Telpon.

Halo, Ares?” Suara lembut itu mengalun indah setelah Hares memencet tombol hijau itu.

“Halo, Aden” jawabnya.

Kamu lagi ngapain?

“Aku lagi manasin motor nih”

Gajadi naik mobil?

“Gamau, males, ribet, lama”

Ck, tapi kamu nantinya jadi kepanasan

“Biasa aja sih, yang. Biasanya juga gitu”

Terserah

Hares terkekeh saat mendengar nada kesal dari Raden.

“Kamu udah sampe mana?”

Hmm, bentar— oh, udah ngelewatin sekolah nih

“Cepet banget? Supirnya ngebut?”

Rasa khawatir mulai menghampiri Hares.

Ga terlalu kok, tenang aja

Walaupun jawabannya begitu, ia tetap merasa khawatir.

“Aku bentar lagi berangkat”

Gausah buru-buru, ares. Lagian juga nanti aku ga langsung berangkat

“Ya, tetep aja. Aku mau peluk kamu yang lama, stok selama seminggu”

Hares menjawab dengan mengambil helm juga tas kecilnya.

Lebay banget

“Biarin”

Lalu hening sejenak, Hares kini sedang sibuk merapihkan barang bawaannya dan juga hadiah yang akan ia berikan pada Raden nanti.

Ares

“Hm?”

Aku sayang sama kamu

Pergerakkan Hares dengan spontan berhenti, ia memegang benda pipih itu dengan erat.

“Kena—”

Ares, bahagia selalu ya

Lidah Hares semakin kelu, tangannya mulai berkeringat namun ia masih mencoba untuk biasa saja.

“Sayang...”

Ares, maafin aku yang ga— Brugh! Prang!

Suara nyaring yang terdengar tak asing membuat Hares seketika berteriak memanggil nama sang kekasih.

“RADEN, JAWAB AKU! RADEN!”

Merasa sia-sia, Hares pun langsung bergegas menuju lokasi Raden. Telepon mereka tidak Hares putuskan, untuk memastikan jika Raden akan menjawab nantinya.

Hares mengemudikan motornya dengan cepat, tangannya terus meng-gas motor tersebut hingga memerah dan matanya menyorot dengan tajam.

Tolong, Raden... jangan sampai yang ada di pikiran aku terjadi. Aku belum siap, Raden. Aku belum siap