Keinginan.

Juna kini sedang melamun, setelah ia menangis beberapa menit sambil di peluk oleh Nandra.

“Juna?”

Tepukan pada bahu juga suara dari arah samping membuat Juna menoleh pelan, matanya masih menyiratkan kesenduan yang mendalam. Jejak air mata pun terlihat dengan jelas di pipi pemuda manis itu.

Astaga, Nandra tidak kuat melihat kondisi Juna yang jauh dari kata baik-baik saja itu.

“Mau beli minum dulu?”

Gelengan pelan Nandra dapatkan sebagai jawaban, ia menghela nafas dalam lalu mengusap rambut Juna dengan lembut.

“Mau ke rumah Rajen terus nonjok muka dia?” Juna menatap mata Nandra sejenak lalu menggeleng lagi.

“Jun, terus lo mau apa? Jangan diem kaya gini, gue ga sanggup liatnya” Ujar Nandra dengan frustasi.

“Mau nya apa?” Gumam Juna sembari menatap kosong lapangan luas yang ada di depannya.

“Mau hilang” lanjut nya dengan suara pelan dan tentu saja itu semua di dengar oleh Nandra.

Nandra menatap Juna dengan pandangan tidak percaya. Sungguh, Nandra tidak menyangka jika Juna akan berkata seperti itu.

“Jangan” Nandra berucap sambil menundukkan kepalanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi Juna.

Air matanya sedari tadi sudah berkumpul dan siap untuk jatuh, membuat sebuah aliran sungai kecil di pipi nya.

Juna tersenyum tipis melihat Nandra yang tengah menunduk, lalu tangan nya bergerak untuk mengusap lembut punggung Nandra.

“Maaf ya, na. Kamu jadi na—”

“ASTAGA, DEMI TUHAN JUNA! BERHENTI MINTA MAAF! GUE GA SANGGUP DENGER KATA ITU TERUS TERLONTAR DARI BIBIR LO!”

Nandra menatap marah ke arah Juna, matanya sudah mengeluarkan cairan bening yang sudah di tahan sedari tadi. Nafasnya memburu, tangan nya terkepal.

Juna yang tadi terkejut dengan bentakan Nandra kini mencoba melembutkan pandangan matanya, senyum tipis nya kini terukir di bibir merah muda itu.

“Kalo bukan kata maaf lalu kata apa yang pantas untuk terlontar di bibir aku ini, na?”

Nandra menatap mata Juna lalu dengan perlahan amarahnya mereda.

“Na, dari dulu— bibir ini selalu di perintah untuk berkata maaf. Mau perbuatan aku salah atau bener, aku di haruskan untuk minta maaf terlebih dahulu”

Kepalan tangan Nandra terlepas, “Juna— gue... maaf, harusnya gue ga bentak lo”

Puk!

Kepala dengan surai hitam kelam itu Juna tepuk dengan pelan.

“Gapapa. aniway, makasih udah nemenin aku ya? Maaf, aku terus ngerepotin kamu beberapa hari ini”

Nandra menggeleng pelan, “Itu gunanya sahabat kan? Saling berbagi rasa suka atau duka, saling menyemangati”

Juna tersenyum kecil lalu mengangguk pelan, kemudian ia berdiri dari duduknya. Nandra menatap bingung punggung Juna yang ada di depannya.

Langit sore yang hampir gelap itu menyapa penglihatan Juna, angin yang mulai berhembus dengan kencang pun menerpa surai juga bajunya. Di tutupnya sejenak jelaga indah itu sembari menghirup oksigen dalam-dalam.

Setelah puas, Juna pun membuka matanya kembali lalu menatap tajam matahari yang sudah tenggelam itu.

“TUHAN, TADI NANDRA BERTANYA. APA MAU, JUNA?

Teriakan Juna tiba-tiba membuat Nandra membulatkan matanya, ia menatap punggung sempit yang berdiri tegak itu.

“JUNA JAWAB, AKU MAU MENGHILANG. TUHAN, JUNA MAU MENGHILANG DARI HADAPAN MEREKA SECEPATNYA SETELAH URUSAN JUNA DENGAN MEREKA SELESAI!”

Nandra menatap Juna dengan pandangan tidak percaya, ia dengan cepat berdiri di sebelah Juna lalu bersiap untuk berteriak.

“TUHAN, SEBELUM ENGKAU MENGABULKAN KEINGINAN JUNA. TOLONG BERIKAN DIA KEBAHAGIAAN YANG SELAMA INI TERTUNDA! BUAT DIA TERSENYUM DENGAN LEBAR TANPA ADANYA BEBAN!”

Juna menatap Nandra yang baru saja berteriak sangat kencang, ia tidak percaya jika Nandra akan berujar seperti itu.

Sungguh, Juna terkejut.

“Tolong, kabulkan keinginan kami”

Nandra kembali menundukkan kepalanya, Juna yang melihat bahu Nandra mulai bergetar pun langsung memeluk pemuda itu dengan erat.

“Ssstt, nana...” Juna mengusap punggung Nandra dengan lembut dan yang di peluk semakin menangis.

“Ju—juna, lo harusnya ga ngalamin itu semua— lo ga pantes buat ngerasain rasa sakit itu— JUNAAAA” Nandra berujar dengan susah payah karena tangis nya tidak mau berhenti.

Juna tersenyum lalu menggeleng pelan, “Na, jangan nangis keras-keras. Aku malu dengernya”

Nandra yang mendengar itu pun tertawa walaupun harus tersendat karena tangis nya.

“Nandra”

Pelukan itu terlepas, mata keduanya saling menatap. Surai keduanya bergerak pelan mengikuti arah angin.

“Makasih”

“AAAAA JUNAAAA, SINI GUE PELUK”

Senyum cerah nya dengan perlahan kembali.