Terjebak.
Jam pelajaran terakhir sudah selesai, anak-anak kelas Juna sudah keluar dari kelas untuk pulang ke rumah mereka masing-masing hanya tersisa dua murid lainnya.
“Juna tolong bawa buku ini ke perpustakaan, ya?”
Juna yang sedang membereskan bukunya itu langsung menoleh kearah sang guru, ia melihat sebentar tumpukan buku itu lalu mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih ya, juna. Agak cepat nanti ya? Soalnya bentar lagi perpustakaannya bakal di kunci”
“Siap bu!”
Sang guru pergi, Juna memakai tasnya lalu berjalan ke arah depan kelas untuk membawa tumpukan buku itu.
“Perlu gue bantu ga, jun?” Tanya Jia dan Juna pun menggeleng pelan sambil tersenyum.
“Makasih tapi gausah, mending lo pulang aja. Udah mau sore banget” Jia menatap Juna sebentar lalu mengangguk.
“Duluan ya?” Jia pun berjalan keluar kelas.
“Gue juga duluan ya, jun!” Haris berjalan keluar kelasnya meninggalkan Juna seorang diri. Setelah mengunci pintu kelasnya, Juna pun berjalan kearah perpustakaan sambil membawa tumpukan buku.
•••
Nah, sudah. Batin Juna sambil menatap deretan buku yang sudah ia bereskan itu.
Ceklek
Bunyi pintu yang seperti sedang di kunci membuat pandangan Juna beralih untuk menatap pintu perpustakaan yang ternyata sudah tertutup rapat itu.
Wajah manis itu kini menunjukkan raut panik namun masih mencoba untuk menenangkan diri sendiri. Knop pintu itu Juna gerakkan untuk dibuka namun nihil, pintu itu sudah terkunci.
Juna menoleh ke arah jendela yang ternyata matahari sudah hampir tenggelam. Suasana perpustakaan yang sunyi menambah kesan horor bagi Juna. Dengan perlahan tubuh ringkih itu sedikit bergetar karena ketakutan.
Satu fakta tentang Juna yang harus kalian ketahui, Arjuna sangat takut terkurung di ruangan yang luas. Walaupun ruangan itu terang, tetap saja Juna akan merasa takut.
Juna kembali menggerakkan knop pintu itu dengan brutal lalu menggedornya dengan keras.
“TOLONG! SIAPAPUN TOLONG! ADA ORANG DISINI!” Teriakan itu terus Juna serukan, rasa paniknya semakin menjadi-jadi karena tidak ada satu pun yang menyahuti teriakannya.
Nafas Juna semakin memburu, dadanya terasa sesak, kedua mata cantiknya itu kini berkaca-kaca, mulutnya sedikit terbuka untuk mengais oksigen.
“Tolong—” nafasnya menjadi sangat sesak, telapak tangannya kini terkepal lalu bergerak untuk memukul dadanya.
Deru nafas Juna kian tidak beraturan, pikirannya sudah kacau, beberapa bulir air mata sudah mengalir dengan perlahan.
Tas yang ada di punggungnya ia lepas lalu di dekap dengan erat, Juna memejamkan matanya untuk mencoba berpikir dengan tenang.
Lalu sebuah ide muncul, Juna membuka tasnya lalu mencoba mencari handphone nya. Kemudian yang ia cari pun akhirnya ia dapatkan.
Matanya mulai mengabur, kepalanya kini merasa pusing, telinganya pun sedikit berdenging. Juna asal mendial nomor, lalu sambungan itu pun di angkat oleh seseorang di sebrang sana.
“Halo?” Juna mencoba menahan rasa sesaknya agar bisa menjawab orang yang ia telpon.
“To–tolong.... hosh... Juna—” ucapan Juna tertahan karena nafasnya.
“Juna? Lo kenapa?!”
“Perpus—.... Juna...—Sekolah” Ucapan Juna terputus-putus membuat orang di sebrang sana mengernyit bingung.
“Perpustakaan... tolong...” nada bicara Juna semakin lirih, lalu matanya pun menggelap.
Benda persegi itu jatuh dan Juna pun sekarang bersandar di pintu dengan keadaan tak sadarkan diri.
Orang yang disebrang sana berteriak memanggil Juna namun tidak mendapat balasan apapun.
Detak jantung Juna kian melemah, cahaya matahari terbenam kian menghilang, perpustakaan pun sunyi. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Sementara itu di sisi lain.
Rajen menatap ponselnya dengan pandangan bingung, rasa panik tiba-tiba datang saat mendengar bunyi hentakan yang keras.
“JUNA! JUNA JAWAB!” Teriak Rajen dan tidak mendapat balasan apapun dari sambungan telepon tersebut.
“Juna.. lo kenapa?” Rajen menatap ponselnya sambil berpikir apa maksud dari Juna.
Perpustakaan sekolah... juna... tolong... Setelah paham maksudnya Rajen langsung berdiri lalu mengambil jaketnya.
Ia bergegas keluar rumahnya, mengemudikan motor dengan kecepatan diatas rata-rata untuk menolong sahabatnya.
Sepuluh menit Rajen mengemudi seperti orang kesetanan menuju sekolahnya, setelah memarkirkan motornya ia pun berlari menuju perpustakaan. Saat sedang berlari ia tak sengaja bertemu dengan salah satu satpam.
“Pak Jaki!” Seru Rajen dan satpam yang sedang berjalan itu langsung menghampirinya.
“Kena—”
“Pak, kunci perpustakaan ada di bapak kan?” Sang satpam mengangguk.
“Ayo pak ikut saya! Ada yang ke kurung di perpus!” Satpam itu terkejut lalu ikut berlari menuju perpustakaan.
Dug! Dug! Dug!
Rajen memukul pintu itu dengan keras, “JUNA LO ADA DIDALEM?!” Teriakannya tidak mendapatkan jawaban.
“Pak, bisa dibuka ga?” Rajen menatap satpam yang sedang berusaha membuka pintu perpustakaan itu.
“Sebentar”
Klik!
Pintu itu berhasil dibuka, dengan pelan Rajen mendorong pintu bagian kiri lalu masuk ke dalam perpustakaan dengan tergesa. Matanya menatap sekitar perpustakaan tersebut lalu menjadi membulat saat melihat Juna yang sedang bersandar di pintu bagian kanan dengan kondisi tidak sadarkan diri.
“Juna, bangun” pipi gembil Juna di tepuk dengan lembut oleh Rajen namun tidak mendapatkan respon apapun.
“Dibawa aja ke klinik sebelah sekolah, mas” Rajen mengangguk lalu mengambil handphone milik Juna lalu di masukkin ke dalam tas yang Juna dekap. Kemudian tas itu Rajen pakai di punggungnya dan menggendong Juna bridal style.
“Saya titip motor sebentar ya, pak” Sang satpam mengangguk lalu Rajen pun sedikit berlari menuju klinik yang berada di sebelah sekolahnya.
Juna, tolong tahan rasa sakitnya sebentar.
•••
“Juna gimana, dok?” Tanya Rajen saat sang dokter telah selesai memeriksa Juna.
“Dia teman kamu?” Tanya sang dokter sambil menuliskan resep obat.
“Sahabat saya” jawab Rajen dengan tegas dan sang dokter hanya tersenyum tipis.
“Dia dalam kondisi kurang baik, tubuhnya kurang fit juga sepertinya traumanya kambuh” Rajen mengernyit saat mendengar kata Trauma.
“Ini resep vitamin untuk sahabat kamu, nanti tebus di bagian farmasi deket resepsionis ya” Rajen menerima lembar kertas itu sambil mengangguk.
“Kira-kira dia sadar nya kapan, dok?” Tanya Rajen sambil menatap Juna yang tengah terbaring di ranjang.
“Saya habis menyuntikan dia vitamin, mungkin sekitar sepuluh menit lagi ia sadar” Rajen mengangguk paham.
“Kamu beneran sahabat dia?” Tanya sang dokter tiba-tiba dan Rajen pun menatap sang dokter dengan bingung.
“Iya, dok” sang dokter mengangguk.
“Tolong jaga sahabatmu dengan baik, dia itu sangat rapuh juga lembut. Berbeda dari tampak luarnya yang keliatan garang” Ucap sang dokter yang dimana nada ucapannya kian memelan, Rajen kini sangat bingung. Tidak tahu respon seperti apa yang harus ia lontarkan.
“Kamu tebus obatnya dulu saja, saya akan menemani dia” Rajen menatap sang dokter sebentar, lalu beralih untuk menatap sahabatnya.
“Saya pamit sebentar” Rajen beranjak dari duduknya lalu keluar dari ruangan itu.
Sang dokter yang tadi sedang duduk pun beranjak untuk berjalan kearah pasiennya.
“Juna, ayo bangun” ucap dokter itu dengan lembut sambil mengelus surai Juna.
“Eungh...” Juna sedikit menggeliat pelan lalu mata kelamnya pun terbuka dengan perlahan.
“Dokter brian?” Ucap Juna dengan pelan sambil menatap dokter yang tengah tersenyum sambil mengelus kepalanya dengan lembut.
“Udah ngerasa baik?” Juna mencoba untuk duduk dan langsung dibantu oleh dokter tersebut.
“Udah, dok. Tapi... kenapa aku ada disini?” Juna menatap sang dokter.
Belum sempat sang dokter menjawab, pintu ruangan itu dibuka oleh Rajen.
“Kok ada Rajen?” Bingung Juna.
“Gue yang nolongin lo” jawab Rajen dan Juna pun langsung mengangguk kaku.
“Maaf ngerepotin” ucap Juna sambil menunduk.
“Sudah, hari mulai gelap. Lebih baik kalian pulang, takutnya orang tua kalian jadi khawatir karena pulang larut” Juna menatap sang dokter dan yang ditatap hanya melemparkan senyum lembutnya.
Juna menghela nafasnya pelan lalu mencoba untuk turun dari ranjang tersebut, Rajen pun dengan reflek nya langsung membantu Juna.
“Kami pamit dulu, dok. Terimakasih ya” Sang dokter tersenyum lalu mengangguk.
“Hati-hati di jalan, tolong jaga Juna ya Jen” Rajen mengangguk lalu kedua pemuda itu pun keluar dari ruangan tersebut.
Juna, semoga kejadian ini tidak terulang lagi.
•••
“Makasih, jen. Maaf ngerepotin, besok uang lo gue ganti”
“Gausah juga gapapa”
“Eh? Engga-engga! Gue nanti ngerasa bersalah kalo ga ganti duit lo” Rajen tanpa sadar pun tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya yang entah kenapa menjadi sangat menggemaskan.
“Yaudah, besok traktir gue di dua jam istirahat” Juna mengangguk setuju.
“Oke, sekali lagi makasih ya”
“Sama-sama, juna. Gue balik dulu deh ya? Jangan lupa obatnya diminum tapi sebelum itu lo harus makan dulu” Rajen tanpa sadar menunjukkan rasa khawatirnya.
“Iya-iya! Hati-hati di jalan ya, jen!” Rajen mengangguk lalu pergi meninggalkan Juna sendiri di depan rumah Juna.
Semoga orang rumah gaada yang marah.