Rooftop.

Juna menghembuskan nafas dengan berat sambil menaruh ponselnya kedalam saku, Haidar yang duduk disebelah Juna langsung melirik sahabatnya dengan pandangan bingung.

“Berat banget nafas lo, jun. Kenapa? Dapet perintah dari presiden buat ikut perang?”

Juna mendengus kecil lalu memukul bahu Haidar, tidak terlalu keras namun mampu membuat sang empu sedikit meringis.

“Mana ada presiden ngasih gue perintah kek gitu, dia kenal gue aja kagak” Haidar tertawa kecil sambil membuka bungkus permen.

“Mau?” Tawar Haidar lalu Juna pun mengambil sebungkus permen susu yang Haidar tawarkan tadi.

“Tumben bolos gini, biasanya rajin”

“Lagi ga mood”

“Kaya cewe aja segala ga mood” Juna menatap sinis Haidar sedangkan yang ditatap sedang tertawa.

“Mending lo balik ke kelas aja deh”

“Mending lo makan tu permen deh” Juna hanya diam, tidak menanggapi ocehan Haidar. Ia memilih untuk membuka bungkus permen itu lalu ia makan, sekarang rasa manis terasa di lidahnya.

“Kaget ga sih, si rajen pacaran sama ella” Celetuk Haidar dan Juna hanya diam.

Keheningan melanda mereka berdua. Angin semakin berhembus, menghantarkan rasa dingin pada dua pemuda itu.

“Terlalu cepat...” gumam Juna dan Haidar mendengar gumaman itu.

“Gue ga yakin hubungan mereka berdua bakal awet” ucap Haidar dengan pelan.

“Jangan ngomong kek gitu, dar. Nanti kalo beneran kejadian lo jadi kaget terus berkhayal buat jadi peramal” Haidar terkekeh mendengar penuturan sahabat manisnya.

“Ella sepupu lo? Beneran sepupu?” Jun mengangguk pelan, permen yang ada didalam mulutnya sudah berubah menjadi kecil.

“Gue jarang liat lo berdua ngobrol” Juna hanya tersenyum tipis, matanya menatap kosong langit biru itu sedangkan tangannya meremat bungkus permen.

“Wajib buat sesama sepupu saling ngobrol?” Haidar sedikit tersentak karena pertanyaan tiba-tiba yang Juna lontarkan, matanya menatap wajah sisi kanan Juna yang sedang mendongak untuk melihat langit.

“Sesama saudar itu harus saling ngobrol jun, biar hubungannya makin erat” Respon Juna hanya terkekeh, membuat haidar menatap bingung sahabatnya itu.

“Hubungan aku sama dia erat kok... kaya babu sama majikannya” ucap Juna tanpa sadar lalu Juna pun menutup mulutnya tiba-tiba. Haidar tersenyum kecil saat melihat tingkah pemuda manis di sebelahnya itu.

“Berat ya tiap hari kalo ngobrol pake gue-lo? Gapapa jun, disini cuman ada kita berdua. Mau pake aku-kamu pun ga masalah” telapak tangan Juna dengan perlahan turun.

“Kenapa ga pake aku-kamu aja sih? Toh, gue sama nandra ga masalah kalo lo pake aku-kamu” Juna menatap Haidar lalu kembali menatap kearah depannya.

“Ada Rajen, dar. Dia pasti jijik kalo aku pake aku-kamu. Aku ga normal ditambah ngomong aku-kamu gini nambah bikin jijik kan?” Haidar menatap sahabatnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Aku udah nyoba biasain diri, pake gue-lo. Tapi gabisa, rasanya kaya... beda” Pandangan Juna kini terlihat kosong namun pikirannya penuh dengan banyak hal.

“Semua yang lo lakuin sekarang, cuman takut pandangan Rajen jadi jijik ke diri lo? Serius, jun? Cuman karena Rajen lo nahan diri buat ga jadi diri sendiri?”

Juna terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan, “Engga, bukan karena Rajen doang. Tapi karena tuntutan lingkungan, coba dar kamu bayangin. Hidup di pemukiman rumah yang menjunjung moral dengan tinggi, mencari ilmu bersama orang-orang yang menganggap lemah pengguna gaya bicara aku-kamu, dan di tuntut untuk menjadi anak laki-laki yang kuat oleh keluarga... siapa yang berani ngambil resiko buat menunjukkan diri secara terang-terangan kalo dirinya berbeda dari yang lain?” Haidar hanya diam, Juna pun kini tengah terdiam sambil mengatur nafasnya agar menjadi normal.

“Maaf” gumam Haidar.

“Bukan salah kamu, jadi gausah minta maaf” Jawab Juna sambil menepuk pundak sahabat nya.

“Jun—”

“Haidar” Ucapan Haidar di putus oleh Juna yang kini sedang menatap matanya dengan serius.

“Gapapa, aku udah terbiasa sama semuanya. Jangan bikin diri kamu bingung buat cari cara untuk ngehibur aku atau apapun, aku bisa ngatasin semuanya sendiri” Juna berucap dengan tegas dan lembut, matanya yang tadi menatap haidar dengan serius mulai melunak dengan pandangan menenangkan, senyum manis Juna pun terbit untuk menyakinkan sahabatnya itu.

“Bentar lagi bell jam kedua, yuk cabut ke kelas” Juna berdiri sambil menepuk celananya kemudian mengulurkan tangannya kearah Haidar yang masih menatap wajah Juna.

“Sampai kapan mau natap wajah gue?” Gaya bicara Juna yang berubah itu membuat Haidar tersentak lalu mengangguk. Haidar menerima uluran tangan Juna lalu berdiri dan membersihkan celananya.

“Jam kedua kan diajar sama... ANJIR DAR! PAK DONI NGAJAR JAM KEDUA!” Seru Juna lalu menarik haidar kemudian berlari menuju kelasnya.

Haida yang di tarik oleh Juna hanya menatap punggung sahabatnya, punggung yang menahan banyak beban, punggung sempit yang ternyata sangat kokoh untuk menahan beban yang berat. Bahu kecil yang suka Haidar ejek sebagai candaan ternyata mampu menjadi tegak untuk menghadapi berbagai macam rintangan hidup. Haidar tersenyum kecil lalu mulai berlari, sekarang keadaanya Juna yang ditarik oleh Haidar.

Jun, gue bakal terus nemenin lo!