Bagian 3; Senyumnya.

Seminggu berlalu dengan cepat.

Hubungan Renjun dan Jeno semakin dekat, keduanya kini sedikit paham tentang kebiasaan satu sama lain. Yah, walaupun hanya Renjun yang memperhatikan Jeno dengan teliti. Sedangkan jeno? Pemuda itu tidak terlalu memperhatikan si malaikat.

Yang pasti, Jeno tau bahwa malaikat tersebut sangat menyukai buah-buahan terutama jeruk. Oh, malaikat itu juga senang sekali bersih-bersih jadi rumahnya sedikit terasa hangat dan cerah.

Lalu, Renjun. Malaikat itu tahu bahwa Jeno memiliki beberapa alergi, ketika makan Jeno akan menatap makanannya dengan intens, Jeno bukan tipe manusia yang berantakan dan ceroboh, kemudian... Renjun tahu bahwa Jeno selalu menutupi keadaannya dengan sebuah senyuman.

Keduanya kini sedang duduk diteras rumah, menatap langit pagi yang biru dan kendaraan yang berlalu lalang di sekitar rumah Jeno. Tentu saja, ditemani dengan dua cangkir teh juga biskuit.

“Bagaimana dunia ini, ren?”

“Berisik” jawab Renjun dengan jelas.

“Memang, dunia ini terlalu berisik” gumam Jeno.

Lalu hening, keduanya sibuk menyesap teh itu dengan tenang.

“Jeno”

“Hm”

“Apa kau punya teman?” Jeno terdiam, lalu gelengan pelan pun Renjun dapat sebagai jawaban.

“Kenapa?”

“Aku tidak mau percaya dengan manusia”

“Tapi kau manusia” Jeno terkekeh pelan saat mendengar ucapan Renjun.

“Ren, kau pasti tau betul manusia itu seperti apa” Renjun mengangguk pelan.

“Aku tau, manusia itu memang tidak bisa di prediksi pola pikirnya juga hatinya. Kebanyakan, manusia sering disakiti oleh sesama manusia lain. Bukankah itu aneh?”

“Iya, sangat aneh” jawab Jeno.

“Tapi, Jen. Walaupun begitu, kamu itu harus berbaur dengan mereka. Manusia itu makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa sesama nya dan kamu tidak mungkin akan menutup diri terus dari semua manusia kan?” Ucapan Renjun membuat Jeno terdiam.

“Ren, aku begini karena mereka. Karena aku sudah sering kali di sakiti oleh manusia-manusia itu, aku sudah merasakan bagaimana rasa percaya yang aku buat pada mereka langsung di runtuhkan begitu saja” Jeno berujar dengan suara yang putus asa, membuat Renjun dengan reflek mengelus punggung tangan Jeno.

“Kamu hanya belum menemukan manusia yang baik, Jeno. Oleh karena itu, kamu harus berbaur dengan mereka agar kamu menemukan manusia baik itu. Bukankah untuk bertemu jodoh, kamu perlu berbaur dengan banyak manusia juga? Tidak ada salahnya untuk mencoba, Jeno~”

Jeno menggenggam telapak tangan Renjun dengan erat, menatap si malaikat dengan pandangan ragu namun yang ia dapat adalah tatapan penenang juga sebuah senyuman hangat.

“Harus kah?”

“Uhm! Kau harus dan aku percaya, kau pasti bisa!” Jeno tersenyum lalu mengangguk.

“Terimakasih”

“Sama-sama, jeno”


“RENJUUUUN”

“AKU DI HALAMAN BELAKANG!”

Jeno yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas menghampiri Renjun dengan perasaan senang.

Matanya melihat Renjun yang sedang... menyihir(?) tanaman milik ibunya yang sudah lama mati itu. Jeno tersenyum lebar lalu memeluk Renjun dari belakang dengan erat, membuat sang empu memekik kencang.

“JENO, LEPASKAN!”

“Aku tidak mau~” Jeno mengusakkan wajahnya di tengkuk Renjun dan hal itu cukup membuat si manis merasa geli lalu tertawa.

“Hentikan, Jeno”

Jeno pun langsung menghentikan kegiatannya tadi lalu melepaskan pelukan erat pada Renjun.

“Kita duduk dulu, oke?” Jeno mengangguk semangat dan hal itu membuat Renjun tertawa pelan.

Jeno terlihat sangat menggemaskan hari ini.

Keduanya pun duduk di kursi yang berada di bawah pohon yang rindang. “Apa yang terjadi?” Tanya Renjun sembari merapihkan rambut Jeno yang berantakan.

“Aku berhasil!”

“Iya~ berhasil apa?”

“Aku berhasil berbaur! Dan sekarang aku memiliki dua orang teman” Renjun menatap Jeno dengan antusias.

“Benarkah?! Woah, siapa mereka?”

“Teman sekelasku, mereka duduk tepat di depan meja ku. Namanya, Haechan dan Jaemin” Renjun tersenyum lebar saat mendengar hal itu.

“Awalan yang bagus, Jeno! Pertahankan, oke? Omong-omong, aku mempunyai firasat bahwa kedua teman baru mu itu baik” ujar Renjun.

“Baiklah, akan aku pertahankan!”

“Bagus~. Sekarang, cepat kamu pergi mandi! Bau mu sudah seperti air bekas cuci piring yang mampet” Renjun berujar sembari menutup hidungnya.

“Jahat sekali”

“Aku malaikat yang baik, Jeno~”

“Aku rasa tidak”

“JENO!”

“Hehehe, bercanda tuan malaikat~”

Dengan perlahan, Renjun berhasil membuat senyum Jeno kembali. Semoga senyuman itu bertahan untuk waktu yang lama.

—B E D A.