“Pagi, ma” Sapa Denan kala membuat kontak mata dengan sang mama tiri yang sudah duduk di sebalah papa nya.
Wanita paruh baya itu pun tersenyum lembut, “Pagi juga, Denan”
Denan pun berjalan menuju sofa yang ada di sebelah sofa Carla. Adik tirinya itu sudah duduk tenang dan Papa nya tengah meneliti nilai rapot milik perempuan itu.
Lirikan yang entah apa artinya Carla berikan pada Denan yang baru saja duduk di sebelahnya sembari menaruh buku rapotnya. Denan yang melihat hal itu pun langsung melirik balik.
“Oke, Papa udah liat semua nilai kamu, Carla” Suara tegas Papa nya membuat fokus mereka kearah sang kepala keluarga.
“Cukup bagus, papa lumayan kaget liatnya. Tapi tetep aja, ada mata pelajaran yang harus kamu perbaiki nilainya. Kamu tau itu kan?” Carla mengangguk.
“Aku tau, Pa. Di semester baru ini, Carla bakal berusaha buat memperbaiki nilainya” Pria paruh baya itu pun mengangguk-angguk, seakan bangga dengan respon yang Carla berikan.
Lalu rapot milik Denan ia ambil, dengan tenang pria itu pun membaca dengan perlahan isi dari rapot Denan. Anak tertua dalam keluarga itu pun kini di landa rasa gugup.
Hingga tak lama, Papa Denan selesai. Tatapan serius dia berikan pada Denan dan hal itu membuat detak jantungnya berdegup kencang.
“Denan, kenapa matematika wajib kamu menurun gini?”
Denan mengepalkan tangannya yang ada di atas paha itu.
“Maaf, Pa. Tapi Denan udah berusaha dengan maksimal, tapi karena guru dari mata pelajaran tersebut berbeda dari tahu—”
“Kamu lagi menyalahkan guru kamu sendiri, Denan?”
Deg!
Sanggahan dengan nada datar itu membuat rumah tersebut sunyi, hawa dingin pun dengan perlahan menyebar.
“Ngga, Pa. Denan cuman lagi ngejelasin kenapa nilai Denan bisa turun” Jawab Denan dengan tegas.
“Terus apa hubungannya guru kamu sama nilai turun ini?”
Denan meneguk ludahnya dengan cepat, kepalan tangannya semakin mengeras, “Pa, denan tadi mau ngejelasin tapi papa malah motong ucapan denan”
Raut wajah kepala keluarga itu mengeras, sedangkan dua perempuan di rumah itu hanya diam, memperhatikan perdebatan mereka.
“Papa motong kamu karena kamu malah bawa-bawa guru kamu”
“Oke, Pa. Denan paham, tapi memang permasalahannya dari guru itu. Guru matematika wajib denan tahun ini beberapa kali suka ga masuk saat jam nya, penjelasan yang dia kasih juga selalu lompat dengan cepat. Denan tau, apa yang harus denan lakuin kalo di ajar sama guru kaya gitu. Tapi, Pa... Denan juga cuman pelajar, Denan masih harus di bimbing biar benar-benar paham sama materi yang di pelajarin. Walaupun denan udah berusaha dengan maksimal, Denan juga butuh bimbingan dari yang lebih ahli” Jelas Denan dengan tenang.
Helaan nafas kasar pun keluar dari Papa nya. “Kenapa ga bilang ke papa? Kamu udah tau harus apa, jadi bukannya kamu harus lapor ke papa buat masalah itu? Papa kan bisa masukin kamu ke tempat les”
“Aku mau bilang, tapi waktu buat bilang itu selalu gaada”
“Maksud kamu?”
Denan menatap Papa dengan sendu, “Papa selalu sibuk” Ujarnya dengan suara pelan.
“Tapi, Kak, Papa kalo libur kan selalu ada waktu buat kita” Carla ikut bersuara setelah menyimak.
Denan menatap Carla sejanak, “Iya, Papa emang selalu ada waktu buat keluarganya tiap hari libur. Tapi kamu suka rebut perhatian papa setiap aku mau ngobrol sama papa”
“Aku ga pernah gitu kok!”
Denan menatap Carla dengan pandangan tak percaya, “Wah, Wah! Sekarang kamu mau nyiptain suasana yang makin panas ya?!”
“Denan!”
Seruan tertahan itu membuat Denan menatap Papa nya dengan pandangan tak percaya, “Liat, Carla. Gara-gara lo, Papa selalu bentak dan marahin gue. Puas ya lo?”
“Maksudnya apa sih, kak?!”
“Denan, tenang dulu ya nak. Anak mama ga mungkin kaya gitu”
Kini mata Denan menatap mama tirinya, “Mama ga bakal percaya karena mama ga pernah liat gimana kelakuan asli Carla”
Pandangan tak percaya sekarang di tujukan pada dirinya.
“Denan, ga sopan kamu!”
Denan terkekeh pelan saat mendengar suara berat itu, “Papa, kenapa jadi ga adil gini? Papa ngasih pujian di awal buat Carla, tapi kenapa pas giliran denan, papa malah langsung nyebutin kekurangan nilai Denan?”
Denan dengan sekuat tenaga untuk tetap tenang dan menahan air matanya yang ingin keluar.
Sang kepala keluarga terdiam. Semua orang disana terdiam.
“Dari situ aja udah keliatan kan, Pa? Atensi dan kasih sayang yang papa selalu beri ke Denan, udah sepenuhnya Papa beri ke dia” Ujar Denan sembari menunjuk Carla.
“Pa, Denan bukan anak kecil. Iya, betul. Denan bukan anak kecil. Denan udah gede, denan harus lebih dewasa. Papa selalu bilang itu akhir-akhir ini. Denan tau dan paham apa maksudnya. Tapi, Pa... apa Denan yang lagi mencoba jadi dewasa ini gaboleh buat dapet apresiasi dan kasih sayang dari keluarga nya?”
Bibir Denan mulai bergetar karena sudah tidak sanggup menahan rasa sesak.
“Denan, maaf—”
“ARGH!!!” Erangan kesal langsung keluar dari bibir Denan, sembari menutup telinga nya.
“Benci, benci, benci”
Melihat Denan yang mulai tak terkendali, semua orang disana langsung di landa kebingungan. Papa Denan sontak berdiri lalu berjalan kearah anaknya.
“Son—”
Belum sempat ia menepuk pundak anaknya, Denan sudah mengangkat kepalanya lalu menatap sang Papa dengan raut amarah yang di campur dengan kesedihan.
Kaget? Tentu saja kepala keluarga itu terkejut dengan tatapan mata dan raut yang tidak pernah di lihat olehnya.
“Stop bilang maaf, Pa! DENAN MUAK! DENAN MUAK DENGAN KATA ITU YANG SELALU KELUAR DARI MULUT PAPA!”
“Denan juga anak papa... denan anak kandung papa... carla cuman anak tiri papa... kenapa papa ga sayang sama denan...”
Gumaman dengan suara yang gemetar itu seakan menggema pada rumah tersebut.
“Den, kita ke kamar dulu ya?” Pria yang paling tua itu pun mencoba menuntun Denan ke kamarnya, namun tepisan kasar pun ia terima.
Tak!
“Denan bisa sendiri, Denan bukan anak kecil yang harus di tuntun” ucapnya lalu berjalan sendiri kearah kamarnya.
Meninggalkan tiga orang yang menatap punggungnya dengan rasa bersalah di hati mereka.
Ma, tolongin denan.