Rasa yang muncul.

16.00

Raka mengusap wajahnya yang baru saja ia basuh dengan air itu, matanya menatap pantulan dirinya di cermin yang ada pada kamar mandinya.

“Dah cakep lagi nih gue” ujarnya dengan pelan sambil menaruh handuk yang ia pakai tadi.

Raka mengganti pakaiannya yang sedari pagi melekat pada tubuhnya, saat dirasa sudah rapih pun ia langsung berjalan menuju ruang tamu rumahnya.

Disana ia tidak menemukan siapapun, hanya tv juga kipas yang sedang menyala. “Kebiasaan banget pak sunandar ini” gumamnya sambil mengambil duduk di sofa.

“MISI!”

Suara seruan yang berasal dari luar rumahnya membuat Raka berdecak pelan, kemudian ia kembali berdiri dan berjalan menuju asal suara.

“Siapa sih?! Perasaan saya gaada mesen paket” dumelnya sembari memakai sendal lalu kembali berjalan menuju pagar rumahnya.

“Maaf kak, saya jasa antar buah jeruk buat orang yang sakit” suara itu membuat Raka mengadahkan kepalanya dan saat tahu siapa yang berdiri di depan rumahnya, mata Raka seketika membulat. Dengan reflek nya ia berseru,

“Anjir! Kok lo disini?!”

Suara kekehan terdengar dari orang tersebut dan hal itu membuat Raka bergegas membukakan pagarnya.

“Bukannya gue udah bilang ya tadi?” Ujar orang itu sambil menyerahkan kantung plastik yang berisi buah jeruk kepada Raka.

“Makasih.... Gue lupa masa” ucapnya.

“Yaudah, masuk-masuk. Lo mah, repot-repot bawa ginian segala, jen” bilangnya kaya gitu tapi wajah Raka terlihat puas karena dibawakan buah tangan oleh Jendral.

Iya, Jendral yang datang menjenguk Raka. Seorang diri, tanpa anggota geng kece.

“Ga repot, gue beli di jalan tadi. Sekalian” Raka mengangguk lalu mempersilahkan Jendral duduk di kursi yang tersedia di teras rumahnya.

“Mau minum?”

“Gausah, gue cuman bentar disini” Raka mengangguk paham kemudian mengambil duduk di kursi samping Jendral.

Jendral langsung merilekskan duduknya, melepaskan kacamatanya yang melekat di pangkal hidungnya sedari tadi, menyugarkan rambutnya ke belakang, kemudian mengendurkan dasi yang sedari pagi melingkar di lehernya dan kalian tahu? Semua kegiatan yang Jendral lakukan tidak lepas dari pandangan Raka.

Gila, kaya gitu doang ngapa cakep keliatannya. batinnya.

Saat sadar akan apa yang ia lakukan, Raka seketika menggelengkan kepalanya lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

Jendral menoleh kearah Raka, “Rak, udah sembuh belum?”

Raka yang ditanya seketika kembali menoleh kearah Jendral dengan gugup, “Eh—hah?”

Jendral tersenyum tipis, “Kenapa? Kok kaya gugup”

“Engga! Gue ga gugup, tadi kaget aja” jelasnya dengan intonasi yang cepat.

“Kaget kenapa?”

“Ya karena gue—” ucapan Raka seketika terhenti, ia langsung mengatupkan bibirnya dan Jendral langsung menaikkan satu alisnya.

“Kok berhenti?”

Raka terdiam, bibir dalamnya ia gigit, kepalanya ia bawa untuk menunduk, karena ia merasa kedua pipinya itu tengah bersemu. Raka lagi malu.

Jendral yang merasa gemas dengan tingkah Raka pun memilih untuk melepaskan tawanya, matanya sampai menyipit karena saking lebarnya bibir itu melengkung mengeluarkan tawa.

Raka meremat ujung bajunya, ia menjadi semakin malu.

“Ya ampun, Raka. Lo lucu banget”

SIALAN, ENTENG BANGET NGOMONGNYA.

Tawa Jendral sudah mereda, ia mengusap air mata yang keluar diujung matanya, lalu menatap Raka yang masih menunduk.

“Rak, jangan nunduk”

“Gamau, gue marah”

“Lehernya ga sakit emang?”

“Sakit”

“Yaudah, angkat. Jangan nunduk”

“Gamau, gue malu”

Jendral menghela nafas sejenak lalu beranjak dari duduknya. Raka yang mendengar Jendral berdiri dari duduknya langsung dilanda kebingungan, namun ia masih enggan untuk mengangkat kepalanya.

Hingga ia merasakan sebuah tangan yang tiba-tiba menggenggam kedua tangannya yang tengah meremat ujung bajunya.

Raka sedikit mengangkat kepalanya hingga matanya pun langsung bertatapan dengan Jendral. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, sampai Raka bisa merasakan hembusan nafas Jendral yang hangat. Seketika jantungnya bertalu dengan kencang, ludahnya ia tegup dengan susah payah.

Sampai sebuah senyuman lembut Jendral berikan padanya. Astaga, rasanya jantung Raka akan melompat keluar.

“Maaf, gue ketawa karena lo gemes tadi. Jangan malu, oke?” Raka semakin mengeratkan genggaman pada ujung bajunya.

“O—oke” jawab Raka dengan gugup.

Jendral melepaskan genggamannya pada tangan Raka tadi, lalu mengusap lembut surai Raka. “Jangan nunduk, lehernya nanti nambah sakit”

Raka mengangguk pelan lalu mulai mengangkat kepalanya ke posisi normal.

“Nah, kalo kaya gini kan keliatan muka manisnya”

“Apaan sih, jen?!”

Jendral tertawa pelan lalu berdiri dari posisinya, tubuhnya ia balikkan hingga matanya dapat melihat kondisi dibelakang tubuhnya tadi.

“Acieee, komandan lagi modusin anak orang” Mata Jendral dan Raka seketika membulat saat mendengar suara itu.

“Aduh, kayanya bentar lagi ada yang jadian” sambung suara lainnya.

“Asik, jendral bentar lagi ga jomblo” Jendral seketika menolehkan pandangannya kearah lain dan Raka kembali menundukkan kepalanya.

“Raka bisa malu-malu salting ternyata gaes”

“BERISIK GEMA!”

“AHAHAHA, MALU NIEE”

“YUDA, SAKA, NAREN, KELUAR DARI RUMAH GUE”

Teriakan Raka yang memantul ke lantai karena ia sedang menunduk itu membuat anggota geng kece makin tertawa lebar. Sedangkan Jendral tengah menutup wajahnya yang agaknya sedikit memerah karena malu.

“Jer, adik lo bentar lagi taken! Lo kapan?” Tanya Naren pada Jero yang hanya diam sedari tadi.

“Jer?”

“Hah? Oh iya, ahahaha. Emang anjir lah, adek gue malah duluan” Naren menatap bingung Jero yang seperti menjadi berbeda. Padahal pas berangkat tadi, Jero yang paling tidak sabar untuk datang kerumah Raka tapi pas sampai kenapa malah muram? Itulah yang Naren pikirkan.

“Jangan diledek mulu, oy” ujar Jero.

“HAHAHA, GUE NGAKAK LIAT MUKANYA RAKA”

“Gema, anjing banget lo!”

Ya, sore itu suara tawa menghiasi teras rumah Raka. Sedikit kenangan manis yang terjadi kala itu akan membuat perubahan dalam hubungan mereka, juga sebuah rasa yang tidak pernah terpikirkan pun akan muncul kedepannya.

Untuk pertama kalinya, Jero merasa ingin bersaing dengan Jendral. Bersaing untuk mendapatkan Raka.

Haruskah mereka bersaing? Atau harus ada yang merelakan? Atau... mereka harus berbagi?