Khawatir.

Juna menatap jendela kelas dengan pandangan kosong, namun telinganya tetap mendengarkan penjelasan dari sang guru. Tidak banyak yang Juna lihat dari jendela tersebut, hanya beberapa guru juga murid yang sedang berjalan entah kemana. Sedangkan teman sebangkunya—Rajen, saat ini tengah merasa gelisah. Mata Rajen diam-diam melirik kearah Juna, ah... lebih tepatnya menatap ruam ungu yang ada di pipi Juna.

Entah apa yang membuat Rajen merasa khawatir tiba-tiba pada teman sebangkunya ini. Tidak mungkin karena perasaan— tidak, tidak mungkin. Rajen menggelengkan kepalanya pelan untuk mengusir pikirannya yang hampir berpikir ke yang tidak-tidak.

“Ya, sekian materi dari saya. Jangan lupa tugas yang saya berikan tadi untuk dikerjakan, materinya juga di baca kembali. Saya pamit undur diri” Guru iti keluar dari kelas dan sontak anak-anak kelas pun membuat keributan.

Juna membereskan bukunya dan hal itu membuat Rajen lagi-lagi melirik teman sebangkunya itu. “Jun” panggilan itu membuat Juna mengalihkan pandangannya kearah Jia, teman sebangku Ella.

“Eh? Anjir, pipi lo kenapa gitu?” Seru Jia dan membuat hampir seisi kelas memandang kearah Juna. Haidar berjalan kearah meja Juna untuk melihat kondisi sahabatnya.

“Lo abis berantem sama siapa?” Tanya Haidar dan Juna hanya membalasnya dengan gelengan. Ella, gadis itu mendengus kesal saat melihat Juna yang di krubungi oleh teman-teman sekelasnya.

“Gu—”

“Juna abis jatoh dari tangga” Ella menyela ucapan Juna dan hal itu membuat Jia, haidar juga Rajen menatap Ella dengan bingung. Nandra yang baru saja ingin beranjak dari duduknya pun langsung mengurungkan niatnya saat mendengar ucapan Ella.

“Jatoh dari tangga?” Gumam Haidar dan hal itu di dengar oleh Rajen.

“Ada luka serius, jun?” Tanya Rajen dan Juna hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Senyuman yang Juna tampilkan entah mengapa membuat Rajen merasa sakit juga marah.

Ada apa dengan dirinya? tanya Rajen di batinnya.

“Gue ke uks dulu ya?”

“Mau gue anter?” Juna menggeleng pada Haidar.

“Jamkos kan ampe istirahat nanti?” Haidar mengangguk dan Juna pun langsung beranjak dari duduknya kemudian berjalan kearah UKS.

Tanpa Juna ketahui, ada satu orang yang berjalan mengikutinya.


UKS.

“Sssstt” desis Juna kala kapas dengan obat merah tersebut menyentuh permukaan pipinya yang sedikit luka itu.

“Ah, anjir! Perih banget huhu” gumam Juna sambil melanjutkan membersihkan lukanya sendiri. Kenapa tidak diobati oleh penjaga UKS? Karena saat Juna masuk ruangan itu, tidak ada seorang pun yang ada di ruang itu.

ceklek

Pintu ruangan itu di buka oleh seseorang dan membuat atensi Juna mengarah pada orang yang membuka pintu itu.

“Eh... Na?” Nandra tersenyum lalu menghampiri Juna.

“Sini gue obatin” Belum sempat Juna menjawab, Nandra sudah gesit mengobati luka yang ada di pipinya.

“Jatoh di tangga mana?” Tanya Nandra di sela kegiatan mengobati luka Juna.

“Err— tangga di rumah” jawab Juna dengan nada pelan.

“Yakin?” Juna menegang saat mata Nandra menatapnya dengan mengintimidasi.

“Ya—yaiyalah, yakin” Jawab Juna dengan gugup tapi masih mencoba menutupi rasa gugupnya itu.

“Jun” Nandra menjauhkan wajahnya dari Juna lalu duduk bersandar di kursi tersebut.

“Lo lupa kalo gue pernah ke rumah lo?”

Juna hanya diam. Ia tidak sanggup untuk berbohong lagi.

“Jun, cerita ke gue. Jangan di tahan sendiri, nanti lo nambah ngerasa sakit” Juna menunduk sedangkan Nandra menatap sahabatnya itu dengan khawatir.

“Gue harus cerita apa?” Tanya Juna dengan nada pelan.

“Cerita hal yang bikin lo ngerasa ngeganjel, yang bikin lo marah, yang bikin lo mau nangis” Juna hanya diam, ia semakin menundukkan kepalanya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

“Na, gue salah ya terlahir jadi laki-laki?” Tanya Juna dengan nada lirih dan Nandra hanya diam.

“Se-lembek itu kah diri gue sampe papa gue nyuruh untuk gue lahir sebagai perempuan?” Isakan kecil Nandra dengar.

“Gue marah sama diri gue sendiri, na. Kenapa gue gabisa kaya laki-laki normal diluar sana? Kenapa gue gabisa sekuat lo dari fisik atau mental? Kenapa gue gabisa jujur sama diri sendiri kaya Haidar? Dan.... kenapa gue ga normal kaya Rajen?”

Suasana ruang UKS kini sangat sulit untuk Nandra deskripsikan, yang terdengar di telinganya hanya isakan juga gumaman lirih Juna dan matanya menatap Juna yang menunduk dalam. Rasanya dada Nandra menjadi sesak.

“Gue hidup kayanya ga berguna banget, na. Setiap malem rasanya gue mau pergi aja dari dunia ini, biar orang sekitar gue ngerasa bahagia” Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir tipis Juna, deretan kalimat itu membuat Nandra mencelos seketika.

Juna... Gue gatau kalo lo ngerasain hal kaya gitu Batin Nandra.

“Na, gue terlahir ke dunia ini itu sebuah kesalahan ya?”

Oke, Nandra tidak bisa menahan diri lagi. Dirinya beranjak dari duduk lalu memeluk Juna dengan erat, sedangkan yang dipeluk makin terisak.

“Gue ma—”

“Engga, jun! Engga! Lo ga boleh pergi dari dunia ini sebelum waktunya!” Suara tegas yang Nandra ucapkan di dekat telinga nya membuat Juna merasa sedikit bahagia.

“Jun, lo ga salah untuk hidup di dunia ini. Kelahiran lo ke dunia ini bukan sebuah kesalahan” hati Juna seketika menghangat, ia memejamkan matanya untuk mencoba meredakan tangisnya.

“Jangan mikir untuk pergi dari dunia ini sebelum takdirnya, jun. Jangan... lo di dunia ini punya gue, tolong jangan tinggalin gue” Pelukan itu makin erat.

“Lo hebat jun, lo hebat karena udah bertahan sampai sekarang” tangan Juna pelan-pelan terangkat untuk membalas pelukan Nandra.

“Nangis jun, keluarin semua emosi lo sampai lega. Gue disini, gue ga bakal pergi kemana-mana” Juna menenggelamkan wajah basahnya di pundak tegap sahabatnya itu.

Tuhan, tolong beri sedikit waktu untuk Juna menikmati rasa hangat ini. Tolong, Juna ingin beristirahat sebentar.

“Jangan ngerasa sendiri lagi, jun. Lo punya tiga orang sahabat yang bakal selalu di samping lo” Juna mengangguk pelan.

Mereka berdua sibuk dengan dunianya, hingga tidak sadar bahwa ada dua orang yang berdiri di depan pintu UKS. Dua orang itu mendengar semua kalimat yang Juna lontarkan.

Bisakah aku bahagia?