Telpon dari Carla.
“Eh, Arvi. Tunggu dulu deh”
Arvian yang tadinya berjalan lebih dulu langsung kembali menghampiri Denan. Tak lama, ia pun melihat kekasihnya tengah mengangkat telpon yang entah dari siapa.
“Halo?”
“Kak!!”
Denan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara keras perempuan itu.
“Kenapa?”
“Udah jam balik kan?”
“Udah”
“Nah! Bisa tolong suruh siapa gitu buat jemput gue ga?”
Melihat dahi Denan yang mengernyit langsung membuat Arvian menjadi sedikit penasaran dengan sang penelpon.
“Emang mama ga jemput?”
Saat mendengar ucapan Denan, seketika ia pun menjadi tahu siapa penelpon itu.
Carla. Mantannya dan adik dari kekasihnya.
“Gatau, ini mama ga jawab telpon gue” Mendengar suara Carla yang seperti ingin menangis, sedikit membuat diri Denan khawatir pada adik tirinya itu.
“Kak, tolongin. Gue takut, sekolah gue udah mulai sepi” Denan menghembuskan nafasnya lalu melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian pandangannya terpaku pada Arvian yang menatapnya dengan bingung.
“Halo? Kak den! Please, gue mau pulang”
Perang antara batin dan pikiran di mulai pada diri Denan.
Apakah ia harus menyuruh Arvian untuk menjemput Carla? Tapi dirinya juga butuh tumpangan dari dia, kakinya sedang tidak bisa di ajak kerjasama. Menyuruh Hazlen? Sahabatnya sudah pulang sedari tadi.
Tidak ada pilihan selain menyuruh Arvian untuk menjemput adiknya. Baiklah, Denan akan mengalah. Tidak mungkin kan, dia harus membiarkan sang adik menunggu sendirian disana?
“Oke, nanti gue suruh Arvi buat jemput lo. Tunggu disana”
“Siap! Makasih, Kak Den!”
Sambungan terputus.
“Kenapa, Den?”
Denan menatap Arvian sejenak kemudian berujar, “Arvi... aku boleh minta tolong?”
Saat itu juga rasanya Arvian di landa rasa gelisah yang entah apa artinya.
“Minta... tolong apa?”
“Tolong jemput adik aku di sekolah nya ya?”
Deg!
Arvian diam sejenak dan hal itu membuat Denan khawatir. Namun, beberapa detik kemudian sang kekasih memberikan anggukan.
“Oke, di SMA Riskala satu kan?”
“Iya, tapi gimana kamu bisa tau?”
Arvian tersenyum tipis, “Nebak aja sih”
Denan pun merespon dengan anggukan.
“Kalo gitu, aku otw sekarang aja ya?”
“Eh? Iya... makasih, Arvi. Hati-hati”
Setelah berpamitan, Arvian pun pergi membawa motornya menuju sekolah sang adik. Yang entah mengapa, semakin jauh Arvian dari pandangannya, dada Denan terasa sedikit nyeri.
Sebenernya gue kenapa sih?
Hembusan nafas lelah ia keluarkan, ia tatap langit sore sejenak lalu mulailah ia melangkah keluar dari sekolah itu. Berjalan menuju rumahnya dengan kedua kaki yang di paksa untuk bergerak.
Capek... Tapi gue gaboleh ngeluh gini. Kan gue yang buat keputusan...