Teman.

Juna menatap Rajen dengan tatapan kesal, jengah bahkan tidak habis pikir. Kalian bayangkan saja, dia bilang akan langsung mengantarnya pulang tapi malah di bawa melimpir ke cafè yang tak jauh dari rumahnya.

“Jangan galak dong tatapannya” ujar Rajen sembari meletakkan minum di meja.

“Males ah, mau balik aja gue” Juna pun beranjak dari duduknya tapi dengan cepat Rajen menahan tangan Juna.

“Lepas” ujar Juna dengan nada malas dan Rajen menggeleng keras.

Juna menarik nafas lalu menghembuskan nafasnya dengan berat, “gue bilang lepas, jen”

“Temenin sebentar, ya?” Juna memutar bola matanya malas lalu duduk kembali di tempat awalnya. Seketika senyum Rajen pun muncul.

“Mau ngomong apa? Kalo ga penting, gue pulang”

“Jangan dong”

“Jen”

“Hm?”

Juna mendengus kesal lalu meminum salah satu minuman yang dibawa oleh Rajen tadi.

“Aku mau ngajak ngobrol bentar”

“Tadi di sekolah kita ngapain? Main gundu? Atau nebang pohon?” Juna merespon dengan kesal.

Rajen tersenyum tipis lalu mengeluarkan sesuatu dari tas nya, “aku tadi nemu kertas ini di laci bawah meja kamu” Juna melirik kertas itu kemudian mengambilnya dari tangan Rajen.

Gue bilang buat jauhin Rajen, Arjuna Rengga.

Itu kalimat yang tertulis di kertas tersebut, seketika tubuh Juna pun menegang. Ia tahu persis tulisan siapa itu.

“Lo baca?” Tanya Juna masih dengan mata yang menatap kertas itu, Rajen menatap Juna dengan pandangan bersalah.

“Maaf—”

“Gue nanya, lo baca apa engga bukan minta lo buat bilang maaf” Juna pun akhirnya menatap Rajen dengan datar.

“Iya, aku baca”

Helaan nafas terdengar dari Juna, Rajen masih menatap dirinya dengan pandangan itu dan jujur saja ia tidak suka.

“Jangan natap gue kaya gitu”

“Juna,”

Rajen memanggil namanya dengan lembut, jujur saja saat berteman dengan Rajen ia jarang sekali mendengar nada seperti itu. Namun siapa sangka, akhir-akhir ini pemuda yang memiliki senyum menawan itu selalu berbicara dengannya memakai nada yang lembut.

“Kita ini teman kan? Teman dekat, iya kan?”

Juna diam, iya, jen. Kita teman dan tidak akan lebih dari itu.

“Jun, dengan sesama teman apalagi yang sudah dekat seperti hubungan kita sekarang. Harusnya kamu bisa lebih terbuka ke aku”

“Aku ga minta kamu buat selalu ceritain masalah yang kamu alami, tapi aku minta ke kamu buat bisa lebih percaya sama aku. Aku mau kamu percaya sama aku, juna. Percaya ke teman dekat kamu ini, jun”

Bisakah dirinya menghilang sekarang juga?

“Jun, aku selalu percaya ke kamu buat cerita sedikit tentang masalah yang aku alami. Tapi kamu malah menutup diri, aku jadi ragu kalo kamu nganggep aku temen apa engga”

“Gue temen lo, jen. Temen deket lo, jangan raguin itu cuman karena gue ga pernah ceritain masalah gue ke lo”

Akhirnya, Juna pun bersuara.

“Gue emang ga terlalu biasa buat menceritakan masalah yang gue lagi hadepin. Jen, gue cuman mau cerita sama lo tentang hal yang bikin bahagia bukan sebaliknya”

Rajen diam, mencerna semua ucapan yang baru saja Juna ucapkan.

“Jujur, jen. Gue agak sakit hati karena lo meragukan pertemanan kita tadi, kita emang deket dan seharusnya lo tau kan tabiat apa yang gue punya?”

“Sekarang, gue jadi ragu kalo lo sebenernya tuh nganggep gue temen deket atau cuman sekedar temen curhat lo doang?”

Tubuh Rajen menegang seketika.

“Karena gue ngerasa akhir-akhir ini, gue cuman jadi pendengar keluh kesah lo tentang kelakuan sepupu gue”

“Jen, bahkan lo ga pernah untuk inisiatif nanya duluan Jun, ada masalah apa?. Lo ga pernah nanya kaya gitu ke gue, Rajen”

Rajen menatap Juna dengan pandangan rasa bersalah, ketika matanya melihat wajah Juna yang sedang menahan tangis juga amarah, ia jadi makin merasa bersalah. Dadanya kini terasa sangat sesak.

“Jun—”

“Iya, gapapa. Gue ga marah, jen. Jangan terlalu di pikirin. Dah, ya? gue pulang duluan”

Setelah berujar seperti itu, Juna pun berdiri dari duduknya lalu berjalan meninggalkan cafè tersebut. Juga meninggalkan seorang pemuda yang tengah menundukkan kepala yang sekarang penuh akan perasaan menyesal.

I'm sorry. Really.

kau sakiti hati ini, tuk kesekian kalinya.