cw // violence, harsh words

Arvian kini baru saja sampai di lapangan yang jordan maksud lewat chat tadi.

Oh, sebagai informasi sedikit. Setelah denan mengirimi pesan tentang ajakan putus, Arvian langsung meninggalkan acara kencannya dengan Carla. Ia bahkan seakan tuli saat perempuan itu terus memanggilnya. Dia membawa mobilnya ke rumah Denan, namun saat sampai dia tidak berani untuk menghampiri. Alhasil, dia memilih pulang.

Oke, kembali ke saat sekarang. Arvian sudah mempersiapkan dirinya, dengan langkah pasrah dia pun mendekat kearah tiga orang yang sudah menatap dirinya dengan bengis dan dingin.

Ketika satu langkah lagi ia mendekat ke mereka, tiba-tiba saja satu tinjuan keras menyapa wajahnya.

Dia tidak akan mengelak atau melawan. Dia akan menerima. Dia memang pantas mendapatkan ini semua.

“Gue udah bilang, jangan sekali-sekali lo nyakitin bang denan. Tapi apa-apaan ini, brengsek?!”

Arvian yang tidak pernah mendengar suara lugas dan tegas milik marcell pun ia dengar malam ini.

Arvian hanya terdiam di posisi jatuhnya. Melihat hal itu, Hazlen langsung mendekat lalu berjongkok tepat di depan Arvian.

“Oy, bego” Kepala Arvian terangkat kemudian di sambutlah dirinya dengan tatapan dingin Hazlen.

“Lo itu siapa sih yang dengan sok nya bikin denan sakit?”

Benar, dia itu sebenernya siapa yang berani berbuat seperti itu?

Telunjuk Hazlen pun terangkat untuk mengetuk-ngetuk jidat Arvian dengan kasar.

“Diem lo sekarang? Sosok lo yang kemaren berani banget buat nyakitin denan kemana?”

Merasa muak akan keterdiaman Arvian, Hazlen pun berteriak “MANA SOSOK BAJINGAN LO KEMAREN HAH?!”

Bugh!

Tendangan pada perutnya yang baru saja dia terima itu langsung terasa nyeri.

“Heh, Arvian. Gue mau ngasih tau lo sesuatu dan mungkin aja bakal bikin lo nyesel seumur hidup” Ucapan santai Hazlen membuat semua orang disana menatap kearahnya.

Tatapan amarah, Hazlen layangkan pada Arvian yang menatap dirinya dengan bingung.

“Apa yang lo lakuin selama ini ke Denan, yang mungkin aja menurut lo remeh dan kecil, tapi bagi denan itu hal yang besar. Lo tau? Karena lo, dia hampir ga punya tujuan untuk hidup lagi! Lo itu termasuk kedalam alasan untuk denan hidup. Kalo bukan karena gue sama marcell yang bujuk dan kasih dia semangat, mungkin dia udah gaada sekarang” Semuanya terdengar jelas di telinga Arvian.

Setiap kata terus terngiang di otaknya. Apa... apa yang baru saja dia dengar? Kenapa dia begitu brengsek? Kenapa Denan menjadikan dia alasan utama untuk hidupnya? banyak pertanyaan muncul di kepalanya hingga tak lama sebuah tinjuan keras menghampiri pipi nya kembali.

“BRENGSEK, GUE GA SUDI TEMENAN SAMA LO LAGI ANJING!” Teriakan dari Jordan membuat tubuhnya bergetar.

“Terserah lo mau apain dia, Hazl. Gue ga peduli, gue juga ga bakal temenan sama orang rendah kaya dia. Gue pamit duluan” Ucapan pamit Jordan kala itu membuat Arvian berpikir itu adalah ucapan selamat tinggal dari pertemanan yang sudah di bangun selama 3 tahun.

Pupus sudah.

“Arvian, lo liat. Ini hasil perbuatan yang lo lakuin dengan sadar kemarin. Semuanya pergi”

Benar. Semuanya pergi. Cintanya dan teman baiknya pergi.

“Gue sebenernya masih mau nonjok lo, tapi kayanya udah cukup. Dah, gue cabut” Hazlen pun berjalan menjauhinya dan kini tersisa Marcell yang masih menatap marah Arvian.

“Gue bakal pastiin bang Denan ga akan ketemu sama lo lagi. Oh! dan selamat datang di kehidupan baru lo. Semoga lo bisa bertahan”

Marcell pun turut melangkah pergi meninggalkan dirinya.

Kini hanya dirinya, rasa penyesalan, dan rasa bersalah yang tersisa.

Pantas, Arvian pantas mendapatkan ini semua.