Bingung.
Juna berjalan menyusuri lorong kelas 12, entah apa yang sepupu nya ingin katakan padanya secara langsung. Berbicara empat mata, di rooftop.
Pintu rooftop Juna buka lalu di tutup kembali, disana ia melihat sang sepupu yang berdiri di dekat pagar pembatas yang tingginya hanya sebatas dada.
“Kenapa?” Tanya Juna dengan wajah datarnya.
“Lo udah mulai berani sama gue?” Tanya Ella sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap Juna dengan pandangan remeh.
“Emang nya dulu gue takut?” Juna balik bertanya dan hal itu membuat Ella menjadi geram.
“Lo ga lupa kan kalo rahasia besar lo udah gue tau?” Senyum remeh itu cukup membuat Juna merasa terpancing.
“Juna~ juna~ lo tuh harusnya sadar—” Ella berjalan mendekat kearah Juna tanpa menghilangkan senyum remehnya. Menatap Juna dengan pandangan miris juga jijik.
“—Sejak lo lahir orang tua lo udah ga suka sama lo, terus ditambah lo homo gini. Ck, jangan kebanyakan tingkah” Juna mengepalkan kedua tangannya hingga telapak tangan berwarna putih itu berubah menjadi merah.
“Badan lo lemah, kaya perempuan” Cercaan itu semakin membuat Juna marah.
“Cukup” ucap Juna dengan lirih.
“Harusnya lo lahir jadi perempuan, bukannya jadi laki-laki lemah kaya gini” pundak sempit itu sedikit di dorong oleh jari telunjuk Ella.
“Baru di dorong dikit aja udah mau jatoh ke belakang, dasar lemah”
“Berhenti” lirih Juna dan Ella hanya mengangkat satu alisnya namun senyum jahatnya terus terpatri di bibir itu.
“Sadar, Juna. Sadar sama keadaan lo!” Nada bicara Ella semakin naik dan Juna sekarang menjadi sedikit gemetar.
“Lo gabisa bahagia! Hidup lo itu beban banyak orang! Sadar Arjuna!” Punggung sempit Juna bergetar, mata cantiknya pun terpejam untuk menahan semua emosi yang ia rasakan, tangan nya semakin terkepal.
“Ingat apa kata gue. Jangan ngerusak semuanya”
Setelah itu pun Ella berjalan meninggalkan Juna. Pemuda manis itu pun langsung jatuh terduduk, wajahnya sudah merah padam sambil tertunduk.
Juna, sadar kalimat itu terus terngiang di kepalanya, rasa pening melanda hingga telinga nya pun berdengung. Juna meremat rambutnya dengan kencang.
“Sakit— hiks sakit! SAKIT! BERHENTI!” Racau Juna lalu menepuk dada nya dengan keras menggunakan tangan kanannya.
“Juna bodoh! JUNA TIDAK TAHU DIRI!” Wajah itu di tadahkan kearah langit, teriknya matahari tidak Juna rasakan. Mata indah itu terpejam lalu tak lama sebuah air mata meleleh menyusuri pipinya.
Brak!
Bunyi pintu yang dibuka dengan keras mengalihkan pandangan Juna, matanya tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang tengah berlari kearahnya karena tertutup oleh air mata. Pandangannya kian memburam lalu kegelapan menyapanya.
“JUNA!”
“Juna...” suara lirih itu membuat Juna sedikit terusik, mata cantiknya yang terpejam kini dengan perlahan dibuka. Juna mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh kearah sampingnya.
“Kak damar?” Ucap Juna dengan suara yang pelan, pemuda dominan itu sedikit tersentak saat mendengar suara Juna.
“Minum dulu ya?” Damar mengambil segelas air yang ia siapkan kepada Juna dan pemuda manis itu pun meneguk air itu.
“Masih pusing?” Tanya Damar dengan lembut dan Juna pun membalas dengan gelengan pelan.
“Sekarang jam berapa?” Tanya Juna.
“Jam pelajaran terakhir” Juna langsung menatap sang kakak kelas dengan pandangan tak percaya.
“Aku pingsan nya lama banget dong?” Damar tertawa kecil karena melihat wajah panik Juna yang terlihat lucu.
“Gapapa, aku udah minta izin ke guru kok” Juna mengangguk paham.
“Kak damar kenapa disini? Kakak bisa ketinggalan materi loh...” Damar tersenyum lalu mengusap rambut Juna dengan lembut.
“Tenang, itu masalah gampang. Kamu beneran ngerasa baik kan? Ga ada yang sakit? Atau kamu laper?” Juna tersenyum kecil lalu menggeleng.
“Aku gapapa, kak damar” Damar menghela nafas pelan lalu mengelus kepala Juna kembali.
Suasana menjadi hening, Juna dan Damar sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga tak lama kemudian bunyi bell pulang sekolah terdengar di telinga mereka.
“Udah pulang ya...” gumam Juna.
“Kayanya sahabat kamu bentar lagi kesini” Ucap Damar dan Juna pun mengangguk setuju.
“Maaf udah ngerepotin kak damar” Damar tersenyum.
“Gapapa, cantik. Engga ngerepotin kok” pipi Juna sedikit memerah saat mendengar panggilan Cantik dari Damar.
“A—aku ga cantik! Aku ganteng tau!” Ucap Juna sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
“Iya, engga cantik. Manis deh, Juna itu manis” bibir Juna melengkung sedikit namun pipinya kian memerah.
“Gemes banget sih?” Damar mencubit pipi gembil Juna dan mendapat respon erangan kesal dari si manis.
“Kak damar~ jangan di cubit!” Damar tertawa lalu mengangguk, sekarang tangannya bergerak untuk mengelus pipi gembil yang dihiasi warna merah tersebut.
“Jaga kesehatan kamu, hm? Jangan sampai kamu pingsan kaya gini lagi” Juna menunduk lalu mengangguk.
“Makasih kak”
“Sama-sama, manis” Damar mengusak rambut Juna.
“Punten” suara Haidar mengintrupsi kegiatan dua orang pemuda itu, Juna menaikkan wajahnya lalu terlihatlah ketiga sahabatnya yang sedang menatap datar kearahnya.
“Menebar ke-uwu an terus ya, untung ni uks sepi” Damar tertawa saat mendengar cibiran Haidar.
“Namanya juga lagi pendekatan, dar” Pipi Juna seketika langsung memerah kembali.
Damar tersenyum melihat tingkah Juna yang sedang salah tingkah itu lalu beranjak dari duduknya.
“Yaudah, gue pamit duluan ya? Jaga si manis, anterin sampe rumah kalo bisa. Gue mau nganter tapi masih ada urusan osis” Haidar dan Nandra mengangguk paham sedangkan Rajen sedari tadi hanya diam dengan raut wajah yang tak bersahabat.
“Siap, makasih udah nemenin Juna ya bang” Damar mengangguk lalu keluar dari ruangan tersebut.
“Mau pulang sekarang, Jun?” Juna mengangguk lalu bergerak untuk turun dari ranjang itu dibantu oleh Nandra.
“Siapa yang mau nganter Juna?” Tanya Haidar.
“Gue” jawab Rajen dan Juna langsung menegang.
“Oke. Juna mau pulang sama Rajen kan?” Juna menatap Nandra sejenak lalu mengangguk pelan.
“Ayo kita jalan ke parkiran”
“Rajen” panggil Juna saat motor Rajen sudah menempuh setengah perjalanan menuju rumahnya.
“Apa, Jun?” Juna mengigit bibir bawahnya sebentar, Rajen yang tidak mendapat jawaban apa-apa langsung melihat keadaan Juna melalui kaca spion.
“Turunin gue di pertigaan ya?” Rajen mengernyit.
“Kenapa?”
“Tolong ya? Gue ada urusan di daerah situ” Rajen diam sejenak lalu mengangguk.
Beberapa menit kemudian mereka berdua pun sampai di pertigaan yang Juna maksud.
“Makasih tumpangannya, gue ngerepotin lo lagi...” Rajen tersenyum hingga matanya menyipit saat melihat Juna yang berkata sambil menunduk.
“Gapapa. Lo ada urusan apa emangnya?” Tanya Rajen.
“Daftar les” ucap Juna dan Rajen langsung membulatkan matanya.
“Tempat les yang disitu?” Ucap Rajen sambil menunjuk sebuah rumah tingkat yang di depannya ada spanduk.
“Iya” jawab Juna.
“Gue juga les disitu!”
“Oh, ya? Gue kira lo tipe yang gasuka ikut les”
“Kalo gue ga ikut les, ga mungkin gue dapet rangking tiga besar terus di kelas” Juna terkekeh sambil mengangguk.
“Ayo, gue anter daftar”
“Gapapa?”
“Yaiyalah! Ayo!”
“Kenapa ikut les kimia doang?”
“Emangnya gaboleh?” Juna menatap Rajen dengan bingung.
“Boleh aja sih” ucap Rajen dengan pelan dan Juna hanya tersenyum saat melihat tingkah Rajen.
“Kenapa? Kecewa gabisa les bareng?” Rajen menatap Juna dengan pandangan terkejut lalu menggeleng kuat.
“Engga! Apa-apaan pake kecewa segala” gerutuan Rajen membuat Juna tertawa.
“Ya... kali aja lo kecewa, karna gaada cowo manis kek juna yang bakal nemenin lo” entah Juna melihat atau tidak tapi telinga Rajen tadi terlihat sedikit memerah. Entah kenapa, Rajen menjadi salah tingkah mendengar ucapan Juna.
“Gue udah selesai daftar, jadi... gue cabut duluan ya?” Rajen mengerjap sebentar lalu menatap Juna dengan bingung.
“Gue an—”
“Duluan ya, jen! Hati-hati di jalan!” Juna berucap sambil berlari, meninggalkan Rajen yang masih memproses keadaan.
Kenapa dia kaya ngehindarin gue?
Sorry.