Malam.

Juna berjalan ke arah dapurnya. Setelah membersihkan kamar untuk Ella juga memindahkan beberapa perabotan milik sepupunya itu. Perutnya sudah merasa lapar namun yang ia dapati di atas meja makan malah hanya teko yang berisi air putih.

Juna menimbang, apakah ia harus memasak makanan? Tapi beberapa detik kemudian ia langsung menggelengkan kepalanya.

Tidak, juna tidak ingin mengganggu ketenangan orang-orang rumah. Matanya melirik kearah jam dinding, pukul 19.20. Juna pun berinisiatif untuk membeli makanan di minimarket dekat rumahnya.


Minimarket.

“Segini aja, kak jun?” Juna mengangguk lalu sang penjaga kasir yang sudah akrab dengannya itu pun menghitung belanjaan Juna.

“Totalnya tiga puluh dua ribu tiga ratus, kak” Juna mengeluarkan uangnya.

“Kak jun mau nyeduh mie nya disini?” Juna berdehem singkat sebagai jawaban.

“Aku aja! Kakak siapin tempat aja” Juna mengernyit bingung.

“Lagi sepi, kak. Aku gabut hehehe”

“Yaudah, makasih ya” sang kasir pun menyeduh mie cup untuk Juna.

“Udah jadi~ aku temenin kakak ya?” Juna mengangguk lalu mulai memakan mie nya.

“Kakak udah lama ga kesini, aku kira kakak udah baikan sama orang rumah” Juna menatap orang yang berceloteh itu sambil mengunyah makanannya.

“Chel, kamu ga capek?” Rachel, perempuan yang lebih muda satu tahun dari Juna juga sang kasir minimarket itu hanya tersenyum.

“Namanya juga hidup, kak. Yah, setidaknya aku bisa ngehasilin uang buat bayar obat ibu” Juna tersenyum tipis lalu melanjutkan memakan mie nya.

“Kak juna sendiri? Kakak udah bisa jujur ke keluarga masalah...” Rachel menatap Juna sedangkan yang ditatap hanya terkekeh kecil.

“Ga sanggup buat jujur, pasti mereka malu banget punya anak kaya gini” Juna menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, mie cup yang ia makan sudah ia habiskan.

“Jangan ngomong gitu dong, kak. Mung—”

“Ga mungkin, chel. Hidup aku nambah jauh lebih rumit daripada yang kamu lihat sekarang” rachel diam.

Suasana minimarket itu menjadi sunyi.

“Udah mau jam tengah sembilan, aku pulang dulu ya?”

“Oh? Iya, gausah di beresin kak! Nanti sama aku aja” Juna menggeleng pelan, ia beranjak sambil membereskan bekas makanannya.

“Makasih udah nemenin, semangat kerjanya ya”

“Siap! Kakak juga semangat!” Juna tersenyum kecil lalu pergi dari minimarket itu untuk kembali ke rumahnya.


Rumah.

Plak!

“Ma—maaf, pa.” Juna menundukkan kepalanya di depan sang papa yang menatapnya dengan raut kesal.

“Keluyuran aja terus! Mau jadi apa kamu? Anak geng? Biar keliatan jago? Iya?! Jawab! Kamu anak laki-laki, jangan lembek!”

“Juna cuma nyari makan, pa.”

Bugh!

Tinjuan dari Papa Juna membuat Juna tersungkur, namun dengan cepat Juna kembali berdiri seperti posisi awalnya tadi.

“Saya namain kamu Arjuna agar terlihat kuat tapi nyatanya malah jadi seperti ini. Kamu itu perempuan atau laki-laki? Kalo lembek gini lebih baik dulu kamu terlahir sebagai perempuan!” Juna masih menunduk, tidak berniat membalas ucapan sang papa.

“Laki-laki baru di tampar saja sudah limbung ke belakang, gimana nasib istri kamu nanti? Punya suami yang ga jago fisik untuk berkelahi. Dasar ga berguna” Kepala keluarga itu pun langsung berjalan meninggalkan Juna yang masih berdiri sambil menundukkan kepalanya.

Tangan Juna mulai terkepal untuk melampiaskan rasa kesal juga amarahnya pada dirinya sendiri. Iya, Juna marah pada dirinya sendiri bukan pada Papanya.

Karena apa? Juna cukup sadar diri, bahwa semua perkataan sang Papa memang fakta.

Juna adalah anak yang tidak berguna.