Pertanyaan.

Juna membukakan gerbang rumahnya dan langsung nampaklah Rajen yang tengah duduk di atas motornya sembari tersenyum lebar, melihat hal itu pun sontak Juna membalas senyuman nya.

“Maaf” ujar Rajen dan Juna pun mengangguk maklum.

Jam menunjukkan pukul 2 siang lebih dan itu artinya langit sedang terasa sangat terik karena matahari. “harus banget cerita sekarang?” Tanya Juna sembari mengibaskan tangan nya kearah wajahnya.

“Maaf, ya. Aku gabisa nunda ceritanya” Ujar Rajen dan Juna pun menghela nafas lalu mengangguk.

“Ke taman biasa aja kalau begitu” Rajen tersenyum kemudian mengangguk setuju.

Juna menaiki motor Rajen lalu motor itu pun bergerak menuju tempat yang Juna sebutkan tadi.


“Wah, gila gila gila. Kenapa panas banget sih hari ini?!” Rajen terkekeh kecil melihat Juna yang tengah menggerutu.

“Lagi ga mood kali matahari nya, jadi panas banget” Juna menatap Rajen kemudian menghela nafas lelah.

“Ga lucu” Sontak tawa Rajen pun keluar mendengar ucapan Juna tersebut.

Gajelas ni anak kok bisa gue suka sama cowo modelan kek dia itulah isi batin Juna sembari melihat Rajen yang tengah tertawa.

“Masih lama ga ketawa nya?” Rajen meredakan tawa nya sejenak lalu berdehem singkat.

“Udah”

“Bagus, lanjut ya. Mau bahas apa sih?”

Rajen diam sejenak sembari menatap mata Juna dan tentu saja hal itu membuat Juna salah tingkah sendiri tapi pemuda manis itu pun mencoba menutupi nya.

“Aku pengen putus sama Ella”

Juna seketika mematung mendengar deretan kalimat yang baru saja Rajen lontarkan. Otaknya kini tengah memproses apa yang baru saja ia dengar tadi.

“H-hah?”

Rajen mengalihkan pandangannya kearah deretan pohon yang ada di depannya, ia bergumam pelan. Entah apa yang ia gumamkan karena Juna tengah bertengkar dengan pikirannya.

“Ella berubah”

Juna memilih diam, membiarkan Rajen melontarkan kalimat tentang sepupu nya.

“Kenapa dia bisa berubah ya, jun?”

“Kenapa dia selalu marahin aku setiap abis pergi sama kamu?”

“Kok dia keliatan benci banget ya kalo kita jalan berdua?”

“Kenapa dia kaya gitu? Padahal dia tau kita berdua kan sahabat”

Deg

Rasanya jantung Juna seperti berhenti berdetak sejenak hingga membuatnya ingin menepuk dada kiri nya dengan kencang, tapi ia memilih diam.

Lagi-lagi dan lagi, setiap Rajen bilang ingin bercerita kepadanya selalu ini yang akan ia bahas. Tidak tahu kah dia jika Juna akan merasakan sesak saat mendengar kalimat itu?

“Aku sampe jengah kalau dia udah marah-marah gajelas”

“Kalo kita lagi debat, kenapa dia selalu bawa-bawa kamu?”

“Itu pertanyaan yang selalu terputar di otak aku, jun”

“Padahal dulu Ella ga kaya yang sekarang....” gumam Rajen.

Juna masih setia untuk diam, belum berniat untuk merespon celotehan Rajen. Saat ini dada nya tengah merasakan sesak yang jarang sekali ia rasakan seumur hidupnya, sesaknya ini berbeda dengan sesak yang ia alami saat terkurung di perpustakaan. Sesak ini terasa sama dengan sesak saat Ella menghina nya di rooftop waktu itu.

“Jun, emang salah ya kalau deket sama sahabat di saat kita udah punya pacar?”

Juna menghela nafas pelan sambil memejamkan matanya, kini ia tengah bingung akan respon apa yang harus ia berikan? Desahan frustasi pun dapat Rajen dengar.

Rajen yang melihat wajah Juna yang tengah menyiratkan rasa lelah langsung merasa tak enak, harusnya ia tidak memaksa Juna mendengar itu semua karena mau bagaimana pun ia tengah berhadapan dengan sepupu dari kekasihnya. Tapi, tidak bisakah Rajen egois sebentar untuk mengeluh di depan Juna? Bukan Juna sepupu Ella melainkan Juna sahabatnya.

“Bener mau putus?”

Ucapan Juna yang tiba-tiba membuat Rajen mematung seketika. Juna melirik kearah Rajen yang hanya diam kemudian menghela nafas lagi.

“Jen, kalau lagi pusing kaya gini jangan langsung buat keputusan. Nanti yang ada lo nyesel lagi, pusing lagi”

“Tapi... aku capek, jun”

“Terus? Mau langsung milih buat mutusin Ella? Kalau gitu, putusin sekarang. Telpon Ella, bilang la, aku mau putus dah tuh lo ga capek lagi”

Rajen menatap Juna dengan pandangan tidak percaya, tangan nya mengepal diatas pahanya dan itu semua di lihat oleh Juna.

“Apa? Kesel?”

“Jun, harus—”

“Harusnya gimana? Katanya tadi mau putus? Yaudah, ikutin kata gue tadi”

“Tapi—”

“Gaada tapi, lo tadi udah yakin kan pas bilang mau mutusin Ella? Kenapa? Sekarang ragu?”

Jujur, Juna rasanya ingin menangis sekarang juga. Panasnya terik matahari yang membuatnya lemas juga hawa panas diantara dirinya dengan Rajen juga menambah rasa lemas itu.

Rajen mengeraskan rahangnya, kepalan di tangannya makin mengerat hingga akhirnya—

“JUNA!”

Ya, Rajen membentak Juna untuk pertama kalinya. Dan Juna yang masih terkejut pun dengan sekuat tenaga membalas teriakan Rajen.

“APA?”

Rajen menatap Juna dengan pandangan terkejut, sedangkan Juna tengah mengatur nafasnya. Dada nya bergerak naik turun untuk mengais oksigen sebanyak mungkin, mata Juna sedikit berkaca-kaca dan tentu saja ia coba untuk mengendalikan dirinya agar tidak menangis.

Rajen yang melihat Juna sedang kesulitan bernafas pun langsung tersadar akan apa yang baru saja ia lakukan, dengan tangan yang sedikit gemetar ia arahkan untuk memegang pundak Juna.

“Gausah” ujar Juna dengan datar sembari menepis pelan tangan Rajen tadi.

“Jun, maaf” ujar Rajen dengan pelan.

“Hm”

“Jangan ma—”

“Engga marah. Jen, lain kali kalo di hadapan Ella jangan kaya gini ya?”

Rajen menundukkan kepalanya lalu mengangguk pelan, “...iya”

Juna diam, ia sedang sibuk dengan handphone nya dan Rajen pun ikut diam. Sekarang suasana yang panas tadi menjadi hening.

“Jen”

Rajen mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat wajah sisi kanan Juna yang tengah menatap lurus kedepan.

“Capek itu wajar dalam sebuah hubungan”

“Lo boleh kok ngerasa jengah, muak, marah, kesel, sedih dan yang lain”

Juna menghela nafas sebentar.

“Tapi, jen. Lo ga boleh ngambil keputusan disaat lo lagi ngalamin hal itu semua, jangan pernah. Gue ingetin ya, jangan kaya gitu lagi jen”

Juna menoleh kearah Rajen lalu tersenyum tipis kearahnya, tentu saja yang di perlakukan seperti itu entah mengapa merasa nyaman juga... sedih?

“Keputusan yang diambil saat emosi lo lagi ga stabil bakal bikin penyesalan di akhir dan gue—”

Rajen menatap dalam jelaga milik Juna, saking terpukau nya dengan mata Juna ia sampai tidak menyadari jika sepasang iris itu tengah menahan tangis.

“—Gue gamau sahabat gue ini, ngerasain penyesalan yang kaya gitu” ujar Juna yang diakhiri dengan senyuman manis.

Tatapan keduanya terkunci seperti sedang menghantarkan pesan dari hati mereka melalu mata itu, angin sore pun mulai berhembus. Matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi, rasanya suasana seperti ini sangat damai.

“Ju—”

“RAJEN!”

Teriakan khas dari seorang perempuan membuat Rajen lebih dahulu memutuskan pandangannya dengan Juna, melihat sosok sang kekasih hati membuat senyum Rajen terbit begitu saja. Ia beranjak dari duduk nya lalu melebarkan tangannya untuk menyambut sang pujaan hati ke dalam pelukannya.

“Kangen” ujar sang kekasih dan Rajen pun terkekeh sembari mengeratkan pelukannya.

“Aku juga” ucap Rajen.

“Kamu baru pulang main sama temen kamu kan? Emang ga capek lari-lari kaya tadi?”

“Engga!” Rajen tersenyum lalu merapihkan anak rambut yang menutupi wajah manis sang kekasih.

Kedua pasangan itu sudah asik dengan dunia nya tanpa menyadari ada satu orang yang duduk di kursi belakang mereka, menatap mereka dengan pandangan sendu.

Inilah yang dimaksud Juna di awal, walaupun Rajen sering mengeluh padanya tentang perubahan sikap Ella tapi pemuda itu terus saja memberikan afeksi yang sama. Tidak berubah, namun bertambah berani untuk memamerkan kemesraan nya di depan orang-orang.

Juna beranjak dari duduknya lalu berjalan pelan meninggalkan sahabat juga sepupunya itu.

Berjalan dengan pelan sembari menatap lurus jalanan dengan pandangan kosong, dalam hatinya ia bertanya—

mengapa dirinya selalu ada di tengah-tengah hubungan mereka berdua? Apakah Tuhan sedang menguji kesabaran juga ikhlas nya? Atau Tuhan memberikan karma karena dirinya memilih jalan yang menyimpang?

Juna berhenti melangkahkan kaki nya untuk melihat area taman bermain anak yang masih sepi, matanya memejam sejenak kemudian mengatur nafasnya agar menjadi tenang.

Ia buka kembali matanya kemudian melanjutkan berjalan menuju kearah rumahnya.

Tuhan, tolong maafkan Juna. Jika yang Juna rasakan sekarang adalah sebuah dosa, Juna mohon hilangkan sekarang juga. Juna sudah tidak sanggup dengan ini semua.

Aku tidak sekuat itu untuk menahan semuanya.