Bantu.
Nandra berlari menuju ruangan seseorang yang beberapa hari ini membuatnya penasaran akan sesuatu.
Ruang pemeriksaan
Begitulah isi tulisan papan yang bertengger di atas pintu yang ada di depan Nandra, pemuda itu mencoba menstabilkan nafasnya sejenak.
Setelah dirasa detak jantung nya mulai berangsur normal, dengan gerakan pelan ia membuka knop pintu tersebut.
“Juna, sebenarnya apa yang membuat diri kamu tidak semangat berjuang untuk sembuh?”
Suara itu menghentikan pergerakan Nandra, dirinya seakan terpaku. Niatnya untuk masuk seketika hilang.
Hening melanda, tidak ada satupun suara yang terdengar. Hingga beberapa detik kemudian suara yang familiar terdengar di telinga Nandra.
“keinginan aku, dokter brian. Dengan semua penyakit ini, keinginan aku dan orang sekitar aku bakal terwujud”
Deg!
Kaki Nandra rasanya menjadi lemas saat mendengar jawaban dari sahabat mungil nya, nada bicara yang mengalun dengan pelan cukup membuat dada Nandra merasakan sakit.
Sakit yang jarang ia rasakan.
“Keinginan? Maksud kamu apa, Juna?”
“Dokter... aku punya keinginan untuk menghilang dari hadapan semua orang”
BRAK!
“NANA?!”
“Juna... lo gaboleh pergi”
Bunyi pintu yang dibuka dengan kasar juga suara lirih dengan sedikit isakan itu berasal dari Nandra.
“Na—”
“Dokter brian, tolong bantu Juna buat sembuh. Tolong buat dia lupa sama keinginan dia tadi, saya mohon” Nandra jatuh terduduk dihadapan Juna yang saat ini tengah berdiri kaku.
“Nana jangan kaya gini” Pelan-pelan Juna membantu Nandra untuk bangun namun yang ia dapati hanya tepisan yang kasar.
Dokter Brian menatap simpati kedua pemuda itu.
“Juna, hari ini cukup sampai disini ya?”
Juna menoleh kearah dokter Brian dengan pandangan tidak percaya, “Dok—”
“Saran yang akan saya berikan pada kamu hari ini adalah, berusahalah untuk lebih terbuka dengan perasaan kamu sendiri. Jangan di pendam lagi, ya?” Dokter Brian berdiri dari duduknya lalu berjalan kearah dua pemuda itu.
Ia mengusap bahu sempit Juna dengan lembut sambil tersenyum tipis lalu bergerak untuk membantu Nandra berdiri.
“Bantu Juna untuk sembuh juga, ya?” Bisik Dokter muda itu saat membantu Nandra berdiri.
Nandra menatap dokter Brian kemudian mengangguk semangat, “Saya usahakan”
Dokter Brian tersenyum kemudian menepuk bahu kiri Nandra, “Juna, pulang ya?”
“Tapi dok—”
“Kamu juga, Nandra...? Kamu pasti bolos sekolah kan? Nah, sekarang mending balik ke sekolah”
“Baik, dok. Terimakasih banyak ya, kami pamit dulu”
“Na—”
“Ayo, jun. Aku anter kamu pulang”
Juna menghela nafas dalam, menatap dua orang yang sedang melempar senyum kearahnya. Kemudian mengangguk kecil.
“Kami pamit dulu, dok”
Juna sedikit membungkukkan tubuhnya kearah dokter Brian, sang dokter pun hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Jangan lupa obat nya diminum, juna!”
“Kalo aku ga lupa, dok!”
“Saya yang bakal ngingetin dia, dok!”
“Ish, nyebelin”
“Iya. Sama-sama, Juna”
Juna mendelik kesal kearah Nandra yang kini tengah terkekeh kecil sambil merangkul pundaknya.
Dokter Brian menatap punggung dua pemuda itu yang semakin menjauh, seutas senyum tipis pun terbit di bibirnya.
Setidaknya dia memiliki teman yang benar-benar peduli dengannya.