Bagian 4; Hati.

“Pagi, jeno~” sapaan itu membuat Jeno memunculkan senyumannya.

“Pagi juga, tuan malaikat”

“Berhenti menyebutku seperti itu!”

“Baiklah. Pagi juga, Injun~”

Renjun mengangkat satu alisnya, “Injun?”

“Iya, aku akan memanggilmu dengan sebutan itu” Renjun hanya merespon dengan gelengan pelan juga sebuah senyum tipis.

“Hari ini kau libur, kan?” Jeno mengangguk sembari memakan sereal yang sudah Renjun siapkan untuknya.

“Kalau begitu... ayo ke pantai!” Seru Renjun dengan semangat dan hal itu membuat Jeno mengernyit bingung.

“Darimana kau tahu tentang pantai?”

“Televisi tentu saja”

“Kau menonton tv?” Renjun memutar bola matanya saat mendengar pertanyaan yang menurut Renjun sangat bodoh.

“Lalu selain menonton tv, apa yang aku lakukan selama menunggumu pulang dari sekolah?” Jeno langsung tertawa sembari menggaruk rambutnya.

“Hehehe, baiklah ayo kita ke pantai hari ini”

“Oke!”


“PANTAAII” seruan bahagia dari Renjun membuat Jeno tertawa lalu menghampiri malaikat manis itu.

Sebuah rengkuhan di pinggang, Renjun rasakan. Sang empu menoleh dan terlihatlah Jeno yang juga sedang menatap dirinya dengan intens. Mata keduanya saling menatap, menghiraukan angin juga deburan ombak pantai.

Hingga wajah Jeno dengan perlahan mendekat kearah Renjun, semakin mendekat dan akhirnya hidung mereka saling bersentuhan. Renjun menggigit bibir dalamnya karena merasakan gugup tiba-tiba dan Jeno terdiam karena berusaha menormalkan detak jantung nya yang menggila.

“Ren...” suara rendah itu membuat seluruh tubuh Renjun merinding.

“Aku—” Mata Jeno pun beralih menatap bibir Renjun.

Renjun yang sudah paham akan apa yang terjadi selanjutnya langsung mengalihkan pandangannya “Ah, Jeno! Lihat, ombaknya mengarah kearah kita!” Ucapnya dan hal itu berhasil membuat wajah Jeno menjauh.

“Kamu mau basah atau tetap kering?” Tanya Jeno, masih dengan merengkuh pinggang Renjun.

“Jika ke pantai, tentu saja harus basah!”

Brush!

Ombak itu menerpa kaki keduanya hingga hampir mengenai lutut mereka, untung saja mereka memakai celana pendek. Renjun tertawa senang saat merasakan air laut yang hangat dan Jeno tersenyum karena melihat Renjun yang bahagia.

“Ayo duduk disana”

“Ayo!”

Matahari semakin terik, membuat beberapa orang memilih untuk menepi ke tempat yang tertutup karena menghindari sinar matahari. Begitupun dengan Renjun Jeno, kini keduanya sedang duduk dibawah pohon kelapa yang rindang.

Duduk bersebelahan dan hanya beralaskan tikar tipis yang Jeno bawa, mata keduanya sibuk melihat indahnya luas laut yang bersebrangan dengan luas langit.

“Indah” gumam Renjun.

“Ya, biru selalu indah” balas Jeno.

“Kau menyukai biru?” Tanya Renjun sembari menatap wajah sisi kiri Jeno yang kini menatap lurus kedepan.

“Hm, aku sangat menyukai biru” Jawabnya tanpa menatap Renjun.

“Biru melambangkan ketenangan. Jadi... apa sekarang, hatimu sudah merasa tenang?” Jeno akhirnya menoleh kearah Renjun.

“Hm, aku sudah merasa tenang. Rasa gelisah, takut, sepi dan lainnya sudah sirna. Dan itu semua berkat kehadiranmu” Jawaban yang Jeno ucapkan membuat Renjun tersenyum.

“Benarkah?”

Jeno menangkup wajah Renjun, “Iya, injun. Kau berhasil membuat hati ku tenang”

Perasaan hangat semakin terasa di dalam diri mereka, “Pertahankan itu ya, Jen?”

“Tentu, selama kau selalu ada di si—”

“Aku sudah tiga minggu di dunia ini, Jeno” sela Renjun dan hal itu membuat Jeno dengan perlahan melepas tangannya dari wajah Renjun.

“Injun... kau berhasil membuat hati ku tenang juga terisi penuh hanya oleh dirimu” lirih Jeno.

Renjun menggigit bibir dalamnya, tangannya bergerak untuk mengusap surai Jeno. “Tenang saja, kau sebentar lagi dewasa dan itu artinya jodoh mu akan da—”

“Apa arti dari datangnya dia, jika aku sudah sangat menyukai dirimu?”

Maaf, Jeno. Tugasku hanya untuk menemanimu selama sebulan, bukan selamanya.

Seminggu lagi, apakah dia akan benar-benar pergi?

—B E D A.