itu.

“Mba kan aku belum ba—”

“Sudah sudah, kamu gausah khawatir”

Kini Rendra berada di luar cafè, teriknya matahari membuat dirinya merasakan panas diseluruh tubuhnya, namun Rendra memilih berdiri diam sambil mengambil kertas selanjutnya.

Diluar pasti panas banget ya? Coba kamu jalan ke taman dekat rumah kamu.

Rendra mendengus kecil, ia merasa sedikit kesal karena surat itu terus memerintah dirinya. Namun disisi lain Rendra juga penasaran, jadi ia hanya menuruti perintah dari kertas kecil itu.

Kaki jenjangnya mulai melangkah kearah taman yang ada di dekat rumahnya.

Sekitar sepuluh menit Rendra berjalan, akhirnya ia sampai ke tujuan. Rendra mencari kursi yang tidak terkena sinar matahari lalu pemuda manis itu pun duduk. Meletakkan barang-barangnya di sisi yang kosong, ia bersandar sebentar sambil menarik nafas. Setelah merasa tenang, Rendra pun kembali membuka kotak itu lalu mengambil kertas selanjutnya.

Maaf, kamu pasti jengkel ya disuruh-suruh terus?

“Iya, sebenernya aku lagi di kerjain apa gimana sih?” Gumam Rendra sambil memasang muka kesalnya.

Jari-jari yang lebih mungil dari Mahen itu kembali mengambil kertas kecil dari kotak itu.

Sabar ya, nanti kamu pasti tau apa sebenernya terjadi kok. Oke, sekarang buka box dari mba wen.

Dengan gerakan cepat Rendra membuka box yang diberikan mba wen tadi, Rendra berpikir bukankah isinya hanya sisa kue? Tapi Rendra lagi-lagi hanya mengikuti perintah dari kertas itu.

Box terbuka dan Rendra langsung menatap terkejut, tebakan Rendra ternyata meleset. Isi box itu adalah dua bungkus macaron dengan warna kuning dan jingga dengan dihiasi lelehan coklat yang membentuk wajah seekor rubah dan harimau, juga ada postcard yang menampilkan fotonya dengan Mahen. Foto yang diambil saat hari kelulusan sekolah menengah pertama.

Dengan telapak tangan yang sedikit berkeringat juga bergetar, Rendra mengambil postcard itu. Matanya menatap postcard itu dengan perasaan yang tidak bisa di deskripsikan, semuanya bercampur hingga yang keluar hanya setetes air mata.

Rendra tersenyum lebar lalu mengusap matanya yang mengeluarkan air mata itu, “Dasar mahen” gumam Rendra dengan pelan. Lalu ia balik postcard tersebut untuk melihat pesan yang tertera.

Hai lagi, sayang? Ini Mahen, pacarnya Rendra. Kamu ga nangis kan? Jangan nangis dong, ini kan cuma foto lama. Foto lama yang menyimpan kenangan jelek, kan? Terus pasti kamu bingung, katanya foto ini mengandung kenangan jelek tapi kok malah aku kasih ke kamu? Aku kasih tau alasannya ya, foto ini diambil pas hari kelulusan smp, diambil saat kita berdua ngungkapin perasaan kita berdua. Aku ga maksud bikin kamu nangis, aku cuman mau mengulang kisah masa lama kita. Banyak ya yang terjadi dulu?Tapi Ren, aku mau kenangan lama itu mulai dari hari ini cukup kamu simpan di hati. Sekarang kita mulai buat rencanain masa depan kita aja ya?

Tulisan itu berhenti disitu, Rendra mengernyit bingung. Pikirannya muncul berbagai pertanyaan, apa maksud dari Mahen?

Rendra menatap kotak sedang yang sekarang berisi dua lembar kertas kecil.

Macaron nya dimakan sayang~ kalo mau difoto dulu juga gapapa, buat kenang-kenangan.

Rendra memotret dua macaron itu lalu memakannya dengan perasaan yang entah, Rendra pun tidak tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.

Sebelum memakan yang berkarakter harimau, Rendra membaca kertas terakhir.

Setelah makan, kamu bisa pulang ke rumah kamu. I love you

Rendra menghela nafasnya, kemudian ia melanjutkan untuk melahap macaron terakhir. Setelah selesai membereskan semuanya, Rendra beranjak dari duduknya untuk pulang. Menuju rumahnya, mengikuti perintah dari kertas kecil itu.

Mahen... kamu sebenernya mau ngapain sih?

Rendra berjalan menuju rumah sahabatnya yang hanya dipisahkan dengan jalan depan rumahnya, padahal rumah mereka bersebrangan namun sahabatnya itu malah menyuruhnya untuk menghampirinya dahulu.

Rendra ada di depan pagar rumah haekal lalu mulai berseru untuk memanggil sang sahabat. “EKAL, RENDRA DAH DI DEPAN NIH!” Tak lama Haekal pun membuka pintu rumahnya lalu berlari menuju pagar.

“Ayo, ren!” Belum sempat Rendra mengucap sepatah kata, haekal sudah menarik tangan Rendra untuk mulai berjalan.

“Tiba-tiba ngajak ke cafè mba wen?” Tanya Rendra.

“Emang gaboleh?”

“Ya... boleh” Jawab Rendra dengan pelan.

“Tapi agak aneh, biasanya juga lo males kan kalo diajak ke sana? Lebih milih mangkal di deket lampu merah kan?” Rendra berucap sambil menampilkan wajah tak bersalahnya.

“Sialan, sahabat gue bukan sih?!”

“Bukan, lo babu gue kan?”

“Sini ren, gue gaplok mau?”

“Gamau wlee” setelah menggoda Haekal, Rendra langsung berlari mendahului.

“REN TUNGGUIN GUE!” Teriakan haekal membuat Rendra tertawa lalu menambah kecepatan larinya.

“YANG KALAH HARUS TRAKTIR YANG MENANG!” Seruan Rendra membuat Haekal ikut menambah kecepatannya, ia tidak mau harus mentraktir sahabatnya itu.

•••

“Gue sesek nafas karna lari” kedua sahabat itu tengah duduk di salah satu meja cafè yang sering mereka datangi, saling mengatur nafas juga mengibaskan kerah baju mereka karena keringat yang mengalir.

“Edan, gue kaya pelari marathon. Ekal, lo harus traktir gue~” Iya, yang menang Rendra. Haekal mendengus kecil sambil mengangguk.

“Pesen aja terserah lo, buat diri lo bahagia hari ini. Hari-hari kemaren pasti galau berat kan karena mahen?” Ucapan Haekal membuat Rendra menatapnya dengan pandangan terkejut.

“Tumben lo baik dan pengertian gini? Woah, gue kaget” Haekal menatap Rendra dengan datar sedangkan yang ditatap sedang tertawa.

“Misi anak ganteng dan manis” sang pemilik cafè yaitu mba wen, datang menghampiri mereka berdua sambil membawa nampan yang terdapat dua minuman favorit Rendra juga Haekal.

“Wah, mba wen bilang aku ganteng?!” Ucap Rendra sambil tersenyum lebar.

“Bukan, ganteng buat haekal. Kamu mah manis, ren” Jawaban mba Wen membuat Haekal terbahak dan Rendra membrengut kesal.

“Mba wen~ kok gitu?!”

“Loh? Kan faktanya gitu”

“Ish! Gatau lah. Betewe, mba wen kok udah nganter minuman aja? Kita kan belum pesen” Sang pemilik cafè mematung sejenak lalu tersenyum canggung.

“Mba inisiatif sendiri, salah ya?” Jawaban itu membuat Rendra menggeleng pelan.

“Engga, mba! Ga salah kok~” Rendra berucap sambil tersenyum manis.

“Mba, pesen tiramisu dua sama red velvet dua juga” Ucap Haekal tiba-tiba.

“Loh? Banyak banget?”

“Buat Rendra, mba. Dia lagi galau, kayanya sih perlu makan banyak” Rendra menatap nyalang Haekal dan kedua orang lainnya kini terkikik.

“Oke, mba ambilin dulu ya” Setelah itu mba Wen pun berjalan meninggalkan kedua sahabat itu.

“Masih galau?” Tanya haekal sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Ya... gitu” jawab Rendra sambil mengaduk minumannya.

“Ren, kalo diajak ke jenjang yang lebih serius sama Mahen lo mau?” Rendra menatap Haekal sejenak.

“Kok nanya gitu?”

“Cuman penasaran aja” Rendra mengangguk paham.

“Mau aja gue mah. Kan umur gue juga udah matang, terus kerjaan gue juga udah tetap. Mimpi gue udah terwujud, jadi... ya gue mau aja kalo diajak ke jenjang lebih serius” Haekal menatap sahabatnya itu sebentar lalu mengangguk.

“Nikah muda loh, ren. Lo siap?” Rendra tertawa kecil lalu mengangguk.

“Siap ga siap, kalo Mahen ngajak gas aja lah”

“Umur lo baru dua satu loh”

“Otw dua dua”

“Orang mah umur dua dua lagi seneng-seneng, ren. Masa lo udah nikah aja?”

“Bodo amat, gue nikah sama mahen udah kaya seneng-seneng kok”

“Ngebet kawin ya lo?”

“Sialan, ga gitu ya anjir” Haekal tertawa dan diikuti oleh Rendra. Mba wen pun datang membawa pesanan mereka berdua.

“Makan yang banyak, nge-galau juga butuh tenaga” Rendra menatap datar Haekal lalu mulai menyuapkan sepotong kue yang mereka pesan.

“Lo sendiri gimana, kal?” Tanya Rendra di sela makannya.

“Gue? Ya.... gue masih nyari kerja tetap”

“Usaha yang lo bangun sama bang Tera gimana?”

“Masih proses”

“Hubungan lo sama pacar gimana?”

“Gue ga punya pacar, ren. Jangan mancing emosi deh lo” Rendra terkikik sedangkan Haekal mendengus kesal.

“Makanya, cari pasangan dong”

“Udah di cari ampe jakarta, tetep aja ga ketemu”

“Ga laku berarti lo mah”

“Anak pak cahyo ngeselin ya”

“Anak pak Kalan ngenes ya”

“Gue pukul sini, ren”

“Pending dulu, gue lagi makan”

“NGESELIN BANGET NI ANAK SATU”

Rendra tertawa sambil mengunyah kue nya dan Haekal yang mendengar tawa dari sahabatnya itu pun ikut tertawa.

Kedua sahabat itu kini menghambiskan waktunya dengan tawa lepas yang sudah lama tidak mereka rasakan karena kesibukan dalam pekerjaan.

Juna berjalan ke arah dapurnya. Setelah membersihkan kamar untuk Ella juga memindahkan beberapa perabotan milik sepupunya itu. Perutnya sudah merasa lapar namun yang ia dapati di atas meja makan malah hanya teko yang berisi air putih.

Juna menimbang, apakah ia harus memasak makanan? Tapi beberapa detik kemudian ia langsung menggelengkan kepalanya.

Tidak, juna tidak ingin mengganggu ketenangan orang-orang rumah. Matanya melirik kearah jam dinding, pukul 19.20. Juna pun berinisiatif untuk membeli makanan di minimarket dekat rumahnya.


Minimarket.

“Segini aja, kak jun?” Juna mengangguk lalu sang penjaga kasir yang sudah akrab dengannya itu pun menghitung belanjaan Juna.

“Totalnya tiga puluh dua ribu tiga ratus, kak” Juna mengeluarkan uangnya.

“Kak jun mau nyeduh mie nya disini?” Juna berdehem singkat sebagai jawaban.

“Aku aja! Kakak siapin tempat aja” Juna mengernyit bingung.

“Lagi sepi, kak. Aku gabut hehehe”

“Yaudah, makasih ya” sang kasir pun menyeduh mie cup untuk Juna.

“Udah jadi~ aku temenin kakak ya?” Juna mengangguk lalu mulai memakan mie nya.

“Kakak udah lama ga kesini, aku kira kakak udah baikan sama orang rumah” Juna menatap orang yang berceloteh itu sambil mengunyah makanannya.

“Chel, kamu ga capek?” Rachel, perempuan yang lebih muda satu tahun dari Juna juga sang kasir minimarket itu hanya tersenyum.

“Namanya juga hidup, kak. Yah, setidaknya aku bisa ngehasilin uang buat bayar obat ibu” Juna tersenyum tipis lalu melanjutkan memakan mie nya.

“Kak juna sendiri? Kakak udah bisa jujur ke keluarga masalah...” Rachel menatap Juna sedangkan yang ditatap hanya terkekeh kecil.

“Ga sanggup buat jujur, pasti mereka malu banget punya anak kaya gini” Juna menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, mie cup yang ia makan sudah ia habiskan.

“Jangan ngomong gitu dong, kak. Mung—”

“Ga mungkin, chel. Hidup aku nambah jauh lebih rumit daripada yang kamu lihat sekarang” rachel diam.

Suasana minimarket itu menjadi sunyi.

“Udah mau jam tengah sembilan, aku pulang dulu ya?”

“Oh? Iya, gausah di beresin kak! Nanti sama aku aja” Juna menggeleng pelan, ia beranjak sambil membereskan bekas makanannya.

“Makasih udah nemenin, semangat kerjanya ya”

“Siap! Kakak juga semangat!” Juna tersenyum kecil lalu pergi dari minimarket itu untuk kembali ke rumahnya.


Rumah.

Plak!

“Ma—maaf, pa.” Juna menundukkan kepalanya di depan sang papa yang menatapnya dengan raut kesal.

“Keluyuran aja terus! Mau jadi apa kamu? Anak geng? Biar keliatan jago? Iya?! Jawab! Kamu anak laki-laki, jangan lembek!”

“Juna cuma nyari makan, pa.”

Bugh!

Tinjuan dari Papa Juna membuat Juna tersungkur, namun dengan cepat Juna kembali berdiri seperti posisi awalnya tadi.

“Saya namain kamu Arjuna agar terlihat kuat tapi nyatanya malah jadi seperti ini. Kamu itu perempuan atau laki-laki? Kalo lembek gini lebih baik dulu kamu terlahir sebagai perempuan!” Juna masih menunduk, tidak berniat membalas ucapan sang papa.

“Laki-laki baru di tampar saja sudah limbung ke belakang, gimana nasib istri kamu nanti? Punya suami yang ga jago fisik untuk berkelahi. Dasar ga berguna” Kepala keluarga itu pun langsung berjalan meninggalkan Juna yang masih berdiri sambil menundukkan kepalanya.

Tangan Juna mulai terkepal untuk melampiaskan rasa kesal juga amarahnya pada dirinya sendiri. Iya, Juna marah pada dirinya sendiri bukan pada Papanya.

Karena apa? Juna cukup sadar diri, bahwa semua perkataan sang Papa memang fakta.

Juna adalah anak yang tidak berguna.

Juna menatap jendela kelas dengan pandangan kosong, namun telinganya tetap mendengarkan penjelasan dari sang guru. Tidak banyak yang Juna lihat dari jendela tersebut, hanya beberapa guru juga murid yang sedang berjalan entah kemana. Sedangkan teman sebangkunya—Rajen, saat ini tengah merasa gelisah. Mata Rajen diam-diam melirik kearah Juna, ah... lebih tepatnya menatap ruam ungu yang ada di pipi Juna.

Entah apa yang membuat Rajen merasa khawatir tiba-tiba pada teman sebangkunya ini. Tidak mungkin karena perasaan— tidak, tidak mungkin. Rajen menggelengkan kepalanya pelan untuk mengusir pikirannya yang hampir berpikir ke yang tidak-tidak.

“Ya, sekian materi dari saya. Jangan lupa tugas yang saya berikan tadi untuk dikerjakan, materinya juga di baca kembali. Saya pamit undur diri” Guru iti keluar dari kelas dan sontak anak-anak kelas pun membuat keributan.

Juna membereskan bukunya dan hal itu membuat Rajen lagi-lagi melirik teman sebangkunya itu. “Jun” panggilan itu membuat Juna mengalihkan pandangannya kearah Jia, teman sebangku Ella.

“Eh? Anjir, pipi lo kenapa gitu?” Seru Jia dan membuat hampir seisi kelas memandang kearah Juna. Haidar berjalan kearah meja Juna untuk melihat kondisi sahabatnya.

“Lo abis berantem sama siapa?” Tanya Haidar dan Juna hanya membalasnya dengan gelengan. Ella, gadis itu mendengus kesal saat melihat Juna yang di krubungi oleh teman-teman sekelasnya.

“Gu—”

“Juna abis jatoh dari tangga” Ella menyela ucapan Juna dan hal itu membuat Jia, haidar juga Rajen menatap Ella dengan bingung. Nandra yang baru saja ingin beranjak dari duduknya pun langsung mengurungkan niatnya saat mendengar ucapan Ella.

“Jatoh dari tangga?” Gumam Haidar dan hal itu di dengar oleh Rajen.

“Ada luka serius, jun?” Tanya Rajen dan Juna hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Senyuman yang Juna tampilkan entah mengapa membuat Rajen merasa sakit juga marah.

Ada apa dengan dirinya? tanya Rajen di batinnya.

“Gue ke uks dulu ya?”

“Mau gue anter?” Juna menggeleng pada Haidar.

“Jamkos kan ampe istirahat nanti?” Haidar mengangguk dan Juna pun langsung beranjak dari duduknya kemudian berjalan kearah UKS.

Tanpa Juna ketahui, ada satu orang yang berjalan mengikutinya.


UKS.

“Sssstt” desis Juna kala kapas dengan obat merah tersebut menyentuh permukaan pipinya yang sedikit luka itu.

“Ah, anjir! Perih banget huhu” gumam Juna sambil melanjutkan membersihkan lukanya sendiri. Kenapa tidak diobati oleh penjaga UKS? Karena saat Juna masuk ruangan itu, tidak ada seorang pun yang ada di ruang itu.

ceklek

Pintu ruangan itu di buka oleh seseorang dan membuat atensi Juna mengarah pada orang yang membuka pintu itu.

“Eh... Na?” Nandra tersenyum lalu menghampiri Juna.

“Sini gue obatin” Belum sempat Juna menjawab, Nandra sudah gesit mengobati luka yang ada di pipinya.

“Jatoh di tangga mana?” Tanya Nandra di sela kegiatan mengobati luka Juna.

“Err— tangga di rumah” jawab Juna dengan nada pelan.

“Yakin?” Juna menegang saat mata Nandra menatapnya dengan mengintimidasi.

“Ya—yaiyalah, yakin” Jawab Juna dengan gugup tapi masih mencoba menutupi rasa gugupnya itu.

“Jun” Nandra menjauhkan wajahnya dari Juna lalu duduk bersandar di kursi tersebut.

“Lo lupa kalo gue pernah ke rumah lo?”

Juna hanya diam. Ia tidak sanggup untuk berbohong lagi.

“Jun, cerita ke gue. Jangan di tahan sendiri, nanti lo nambah ngerasa sakit” Juna menunduk sedangkan Nandra menatap sahabatnya itu dengan khawatir.

“Gue harus cerita apa?” Tanya Juna dengan nada pelan.

“Cerita hal yang bikin lo ngerasa ngeganjel, yang bikin lo marah, yang bikin lo mau nangis” Juna hanya diam, ia semakin menundukkan kepalanya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

“Na, gue salah ya terlahir jadi laki-laki?” Tanya Juna dengan nada lirih dan Nandra hanya diam.

“Se-lembek itu kah diri gue sampe papa gue nyuruh untuk gue lahir sebagai perempuan?” Isakan kecil Nandra dengar.

“Gue marah sama diri gue sendiri, na. Kenapa gue gabisa kaya laki-laki normal diluar sana? Kenapa gue gabisa sekuat lo dari fisik atau mental? Kenapa gue gabisa jujur sama diri sendiri kaya Haidar? Dan.... kenapa gue ga normal kaya Rajen?”

Suasana ruang UKS kini sangat sulit untuk Nandra deskripsikan, yang terdengar di telinganya hanya isakan juga gumaman lirih Juna dan matanya menatap Juna yang menunduk dalam. Rasanya dada Nandra menjadi sesak.

“Gue hidup kayanya ga berguna banget, na. Setiap malem rasanya gue mau pergi aja dari dunia ini, biar orang sekitar gue ngerasa bahagia” Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir tipis Juna, deretan kalimat itu membuat Nandra mencelos seketika.

Juna... Gue gatau kalo lo ngerasain hal kaya gitu Batin Nandra.

“Na, gue terlahir ke dunia ini itu sebuah kesalahan ya?”

Oke, Nandra tidak bisa menahan diri lagi. Dirinya beranjak dari duduk lalu memeluk Juna dengan erat, sedangkan yang dipeluk makin terisak.

“Gue ma—”

“Engga, jun! Engga! Lo ga boleh pergi dari dunia ini sebelum waktunya!” Suara tegas yang Nandra ucapkan di dekat telinga nya membuat Juna merasa sedikit bahagia.

“Jun, lo ga salah untuk hidup di dunia ini. Kelahiran lo ke dunia ini bukan sebuah kesalahan” hati Juna seketika menghangat, ia memejamkan matanya untuk mencoba meredakan tangisnya.

“Jangan mikir untuk pergi dari dunia ini sebelum takdirnya, jun. Jangan... lo di dunia ini punya gue, tolong jangan tinggalin gue” Pelukan itu makin erat.

“Lo hebat jun, lo hebat karena udah bertahan sampai sekarang” tangan Juna pelan-pelan terangkat untuk membalas pelukan Nandra.

“Nangis jun, keluarin semua emosi lo sampai lega. Gue disini, gue ga bakal pergi kemana-mana” Juna menenggelamkan wajah basahnya di pundak tegap sahabatnya itu.

Tuhan, tolong beri sedikit waktu untuk Juna menikmati rasa hangat ini. Tolong, Juna ingin beristirahat sebentar.

“Jangan ngerasa sendiri lagi, jun. Lo punya tiga orang sahabat yang bakal selalu di samping lo” Juna mengangguk pelan.

Mereka berdua sibuk dengan dunianya, hingga tidak sadar bahwa ada dua orang yang berdiri di depan pintu UKS. Dua orang itu mendengar semua kalimat yang Juna lontarkan.

Bisakah aku bahagia?