Anak baik.
tw// accident, character death. cw// harsh words p.s: you can play sad songs while reading.
Bug!
“SADAR BEGO!” Haidar yang baru saja datang di lokasi yang Nandra kirimkan bersama Rajen langsung memukul kepala Nandra dengan keras.
Nandra yang tengah menunduk sembari bersandar didekat pintu IGD langsung menatap kedua temannya, bukannya marah karena habis dipukul, Nandra malah menangis.
“Sakit” lirihnya disela tangis.
Melihat hal itu Haidar dan Rajen langsung dilanda panik, “Na, duh maaf. Lo kenapa nangis gini? Sakit banget ya?” Haidar berjongkok disebelah Nandra yang tengah menangis.
“Sakit—BERARTI INI BUKAN MIMPI” Nandra berteriak kemudian tangisnya semakin kencang. Haidar menatap bingung sahabatnya lalu matanya menatap Rajen seakan meminta pertolongan.
Rajen menghela nafas lalu mengambil duduk disebelah Nandra, baru saja ia ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba datang seseorang yang Rajen juga Haidar kenal.
“Dokter Brian?” Ujar Haidar dan sang empu yang dipanggil langsung terkejut.
“Kalian datang?”
Haidar dan Rajen sontak bingung, “Nandra yang nyuruh, dok” dokter itu langsung menatap Nandra yang masih menangis. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk.
“Sini, duduk dulu di kursi. Jangan dibawah situ” Haidar dan Rajen langsung berdiri sambil membantu Nandra untuk berdiri namun yang mereka dapatkan sebuah tepisan dengan kasar.
Sang dokter pun langsung berjalan mendekat kearah Nandra, berjongkok di depan pemuda yang sedang menangis di lipatan tangannya.
“Nandra, duduk di kursi ya? Jangan disini, nanti ngalangin jalan” Dokter Brian membantu Nandra berdiri lalu mendudukkan Nandra di tengah-tengah Rajen juga Haidar.
“Dokter Brian, sebenernya ada apa?” Tanya Rajen dan dokter Brian hanya tersenyum lalu mengusap rambut Rajen.
“Juna kecelakaan, sekarang dia sedang ada di dalam ruang IGD itu”
Kedua langsung terdiam dan Nandra bertambah menangis. Mendengar tangisan Nandra yang semakin terdengar pilu langsung membuat Haidar juga meneteskan air matanya, begitupula dengan Rajen yang kini tengah menatap kosong pintu IGD itu dengan air mata yang mulai jatuh.
“Bohong..” lirih Rajen.
“Rajen, saya juga mau bilang kalau ini semua bohong. Namun nyatanya, ini semua bukan kebohongan juga mimpi”
Rajen menatap Juna yang sekarang sudah berada di ruang ICU, ia melihat nya di balik kaca pintu ruangan itu. Tangannya terangkat untuk menyentuh kaca itu, seakan tengah memegang wajah Juna. Air matanya kembali turun dengan perlahan.
Kenapa? Kenapa ini semua tiba-tiba terjadi?
Padahal baru saja dirinya dengan Juna tadi mengobrol lalu menangis bersama, mengungkapkan semua isi hati mereka, saling mendoakan kebahagiaan satu sama lain.
Apa ini? Semesta sedang bercanda ya?
“Rajen, kamu mau ke dalam?” Suara dokter Brian membuat Rajen tersentak, ia menatap dokter itu dengan pandangan bingung.
“Kamu bisa masuk ke dalam jika ingin bertemu dengan Juna” Rajen dengan cepat langsung mengangguk.
Dokter Brian pun tersenyum tipis lalu membantu Rajen untuk bersiap masuk kedalam ruangan Juna.
•••
Saat dirinya baru masuk, wangi obat-obat an langsung menembus masker yang ia gunakan, bunyi alat pendeteksi detak jantung terdengar jelas di telinga nya, dan matanya menatap jelas Juna yang sedang terbaring lemah.
Dengan pelan ia duduk di kursi yang disediakan dalam ruang tersebut, matanya tak lepas menatap Juna yang kini sedang memejamkan matanya.
Tiba-tiba otaknya memutar sebuah ingatan yang dimana dokter Brian menjelaskan alasan Juna kini bisa terbaring lemah di atas ranjang ini dengan banyak alat medis yang menempel pada tubuhnya.
“Juna kecelakaan, di tabrak oleh mobil yang mencoba melanggar lalu lintas.” Dokter Brian menatap ketiga pemuda yang sedang menunduk itu.
“Juna sebenarnya bisa saja selamat dari kejadian itu, jika saja ia tidak memilih untuk menyelamatkan seorang anak kecil. Iya, dia berusaha menyelamatkan anak kecil itu meskipun ia tau nyawa nya bisa saja menghilang. Juna, sahabat kalian itu benar-benar anak yang sangat baik” lalu tangis mereka semakin menjadi-jadi
Air mata Rajen kembali mengalir, kepalanya menunduk, tangannya meremat besi sisi ranjang, punggung nya mulai bergetar.
“Juna, kenapa lo bisa baik banget. Kenapa harus lo yang ada di posisi ini” lirih Rajen.
Hingga beberapa saat kemudian Rajen merasakan sedikit pergerakan dari Juna, ia langsung mengangkat kepalanya.
Sebuah senyuman lemah namun masih terlihat menyiratkan sebuah ketulusan menjadi pemandangan pertama yang Rajen lihat saat air matanya tidak lagi membuat penglihatannya buram.
“Juna...” panggil Rajen dengan lembut dan Juna langsung memejamkan matanya sebentar lalu membukanya kembali.
Seperti sebuah pesan, Aku bisa denger kamu, Jen.
Rajen langsung menangis kencang saat melihat hal itu, ia menggenggam tangan Juna dengan lembut. Juna masih tersenyum dibalik masker oksigen-nya.
“Juna, kamu harus sembuh. Kamu—harus merasakan kebahagiaan lebih banyak dulu” ucap Rajen sembari mengusap air matanya dengan tangannya yang bebas.
“Jun, aku bahkan belum nebus semua kesalahan aku ke kamu selama ini. Jangan pergi dulu, ya?” Juna menatap Rajen lalu setitik air matanya dengan perlahan jatuh.
“Jangan nangis” ujar Rajen sembari mengusap air mata Juna yang jatuh tadi.
Dengan sekuat tenaga nya, Juna mencoba membalas genggaman tangan Rajen dan ia berhasil. “Juna...” ujar Rajen saat merasakan tangan Juna yang mencoba menggenggam balik tangannya.
“Ma—af...” suara itu membuat Rajen sedikit terkejut, ia menatap Juna yang masih tersenyum sembari menatap nya dengan sayu.
“Juna, jangan minta maaf lagi. Udah cukup ya?” Rajen berujar dengan lembut sembari mengusap kepala Juna.
Juna dengan perlahan memejamkan matanya dikala Rajen mengusap kepalanya. Setitik air mata Juna kembali turun dan bibir nya bergerak dengan pelan, Rajen dengan teliti memperhatikan kata apa yang akan diucapkan oleh Juna.
Terimakasih, aku sayang kalian.
Lalu saat Rajen paham ucapan Juna, ia merasakan genggaman tangan Juna kian melemah. Bunyi mesin pendeteksi detak jantung Juna pun mulai berbunyi dengan kacau.
“Juna. Juna, bangun. Juna, bangun!” Seru Rajen sembari menggenggam tangan kanan Juna dengan kedua tangannya.
Para suster juga dokter langsung masuk kedalam ruangan tersebut, Rajen diarahkan oleh salah satu suster untuk keluar.
“Juna, lo gaboleh pergi. Gue belum siap buat kehilangan lo” lirih Rajen ketika keluar dari ruang tersebut. Dirinya langsung jatuh terduduk di sebrang pintu itu.
“Jen, Juna kenapa?” Rajen mengangkat kepalanya dan yang ia lihat saat ini adalah, wajah khawatir dari Ella juga kedua orangtua Juna.
Nandra dan Haidar langsung ikut mendekat kearah Rajen, “Dia kenapa, Jen?” Tanya Haidar dengan suara yang bergetar.
Melihat Rajen yang hanya diam langsung membuat Nandra menjadi marah, “JAWAB, RAJEN!” Sang empu yang menjadi sasaran pertanyaan hanya mampu memejamkan kedua matanya dengan air mata yang selalu mengalir.
“Gue gatau—Na, gue gatau” jawab Rajen dengan suara yang terbata karena ia kini menangis. Nandra dengan pelan langsung jatuh terduduk di sebelah Rajen, turut menangis. Haidar pun sama, menangis.
Ella terdiam lalu menatap pintu ruang ICU dengan kosong, Mama dan Papa Juna juga diam-diam menangis.
Hingga lima belas menit pun berlalu, seorang dokter keluar dengan wajah yang menunjukkan raut tak menyenangkan.
Raut wajah yang membuat semua orang merasa dunia nya akan runtuh sebentar lagi.
Sang dokter menatap lamat orang-orang yang ada di depan ruangan itu. Ia mengambil nafas sebentar kemudian ia berucap,
“Hari ini tepatnya hari kamis, pukul tujuh lewat dua puluh tiga menit malam. Pasien kecelakaan atas nama Arjuna Rengga telah meninggal dunia”
Runtuh, dunia mereka runtuh seketika.
Aku pergi dulu ya, langit dan Tuhan sudah menungguku.
Kenapa harus berakhir seperti ini?
now he's gone.