Bagian 2; Hadir.

Jeno memijat pelipisnya, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi. Normal bukan jika Jeno merasa terkejut bahkan menganggap ini bagian mimpi?

Namun, kenyataannya ini bukan mimpi. Dia sudah mencoba menendang tembok rumahnya dengan kaki dan rasanya sangat sakit. Sekarang kepalanya pening ditambah dengan kakinya yang nyeri, sudah cukup membuktikan bahwa ini nyata.

“Jadi, kau malaikat?” Tanya Jeno sembari menatap lurus Renjun yang duduk di sofa depannya. Si manis mengangguk sambil tersenyum.

“Kau datang untuk mengambil nyawa ku?” Pertanyaan yang bodoh, namun Jeno tidak peduli.

Renjun mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggeleng ribut, “Aku bukan malaikat pencabut nyawa!”

“Benarkah?”

“Iya! Jika memang aku malaikat pencabut nyawa, maka sudah ku lakukan sedari tadi” Jeno menelan ludahnya gugup karena merasa aura sekitar Renjun yang berubah.

“Oke, maafkan aku karena membuat mu kesal. Aku hanya penasaran” Renjun pun mengangguk lalu dengan perlahan aura lembut kembali datang.

“Lalu... untuk apa kamu kemari? Maksudku, apa Tuhan mengutus secara langsung? Jadi, dia benar-benar mengabulkan doa ku? Dan apa kau bilang tadi, akhirnya kau melihat ku memangnya sejak kapan kau ada di rumah ku?” Renjun memiringkan kepalanya saat mendengar berbagai pertanyaan dari Jeno.

“Aku akan jawab semuanya. Pertama, aku kemari untuk menemani mu selama sebulan. Iya, Tuhan mengutus ku langsung. Doa mu benar-benar dikabulkan, jen. Lalu... ah! Aku sudah berada disini kurang lebih dua bulan..? Iya, dua bulan! Untuk mengamati dan beradaptasi dengan dunia ini, hingga akhirnya boom! Aku disini, terlihat oleh mu untuk waktu sebulan!” Jawab Renjun dengan rapih.

“Aku masih tidak percaya” ujar Jeno dengan pelan.

“Apa perlu aku menunjukkan wujud asli ku?” Tanya Renjun dengan polosnya dan Jeno sontak menggeleng.

“Tidak perlu! Oke, aku percaya” Renjun tersenyum lalu mengangguk lucu.

“Baiklah, aku akan membuatkan mu beberapa makanan. Bukankah kemarin kau melewatkan makan malam mu?” Jeno langsung terkejut.

“Bagai— ah, lupakan. Iya, aku lapar” Renjun mengangguk kemudian berjalan kearah dapur untuk melanjutkan acara memasak yang sempat tertunda tadi.

Hingga di ruang tamu tersisa Jeno yang tengah merenung. Ia pun langsung mencari ponselnya kemudian menelpon sang ibu.

Sambungan terhubung.

“Ibu...”

Ada apa? Uang saku mu kurang? Akan ku kirim—

“Sampai kapan ibu disana...”

Jeno, berhenti

“Maaf”

Baiklah, akan ku kirimkan uang saku mu. Aku tutup telpon nya

“Terimakasih, bu. Jangan lupa untuk men—”

Sambungan dimatikan.

Jeno menatap layar ponselnya yang mati lalu terkekeh pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.


“Masakan mu enak” Puji Jeno di sela makannya, Renjun pun menatap Jeno dengan binar nya sambil tersenyum lebar.

“Benarkah?!”

“Hm, tidak buruk. Apa surga menyediakan makanan seperti ini?”

“Tidak, makanan di surga lebih enak dari ini semua. Padahal, ku pikir masakan ku ini tidak enak” Jeno langsung terbatuk saat mendengar ucapan Renjun yang kelewat santai.

“Kau— bilang ini semua tidak enak?” Renjun mengangguk.

“Lalu, jika tidak enak akan kau apakan?”

“Membuangnya tentu saja, namun hal itu bukan perilaku yang baik di lakukan” Jeno mengangguk setuju.

Untung saja tidak di buang, jika iya maka isi kulkas ku akan cepat habis. batin Jeno.

“Jika isi kulkas mu habis, akan aku isi kembali. Tenang saja, jeno~” ujar Renjun sembari memakan buah jeruknya.

Jeno menahan nafasnya, astaga dirinya lupa jika malaikat di depannya ini bisa membaca pikiran.

“Kau tidak bisa berhenti membaca pikiran ku?” Tanya Jeno dan Renjun menggeleng.

“Aku penasaran—”

“Ternyata manusia itu selalu penasaran ya...” Sela Renjun dengan santai dan Jeno langsung menatap pemuda manis itu dengan pandangan tidak percaya.

“Maaf, tapi—”

“Tidak apa, Jeno. Katakan saja, akan ku jawab semua pertanyaan penasaran mu itu” Jeno menatap Renjun sebentar lalu kembali menatap makanannya.

“Tidak jadi, aku sudah lupa dengan rasa penasaran itu”

“Manusia juga pelupa ternyata” gumam Renjun dan hal itu masih didengar oleh Jeno.

“Ren”

“Hm?”

“Apa saja yang akan kau lakukan selama sebulan ini?”

“Menemanimu tentu saja”

“Hanya itu?”

“Iya~”

“Kenapa Tuhan malah mengirimkan malaikat bukannya lebih baik jika aku di pertemukan dengan jodoh ku?” Gumam Jeno dengan pelan.

“Kau masih terlalu muda untuk bertemu jodoh, jen” jawab Renjun.

“Aku sedang berbicara sendiri, jangan menjawab isi pikiran dan gumam an ku!”

“Baiklah~”

Dasar Aneh!

“Menurutku manusia yang lebih aneh”

“Renjun!”

“Iya-iya, aku akan diam~”

Kedatangan Renjun terlalu tiba-tiba, tapi Jeno menyukai akan hal itu.

—B E D A.