Jawaban terbaik.

Denan masih setia duduk di sebelah batu nisan mama kasayangannya. Tangan lembutnya mengelus batu itu dengan pelan dan matanya menatap lurus bunga yang sengaja ia tanam.

“Mama, kira-kira denan harus gimana ya?” Ujarnya dengan pelan. Tak lama, angin pun berhembus dengan perlahan, seperti memberikan sebuah jawaban.

Denan menutup kedua matanya, menikmati angin yang menerpa wajahnya.

“Mama... Denan bingung, denan gatau jalan mana yang harus denan pilih” Adu nya lagi.

“Denan takut salah pilih lagi, Ma. Semuanya— Denan takut semuanya berubah kalo denan salah pilih” Mata rubahnya kini mulai berkaca-kaca.

“Denan... udah capek, ma”

Suara pelan dari Denan sangat menyiratkan rasa lelah, sedih, marah, yang selama ini ia coba pendam. Seakan mengerti, angin pun berhenti berhembus.

“Denan ngerasa kalo denan adalah manusia paling bodoh” Kedua kakinya ia tekuk lalu ia peluk dengan erat.

“Denan emang ga pantes ya buat bahagia di dunia ini?” Eratan tangannya semakin menguat.

“Harus seberapa kuat lagi? Harus berapa lama lagi biar Denan bisa dapet kebahagiaan Denan?” Setetes air matanya turun, begitu pula dengan langit yang mulai terlihat mendung.

“Denan capek, ma. Semuanya udah bikin denan kecewa. Papa, Arvian, bahkan dunia... Denan rasanya pengen banget buat nyamperin mama” Suara gemuruh dari langit mulai terdengar.

“Mereka bilang, mereka bakal bikin Denan bahagia. Mereka bilang, mereka ga bakal ninggalin Denan. Ma, apa semua manusia punya hobi buat ingkar sama ucapannya?”

Tetes demi tetes hujan mulai turun membasahi kota itu. Namun, Denan masih belum beranjak dari tempat itu.

“Denan udah nyoba buat tetep percaya sama mereka, denan udah nyoba buat ga peduli sama semua perkataan buruk orang-orang tentang mereka, tapi kenapa... KENAPA DENAN TERUS NGERASA SAKIT KARENA MEREKA, MA?!”

Kilat petir mulai menampakkan diri, hujan yang tadinya rintik pun menjadi deras. Tubuh Denan sudah basah kuyup, tapi hal itu masih tidak membuat dirinya ingin beranjak dari duduknya.

“Denan—”

Ucapannya tercekat, karena sudah tidak kuat menahan tangisnya, langsung saja ia menumpukan kepalanya pada kedua lutut kakinya, dia terus menangis. Menangis dengan kencang, sendirian.

Sakit, ma... Denan ngerasa sakit.

Sesak.

Capek.

Denan mau semua ini selesai.

Mama kapan mau jemput Denan?

Beberapa menit ia menangis sendirian, hingga ia tak lama pun sadar bahwa hujan tidak lagi membasahi tubuhnya. Merasa heran, di angkatlah dengan perlahan kepalanya, lalu saat melihat siapa sosok yang memayungi nya, air matanya kembali turun dengan kencang.

“Hazl”

I'm here

Denan langsung saja berdiri lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Menyembunyikan wajahnya di dada Hazlen, mengeluarkan semua tangis dan suara isakannya.

Sedangkan Hazlen memeluk Denan dengan satu tangannya yang bebas. Dia tidak memikirkan masalah bajunya yang ikut basah, yang terpenting ia berhasil memberikan tumpuan kuat pada Denan yang ingin bersandar.

“Gue capek, Hazl. Capek”

“Kangen sama mama, hazl”

“Hazl, capek”

Hazlen hanya diam saat Denan mulai meracau, namun dirinya dengan setia memberikan elusan lembut pada punggung sempit Denan.

“Gue disini, gue disini, Den. Gue ga bakal ninggalin lo”

“Gue benci pembohong, hazl”

“Lo tau kan, Den. Gue bukan pembohong atau manusia yang suka ingkar sama ucapannya”

Denan terdiam lalu mengangkat wajahnya untuk menatap sahabatnya itu, Hazlen pun langsung memberikan senyum tipisnya, “Jangan jadi manusia itu ya, Hazl?”

Hazlen mengangguk pelan, “Iya, gue ga akan jadi manusia itu”

“Udah tenang kan? Sekarang pamit sama mama dulu yuk? Lo perlu ganti baju biar ga kena demam”

Denan diam sejanak, kemudian di lepasnya pelukan itu, lalu berbalik dan menatap batu nisan mama nya.

Ma, maafin denan yang lagi-lagi lepas kendali. Mama jangan khawatir, Denan udah sama Hazlen sekarang. Denan pamit ya. Juga... tolong doakan, setelah ini Denan—anak mama ini bisa berubah jadi versi yang lebih baik. Sampai jumpa nanti, ma.

“Udah pamit, ayo!”

Hazlen tersenyum tipis, bukannya mulai beranjak, dia malah menggenggam tangan dingin Denan, memberikan sedikit kehangatan pada pemuda itu, matanya pun di bawa untuk menatap lurus batu nisan mama Denan.

Denan terkejut? Tentu saja. Dia juga di landa kebingungan.

“Halo, Mama. Maaf karena Hazlen baru sempet kesini. Hazlen kesini karena ngerasa mama manggil Hazlen buat nemenin anak mama ini. Bener, kan? Tenang aja, Ma. Mulai sekarang Hazlen bakal nemenin terus Denan, sampe Denan lupa sama semua rasa sakitnya. Jadi, tolong bantu Hazlen ya, ma? Bantu Hazlen buat bikin Denan ga sedih lagi”

Kalimat yang Hazlen ucapkan terdengar sangat lembut, genggaman tangannya pun terasa hangat, entah mengapa hal itu membuat rasa sesak di dada Denan juga pikiran buruknya, mendadak sirna.

Hazlen lagi-lagi berhasil membuat dirinya merasa tenang.

Denan menatap Hazlen dari samping, senyum lembutnya pun terbit, lalu ia pun mengeratkan genggaman mereka.

“Kalo gitu, Hazlen pamit ya. Takut Denan keburu masuk angin, kalo terus di diemin” Ujar Hazlen dengan jenaka lalu melirik Denan yang kini mengernyitkan dahinya.

“Sampai jumpa nanti, Mama. Hazlen bakal bawa Denan kesini dengan versi yang lebih baik”

Walau tak mengerti apa maksudnya, tapi Denan memilih untuk mengikuti apapun saran dari Hazlen dan Marcell.

Itu pilihan terbaiknya dan Denan rasa, Mama nya akan sangat setuju.

Keduanya pun berjalan meninggalkan tempat peristirahatan Mama kesayangan Denan, dengan tangan yang masih saling menggenggam.

“Denan”

“Hm?”

“Berubah buat jadi lebih baik, ya? Tinggalin semua hal yang bikin lo ngerasain sakit mulai hari ini”

“Gitu ya?”

“Kenapa? Lo gamau?”

Denan tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, “Udah capek di sakitin mulu. Pengen bahagia. Jadi, tolong bantu gue ya?”

Hazlen menatap Denan sejenak lalu tersenyum lebar.

“Nah, gitu dong! Oke, gue bantu. Liat aja, gue bakal bikin senyum cerah Denan kembali”

“Iya. Makasih ya, Hazlen”

everything started to change little by little.