“Son”

Denan yang tengah menatap halaman belakang rumahnya, langsung menoleh kearah sang Papa yang baru tiba.

“Pagi, Pa”

“Juga”

Papa Denan pun duduk di kursi sebelah Denan yang hanya di batasi sebuah meja kecil dan disana terdapat secangkir teh hangat yang sudah Denan siapkan.

Hening sejanak.

Hingga karena merasa penasaran, pria yang paling tua itu mulai membuka suaranya.

“Apa—”

“Pa, Denan kangen ngobrol sama papa kaya yang dulu suka kita lakuin”

Denan memotong ucapan Papa nya, tanpa menatap sang lawan bicara. Pria paruh baya itu langsung terdiam.

“Semuanya berubah ya, Pa. Denan jadi bingung, harus ngerasa bahagia atau sebaliknya karena perubahan itu” Denan tersenyum tipis saat selesai mengucapkan kalimat itu.

“Papa” Kini kepalanya menoleh kearah Papa nya, menatap pria itu sejenak lalu kembali berbicara.

“Sekarang Denan mau ngobrol sama papa sejujur-jujurnya, yang mungkin nantinya bakal bikin papa tersinggung. Kalo papa tersinggung, aku minta maaf. Tapi, buat hari ini aja. Denan mau jujur sama papa, boleh ya?”

Melihat raut wajah yang nampak berbeda dari sang anak, mau tak mau dirinya pun memberikan anggukan setuju.

Denan menghela nafasnya sebentar.

“Papa, jujur... selama denan tinggal sama keluarga baru ini, denan ga ngerasa bahagia”

Kejujuran pertama, membawa sebuah satu rasa berat di pundaknya langsung terangkat.

“Denan?”

“Maaf, Papa. Tapi denan bener-bener ngerasa begitu. Denan awalnya bahagia karena Papa akhirnya nemuin kebahagiaan baru papa, tapi lama-lama rasa bahagia itu ga denan rasain” Denan sedikit menunduk dan memainkan jemarinya.

“Denan sebenernya ga masalah buat nerima kenyataan itu, tapi lama-lama.... Denan capek. Denan udah ga kuat lagi. Bahkan puncaknya, kemarin. Denan kemarin lepas kendali, bahkan hampir bertingkah kaya orang ga waras, dan itu karena Denan udah ga sanggup nahan semuanya”

Lagi, beban lain di pundaknya terasa hilang.

Pria paruh baya itu tidak dapat menahan rasa terkejutnya. Lagipula, siapa yang tidak akan terkejut kala mendengar bahwa anaknya benar-benar tidak bahagia dengan sesuatu yang ia kira akan membawa kebahagiaan baru.

“Denan...”

“Maaf, Papa. Tapi Denan udah ngerasa muak. Denan gabisa buat bertingkah dewasa seperti yang papa mau, karena semuanya kerasa tiba-tiba. Papa nyuruh aku buat bertingkah dewasa karena ada Carla, papa suka bentak aku karena tuduhan Carla, papa selalu nyuruh aku buat jaga Carla, papa selalu memprioritaskan Carla, pokoknya semua tentang Carla. Padahal, dulu papa ga kaya gitu... Makanya aku suka nanya ke papa—”

Denan membawa matanya untuk menatap sang Papa.

“Sebenernya yang anak kandung itu Carla atau Denan?”

Air matanya jatuh tanpa ia sadari, namun dengan cepat ia mengusap air mata itu.

“Itu bukan pertanyaan karena rasa kesel atau marah. Tapi itu pertanyaan dari kebingungan Denan. Bayangin aja, Pa. Denan yang ga pernah di bentak, di marahin, di nomor dua kan sama Papa, tiba-tiba aja di gituin. Siapa yang ga bakal kaget dan bingung?”

“Bahkan Papa jadi sering lupa sama semua hal yang berkaitan kenangan lalu. Kata papa dulu, Papa ga bakal lupain kenangan keluarga awal kita, tapi kenapa? Kenapa papa lupa? Kenapa papa selalu aja minta maaf dengan gampang karena lupain itu semua?”

Seperti tamparan, sang kepala keluarga itu pun langsung tersadar karena ucapan sang anak.

Kenapa dia tanpa sadar melakukan hal besar seperti itu?

“Maaf, Denan. Papa bener-bener ga sadar”

Denan hanya mengalihkan pandangan nya kearah lain saat melihat sang Papa yang mulai menangis.

“Papa benar-benar di buat buta sama semua kesenangan baru ini. Papa pikir papa udah ngelakuin yang terbaik, tapi ternyata papa salah. Maaf, nak. Maaf”

“Aku udah maafin, Papa. Tapi aku gabisa lupain semua itu. Juga, mungkin Papa bisa minta maaf ke mama. Walau papa punya mama ayu, bukan berarti papa lupain mama yang dulu bawa kebahagiaan buat papa kan?”

“Mama juga perlu buat ketemu suami kesayangannya. Mama Ayu juga Carla pun perlu ketemu mama, karena mau bagaimana pun mereka harus izin untuk masuk dan mengganti posisi mama”

Prang!

Suara pecahan di belakang pintu membuat keduanya menoleh, disana terlihat istri dan ibu tiri Denan yang sudah menangis sembari menutup mulut dengan kedua tangannya.

Denan hanya menatap mama tirinya dengan pandangan tanpa ekspresi.

“Mama Ayu harusnya kalo mau ikut dengerin langsung duduk disini aja” Ujar Denan dengan pelan.

Dengan langkah kaku, wanita itu berjalan menuju kearah Denan lalu memeluk anak tirinya itu dengan erat.

“Maafin mama, Den. Maaf—tolong maafkan saya. Harusnya saya memperhatikan dan memberikan kasih sayang yang sama dengan Carla, karena kamu juga anak saya. Maaf. Saya memang patut tidak di terima oleh kamu, tapi kenapa... kenapa kamu tetap memanggil saya mama?”

“Karena Denan ngehargain peran Mama Ayu”

Lagi, tangis wanita itu pecah.

Rasa bersalah langsung menghampiri mereka.

Tapi kenapa sekarang? Kenapa harus ketika dirinya sudah jujur dan mengatakan semuanya?

Ah, Denan sadar. Bukankah manusia memang seperti itu? Harus di sadarkan lebih dulu baru merasakan rasa bersalah.

Yah, setidaknya kali ini Denan sudah mengatakan sejujurnya apa saja yang ia rasakan. Rasanya bahu Denan terasa lebih ringan, tinggal satu masalah lagi yang harus ia selesaikan.

Dan semoga masalah itu terselesaikan dengan baik.

Gue bener-bener pengen lepas dari ini semua.