—
Suasana riuh di malam hari dapat Denan rasakan kala dirinya dan Hazlen sampai di sebuah tempat makan kecil di pinggir jalan utama kotanya.
“Mau makan apa?” Tanya Hazlen sembari menaruh jaketnya di meja yang mereka tempati.
“Pengen nasi goreng... tapi gamau” Hazlen mendengus saat mendengar ucapan tidak jelas dari sahabatnya.
“Oke, nasi goreng seafood pedes dua sama es teh manis” Denan terkekeh pelan kala mendengar Hazlen memutuskan sendiri pesanan mereka.
“Ya, terserah kacang deh”
Hazlen pun mengangguk lalu berjalan menuju tempat pemesanan dan Denan pun menunggu sembari menikmati suasana nyaman dari tempat itu.
Kerasa lebih hidup di bandingkan rumah gue. Batinnya.
“Oy”
“Hm?”
Hazlen langsung duduk di sebrang Denan kemudian menatap sahabatnya dengan seksama. “Muka lo makin keliatan gelap, kemana Denan yang selalu keliatan cerah?”
Denan terdiam sejenak lalu mengangkat kedua bahunya dengan cuek. “Hilang kali”
Hazlen lagi-lagi mendengus, “Den, kalo adopsi anak adalah hal mudah, gue bakal ajak bunda buat adopsi lo” Denan tertawa kala mendengar ucapan tak jelas Hazlen.
“Yang ada, bunda bakal tuker lo sama gue nantinya”
“Gapapa deh, asal lo bahagia”
Senyum tipis pun muncul setelah ia meredakan tawanya. “Gitu ya? Lo lebih suka liat gue bahagia?” Hazlen mengangguk pelan.
“Terus kalo kita di tuker, lo nya bakal bahagia ga sama keluarga gue?”
“Gatau. Kan yang penting lo bahagia dulu”
Entah dirinya harus terharu atau merasa kasihan dengan dirinya sendiri saat mendengar ucapan tak jelas Hazlen.
“Lo berlebihan, hazl”
Hazlen menaikkan satu alisnya, “menurut gue ngga kok??”
Kini giliran Denan yang mendengus pelan, “Hazl, jangan kasianin gue. Gue ga perlu itu”
Hazlen makin bingung saat mendengar ucapan Denan, “Siapa yang kasian sama lo sih, Den? Gue cuman mau liat lo bahagia”
Setelah itu mereka hening sejenak. Apalagi tak lama kemudian pesanan mereka datang.
“Makan dulu ah, lo makin ga jelas” Denan pun mencoba mengalihkan pandangannya kearah makanannya, sedangkan Hazlen masih menatap Denan.
“Apa yang lo pikirin, Den?”
“Gaada”
“Gue ga bakal makan sebelum lo bilang apa yang lagi lo pikirin sekarang”
Denan pun mengangguk sembari menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya sendiri. Mengabaikan Hazlen yang masih diam.
Satu suap... dua suap... tiga suap... oke. Denan kini merasa risih karena sikap tak jelas Hazlen. Matanya ia bawa untuk menatap Hazlen dengan raut kesal.
“Makan”
“Gamau”
“Duh, Hazl!”
“Bilang makanya”
Denan mendengus pelan lalu menyuapkan makanannya lagi. Setelah selesai mengunyah, dirinya pun mulai berujar sesuatu dengan pelan tanpa menatap Hazlen.
“Kenapa ucapan lo itu, selalu sama?”
Hazlen mengernyit, “Sama gimana?”
“Kenapa lo selalu bilang kalo kebahagiaan gue yang utama?”
Hazlen mengerjapkan matanya, memproses pertanyaan Denan lalu saat paham, seulas senyum tipis terbit di bibirnya.
“Karena senyum bahagia lo adalah salah satu alasan gue buat hidup di dunia kacau ini”
Pergerakan Denan seketika terhenti. Matanya pun di bawa untuk menatap sahabatnya.
“Apa...?”
Hazlen terkekeh pelan, “Lo ga inget gimana pertemuan pertama kita dulu?”
Dahi Denan mengernyit, “Pas kita masuk sd kan?” Hazlen mengangguk.
“Lo dulu teman pertama gue dan lo juga adalah pahlawan gue, den”
“Pahlawan?”
“Yah, intinya lo itu pahlawan gue. Jadi, wajar aja kan kalo gue mau pahlawan gue ini ngerasain banyak kebahagiaan?” Denan menatap Hazlen lalu mengangguk mengerti.
“Yaudah, kalo gitu sekarang lo makan. Lo kalo lagi laper emang gajelas” Hazlen terkekeh lalu mengikuti perintah dari Denan.
“Padahal gue serius”
“Yayaya, imajinasi lo makin liar jadi cepetan abisin makanan lo”
Hazlen kembali menatap Denan yang tengah sibuk memakan makanannya, kemudian kembali tersenyum kecil.
Den, walaupun lo lupa sama kejadian itu, gue bakal selalu inget. Lo beneran pahlawan gue. Pahlawan yang bikin gue ga ngalamin trauma di masa kecil gue. Seandainya dulu lo ga manggil gue, ngajak gue main, ngajak temenan, mungkin Hazlen yang sekarang ga bakal ada. Jadi, Tuhan.... Tolong berikan banyak kebahagiaan buat sahabat Hazlen ini, karena dia pantes buat dapetin kebahagian itu.
Siang semakin terik dan anak-anak di sekolah dasar tersebut memilih untuk bermain di sebuah taman yang rimbun akan pepohonan. Mereka nampak bersenang-senang, tawa riang terdengar di seluruh taman tersebut. Namun, tanpa di sadari ada seorang anak laki-laki yang tengah berjongkok seorang diri tepat di bawah pohon apel.
“Eh, Kamu!!!”
Suara yang memekikan telinga membuat anak yang menyendiri itu, mengangkat kepalanya dan tak lama sang pemanggil sampai di hadapannya.
“Kamu sendiri?”
Anak laki-laki yang tadi menyendiri itu pun mengangguk dengan bingung.
“Kenapa? Kamu ga punya temen?”
Anak laki-laki yang memiliki pipi chubby itu pun langsung mengulurkan tangannya sembari tersenyum lebar.
“Ayo kita main bareng! Mama aku bilang, kita harus banyak main biar banyak ketawa!”
Anak penyendiri itu pun dengan ragu menerima uluran tangan tersebut.
“Aku Denan, sekarang kita sahabat ya!”
Perkenalan singkat, ajakan bermain, deklari persahabatan, semua itu terjadi pada siang terik itu. Oh! Dan jangan lupakan, dengan senyuman cerah yang terus terbit dari bibir anak itu. Semua hal itu sangat membekas di memori anak yang menyendiri tadi. Hingga saat ini.
“Iya... aku sahabat kamu, nama aku Hazlen”
“Yey! Aku panggil kamu Hazl ya?”