Aksararen

Galendra menatap pemuda manis yang berada di depan matanya dengan pandangan yang tidak percaya. Mulutnya tanpa sadar sedikit terbuka, matanya terasa sulit untuk berkedip dan jantungnya berpacu dengan tidak normal.

Astaga, apa-apaan ini?!

Alen?” Reggie melambaikan tangannya di depan wajah Galen dengan wajah yang kebingungan.

Hah?” Ujar Galen tanpa sadar dan langsung saja ia menggeleng kepalanya pelan untuk membuat kesadarannya kembali.

Kamu kenapa liatin segitunya? Baju nya jelek ya?” Reggie bertanya sembari memutar sedikit tubuhnya dan melihat pakaian yang ia pakai.

Mendengar hal itu sontak Galen langsung menggeleng ribut, “Engga, udah bagus kok. Cantik” Reggie langsung menatap Galen dengan sedikit terkejut.

Cantik?” Galen menganggukkan kepalanya sambil memegang kameranya itu.

Reggie seketika mematung, kedua pipinya langsung terasa sedikit panas dan perutnya terasa geli. “Apa sih” hanya kata itu yang sanggup Reggie ucapkan.

Melihat Reggie yang sedikit salah tingkah akan ucapannya, Galendra pun terkekeh pelan. Tangannya terangkat untuk mengusap surai Reggie sebentar sembari menatap sepasang kelam indah itu dengan lembut.

Kenapa sampe segininya, hm?” gumamnya.

Karena kamu mau belajar memotret dan aku bakal jadi model pertama kamu. Wajar aja kan kalo aku sampe pake baju ini?” Reggie mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman dan Galen pun hanya mampu terdiam.

Alen, aku ngelakuin ini semua dengan sukarela kok. Anggep aja, ini bayaran kamu dari aku karena udah bilang 'aku sayang kamu juga' waktu itu hehe

Sial, Reggie memang mampu membuat Galendra merasakan ribuan kupu-kupu yang terbang di perut. Geli namun terasa menyenangkan.

Galendra menatap tajam kearah meja dekat jendela yang terdapat dua orang laki-laki yang duduk saling berhadapan. Yang terlihat dominan nampak sekali sangat mencari perhatian dari yang manis dan hal itu sangat menjengkelkan untuk Galendra lihat.

Tungkainya berjalan menuju meja tersebut lalu—

Awas, itu kursi gue” ujarnya dengan suara yang tegas membuat dua orang tersebut menoleh.

Gue ga nemu nama lo tuh di kursi ini” ujar salah satunya.

Jangan cari gara-gara di tempat gue kerja.” lagi, Galendra berujar dengan tegas dan penuh penekanan.

Cih, lo yang pertama cari gara-gara” jawab sang empu berambut blonde. Galendra mengepalkan kedua tangannya hingga ia merasakan telapak tangan yang halus mencoba untuk melepaskan kepalan tangannya.

Matanya menoleh kearah si manis, “Re...” Reggie tersenyum tipis sembari menggeleng pelan seakan memberi pesan—

Gapapa, gausah di perpanjang

Galendra menghela nafasnya, tangannya bergerak untuk mengambil kotak bakal yang reggie bawa lalu menarik pemuda manis itu dengan lembut agar berdiri dari duduknya.

Kamu pindah ke meja itu ya? Nanti aku nyusul” bisik Galendra dan Reggie pun hanya mengangguk lalu berjalan menuju meja yang Galen maksud.

Kenapa lo malah nyuruh dia kesana?! Gue belum selesai ngobrol sama dia!” Galendra menatap tajam pemuda yang satu lagi.

Stop, Haje. Jangan sampe karena ini, gue nganggep lo lebih dari musuh di arena.” Haje tersenyum licik sambil menatap Galendra dengan remeh.

Kenapa? Gue liat-liat lo posesif banget sama Reggie

Apa urusannya sama lo?

Haje terkekeh pelan, “Jelas urusan gue, kan gue mau dapetin Reggie

Lo ga pantes buat dia, brengsek!

Kok lo bilang gitu? Gue tanya deh, emang lo siapa nya Reggie?

Galendra mengeraskan rahangnya, menatap nyalang Haje yang kini nampak santai duduk di kursinya.

Lo mau tau, gue siapanya Reggie?” Haje mengangguk lalu Galendra pun bergerak sedikit mendekat kearah pemuda bersurai blonde itu.

Dia punya gue dan selamanya akan begitu.

Lalu Galendra pun berjalan kearah Reggie yang sudah menyiapkan makan siang untuk pemuda itu, dia meninggalkan Haje yang terdiam karena kalimat yang diucapkan dengan penuh penekanan itu.

cw // angst

tok tok tok!

“Jeno, keluar. Kamu belum sarapan sedari tadi”

Ya, pelaku yang mengetuk pintu kamar Jeno adalah Renjun. Si malaikat manis itu terus mengetuk pintu kamar sang pemilik rumah karena sedari pagi, Jeno tidak keluar dari kamarnya. Dan itu sangat membuat Renjun khawatir.

Di tambah... ini hari terakhirnya.

Renjun menatap telapak tangannya yang hampir transparan, matanya yang selalu menyorotkan binar bahagia kini terlihat sangat sendu. Saking merasa sedihnya, sosok rubah dalam dirinya pun menampakkan diri untuk menenangkan Renjun.

Jangan terlalu sedih, itu tidak baik rubah itu berucap di pikiran Renjun.

Aku tau, tapi entah mengapa ini rasanya sangat menyedihkan jawab Renjun sembari menatap pintu kamar Jeno.

Jangan melewati batasmu, Renjun. Kau berbeda dengannya Renjun terdiam saat mendengar kalimat itu.

Ah, hampir saja ia lupa dengan batasnya.

Lalu, bagaimana dengan Jeno?

Tenang saja, dia akan keluar sebentar lagi Renjun menatap sosok rubah itu lalu mengangguk.

“Jeno, bongshik dan aku akan menunggu di ruang tamu” ujarnya lalu menggendong bongshik menuju ruang tamu.

Beberapa saat kemudian, Jeno keluar dengan penampilan yang jauh dari kata baik-baik saja. Berantakan dan kacau.

“Renjun...” suara purau itu membuat Renjun berhenti mengelus Bongshik yang ada di pangkuannya, ia menoleh dan terlihat lah Jeno.

“Jeno...” gumam Renjun sembari menatap Jeno dengan sendu.

Jeno berjalan pelan menuju kearah Renjun lalu duduk disebelahnya. Hening melingkupi keduanya untuk beberapa menit.

“Je—”

“Apa kau akan benar-benar pergi?” Bibir Renjun seketika bungkam saat mendengar partanyaan itu.

“Kau bisa lihat sendiri bagaimana keadaan ku sekarang” Jeno menatap tubuh Renjun dari bawah hingga atas.

Benar-benar memudar.

“Jika kamu melihat sosok rubah yang terbang di samping ku, itu tandanya sepuluh menit lagi aku akan benar-benar tak terlihat oleh mu” Jeno menatap sekitar Renjun dan sosok rubah itu belum terlihat di matanya.

Syukurlah.

“Ren, apa kau tidak bisa menetap selama seminggu lagi?” Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada putus asa membuat Renjun merasakan sesak di dadanya.

“Tidak bisa, jen” Jeno pun mengangguk paham.

“Jangan terlalu sedih... besok ibu mu akan pulang dan sebentar lagi kamu akan dipertemukan dengan jodohmu, juga jangan lupa kini kau mempunyai dua orang sahabat. Kau tidak akan sendiri lagi, Jeno... hidup mu akan lebih berwarna” Jeno meremat tangannya diatas paha, ia sedang menahan air matanya.

“Tapi semua itu akan terasa berbeda” lirih Jeno.

“Apa yang berbeda? Bukankah itu akan terasa sa—”

“KARENA KAMU TIDAK ADA LAGI DI SISI KU!” Ini pertama kalinya Renjun mendengar teriakan Jeno.

Menyeramkan.

“Maaf...” hingga kata itulah yang bisa Renjun ucapkan pada akhirnya.

Air mata Jeno dengan perlahan keluar, membuat kepalanya menunduk dan hal itu adalah pemandangan terburuk di mata Renjun.

“Jangan menunduk, Jeno”

“Kau membuatku sedih, Renjun. Bi—bisakah kau tetap disini? Sebagai pasangan hidupku? Tolong, Renjun. Aku tidak berbohong mengenai perasaan itu, aku benar-benar sudah mencintai dirimu”

“Maaf”

Lagi, kata itu keluar dari mulut Renjun. Jeno menatap Renjun sembari menangis, tangannya bergerak untuk menyentuh wajah Renjun namun—

“Ren... kenapa tangan ku menembus wa—”

Disana, matanya melihat sosok rubah itu. Tangan Jeno seketika bergetar.

“Jeno, apa kedatanganku hanya menambah beban di hatimu? Apakah aku menambah rasa sakit dalam hidupmu?” Tanya Renjun dengan pelan dan Jeno langsung memejamkan matanya.

Ia tidak kuat, sangat tidak kuat untuk menjawab. Namun, inilah hal terakhir yang harus dirinya lakukan.

“Tidak, Injun”

“Kau bisa jujur, Jeno”

Jeno mencoba untuk menampilkan senyum nya dihadapan Renjun, walaupun air mata terus keluar dari matanya.

“Renjun, malaikat ku. Aku tidak merasakan sakit dan bertambahnya beban dalam hidup juga hatiku karena kehadiranmu. Kau berhasil, Renjun. Kau berhasil membuat diriku merasakan kebahagiaan kembali, hatiku sudah sangat merasa tenang sekarang” ujarnya.

Renjun menatap Jeno, “Aku benar-benar berhasil?”

“Iya, kau bahkan berhasil membuat hati ku yang selalu kosong ini penuh dengan dirimu. Aku mencintaimu, Renjun”

Setetes air mata Renjun keluar.

“Apa kau juga merasakan hal itu?” Jeno berusaha untuk menyentuh wajah Renjun yang sudah hampir menghilang itu.

“Iya, Jeno. Aku juga mencintaimu”

Jeno dan Renjun saling menatap lalu tersenyum, dengan perlahan mereka menyatukan dahi keduanya. Memejamkan mata mereka untuk menenangkan perasaan yang seharusnya tidak ada.

“Ingat ya, Jeno. Pertahankan semuanya hingga akhir nanti, kejarlah semua hal yang membuatmu bahagia karena kamu pantas untuk merasakan kebahagiaan.” Ucap Renjun.

“Apa aku harus mengejarmu? Kau salah satu kebahagiaan ku, Renjun” Keduanya tertawa pelan, masih dengan saling menyatukan dahi mereka.

“Ingat selalu kata-kata ku ya, Jen. Juga, jaga bongshik dengan baik. Tenang saja, dia tidak akan membuat alergimu kambuh” Seakan mengerti maksud Renjun, Bongshik pun duduk di pangkuan Jeno.

“Apa aku akan kesepian lagi?” Tanya Jeno dengan pelan.

“Tidak akan, kau tidak akan merasa kesepian lagi”

Dahi keduanya terlepas, kini saling menatap satu sama lain. “Bisakah kau membawaku pergi bersamamu?” Renjun menggeleng.

“Jeno, tempat kita berbeda. Namun walaupun kita berbeda, aku akan selalu di samping mu. Kalau begitu, sampai jumpa tuan bermata sabit! Bahagia selalu ya!”

Ratusan kunang-kunang mulai menyerbu tubuh Renjun hingga sosok itu menghilang.

Iya, Renjun menghilang dari pandangan matanya. Meninggalkannya sendiri. Aura rumah yang hangat dan nyaman, Renjun tinggalkan sebagai hadiah terakhir untuk Jeno.

“Bongshik... bukankah dia malaikat yang aneh? Tiba-tiba datang dan disaat aku nyaman, ia malah pergi meninggalkanku” Si kucing hanya membalas dengan dengkuran halus.

Jeno menatap sekitar rumahnya, memori tentang Renjun pun terputar di otaknya.

“Apa dia akan kembali?”

“Aku merindukannya, bongshik.... apa yang harus aku lakukan tanpa dirinya?”

Lagi dan lagi, air mata Jeno turun.

“Baiklah, Renjun. Selamat tinggal, akan selalu ku ingat semua pesanmu. Ku harap, suatu saat nanti kita bisa bertemu kembali.

Dan jika Tuhan mengizinkan, jadilah pasangan hidupku di kehidupan selanjutnya. Aku mencintaimu”

Semoga doa mu dikabulkan.

Sebuah jalan takdir yang tidak dapat di tebak. Berat memang rasanya karena ditinggalkan olehnya, namun aku percaya inilah jalan terbaik untuk hidupku juga hidupnya. Semoga kamu juga bahagia selalu ya, Renjun.

Sampaikan pada Tuhan doaku yang tadi. Karena aku benar-benar ingin menjadi pasangan hidupmu kelak.

—T A M A T.

Jeno memijat pelipisnya, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi. Normal bukan jika Jeno merasa terkejut bahkan menganggap ini bagian mimpi?

Namun, kenyataannya ini bukan mimpi. Dia sudah mencoba menendang tembok rumahnya dengan kaki dan rasanya sangat sakit. Sekarang kepalanya pening ditambah dengan kakinya yang nyeri, sudah cukup membuktikan bahwa ini nyata.

“Jadi, kau malaikat?” Tanya Jeno sembari menatap lurus Renjun yang duduk di sofa depannya. Si manis mengangguk sambil tersenyum.

“Kau datang untuk mengambil nyawa ku?” Pertanyaan yang bodoh, namun Jeno tidak peduli.

Renjun mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggeleng ribut, “Aku bukan malaikat pencabut nyawa!”

“Benarkah?”

“Iya! Jika memang aku malaikat pencabut nyawa, maka sudah ku lakukan sedari tadi” Jeno menelan ludahnya gugup karena merasa aura sekitar Renjun yang berubah.

“Oke, maafkan aku karena membuat mu kesal. Aku hanya penasaran” Renjun pun mengangguk lalu dengan perlahan aura lembut kembali datang.

“Lalu... untuk apa kamu kemari? Maksudku, apa Tuhan mengutus secara langsung? Jadi, dia benar-benar mengabulkan doa ku? Dan apa kau bilang tadi, akhirnya kau melihat ku memangnya sejak kapan kau ada di rumah ku?” Renjun memiringkan kepalanya saat mendengar berbagai pertanyaan dari Jeno.

“Aku akan jawab semuanya. Pertama, aku kemari untuk menemani mu selama sebulan. Iya, Tuhan mengutus ku langsung. Doa mu benar-benar dikabulkan, jen. Lalu... ah! Aku sudah berada disini kurang lebih dua bulan..? Iya, dua bulan! Untuk mengamati dan beradaptasi dengan dunia ini, hingga akhirnya boom! Aku disini, terlihat oleh mu untuk waktu sebulan!” Jawab Renjun dengan rapih.

“Aku masih tidak percaya” ujar Jeno dengan pelan.

“Apa perlu aku menunjukkan wujud asli ku?” Tanya Renjun dengan polosnya dan Jeno sontak menggeleng.

“Tidak perlu! Oke, aku percaya” Renjun tersenyum lalu mengangguk lucu.

“Baiklah, aku akan membuatkan mu beberapa makanan. Bukankah kemarin kau melewatkan makan malam mu?” Jeno langsung terkejut.

“Bagai— ah, lupakan. Iya, aku lapar” Renjun mengangguk kemudian berjalan kearah dapur untuk melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda tadi.

Hingga di ruang tamu tersisa Jeno yang tengah merenung. Ia pun langsung mencari ponselnya kemudian menelpon sang ibu.

Sambungan terhubung.

“Ibu...”

Ada apa? Uang saku mu kurang? Akan ku kirim—

“Sampai kapan ibu disana...”

Jeno, berhenti

“Maaf”

Baiklah, akan ku kirimkan uang saku mu. Aku tutup telpon nya

“Terimakasih, bu. Jangan lupa untuk men—”

Sambungan dimatikan.

Jeno menatap layar ponselnya yang mati lalu terkekeh pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


“Masakan mu enak” Puji Jeno di sela makannya, Renjun pun menatap Jeno dengan binar nya sambil tersenyum lebar.

“Benarkah?!”

“Hm, tidak buruk. Apa surga menyediakan makanan seperti ini?”

“Tidak, makanan di surga lebih enak dari ini semua. Padahal, ku pikir masakan ku ini tidak enak” Jeno langsung terbatuk saat mendengar ucapan Renjun yang kelewat santai.

“Kau— bilang ini semua tidak enak?” Renjun mengangguk.

“Lalu, jika tidak enak akan kau apakan?”

“Membuangnya tentu saja, namun hal itu bukan perilaku yang baik di lakukan” Jeno mengangguk setuju.

Untung saja tidak di buang, jika iya maka isi kulkas ku akan cepat habis. batin Jeno.

“Jika isi kulkas mu habis, akan aku isi kembali. Tenang saja, jeno~” ujar Renjun sembari memakan buah jeruknya.

Jeno menahan nafasnya, astaga dirinya lupa jika malaikat di depannya ini bisa membaca pikiran.

“Kau tidak bisa berhenti membaca pikiran ku?” Tanya Jeno dan Renjun menggeleng.

“Aku penasaran—”

“Ternyata manusia itu selalu penasaran ya...” Sela Renjun dengan santai dan Jeno langsung menatap pemuda manis itu dengan pandangan tidak percaya.

“Maaf, tapi—”

“Tidak apa, Jeno. Katakan saja, akan ku jawab semua pertanyaan penasaran mu itu” Jeno menatap Renjun sebentar lalu kembali menatap makanannya.

“Tidak jadi, aku sudah lupa dengan rasa penasaran itu”

“Manusia juga pelupa ternyata” gumam Renjun dan hal itu masih didengar oleh Jeno.

“Ren”

“Hm?”

“Apa saja yang akan kau lakukan selama sebulan ini?”

“Menemanimu tentu saja”

“Hanya itu?”

“Iya~”

“Kenapa Tuhan malah mengirimkan malaikat bukannya lebih baik jika aku di pertemukan dengan jodoh ku?” Gumam Jeno dengan pelan.

“Kau masih terlalu muda untuk bertemu jodoh, jen” jawab Renjun.

“Aku sedang berbicara sendiri, jangan menjawab isi pikiran dan gumam an ku!”

“Baiklah~”

Dasar Aneh!

“Menurutku manusia yang lebih aneh”

“Renjun!”

“Iya-iya, aku akan diam~”

Kedatangan Renjun terlalu tiba-tiba, tapi Jeno menyukai akan hal itu.

—B E D A.

“Renjun...” suara itu membuat Renjun yang sedang membuat sesuatu di dapur langsung berlari menuju pintu. Disana ia melihat Jeno yang berdiri dengan lemas dan hal itu membuat Renjun sangat khawatir.

“Apa yang terjadi?” Tanya Renjun sembari membantu Jeno untuk duduk di sofa.

“Aku lelah, sangat lelah” ujar Jeno dengan lirih.

Renjun tersenyum tipis lalu duduk menghadap kearah Jeno yang ada disebalhnya, kemudian merentangkan tangannya dengan lebar.

“Kemari, aku akan memberikanmu pelukan yang hangat!” Jeno tanpa sepatah kata lagi langsung masuk kedalam pelukan Renjun, menumpukan kepalanya di bahu sempit malaikat itu dan tangannya merengkuh erat pinggang ramping Renjun.

“Tak apa, Jeno. Merasa lelah itu wajar, aku disini akan menemanimu. Jangan merasa kamu sendiri, aku disini” Jeno mengangguk dan makin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Renjun.

“Jen, mau seberapa lelah kamu... jangan pernah berpikir untuk menyerah ya? Tuhan tidak tidur, Jeno. Dia akan selalu bersamamu dan membantu segala permasalahanmu”

“Terimakasih sudah mengingatkan hal itu” Renjun mengangguk lalu mengelus surai Jeno.

“Jen”

“Hmm”

“Ibu mu tadi menelpon”

Jeno diam sejenak lalu melepaskan pelukan itu dengan cepat, ia langsung berlari kearah kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya. Renjun yang melihat tingkah Jeno pun hanya terkekeh namun kekehan itu dengan perlahan memudar ketika melihat kedua tangannya.

Sudah dekat, ya?

“INJUN!”

“APA?”

Jeno berlari kearah Renjun yang ada diruang tamu lalu memegang bahu Renjun dengan kuat, matanya menatap si manis dengan binar kebahagiaan.

“Lusa, ibu akan pulang! Pekerjaannya disana sudah selesai, ibu akan pulang dan tinggal bersamaku kembali!” Renjun sontak tersenyum lebar.

“Yang benar?!” Jeno mengangguk antusias.

“SELAMAT, JENO! DOA MU DIKABULKAN LAGI!”

“AKU TAU! ah, aku akan berdoa dan mengucapkan terimakasih pada Tuhan setelah ini”

“Betul, kau harus melakukan itu”

Jeno menatap Renjun sambil tersenyum lalu bergerak untuk memeluk sang malaikat dengan erat.

“Aku bahagia, ren”

“Kau pantas mendapatkan kebahagiaan ini, jeno...”


Jeno berjalan menuju dapurnya setelah menggosok gigi dan membasuh mukanya, namun dapur dalam keadaan kosong. Tidak seperti biasanya?

Jeno pun berjalan kearah ruang tamu dan terlihatlah Renjun yang sedang bermain dengan.... seekor kucing? Tunggu, darimana kucing itu berasal?!

“Ren?”

“Kamu sudah bangun, Jen?” Renjun menoleh kearah Jeno sembari memeluk seekor kucing dengan erat.

“Kucing darimana?”

“Aku temukan dia di depan pagar rumahmu, wajahnya sangat menggemaskan jadi aku bawa masuk kedalam. Gapapa, kan?” Jeno menghela nafas, niatnya sih ingin menolak namun melihat Renjun yang berharap lebih... mau tidak mau, Jeno pun mengangguk.

“Baiklah, tapi bisakah kau membuat bulu nya tidak jatuh mengotori perabot rumah?”

“Aku bisa!”

Jeno tersenyum, “kau beri nama siapa?” Tanyanya sembari duduk disebelah Renjun.

“Aku bingung”

“Bongshik?”

“Bagus! Halo, bongbong~ aku injun~” ujar Renjun sembari mengusakkan hidungnya di perut kucing itu. Jeno pun hanya tersenyum karena melihat dua hal yang menggemaskan itu. Hingga senyumnya dengan perlahan memudar ketika menyadari sesuatu.

“REN?! KENAPA TUBUHMU SEPERTI MEMUDAR?!”

“Jeno...”

“Sial, tanggal berapa sekarang?!”

Tidak, jangan buat di pergi. Tolong, berikan waktu seminggu lagi. Ku mohon.

—B E D A.

“Pagi, jeno~” sapaan itu membuat Jeno memunculkan senyumannya.

“Pagi juga, tuan malaikat”

“Berhenti menyebutku seperti itu!”

“Baiklah. Pagi juga, Injun~”

Renjun mengangkat satu alisnya, “Injun?”

“Iya, aku akan memanggilmu dengan sebutan itu” Renjun hanya merespon dengan gelengan pelan juga sebuah senyum tipis.

“Hari ini kau libur, kan?” Jeno mengangguk sembari memakan sereal yang sudah Renjun siapkan untuknya.

“Kalau begitu... ayo ke pantai!” Seru Renjun dengan semangat dan hal itu membuat Jeno mengernyit bingung.

“Darimana kau tahu tentang pantai?”

“Televisi tentu saja”

“Kau menonton tv?” Renjun memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan yang menurut Renjun sangat bodoh.

“Lalu selain menonton tv, apa yang aku lakukan selama menunggumu pulang dari sekolah?” Jeno langsung tertawa sembari menggaruk rambutnya.

“Hehehe, baiklah ayo kita ke pantai hari ini”

“Oke!”


“PANTAAII” seruan bahagia dari Renjun membuat Jeno tertawa lalu menghampiri malaikat manis itu.

Sebuah rengkuhan di pinggang, Renjun rasakan. Sang empu menoleh dan terlihatlah Jeno yang juga sedang menatap dirinya dengan intens. Mata keduanya saling menatap, menghiraukan angin juga deburan ombak pantai.

Hingga wajah Jeno dengan perlahan mendekat kearah Renjun, semakin mendekat dan akhirnya hidung mereka saling bersentuhan. Renjun menggigit bibir dalamnya karena merasakan gugup tiba-tiba dan Jeno terdiam karena berusaha menormalkan detak jantung nya yang menggila.

“Ren...” suara rendah itu membuat seluruh tubuh Renjun merinding.

“Aku—” Mata Jeno pun beralih menatap bibir Renjun.

Renjun yang sudah paham akan apa yang terjadi selanjutnya langsung mengalihkan pandangannya “Ah, Jeno! Lihat, ombaknya mengarah kearah kita!” Ucapnya dan hal itu berhasil membuat wajah Jeno menjauh.

“Kamu mau basah atau tetap kering?” Tanya Jeno, masih dengan merengkuh pinggang Renjun.

“Jika ke pantai, tentu saja harus basah!”

Brush!

Ombak itu menerpa kaki keduanya hingga hampir mengenai lutut mereka, untung saja mereka memakai celana pendek. Renjun tertawa senang saat merasakan air laut yang hangat dan Jeno tersenyum karena melihat Renjun yang bahagia.

“Ayo duduk disana”

“Ayo!”

Matahari semakin terik, membuat beberapa orang memilih untuk menepi ke tempat yang tertutup karena menghindari sinar matahari. Begitupun dengan Renjun Jeno, kini keduanya sedang duduk dibawah pohon kelapa yang rindang.

Duduk bersebelahan dan hanya beralaskan tikar tipis yang Jeno bawa, mata keduanya sibuk melihat indahnya luas laut yang bersebrangan dengan luas langit.

“Indah” gumam Renjun.

“Ya, biru selalu indah” balas Jeno.

“Kau menyukai biru?” Tanya Renjun sembari menatap wajah sisi kiri Jeno yang kini menatap lurus kedepan.

“Hm, aku sangat menyukai biru” Jawabnya tanpa menatap Renjun.

“Biru melambangkan ketenangan. Jadi... apa sekarang, hatimu sudah merasa tenang?” Jeno akhirnya menoleh kearah Renjun.

“Hm, aku sudah merasa tenang. Rasa gelisah, takut, sepi dan lainnya sudah sirna. Dan itu semua berkat kehadiranmu” Jawaban yang Jeno ucapkan membuat Renjun tersenyum.

“Benarkah?”

Jeno menangkup wajah Renjun, “Iya, injun. Kau berhasil membuat hati ku tenang”

Perasaan hangat semakin terasa di dalam diri mereka, “Pertahankan itu ya, Jen?”

“Tentu, selama kau selalu ada di si—”

“Aku sudah tiga minggu di dunia ini, Jeno” sela Renjun dan hal itu membuat Jeno dengan perlahan melepas tangannya dari wajah Renjun.

“Injun... kau berhasil membuat hati ku tenang juga terisi penuh hanya oleh dirimu” lirih Jeno.

Renjun menggigit bibir dalamnya, tangannya bergerak untuk mengusap surai Jeno. “Tenang saja, kau sebentar lagi dewasa dan itu artinya jodoh mu akan da—”

“Apa arti dari datangnya dia, jika aku sudah sangat menyukai dirimu?”

Maaf, Jeno. Tugasku hanya untuk menemanimu selama sebulan, bukan selamanya.

Seminggu lagi, apakah dia akan benar-benar pergi?

—B E D A.

Seminggu berlalu dengan cepat.

Hubungan Renjun dan Jeno semakin dekat, keduanya kini sedikit paham tentang kebiasaan satu sama lain. Yah, walaupun hanya Renjun yang memperhatikan Jeno dengan teliti. Sedangkan jeno? Pemuda itu tidak terlalu memperhatikan si malaikat.

Yang pasti, Jeno tau bahwa malaikat tersebut sangat menyukai buah-buahan terutama jeruk. Oh, malaikat itu juga senang sekali bersih-bersih jadi rumahnya sedikit terasa hangat dan cerah.

Lalu, Renjun. Malaikat itu tahu bahwa Jeno memiliki beberapa alergi, ketika makan Jeno akan menatap makanannya dengan intens, Jeno bukan tipe manusia yang berantakan dan ceroboh, kemudian... Renjun tahu bahwa Jeno selalu menutupi keadaannya dengan sebuah senyuman.

Keduanya kini sedang duduk diteras rumah, menatap langit pagi yang biru dan kendaraan yang berlalu lalang di sekitar rumah Jeno. Tentu saja, ditemani dengan dua cangkir teh juga biskuit.

“Bagaimana dunia ini, ren?”

“Berisik” jawab Renjun dengan jelas.

“Memang, dunia ini terlalu berisik” gumam Jeno.

Lalu hening, keduanya sibuk menyesap teh itu dengan tenang.

“Jeno”

“Hm”

“Apa kau punya teman?” Jeno terdiam, lalu gelengan pelan pun Renjun dapat sebagai jawaban.

“Kenapa?”

“Aku tidak mau percaya dengan manusia”

“Tapi kau manusia” Jeno terkekeh pelan saat mendengar ucapan Renjun.

“Ren, kau pasti tau betul manusia itu seperti apa” Renjun mengangguk pelan.

“Aku tau, manusia itu memang tidak bisa di prediksi pola pikirnya juga hatinya. Kebanyakan, manusia sering disakiti oleh sesama manusia lain. Bukankah itu aneh?”

“Iya, sangat aneh” jawab Jeno.

“Tapi, Jen. Walaupun begitu, kamu itu harus berbaur dengan mereka. Manusia itu makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa sesama nya dan kamu tidak mungkin akan menutup diri terus dari semua manusia kan?” Ucapan Renjun membuat Jeno terdiam.

“Ren, aku begini karena mereka. Karena aku sudah sering kali di sakiti oleh manusia-manusia itu, aku sudah merasakan bagaimana rasa percaya yang aku buat pada mereka langsung di runtuhkan begitu saja” Jeno berujar dengan suara yang putus asa, membuat Renjun dengan reflek mengelus punggung tangan Jeno.

“Kamu hanya belum menemukan manusia yang baik, Jeno. Oleh karena itu, kamu harus berbaur dengan mereka agar kamu menemukan manusia baik itu. Bukankah untuk bertemu jodoh, kamu perlu berbaur dengan banyak manusia juga? Tidak ada salahnya untuk mencoba, Jeno~”

Jeno menggenggam telapak tangan Renjun dengan erat, menatap si malaikat dengan pandangan ragu namun yang ia dapat adalah tatapan penenang juga sebuah senyuman hangat.

“Harus kah?”

“Uhm! Kau harus dan aku percaya, kau pasti bisa!” Jeno tersenyum lalu mengangguk.

“Terimakasih”

“Sama-sama, jeno”


“RENJUUUUN”

“AKU DI HALAMAN BELAKANG!”

Jeno yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas menghampiri Renjun dengan perasaan senang.

Matanya melihat Renjun yang sedang... menyihir(?) tanaman milik ibunya yang sudah lama mati itu. Jeno tersenyum lebar lalu memeluk Renjun dari belakang dengan erat, membuat sang empu memekik kencang.

“JENO, LEPASKAN!”

“Aku tidak mau~” Jeno mengusakkan wajahnya di tengkuk Renjun dan hal itu cukup membuat si manis merasa geli lalu tertawa.

“Hentikan, Jeno”

Jeno pun langsung menghentikan kegiatannya tadi lalu melepaskan pelukan erat pada Renjun.

“Kita duduk dulu, oke?” Jeno mengangguk semangat dan hal itu membuat Renjun tertawa pelan.

Jeno terlihat sangat menggemaskan hari ini.

Keduanya pun duduk di kursi yang berada di bawah pohon yang rindang. “Apa yang terjadi?” Tanya Renjun sembari merapihkan rambut Jeno yang berantakan.

“Aku berhasil!”

“Iya~ berhasil apa?”

“Aku berhasil berbaur! Dan sekarang aku memiliki dua orang teman” Renjun menatap Jeno dengan antusias.

“Benarkah?! Woah, siapa mereka?”

“Teman sekelasku, mereka duduk tepat di depan meja ku. Namanya, Haechan dan Jaemin” Renjun tersenyum lebar saat mendengar hal itu.

“Awalan yang bagus, Jeno! Pertahankan, oke? Omong-omong, aku mempunyai firasat bahwa kedua teman baru mu itu baik” ujar Renjun.

“Baiklah, akan aku pertahankan!”

“Bagus~. Sekarang, cepat kamu pergi mandi! Bau mu sudah seperti air bekas cuci piring yang mampet” Renjun berujar sembari menutup hidungnya.

“Jahat sekali”

“Aku malaikat yang baik, Jeno~”

“Aku rasa tidak”

“JENO!”

“Hehehe, bercanda tuan malaikat~”

Dengan perlahan, Renjun berhasil membuat senyum Jeno kembali. Semoga senyuman itu bertahan untuk waktu yang lama.

—B E D A.

Jeno memijat pelipisnya, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi. Normal bukan jika Jeno merasa terkejut bahkan menganggap ini bagian mimpi?

Namun, kenyataannya ini bukan mimpi. Dia sudah mencoba menendang tembok rumahnya dengan kaki dan rasanya sangat sakit. Sekarang kepalanya pening ditambah dengan kakinya yang nyeri, sudah cukup membuktikan bahwa ini nyata.

“Jadi, kau malaikat?” Tanya Jeno sembari menatap lurus Renjun yang duduk di sofa depannya. Si manis mengangguk sambil tersenyum.

“Kau datang untuk mengambil nyawa ku?” Pertanyaan yang bodoh, namun Jeno tidak peduli.

Renjun mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggeleng ribut, “Aku bukan malaikat pencabut nyawa!”

“Benarkah?”

“Iya! Jika memang aku malaikat pencabut nyawa, maka sudah ku lakukan sedari tadi” Jeno menelan ludahnya gugup karena merasa aura sekitar Renjun yang berubah.

“Oke, maafkan aku karena membuat mu kesal. Aku hanya penasaran” Renjun pun mengangguk lalu dengan perlahan aura lembut kembali datang.

“Lalu... untuk apa kamu kemari? Maksudku, apa Tuhan mengutus secara langsung? Jadi, dia benar-benar mengabulkan doa ku? Dan apa kau bilang tadi, akhirnya kau melihat ku memangnya sejak kapan kau ada di rumah ku?” Renjun memiringkan kepalanya saat mendengar berbagai pertanyaan dari Jeno.

“Aku akan jawab semuanya. Pertama, aku kemari untuk menemani mu selama sebulan. Iya, Tuhan mengutus ku langsung. Doa mu benar-benar dikabulkan, jen. Lalu... ah! Aku sudah berada disini kurang lebih dua bulan..? Iya, dua bulan! Untuk mengamati dan beradaptasi dengan dunia ini, hingga akhirnya boom! Aku disini, terlihat oleh mu untuk waktu sebulan!” Jawab Renjun dengan rapih.

“Aku masih tidak percaya” ujar Jeno dengan pelan.

“Apa perlu aku menunjukkan wujud asli ku?” Tanya Renjun dengan polosnya dan Jeno sontak menggeleng.

“Tidak perlu! Oke, aku percaya” Renjun tersenyum lalu mengangguk lucu.

“Baiklah, aku akan membuatkan mu beberapa makanan. Bukankah kemarin kau melewatkan makan malam mu?” Jeno langsung terkejut.

“Bagai— ah, lupakan. Iya, aku lapar” Renjun mengangguk kemudian berjalan kearah dapur untuk melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda tadi.

Hingga di ruang tamu tersisa Jeno yang tengah merenung. Ia pun langsung mencari ponselnya kemudian menelpon sang ibu.

Sambungan terhubung.

“Ibu...”

Ada apa? Uang saku mu kurang? Akan ku kirim—

“Sampai kapan ibu disana...”

Jeno, berhenti

“Maaf”

Baiklah, akan ku kirimkan uang saku mu. Aku tutup telpon nya

“Terimakasih, bu. Jangan lupa untuk men—”

Sambungan dimatikan.

Jeno menatap layar ponselnya yang mati lalu terkekeh pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


“Masakan mu enak” Puji Jeno di sela makannya, Renjun pun menatap Jeno dengan binar nya sambil tersenyum lebar.

“Benarkah?!”

“Hm, tidak buruk. Apa surga menyediakan makanan seperti ini?”

“Tidak, makanan di surga lebih enak dari ini semua. Padahal, ku pikir masakan ku ini tidak enak” Jeno langsung terbatuk saat mendengar ucapan Renjun yang kelewat santai.

“Kau— bilang ini semua tidak enak?” Renjun mengangguk.

“Lalu, jika tidak enak akan kau apakan?”

“Membuangnya tentu saja, namun hal itu bukan perilaku yang baik di lakukan” Jeno mengangguk setuju.

Untung saja tidak di buang, jika iya maka isi kulkas ku akan cepat habis. batin Jeno.

“Jika isi kulkas mu habis, akan aku isi kembali. Tenang saja, jeno~” ujar Renjun sembari memakan buah jeruknya.

Jeno menahan nafasnya, astaga dirinya lupa jika malaikat di depannya ini bisa membaca pikiran.

“Kau tidak bisa berhenti membaca pikiran ku?” Tanya Jeno dan Renjun menggeleng.

“Aku penasaran—”

“Ternyata manusia itu selalu penasaran ya...” Sela Renjun dengan santai dan Jeno langsung menatap pemuda manis itu dengan pandangan tidak percaya.

“Maaf, tapi—”

“Tidak apa, Jeno. Katakan saja, akan ku jawab semua pertanyaan penasaran mu itu” Jeno menatap Renjun sebentar lalu kembali menatap makanannya.

“Tidak jadi, aku sudah lupa dengan rasa penasaran itu”

“Manusia juga pelupa ternyata” gumam Renjun dan hal itu masih didengar oleh Jeno.

“Ren”

“Hm?”

“Apa saja yang akan kau lakukan selama sebulan ini?”

“Menemanimu tentu saja”

“Hanya itu?”

“Iya~”

“Kenapa Tuhan malah mengirimkan malaikat bukannya lebih baik jika aku di pertemukan dengan jodoh ku?” Gumam Jeno dengan pelan.

“Kau masih terlalu muda untuk bertemu jodoh, jen” jawab Renjun.

“Aku sedang berbicara sendiri, jangan menjawab isi pikiran dan gumam an ku!”

“Baiklah~”

Dasar Aneh!

“Menurutku manusia yang lebih aneh”

“Renjun!”

“Iya-iya, aku akan diam~”

Kedatangan Renjun terlalu tiba-tiba, tapi Jeno menyukai akan hal itu.

—B E D A.

Sore mulai datang, langit sudah mulai berwarna jingga dan jalanan kota terlihat sangat ramai. Di salah satu komplek perumahan, terlihatlah seorang pemuda yang memiliki senyum indah itu sedang berjalan menuju rumahnya, banyak tetangga yang menyapa nya dan ia hanya tersenyum untuk membalas sapaan itu.

Hari ini benar-benar melelahkan. Di balik wajahnya yang di luar nampak santai, namun pikiran pemuda tersebut kini sangat kacau. Otak pemuda tersebut terasa sangat panas karena hari ini ia terlalu banyak menerima berbagai macam materi pelajaran di sekolah.

Ia berdiri di depan pintu rumahnya, menghela nafas sejenak agar batin nya tenang. Lalu di buka lah pintu rumah itu dengan perlahan. Pintu terbuka dan matanya langsung menatap sekeliling. Sepi dan suram, ya dua kata itulah yang bisa di sebutkan untuk menjelaskan seperti apa keadaan rumah pemuda itu.

Helaan nafas kembali terdengar, ia pun menutup pintu rumahnya lalu berjalan kearah kamarnya setelah membersihkan diri. Ia pun merebahkan tubuh lelah nya diatas kasur empuk itu. Hingga akhirnya jatuh tertidur, menyelami dunia mimpi.

Namun sebelum benar-benar terlelap seperti biasa, dia akan berdoa dan meminta satu hal pada Tuhan.

Tolong pulangkan ibu kembali atau kirimkan seseorang untuk menemani hidupku.


Pip pip pip pip

Suara alarm pagi membuat pemuda berahang tegas itu terbangun, tangannya bergerak acak untuk mencari tombol mati dari alarm tersebut. Hingga saat alarm berhenti, ia berniat untuk kembali tidur namun hidungnya itu mencium aroma sesuatu. Aroma itu berhasil membuat dirinya mengurungkan niat tersebut, ia beranjak dari kasur lalu berjalan menuju aroma yang semakin terasa familiar di hidungnya.

Apa ibu pulang?!

Seruan dalam pikirannya membuat pemuda itu sadar dari kantuknya lalu berjalan dengan cepat menuju dapur, jantungnya berdetak dengan kencang, senyum nya terukir karena perasaan senang dan sampai lah dia dapur.

Mata yang memancarkan binar kebahagiaan kini berubah dengan tatapan terkejut, ia mengucek kedua matanya berkali-kali. Berusaha untuk mengetahui, apakah ini realita atau masih dunia mimpi? Sakit perih di mata pun ia rasakan, berarti ini realita.

Apa yang membuat pemuda itu terkejut? Apakah ibu nya benar-benar kembali?

Tidak, yang di dapur itu bukan ibunya. Matanya melihat jelas, ada seorang laki-laki berpunggung sempit dan mungil sedang memasak sesuatu di dapurnya. Jelas sekali, itu bukan ibunya!

“Ka—kau siapa?!”

Sang empu yang sedang memasak membalikkan tubuhnya lalu menatap sang pemilik rumah dengan binar senang juga senyuman yang lebar.

“Hai, Jeno! Ah, akhirnya kamu bisa melihat diriku!”

Tunggu, apa maksud dari perkataannya itu?!

“Kau siapa?” Tanya Jeno, sang pemilik rumah.

Laki-laki manis itu pun mematikan kompor terlebih dahulu, mengelap tangannya di apron yang ia pakai lalu mengangkat tangan kanannya untuk melambai kearah Jeno.

“Perkenalkan aku Renjun, si malaikat yang diutus untuk menemani mu selama sebulan!”

Jeno mengernyit, Malaikat? Dia terlihat seperti pemuda biasa batinnya.

“Aku bukan manusia” ujar Renjun tiba-tiba dan hal itu cukup membuat Jeno terkejut.

“Lihat, aku akan menunjukkan sesuatu padamu” Jeno mengangguk pelan.

Renjun tersenyum tipis lalu dengan perlahan memejamkan matanya, lalu beberapa sinar seperti kunang-kunang muncul disekitar Renjun. Sinar itu mengelilingi tubuh Renjun, seakan sihir penampilan pemuda itu langsung berubah.

Surai hitamnya berubah berwarna pirang, pakaian biasa berubah menjadi pakaian seperti pangeran yang berwarna putih, sinar yang Jeno anggap kunang-kunang pun membentuk sepasang sayap di punggung sempit Renjun dan terakhir, Sisa kunang-kunang itu membentuk wujud dari rubah kecil yang terbang di sisi kanan Renjun.

Sepasang kelam milik Renjun pun terbuka dengan perlahan dan terlihatlah bola mata yang indah. Jeno merasa, antariksa galaksi berada di sepasang mata itu. Indah. Wujudnya sangat indah hingga Jeno sulit mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia seperti sedang di hipnotis oleh rupa nya.

Bibir berwarna seperti ceri itu membentuk sebuah lengkungan saat melihat Jeno,

“Sekarang kau percaya kan? Aku tidak bisa berbohong, Jeno”

Setelah sekian lama, Tuhan mengabulkan doa nya. Dengan mengirimkan satu malaikat manis padanya, walau untuk waktu yang sementara.

—B E D A.

Setelah berbelanja kebutuhan di supermarket, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Untungnya, Reggie dan Galen sudah sampai di apartemen jadi mereka tidak merasakan guyuran hujan yang sangat deras.

Alen?” Suara itu mengintrupsi kegiatan Galendra yang sedang menata hasil belanja tadi. Ia menoleh dan nampaklah Reggie yang sedang menatap kearahnya sembari memegang handuk.

Mandi dulu, udah mau malem banget ini

Nanggung, re. Ak—

Udah, biar aku yang beresin. Kamu mandi sana” Reggie menyampirkan handuk yang ia pegang tadi ke bahu kiri Galen lalu mulai menata barang-barang itu.

Galendra pun tanpa sepatah kata lagi langsung berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sepuluh menit berlalu. Galendra sudah selesai dengan acara mandinya dan Reggie sudah selesai menata barang belanjaan mereka. Kini keduanya sedang berada di ruang tamu, menonton sebuah film horor sambil memakan beberapa cemilan.

Yakin bisa nonton sampe tamat, re?” bisik Galen disela film yang terputar.

Yakin, Aleen. Udah jangan ngomong terus, na— AAAA APAAN ITU MUKA NYA ANCUR” Layar yang menampilkan sosok hantu menyeramkan membuat Reggie menjerit sebelum menyelesaikan ucapannya. Galendra terkekeh pelan, dominan itu lebih memilih untuk menikmati cemilan daripada film tersebut.

Film nya masih panjang, re

Iya, aku tau! Di— ASTAGA ALEN, KENAPA DIA TIBA-TIBA MUNCUL BEGITU?!

Namanya juga film horor, re

Ish, gatau lah aku kesel sama kamu!


Film sudah selesai, Galendra memutuskan untuk membersihkan sisa makanan mereka dan Reggie masih duduk termenung karena syok dengan film yang baru saja ia tonton.

Di luar sana hujan masih turun dengan deras, bahkan sekarang menyertakan petir. Galendra menatap Reggie yang masih enggan beranjak dari duduknya.

Mau tidur di sofa?” Reggie menggelengkan kepalanya dengan ribut.

Alen... Algie kok gaada?” Reggie yang baru saja sadar dari rasa syok, langsung mencari boneka peri putih itu. Galen mendengus pelan, “Ada di kamar kamu” Jawabnya dan Reggie langsung mengangguk paham.

Aku mau tidur, kamu juga sana” ucapnya sambil berjalan menuju kearah kamar, namun dirinya sadar bahwa sedang diikuti langsung menoleh ke belakang.

Ngapain ngikutin aku?

Reggie menundukkan kepalanya sembari memainkan ujung baju piyamanya, “Aku... takut...” lirihan itu membuat jantung Galendra rasanya ingin melompat keluar.

Astaga, Reggie jangan bikin gue jantungan napa

Terus?

Boleh bobo bareng?

Galendra terdiam sejenak lalu langsung melotot kearah Reggie yang sekarang sedang menatapnya dengan tatapan memohon.

ARGH! BISA GILA GUE LAMA-LAMA!

Galendra menghela nafas pelan lalu mengangguk, “Cuman buat malam ini, oke?

Reggie tersenyum lebar lalu mengangguk, “Oke!

Kamar Galendra kini sudah terisi dua orang, keduanya belum tidur karena memilih untuk menatap langit-langit kamar.

Alen

Hm

Kenapa suara petir nya kenceng banget?

Kenapa kamu belum tidur juga?

Aku masih takut

Galendra mengambil nafas sebentar lalu memiringkan tidurnya, begitu pun Reggie. Jadi keduanya saling berhadapan, saling menatap satu sama lain, tanpa halangan apapun.

Mau peluk?” Reggie menatap bingung Galendra dan yang ditatap langsung berdehem canggung.

I—ini buat ucapan terimakasih karena kemarin kamu udah ne—

Grep

Makasih, Alen. Good night

Galendra mengerjap bingung lalu sedikit melirik Reggie yang sudah memeluknya dan menyembunyikan wajah manis itu di dadanya.

Dengan ragu ia membalas pelukan itu dan Galendra pun merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Hingga tanpa sadar ia mempererat pelukan itu dan menyembunyikan wajahnya di surai Reggie.

Good night too, baby re